Mike memasang raut serius di wajahnya, tangannya sibuk membolak balik laporan kerja yang dikumpulkan para mahasiswa.
Perhatian Mike teralihkan kala terdengar suara ketukan di depan pintu ruang kerja, membuatnya mengangkat kepala dan segera bangkit untuk menyambut orang yang muncul dari balik pintu kaca."Paman Samuel, silahkan masuk," sambut Mike sembari menggeser pintu."Kamu sibuk?" Samuel menepuk pelan pundak dari salah satu anak didiknya.Mike menggeleng pelan. "Tidak. Hanya sedang memeriksa laporan mahasiswa.""Aku harap kehadiran ku tidak menganggu pekerjaan seorang Professor," ungkap Samuel setengah bercanda.Mike terkekeh pelan. "Rektor akan langsung mengirim surat SP, bila tahu aku merasa keberatan akan kehadiran almamater terbaik dari kampus ini," balasnya.Samuel mengibaskan tangannya sambil tertawa. "Selalu menyenangkan bicara dengan mu, Mike.""Ayo, Paman." Mike mengajak Samuel duduk di satu-satunya sofa panjang yang ada di ruang kerjanya. "Paman ingin kopi atau teh?""Cukup berikan aku apapun yang ada di dalam lemari kecil mu itu." Tunjuk Samuel ke arah mini freeze di sudut ruangan. "Belakangan ini, udara di luar sangat menyengat."Mike mengangguk mengerti sambil mengeluarkan dua botol orange jus dingin dan meletakkannya di atas meja."Apa paman menjadi pembicara di seminar profesi?"Samuel menyesap jus, mengusir dahaga dari efek suhu ibukota yang semakin meninggi setiap harinya."Salah satunya," sahutnya. "Tapi tujuan utama ku kesini untuk menemuimu.""Aku?" Mike menatap pengacara kawakan itu dengan tatapan bingung. "Apakah ada masalah serius?""Ya. Sangat serius."Samuel mengeluarkan map cokelat dari balik tas tangannya dan meletakkannya dihadapan lawan bicaranya. "Ini adalah surat yang di tulis oleh Deuremham sehari sebelum kematiannya."Mike membuka map itu dan menarik keluar kertas di dalamnya."Saat ini DH Grup tengah mengalami masa kritis setelah ditinggalkan oleh sosok pemimpin. Beberapa orang yang selama ini berperan sebagai penjilat mulai melebarkan sayap untuk mendapatkan kesempatan duduk di kursi pimpinan." Tutur Samuel."Deuremham sangat ingin putrinya kembali dan mengambil alih jabatan di perusahaan tapi dia cukup sadar akan watak Gaby, wanita itu bukanlah putri penurut."Mike mengangguk kecil, setuju akan paparan sang pengacara."Karena itu, Deuremham secara pribadi ingin memintamu untuk mengantikan kedudukannya di perusahaan sampai Gaby siap," lanjut Samuel, mencoba untuk menjelaskan permintaan kliennya secara ringkas.Mike terdiam lama. Sulit baginya untuk memberi keputusan."Mike, ini satu-satunya cara untuk mengikat Gaby. Dengan begini, akan sulit baginya untuk kembali meninggalkan negara ini lagi." Imbuh Samuel untuk memupuskan keraguan di hati Professor muda itu."Tapi Paman, ini akan menyebabkan konflik internal di dalam perusahaan bahkan di dalam rumah," ujar Mike ragu.Samuel mengangguk paham. Ini ketiga kalinya, Deuremham meminta menantunya untuk terlibat secara langsung di dalam perusahaan yang dibangunnya dengan jerih payah."Mike, ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan DH Grup sekaligus memaksa Gaby untuk tetap tinggal.""Apa Paman yakin Gaby akan setuju?"Sudut bibir Samuel berkedut senang kala Mike mengigit umpannya. "Kita akan buat dia setuju. Bagaimanapun caranya," desisnya misterius.