Gaby menginjak pedal rem sedalam mungkin begitu mobil memasuki area lobi hotel Xavier.
Disampingnya, Vania mencengkram tali seatbelt erat saat mobil berhenti tiba-tiba dengan suara decit yang bergema ke seantero lobi hingga memancing perhatian orang-orang yang ada disekitarnya."Hei, gila! Kamu mau mati muda ya," hardik Vania panik. "Emangnya kita mau kemana? Buru-buru banget.""Hotel Xavier." balas Gaby cuek. Ia melirik sahabatnya sekilas lalu menarik tuas pintu dan turun dari mobil."Lah? Ngapain kesana?" Vania mengikuti langkah Gaby yang telah turun dari mobil dan memberikan kuncinya pada petugas valet.Gaby terkekeh pelan. "Tentu saja melakukan apa yang Paman Samuel inginkan?" balasnya bersama senyum misterius."Lalu, apa yang akan kamu lakukan?" Selidik Vania curiga. "Kamu mau menemui calon tunangan mu?" tanyanya ragu."Hmm … kurang lebih seperti itu." Kilah Gaby, masih berbalut sikap misterius. "Lalu, dimana Fey?""Gaby, Vania!"Teriakan dari kejauhan membuat Vania batal untuk menjawab pertanyaan Gaby."Tuh," tunjuknya pada Fey yang keluar dari balik Bugatti merah menyala."Wow," desis Gaby takjub. "Merekah sekali."Vania terkekeh pelan. "Apa kamu lupa dengan selera sahabatmu yang satu itu?""Tidak. Aku tidak pernah lupa tapi juga tak menyangka bakal secerah itu," canda Gaby.Keduanya tertawa kompak hingga mengundang rasa penasaran Fey."Kalian kenapa?"Vania mengibaskan tangannya sedangkan Gaby mengandeng lengan Fey dan menyeretnya untuk melewati pintu putar, menuju lobi utama."Kita mau makan siang disini? Tumben banget," tanya Fey antusias.Gaby dan Vania saling bertukar pandangan."Ini dalam rangka spesial case," terang Vania."Spesial case? Kenapa?""Nanti aja aku ceritakan. Yang paling penting, sekarang kita masuk restoran dan menemui seseorang setelah itu kita bisa makan sampai puas," pungkas Gaby bersemangat."Ingat, Gaby. Kamu kesini buat mutusin perjodohan. Bukan buat keributan," cetus Vania mengingatkan.Ia sedikit cemas dengan niat terselubung Gaby. Tadinya, Paman Samuel menyarankan Gaby untuk menemui langsung calon tunangannya demi menjaga tali silahturahmi tapi, melihat ekspresi Gaby saat ini—Vania yakin, wanita itu akan membuat keributan."Perjodohan? Apa Papamu menulis surat wasiat kalau menjodohkan mu dengan anak temannya?" Tebak Fey."Ah, kamu pintar," seru Gaby sambil bertepuk tangan. "Bagaimana kamu tahu?""Aku sudah terlalu sering mendengar alur cerita seperti itu di drama yang di tonton Mama setiap hari.""Jadi, apa sekarang kita mau melihat calon tunangan mu?" Imbuh Fey penasaran.Gaby mengoyangkan telunjuknya. "Jauh dari itu. Kita kesini untuk membuat si Xavier ilfill dan memutuskan perjodohan dengan sendirinya." Tukasnya."Hah? Bukannya kamu kesini mau nolak baik-baik?" Protes Vania. "Kok skenarionya jadi berubah?"Gaby menarik tangan Vania dan Fey untuk duduk di sofa area tunggu."Dengar baik-baik," ucapnya serius. Membuat kerutan di wajah para sahabatnya menegang. "Paman Sam mengatakan, aku harus mengambil alih perusahaan Papa bila tidak ingin menikah dengan pria bernama Xavier itu."Vania mengangguk membenarkan sedangkan Fey bergumam panjang, seolah mulai bisa membaca alurnya."Karena aku tidak menginginkan keduanya. Kenapa aku tidak membuat si Xavier yang menolakku?" Tandas Gaby.Vania bertepuk tangan sambil menggelengkan kepalanya kagum. "Luar biasa, Gaby. Aku bahkan tidak pernah memikirkan ide gila ini.""Emang nggak diragukan lagi IQ mantan dokter," seru