***"Gaby?" Vania yang baru saja keluar dari ruang rapat, berlari kecil begitu melihat wajah sahabatnya. "Ngapain kamu disini?""Biasa'lah, pak tua itu selalu saja menyuruh ku kesana-kemari seenak udelnya," gerutu Gaby. "Kamu sendiri?""Oh, aku baru selesai rapat dan sekarang mau konsultasi sama Paman Samuel.""Barengan aja. Aku bosan mendengar ceramah pak tua," ajak Gaby.Vania mengangguk dengan penuh semangat, mengandeng lengan Gaby dan menyeretnya untuk mempercepat langkah."Siang, Paman." Sapa Vania bersemangat begitu melangkahkan kakinya ke dalam ruang kerja pengacara senior yang telah memiliki lima cabang kantor hukum."Siang, Vania. Kamu datang bersama Gaby?" Samuel beranjak dari meja kerjanya untuk menyambut dua wanita muda yang sudah dianggapnya sebagai keponakan.Gaby melengos malas melihat tingkah Vania yang tetap saja tak bisa menutupi rasa kagumnya pada pengacara tua itu."Kalian sudah makan siang?" Samuel tergelitik oleh raut wajah kusut dari putri semata wayang sahabatnya."Aku sengaja datang dengan perut kosong karena yakin bisa mengigit seseorang di kantor ini," sahut Gaby bernada sarkas.Samuel terkekeh maklum. Ia sudah terbiasa dengan sikap Gaby yang jutek. "Duduklah.""Tidak usah bertele-tele, Paman. Langsung saja," sergah Gaby cepat.Melihat gelagat sahabatnya yang tak terkontrol, Vania menarik paksa Gaby untuk duduk di sampingnya."Gaby, Paman memanggilmu kemari untuk memberitahukan informasi penting," kata Samuel memulai percakapan."Baiklah, karena kamu tampaknya tak sabar. Paman akan langsung ke inti masalah," tutur Samuel memulai penjelasannya. "Sebulan sebelum meninggal, Papamu dan rekan bisnisnya mengatur perjodohan antara kamu dengan—"“Apa! Perjodohan?” teriak Gaby nyaring begitu mendengar kata tabu keluar dari bibir sang pengacara."Ya. Papamu dan—""Paman Samuel," potong Gaby cepat. "Aku tidak ingin mendengar intro, bisakah kita langsung lompat pada kesimpulan."Vania langsung panik dengan sikap frontal Gaby. "Hei, tenangkan dirimu," bisiknya demi mencegah Gaby bersikap semakin tak terkendali."Intinya perjodohan mu telah ditetapkan. Sekarang kita hanya perlu mengatur tanggal pertunangan," jelas Samuel lugas. Ia tetap bersikap tenang meski mata bulat Gaby terbelalak dan siap untuk menelannya."Tunggu dulu, Paman. Aku menolak tegas."Samuel mendesah pelan. "Gaby, Papamu akan sangat kecewa bila tahu anak kandungnya tidak mau memenuhi permintaan terakhirnya sebelum meninggal."Gaby terdiam. 'Mereka selalu tahu cara untuk menyerang titik lemah ku!' batinnya geram."Tapi aku tidak mungkin menikah dengan pria antah berantah yang tak jelas asal usulnya," runut Gaby, masih tetap mencari celah."Tidak, Nak. Papamu sangat selektif mencari pasangan untukmu. Beliau memilih pria tampan dan mapan."Gaby menyugar rambutnya, frustasi. "Paman Samuel, aku tidak ingin menikah," rengeknya."Lagipula, sekarang ini aku sedang dekat dengan seseorang," imbuhnya beralasan."Apa?" Samuel menarik punggungnya untuk duduk dengan tegak. "Kenapa kamu tidak pernah memberitahu kami?"Ia melirik Vania, mencari pembenaran namun wanita itu mengelengkan kepalanya cepat."Kenapa aku harus mempublikasikan pada semua orang?" Gaby mengendikkan bahunya sambil tertawa datar.Samuel berdeham dalam. "Paling tidak, kamu harus memberi tahu Papamu. Selama ini dia cemas karena kamu terlalu menutup diri dari pria lain."Gaby mengibaskan tangannya malas. "Berhenti membahas masalah ini karena ada yang lebih penting dari itu,""tolong lakukan sesuatu untuk mengagalkan pertunangan ini," mohonnya putus asa.Samuel mengangguk teratur. "Ada satu cara untuk membatalkan pertunangan mu."Senyum di bibir Gaby seketika merekah. "Apa, katakan Paman? Aku akan melakukan apapun selama pertunangan ini batal.""Perusahaan," ucap Samuel tegas. "Kamu harus bekerja di perusahaan untuk membantu Mike.""Apa-apaan ini? Paman mau menjebakku ya?" tuding Gaby curiga.Samuel menautkan alisnya. "Kalau kamu tidak percaya, paman punya rekaman video saat Papamu mengutarakan niatnya untuk menjodohkan mu dengan Alexander Xavier.""Kamu mau lihat?" Samuel berjalan ke lemari kaca di sudut ruangannya.Gaby memijit keningnya yang mendadak berdenyut nyeri. "Beri aku waktu untuk berpikir," selanya. Gaby tahu, tak ada gunanya berdebat dengan pengacara licik itu. Ia tak akan pernah menang.Samuel berbalik, kembali duduk di sofa. "Tidak Gaby. Kamu harus memutuskannya sekarang juga karena kita tak punya banyak waktu. Aku harus segera memberi jawaban kepada pihak keluarga Xavier."Gaby menatap nyalang. Ingin sekali dia mengigit pria yang telah dianggapnya sebagai Paman kandung sejak kecil."Baiklah. Lakukan apapun yang Paman inginkan," putusnya pasrah.Samuel mengeram puas. "Baiklah, karena kamu sudah mengambil keputusan akan lebih baik bila kamu datang dan bicara langsung dengan calon tunangan mu.""Kenapa aku harus melakukannya?" desis Gaby tak senang."Lakukanlah, Nak. Paling tidak kamu harus menjaga hubungan baik antara kedua keluarga."Gaby mendesah pasrah. "Ayo pergi, Vania." Ia menarik tangan Vania untuk keluar dari ruangan."Eh, tunggu. Ada masalah yang harus aku diskusikan dengan Paman Samuel."Protes Vania seolah angin lalu karena Gaby menyeretnya secepat mungkin meninggalkan ruangan sang pengacara."Berhenti mencari alasan untuk bersama pria tua itu," sergah Gaby sambil mempercepat langkahnya menuju parkiran.*****Gaby menginjak pedal rem sedalam mungkin begitu mobil memasuki area lobi hotel Xavier.Disampingnya, Vania mencengkram tali seatbelt erat saat mobil berhenti tiba-tiba dengan suara decit yang bergema ke seantero lobi hingga memancing perhatian orang-orang yang ada disekitarnya."Hei, gila! Kamu mau mati muda ya," hardik Vania panik. "Emangnya kita mau kemana? Buru-buru banget." "Hotel Xavier." balas Gaby cuek. Ia melirik sahabatnya sekilas lalu menarik tuas pintu dan turun dari mobil. "Lah? Ngapain kesana?" Vania mengikuti langkah Gaby yang telah turun dari mobil dan memberikan kuncinya pada petugas valet.Gaby terkekeh pelan. "Tentu saja melakukan apa yang Paman Samuel inginkan?" balasnya bersama senyum misterius."Lalu, apa yang akan kamu lakukan?" Selidik Vania curiga. "Kamu mau menemui calon tunangan mu?" tanyanya ragu."Hmm … kurang lebih seperti itu." Kilah Gaby, masih berbalut sikap misterius. "Lalu, dimana Fey?" "Gaby, Vania!" Teriakan dari kejauhan membuat Vania batal untu
“Selamat siang, Tuan Xavier."Gaby dan kedua sahabatnya mendekati meja yang di huni tiga pria. Salah satunya berambut pirang sedangkan dua pria lainnya duduk menghadap jendela sehingga wajahnya tak terlihat dengan jelas."Ah, kamu," tunjuk pria pirang ke arah Fey.Gaby dan Vania kompak mengikuti arah telunjuk pria pirang."Kamu kenal?" tanya Vania tapi Fey menggeleng cepat sebagai jawaban.Tak lama, dua pria yang duduk membelakangi—bangkit dari kursinya dan berbalik untuk menyambut para tamu."Gaby, apa yang kamu lakukan disini?"'Mike!' Tubuh Gaby mendadak kaku begitu melihat pemilik suara yang mati-matian berusaha dihindarinya. "Feyleria?"Fey mengerutkan kening karena pria asing yang menyebut namanya, kini tengah menatapnya lekat. "Maaf, apa aku mengenal mu?" tanyanya ragu.Pria berambut pirang tergelak sembari menepuk pundak pria disampingnya. "Malangnya nasib mu Alex. Dia bahkan tak mengingat wajahmu," kekehnya mengejek.Pria yang dipanggil dengan nama Alex, mengeram dalam. "Diam