Fey mengimbangi.Gaby terkekeh bangga. "Tidak butuh IQ tinggi hanya untuk mengagalkan acara perjodohan konyol ini," ujarnya dengan senyum culas. "Ayo, kita harus segera menemui Xavier Jr.""Tapi, Gaby. Gimana kalau dia setampan yang digambarkan Paman Samuel?" Tahan Vania untuk menggoyahkan tekad sahabatnya.Gaby diam sesaat untuk menerawang kembali keputusannya. Tak lama ia mengibaskan tangannya tak perduli. "Aku tidak yakin dia tampan. Standar Papa dan Paman Samuel tak setinggi itu.""Gaby, kalau ternyata si Xavier tampan. Buat ku aja ya?" canda Fey."Wokeh," angguk Gaby setuju."Yey …" Sorak Fey senang."Gila," umpat Vania melihat tingkah aneh kedua sahabatnya."Itu restorannya," tunjuk Fey begitu melihat pintu masuk."Tunggu," tahan Vania.Gaby menghentikan langkahnya mendadak hingga hampir terjungkal ke depan. "Kenapa lagi sih, Vania," keluhnya."Jangan-jangan kamu mau laporan sama Paman Samuel ya?" tuduh Gaby curiga."Bukan itu," sanggah Vania. "Aku cuma mau nanya. Ini siapa yang bayar?"Fey menepuk jidatnya. "Vania, untuk menjadi klien mu, aku harus merogoh ratusan juta dan sekarang kamu masih mengeluh karena harga makanan?" Sergahnya tak percaya."Tapi kan, secangkir teh di hotel ini harganya ratusan ribu," rengek Vania.Gaby menepuk pundak Vania. "Tenang, Fey baru saja menyebutkan ratusan juta. Berarti menambahkan beberapa juta tidak akan membuatnya bangkrut."Vania menyambut usulan Gaby dengan penuh semangat. Keduanya saling berangkulan sambil bersiul nyaring. Meninggalkan Fey yang masih mencerna maksud dari kalimat Gaby."Apa? Hei, Gaby!" teriak Vani panik dan buru-buru mengikuti langkah Gaby yang mendekati meja di ujung restoran.Gaby dan kedua sahabatnya menuju meja yang di huni tiga pria. Salah satunya berambut pirang sedangkan dua pria lainnya duduk menghadap jendela hingga Gaby tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas."Selamat siang, Tuan Xavier," sapa Gaby."Ah, kamu," tunjuk pria pirang ke arah Fey.Ketiga wanita saling bertatapan bingung."Kamu kenal?" tanya Vania tapi Fey menggeleng cepat sebagai jawaban.Tak lama sosok dua pria yang duduk membelakangi, bangkit dari kursinya dan berbalik untuk menyambut para tamu."Gaby, apa yang kamu lakukan disini?"Tubuh Gaby mendadak kaku begitu melihat pemilik suara yang mati-matian berusaha dihindarinya.'Mike!'*****“Selamat siang, Tuan Xavier."Gaby dan kedua sahabatnya mendekati meja yang di huni tiga pria. Salah satunya berambut pirang sedangkan dua pria lainnya duduk menghadap jendela sehingga wajahnya tak terlihat dengan jelas."Ah, kamu," tunjuk pria pirang ke arah Fey.Gaby dan Vania kompak mengikuti arah telunjuk pria pirang."Kamu kenal?" tanya Vania tapi Fey menggeleng cepat sebagai jawaban.Tak lama, dua pria yang duduk membelakangi—bangkit dari kursinya dan berbalik untuk menyambut para tamu."Gaby, apa yang kamu lakukan disini?"'Mike!' Tubuh Gaby mendadak kaku begitu melihat pemilik suara yang mati-matian berusaha dihindarinya. "Feyleria?"Fey mengerutkan kening karena pria asing yang menyebut namanya, kini tengah menatapnya lekat. "Maaf, apa aku mengenal mu?" tanyanya ragu.Pria berambut pirang tergelak sembari menepuk pundak pria disampingnya. "Malangnya nasib mu Alex. Dia bahkan tak mengingat wajahmu," kekehnya mengejek.Pria yang dipanggil dengan nama Alex, mengeram dalam. "Diam
"Apa yang terjadi?"Gaby membuka jaket jeans yang dikenakan dan menyampirkannya pada lengan sofa."Eh, Gaby. Kamu sama siapa?" tanya Vania sambil celingukan mencari sosok lain disamping Gaby. "Sendiri?"Gaby mengangguk singkat. "Maaf ya. Aku nggak bisa jemput kamu dan ninggalin Fey sendirian kayak gini.""Santai aja." Gaby melambaikan tangannya lalu mengangkat botol untuk menuangkan cairan berwarna coklat keemasan di dalamnya—ke dalam gelas."Jadi, Ada apa dengan Fey?" Ulangnya sambil menatap prihatin pada sahabatnya yang bersimbah airmata. Dia menyesap pelan minuman dari bibir gelas.Vania mendesah pelan. "Seperti biasanya. Patah hati.""Lagi?" seru Gaby sambil mendelikkan matanya."Huaaaa.""Duh Fey, udah dong. Mau sampe kapan kamu nangis gini?" Vania menyodorkan lembaran tisu terakhir yang ditariknya dari dalam kotak. "Prooottt."Fey mengambilnya dan langsung meniup peluit panjang untuk membuang semua ingus yang menumpuk di hidungnya. Fey mengembalikan tisu bekas pakai itu kembali
"Kamu lagi ngeliatin apaan?" tanya Ben. Mengalihkan perhatian sepupunya yang sedari tadi hanya fokus pada satu titik."Menarik," gumam Alex sambil menarik seulas senyum misterius."Mau kemana?" Tahan Ben cepat saat Alex bangkit dari sofa.Keduanya baru saja menginjakkan kaki di tempat ini. Ben tidak ingin Alex tiba-tiba menghilang dengan berbagai alasan hanya untuk pulang ke rumah lebih awal."Toilet. Kenapa? Kamu mau ikut?" Goda Alex. "Asal nggak kabur aja.""Tenang. Aku cuma mau ke toilet." Alex berlalu pergi meninggalkan meja yang ditempatinya bersama Ben. Langkah Alex terhenti di lorong masuk yang memisahkan antara bathroom wanita dan pria.'Di mana dia?' batin Alex. Matanya tak lepas dari pintu masuk bathroom. Menunggu sosok yang telah lama menarik perhatiannya muncul dari balik pintu."Kamu baik-baik saja?" Sambut Alex begitu sosok yang di tunggu-tunggu muncul dengan langkah sempoyongan.Wanita itu mengangkat kepalanya untuk balas menatap Alex. "Sunny, kamu kemana aja?" racaun
"Harry." Gaby menghampiri pria yang duduk di pojok cafe hotel bertemankan sebuah laptop dan secangkir kopi."Hai, Baby." Harry bangkit untuk menyambut kedatangan wanita yang ditunggunya. Ia menarik tubuh yang mendekat kearahnya, ke dalam pelukan. "Apa kabarmu?" sapanya sembari mengecup kedua pipi putih itu bergantian. "Aku merindukanmu," imbuh Harry bersama senyum lebar di wajah tampannya, yang berhasil memancing rona merah di kedua pipi Gaby."Aku juga," balas Gaby malu-malu. "Bagaimana perjalanan mu? Apa kamu mengalami jetlag?"Harry menggeleng pelan. Ia menarik kursi disampingnya—mempersilahkan Gaby duduk lalu kembali mendorong hingga sang wanita duduk pada posisi nyaman lalu mengambil posisi lain disampingnya."Semuanya baik. Hanya ada beberapa menit delay, selebihnya berjalan lancar."Gaby mendesah lega. "Seharusnya kamu tidak usah merepotkan diri untuk datang. Aku yakin, kamu pasti lelah 'kan?""Justru seharusnya aku tiba lebih cepat. Seandainya saja pekerjaan tidak menahan, pas
Gaby turun dari lantai atas rumahnya dengan penampilan rapi. Di balut pakaian formal—kemeja putih di lapisi jas dan celana berbahan senada. Ia menepuk pelan lipatan di lengan, memastikan pakaian itu tampak sempurna untuk menunjang penampilan pertamanya sebagai wanita kantoran."Apa yang kamu lakukan disini?" Sentak Gaby kaget kala Mike menyambutnya dengan senyum terkembang."Aku datang untuk menjemput Miguel dan mengantarnya ke sekolah," jelas Mike."Sarapan dulu, Gaby. Kamu harus memastikan perut mu terisi penuh untuk mendapatkan energi di hari pertama kerja," ujar Natasha yang tengah sibuk menyiapkan bekal cucu semata wayangnya, Miguel.Gaby menyesap kopi yang dihidangkan para asisten rumah tangga. "Kamu mau bareng?"Tawaran yang dilontarkan Mike membuat gerakan Gaby terhenti di udara."Tidak." Sela Erika yang muncul dari balik tembok pembatas ruangan. Ia mengandeng tangan putranya yang baru menginjak usia keenam untuk segera menghampiri Mike."Papa." Miguel menyongsong Mike, memelu