"Apa yang terjadi?"Gaby membuka jaket jeans yang dikenakan dan menyampirkannya pada lengan sofa."Eh, Gaby. Kamu sama siapa?" tanya Vania sambil celingukan mencari sosok lain disamping Gaby. "Sendiri?"Gaby mengangguk singkat. "Maaf ya. Aku nggak bisa jemput kamu dan ninggalin Fey sendirian kayak gini.""Santai aja." Gaby melambaikan tangannya lalu mengangkat botol untuk menuangkan cairan berwarna coklat keemasan di dalamnya—ke dalam gelas."Jadi, Ada apa dengan Fey?" Ulangnya sambil menatap prihatin pada sahabatnya yang bersimbah airmata. Dia menyesap pelan minuman dari bibir gelas.Vania mendesah pelan. "Seperti biasanya. Patah hati.""Lagi?" seru Gaby sambil mendelikkan matanya."Huaaaa.""Duh Fey, udah dong. Mau sampe kapan kamu nangis gini?" Vania menyodorkan lembaran tisu terakhir yang ditariknya dari dalam kotak. "Prooottt."Fey mengambilnya dan langsung meniup peluit panjang untuk membuang semua ingus yang menumpuk di hidungnya. Fey mengembalikan tisu bekas pakai itu kembali
"Kamu lagi ngeliatin apaan?" tanya Ben. Mengalihkan perhatian sepupunya yang sedari tadi hanya fokus pada satu titik."Menarik," gumam Alex sambil menarik seulas senyum misterius."Mau kemana?" Tahan Ben cepat saat Alex bangkit dari sofa.Keduanya baru saja menginjakkan kaki di tempat ini. Ben tidak ingin Alex tiba-tiba menghilang dengan berbagai alasan hanya untuk pulang ke rumah lebih awal."Toilet. Kenapa? Kamu mau ikut?" Goda Alex. "Asal nggak kabur aja.""Tenang. Aku cuma mau ke toilet." Alex berlalu pergi meninggalkan meja yang ditempatinya bersama Ben. Langkah Alex terhenti di lorong masuk yang memisahkan antara bathroom wanita dan pria.'Di mana dia?' batin Alex. Matanya tak lepas dari pintu masuk bathroom. Menunggu sosok yang telah lama menarik perhatiannya muncul dari balik pintu."Kamu baik-baik saja?" Sambut Alex begitu sosok yang di tunggu-tunggu muncul dengan langkah sempoyongan.Wanita itu mengangkat kepalanya untuk balas menatap Alex. "Sunny, kamu kemana aja?" racaun
"Harry." Gaby menghampiri pria yang duduk di pojok cafe hotel bertemankan sebuah laptop dan secangkir kopi."Hai, Baby." Harry bangkit untuk menyambut kedatangan wanita yang ditunggunya. Ia menarik tubuh yang mendekat kearahnya, ke dalam pelukan. "Apa kabarmu?" sapanya sembari mengecup kedua pipi putih itu bergantian. "Aku merindukanmu," imbuh Harry bersama senyum lebar di wajah tampannya, yang berhasil memancing rona merah di kedua pipi Gaby."Aku juga," balas Gaby malu-malu. "Bagaimana perjalanan mu? Apa kamu mengalami jetlag?"Harry menggeleng pelan. Ia menarik kursi disampingnya—mempersilahkan Gaby duduk lalu kembali mendorong hingga sang wanita duduk pada posisi nyaman lalu mengambil posisi lain disampingnya."Semuanya baik. Hanya ada beberapa menit delay, selebihnya berjalan lancar."Gaby mendesah lega. "Seharusnya kamu tidak usah merepotkan diri untuk datang. Aku yakin, kamu pasti lelah 'kan?""Justru seharusnya aku tiba lebih cepat. Seandainya saja pekerjaan tidak menahan, pas
Gaby turun dari lantai atas rumahnya dengan penampilan rapi. Di balut pakaian formal—kemeja putih di lapisi jas dan celana berbahan senada. Ia menepuk pelan lipatan di lengan, memastikan pakaian itu tampak sempurna untuk menunjang penampilan pertamanya sebagai wanita kantoran."Apa yang kamu lakukan disini?" Sentak Gaby kaget kala Mike menyambutnya dengan senyum terkembang."Aku datang untuk menjemput Miguel dan mengantarnya ke sekolah," jelas Mike."Sarapan dulu, Gaby. Kamu harus memastikan perut mu terisi penuh untuk mendapatkan energi di hari pertama kerja," ujar Natasha yang tengah sibuk menyiapkan bekal cucu semata wayangnya, Miguel.Gaby menyesap kopi yang dihidangkan para asisten rumah tangga. "Kamu mau bareng?"Tawaran yang dilontarkan Mike membuat gerakan Gaby terhenti di udara."Tidak." Sela Erika yang muncul dari balik tembok pembatas ruangan. Ia mengandeng tangan putranya yang baru menginjak usia keenam untuk segera menghampiri Mike."Papa." Miguel menyongsong Mike, memelu
"Apa lagi yang mau paman bicarakan?"Gaby melempar tubuhnya ke sofa lalu menatap pria yang tampak serius membolak-balik dokumen di tangannya. "Dan lagi, kenapa harus disini?" Imbuhnya malas. Matanya teralihkan pada deret pigura kecil yang tersusun rapi di dalam lemari—merapat di sudut ruangan. Semua foto masa kecilnya bersama papa ada disana, bersanding dengan foto-foto baru lainnya dimana Natasha dan Erika ikut bergabung bersama."Papamu mengumpulkan semua foto-foto masa kecil mu disana. Dia selalu mengeluh karena begitu beranjak dewasa kamu tak lagi mau di foto maupun ikut dalam foto keluarga," tutur Samuel. Ia mengikuti arah pandang wanita muda itu."Aku hanya tidak ingin menjadi duri dalam keluarga baru papa," ucap Gaby lirih. Sinar di balik matanya meredup bersama memori kelam yang silih berganti muncul diingatannya."Itu hanya perasaanmu saja, Gaby. Pada kenyataannya, Natasha menerima mu dengan baik sebagai putri sambungnya.""Paman terlalu polos. Tidak semua yang terlihat baik
'Apa yang dilakukannya disini?' Pikir Gaby penasaran.Dari ujung meja terdengar suara tepuk tangan, membuat semua mata beralih untuk mengikuti arah datangnya suara. Di mana seorang Alexander Xavier—presiden direktur Xavier Group tengah duduk dengan gaya santai dan senyum diplomatis. Pria itu datang sebagai salah satu pemegang saham di DH Group."Aku setuju dengan semangat yang ditunjukkan presiden direktur Geubrina, dan sebagai tunangannya sekaligus pimpinan Xavier Group, aku akan selalu mendukung Deuremham di masa depan."Mata dari orang-orang yang ada di dalam ruangan semakin melebar kala mendengar kata tunangan. Siapapun tahu, sebesar apa kekuasaan Xavier Group di negara ini dan menjadi satu kubu dengannya merupakan keuntungan besar bagi perusahaan lainnya.Gaby menatap Alex dari kejauhan, ia curiga pria itu punya maksud terselubung. Begitu melihat senyum miring di bibir pemilik Xavier Group, Gaby segera tahu ada udang di balik batu dan gunting dibawah lipatan—pria licik itu mengin
Alex mengedarkan pandangannya ke sekeliling Bar. Mencari keberadaan kedua temannya yang sejak dua jam llau terus menerornya untuk segera datang."Kenapa, Sob? Ada masalah?" Sapanya sambil menepuk pundak yang menekuk wajahnya.Alex sudah bisa menebak apa yang terjadi, selama ini ia dan Ben telah menjadi saksi pasang surut hubungan Mike dengan Erika dan betapa pria itu tak pernah bisa melupakan sosok cinta pertamanya."Kamu udah makan malam, Alex?" tanya Ben yang datang dengan sepiring besar lasagna."Belum," sahut Alex lalu melirik Mike yang masih terpekur menatap lantai. "Bagaimana dengannya?"Ben mendesah pelan sambil menunjuk puluhan kaleng minuman yang berserakan di meja hingga lantai. Ia meletakkan piring di atas meja dan membuka kantong sampah yang di bawanya dari dapur, ia mengumpulkan semua kaleng kosong ke dalamnya."Apa yang terjadi? Kamu bertengkar dengan Gaby?" tanya Alex penasaran. Ia mengambil tempat disamping Mike lalu menyendok potongan lasagna ke dalam mulutnya."Aku