"Apa lagi yang mau paman bicarakan?"Gaby melempar tubuhnya ke sofa lalu menatap pria yang tampak serius membolak-balik dokumen di tangannya. "Dan lagi, kenapa harus disini?" Imbuhnya malas. Matanya teralihkan pada deret pigura kecil yang tersusun rapi di dalam lemari—merapat di sudut ruangan. Semua foto masa kecilnya bersama papa ada disana, bersanding dengan foto-foto baru lainnya dimana Natasha dan Erika ikut bergabung bersama."Papamu mengumpulkan semua foto-foto masa kecil mu disana. Dia selalu mengeluh karena begitu beranjak dewasa kamu tak lagi mau di foto maupun ikut dalam foto keluarga," tutur Samuel. Ia mengikuti arah pandang wanita muda itu."Aku hanya tidak ingin menjadi duri dalam keluarga baru papa," ucap Gaby lirih. Sinar di balik matanya meredup bersama memori kelam yang silih berganti muncul diingatannya."Itu hanya perasaanmu saja, Gaby. Pada kenyataannya, Natasha menerima mu dengan baik sebagai putri sambungnya.""Paman terlalu polos. Tidak semua yang terlihat baik
'Apa yang dilakukannya disini?' Pikir Gaby penasaran.Dari ujung meja terdengar suara tepuk tangan, membuat semua mata beralih untuk mengikuti arah datangnya suara. Di mana seorang Alexander Xavier—presiden direktur Xavier Group tengah duduk dengan gaya santai dan senyum diplomatis. Pria itu datang sebagai salah satu pemegang saham di DH Group."Aku setuju dengan semangat yang ditunjukkan presiden direktur Geubrina, dan sebagai tunangannya sekaligus pimpinan Xavier Group, aku akan selalu mendukung Deuremham di masa depan."Mata dari orang-orang yang ada di dalam ruangan semakin melebar kala mendengar kata tunangan. Siapapun tahu, sebesar apa kekuasaan Xavier Group di negara ini dan menjadi satu kubu dengannya merupakan keuntungan besar bagi perusahaan lainnya.Gaby menatap Alex dari kejauhan, ia curiga pria itu punya maksud terselubung. Begitu melihat senyum miring di bibir pemilik Xavier Group, Gaby segera tahu ada udang di balik batu dan gunting dibawah lipatan—pria licik itu mengin
"Hentikan, Alex," sergah Mike, ia muak melihat sahabatnya terus saja mengolok-olok perasaannya.Alex mengangkat tangannya tanda menyerah. "Baiklah. Aku akan langsung ke inti masalah.""Keluargaku menentang pembatalan pertunangan, mereka akan menarik semua saham dan menjatuhkan DH Group bila pertunangan ini di batalkan," jelas Alex lugas lalu beralih fokus pada Mike. "Kamu pasti tahu, Mike. Apa efek domino yang akan terjadi?”“Masalah ini juga akan mengancam perusahaan cangkang milikmu yang terhubung dengan DH Group. Asal kamu tahu saja, Papa sangat tertarik pada mu."Mike mendesah dalam. Beberapa bulan belakangan ia mulai mencium gelagat ketua Xavier Group yang ingin melebarkan sayap ke bisnis teknologi dan pria tua itu menargetkan perusahaan start up milik Mike sebagai partner. "Tak bisakah kamu menghentikan niat Papa mu?"Alex menggeleng. "Tak semudah itu.”“Karena ini’lah, aku ingin menunda kabar pembatalan ini sampai kondisi lebih kondusif dan …” Perhatian Alex terpusat pada Gaby.
Alex mengedarkan pandangannya ke sekeliling Bar. Mencari keberadaan kedua temannya yang sejak dua jam llau terus menerornya untuk segera datang."Kenapa, Sob? Ada masalah?" Sapanya sambil menepuk pundak yang menekuk wajahnya.Alex sudah bisa menebak apa yang terjadi, selama ini ia dan Ben telah menjadi saksi pasang surut hubungan Mike dengan Erika dan betapa pria itu tak pernah bisa melupakan sosok cinta pertamanya."Kamu udah makan malam, Alex?" tanya Ben yang datang dengan sepiring besar lasagna."Belum," sahut Alex lalu melirik Mike yang masih terpekur menatap lantai. "Bagaimana dengannya?"Ben mendesah pelan sambil menunjuk puluhan kaleng minuman yang berserakan di meja hingga lantai. Ia meletakkan piring di atas meja dan membuka kantong sampah yang di bawanya dari dapur, ia mengumpulkan semua kaleng kosong ke dalamnya."Apa yang terjadi? Kamu bertengkar dengan Gaby?" tanya Alex penasaran. Ia mengambil tempat disamping Mike lalu menyendok potongan lasagna ke dalam mulutnya."Aku
"Terima kasih sudah mengantar ku ke sini." Alex mengusap pipi kanan kekasihnya. "Tidak ada kata terima kasih atau maaf dalam sebuah hubungan.""Ini kewajiban, Sayang. Aku tidak akan bisa tidur malam ini kalau membiarkan mu pergi sendirian."Fey berkaca-kaca. Ia menarik Alex lebih dekat dan memeluknya erat. "Alex, izinkan aku mengatakannya untuk terakhir kali,""Terimakasih karena kamu mau bersabar menghadapi ku dan maaf karena membuat mu menunggu lama."Alex mengeratkan pelukan dan membelai punggung Fey penuh kasih sayang."Ehm, ehm ...""Masih lama? Di sini dingin."Alex dan Fey melepaskan pelukan. Keduanya tersenyum canggung pada Gaby dan Vania yang menatap keduanya penuh minat."Apa yang kalian lakukan di luar?" Kata Fey berusaha mengalihkan perhatian kedua wanita itu."Oh, ini." Gaby melambaikan kantong belanjaan di tangannya. "Late snack.""Hah? Gaby, bukannya kamu diet?""Diet apaan! Dia menguras seluruh isi kulkas ku," debat Vania. "Lagian buat apa jomblo diet.""Sejak kapan ka
"Siapa?" Tanya Fey begitu Mama Alex keluar dari mobil.Setelah pertemuan mereka dengan wanita di mall tadi. Alex dan Ibunya mendadak bisu dan menyibukkan diri mereka dengan pikiran masing-masing.Alex menatap Fey dalam. "Hmm, mantan istriku, Fey."Fey menganggukkan kepalanya, mengerti dengan situasi yang sedang terjadi. Sebelumnya dia sudah membaca banyak rumor di media sosial tentang sosok Alex, termasuk tentang mantan istrinya. "Alex, boleh aku tahu penyebab kalian berpisah?" Fey menatap mata Alex. Mencari kejujuran disana."Melissa memilih pria lain," ucap Alex santai. "Tapi itu tidak sepenuhnya salah Melissa.""Aku terlalu sibuk dengan pekerjaan dan hampir tidak punya waktu bersamanya." Lanjutnya.Fey mengengam tangan Alex. "Kamu menyesal?""Di tahun pertama perpisahan kami, aku sangat menyesal. Lambat laun aku bisa mengatasinya dan setelah bertemu dengan mu, aku yakin tuhan punya rencana lain untuk ku."Fey terdiam. Ia bisa merasakan kejujuran dibalik suara Alex. Pria itu tidak
Gaby mengerjapkan matanya bingung. Begitu membuka pintu rumahnya, ia langsung disambut buket bunga mawar merah yang sangat besar, nyaris memenuhi lebar pintu masuk rumahnya."Apaan nih?"Wajah Harry muncul dari balik buket. "Buat kamu," ucapnya sambil menyerahkan buket itu ke dalam dekapan Gaby. Mengabaikan wajah bingung sang wanita, Harry melenggang masuk ke dalam melewati pintu apartemen."Semalam kamu menginap disini?"Gaby menutup pintu dan mengikuti langkah Harry yang telah duduk di sofa. "Ya." Ia menuju pantry dan kembali dengan membawa dua kaleng soda."Ngapain kamu ke sini?" tanyanya langsung sambil menyerahkan salah satu kaleng pada Harry.Tiba-tiba tubuh Gaby limbung, jatuh terduduk dalam pangkuan Harry karena pria itu menarik tangannya."Aku kangen banget sama kamu, Gaby," bisik Harry. Hidungnya masuk ke balik geraian rambut Gaby, menghirup aroma yang ia rindukan.Bibir Harry menyentuh lipatan di leher Gaby. Mengigit kecil untuk meninggalkan bercak merah yang menunjukkan t
"Aaa ... Jauhkan itu dari ku, Dilan!" Teriak Fey histeris begitu melihat Dilan—keponakan Alex berlari kearahnya sambil mengayunkan cacing tanah—gemuk dan panjang. Orang-orang yang tengah sibuk memetik stroberi, berhenti untuk melihat keributan apa yang sedang terjadi. Mereka tersenyum geli bahkan beberapa sampai tertawa keras melihat kelakuan Fey dan Dilan."Ini lucu dan menggemaskan, loh," ujar Dilan sambil mengayunkan cacing ditangannya dan mengejar Fey yang berlari ketakutan."Nggak mau, aku jijik. Alex ..." Rengek Fey. Ia berlari kearah Alex dan segera memeluk lengan kekar itu erat.Alex menggelengkan kepala melihat tingkah dua bocah disampingnya. Fey dan Dilan di tugaskan memetik stroberi untuk dikumpulkan ke dalam keranjang besar tapi, sedari tadi keduanya hanya mengisi perut masing-masing dan berlarian kesana-kemari."Kalian berdua, berhenti bercanda," sela Alex untuk memisahkan keduanya."Ayolah, ini hanya cacing," ejek Dilan. Dia semakin bersemangat melihat wajah pucat Fey s
"Sintia, apa jadwal ku untuk besok?" tanya Alex pada sekretarisnya yang tengah sibuk menyiapkan nota rapat.Sang sekretaris mengalihkan perhatiannya dari laptop untuk menatap layar tablet. "Ada dua jadwal rapat.""Jam sepuluh dengan pihak manajemen dan jam dua siang anda ada rapat perdana penentuan desain bunga untuk dekorasi hotel baru.""Hmm." Alex mengetuk jari telunjuk nya berulangkali di permukaan meja. "Untuk rapat jam dua, kamu saja yang wakilkan dan rapat dengan pihak manajemen pindahkan ke hari Senin," putusnya setelah menimbang-nimbang.Sang sekretaris mengangguk mengerti lalu mengetikkan beberapa perubahan di jadwal yang telah dia susun. "Ada lagi, Pak?""Tidak. Besok saya cuti, kalau ada hal yang mendesak kamu bisa menghubungi ponsel pribadi saja."Sintia kembali mengangguk. "Baik Pak. Nota rapat sudah saya kirimkan ke email anda.""Ok." Alex melirik arloji di tangannya. "Jadwal hari ini selesai. Kamu sudah bisa pulang." Sintia segera merapikan barangnya dan buru-buru kelu
"On time banget, ya," sindir Gaby bernada sarkas begitu melihat dua sahabatnya datang sambil cengengesan.Fey memasang wajah polos sedangkan Vania memilih cuek."Kamu 'kan tahu, Miss Fey ini dijuluki error maps. Kita ngabisin waktu dua jam cuma buat nyari belokan putar arah," cerca Vania. Ia membanting punggungnya di atas kursi ropan."Yah, maap. Namanya juga buta arah," desah Fey pasrah."Buruan pesan. Lapar banget, nih." Vania mengambil alih buku menu yang terbuka di hadapan Gaby. Ia terlalu lelah untuk berdebat setelah menghabiskan waktu dua jam duduk di dalam mobil untuk perjalanan yang biasanya di tempuh selama tiga puluh menit."Tumben kamu nyetir, Fey? Bukannya, belakang ini selalu di antar sopir pribadi?" Goda Gaby."Lagi marahan nggak jelas," sambar Vania sebelum Fey sempat membuka mulutnya.Gaby terkekeh geli. "Kenapa lagi? Ngambek?"Fey menggelengkan kepala. "Cuma lagi pengen bareng kalian aja," ucapnya beralasan."Bohong banget. Pasti kamu lagi nge-tes si Alex 'kan?" Tebak
"Gimana?"Vania terkikik geli kala mata bulat berpijar dengan penuh harap—menatap lekat untuk menunggu reaksinya."Enak?" buru Ben tak sabar."Hmm." Gumam Vania sekedarnya. "Hanya, Hmm?" desah Ben kecewa. "Ternyata seburuk itu."Dua jam berpeluh—berkutat di balik meja dapur untuk menyajikan resep andalannya, spaghetti aglio e olio. Ben berharap Vania akan kagum akan kemampuan memasaknya tapi, yang ia dapatkan hanya'lah gumam samar tanpa ekspresi."Buruk?" Vania mengembangkan senyum geli. "Ini luar biasa Ben!""Eh." Ben membulatkan matanya, tak menyadari bahwa Vania tengah mengerjainya."Ini enak banget," seru Vania sambil menyuapkan gulungan mie ke dalam mulutnya."Enyak," gumamnya sambil terus mengunyah dengan lahap."Bercanda mu mengerikan," keluh Ben sambil terkekeh geli."Apa kamu membuka restoran?"Ben mengeleng lemah. "Tidak.""Kenapa?" Vania berseru nyaring. "Masakan mu luar biasa, Ben.""Terima kasih," balas Ben sendu.Vania menangkap raut sedih di balik senyum dari wajah yan
"Mike, itu semua sudah mustahil dan …""Terlambat." Gaby menatap sayu. Hatinya teriris pilu hanya demi mengucapkan kalimat yang bertentangan dengan hatinya."Gaby."Suara lirih dari mata yang berembun semakin mengoyahkan hati Gaby. Namun ia berkeras hati karena kini akan ada lebih banyak hati yang tersakiti bila mereka melanjutkan hubungan yang kini terlarang.Gaby mendorong pundak Mike hingga mencapai posisi duduk yang nyaman. "Mike, aku dan Harry baru saja sepakat untuk membina hubungan kami ke jenjang yang lebih serius." Ia dapat melihat kilatan amarah di mata Mike setiap kali nama Harry disebut."Lebih baik kita menyudahi takdir buruk ini dan fokus pada masa depan."Mike menggelengkan kepalanya tegas. "Tidak, Gaby. Aku telah gagal mempertahankan cinta kita lima tahun lalu tapi kali ini aku tak akan gagal lagi.""Mike." Gaby terpaku pada raut wajah dengan rahang yang mengeras. Tatapan mata yang menatapnya lekat menunjukkan betapa besar kegigihan Mike untuk kembali memilikinya.Sua