"Terima kasih sudah mengantar ku ke sini." Alex mengusap pipi kanan kekasihnya. "Tidak ada kata terima kasih atau maaf dalam sebuah hubungan.""Ini kewajiban, Sayang. Aku tidak akan bisa tidur malam ini kalau membiarkan mu pergi sendirian."Fey berkaca-kaca. Ia menarik Alex lebih dekat dan memeluknya erat. "Alex, izinkan aku mengatakannya untuk terakhir kali,""Terimakasih karena kamu mau bersabar menghadapi ku dan maaf karena membuat mu menunggu lama."Alex mengeratkan pelukan dan membelai punggung Fey penuh kasih sayang."Ehm, ehm ...""Masih lama? Di sini dingin."Alex dan Fey melepaskan pelukan. Keduanya tersenyum canggung pada Gaby dan Vania yang menatap keduanya penuh minat."Apa yang kalian lakukan di luar?" Kata Fey berusaha mengalihkan perhatian kedua wanita itu."Oh, ini." Gaby melambaikan kantong belanjaan di tangannya. "Late snack.""Hah? Gaby, bukannya kamu diet?""Diet apaan! Dia menguras seluruh isi kulkas ku," debat Vania. "Lagian buat apa jomblo diet.""Sejak kapan ka
"Siapa?" Tanya Fey begitu Mama Alex keluar dari mobil.Setelah pertemuan mereka dengan wanita di mall tadi. Alex dan Ibunya mendadak bisu dan menyibukkan diri mereka dengan pikiran masing-masing.Alex menatap Fey dalam. "Hmm, mantan istriku, Fey."Fey menganggukkan kepalanya, mengerti dengan situasi yang sedang terjadi. Sebelumnya dia sudah membaca banyak rumor di media sosial tentang sosok Alex, termasuk tentang mantan istrinya. "Alex, boleh aku tahu penyebab kalian berpisah?" Fey menatap mata Alex. Mencari kejujuran disana."Melissa memilih pria lain," ucap Alex santai. "Tapi itu tidak sepenuhnya salah Melissa.""Aku terlalu sibuk dengan pekerjaan dan hampir tidak punya waktu bersamanya." Lanjutnya.Fey mengengam tangan Alex. "Kamu menyesal?""Di tahun pertama perpisahan kami, aku sangat menyesal. Lambat laun aku bisa mengatasinya dan setelah bertemu dengan mu, aku yakin tuhan punya rencana lain untuk ku."Fey terdiam. Ia bisa merasakan kejujuran dibalik suara Alex. Pria itu tidak
Gaby mengerjapkan matanya bingung. Begitu membuka pintu rumahnya, ia langsung disambut buket bunga mawar merah yang sangat besar, nyaris memenuhi lebar pintu masuk rumahnya."Apaan nih?"Wajah Harry muncul dari balik buket. "Buat kamu," ucapnya sambil menyerahkan buket itu ke dalam dekapan Gaby. Mengabaikan wajah bingung sang wanita, Harry melenggang masuk ke dalam melewati pintu apartemen."Semalam kamu menginap disini?"Gaby menutup pintu dan mengikuti langkah Harry yang telah duduk di sofa. "Ya." Ia menuju pantry dan kembali dengan membawa dua kaleng soda."Ngapain kamu ke sini?" tanyanya langsung sambil menyerahkan salah satu kaleng pada Harry.Tiba-tiba tubuh Gaby limbung, jatuh terduduk dalam pangkuan Harry karena pria itu menarik tangannya."Aku kangen banget sama kamu, Gaby," bisik Harry. Hidungnya masuk ke balik geraian rambut Gaby, menghirup aroma yang ia rindukan.Bibir Harry menyentuh lipatan di leher Gaby. Mengigit kecil untuk meninggalkan bercak merah yang menunjukkan t
"Aaa ... Jauhkan itu dari ku, Dilan!" Teriak Fey histeris begitu melihat Dilan—keponakan Alex berlari kearahnya sambil mengayunkan cacing tanah—gemuk dan panjang. Orang-orang yang tengah sibuk memetik stroberi, berhenti untuk melihat keributan apa yang sedang terjadi. Mereka tersenyum geli bahkan beberapa sampai tertawa keras melihat kelakuan Fey dan Dilan."Ini lucu dan menggemaskan, loh," ujar Dilan sambil mengayunkan cacing ditangannya dan mengejar Fey yang berlari ketakutan."Nggak mau, aku jijik. Alex ..." Rengek Fey. Ia berlari kearah Alex dan segera memeluk lengan kekar itu erat.Alex menggelengkan kepala melihat tingkah dua bocah disampingnya. Fey dan Dilan di tugaskan memetik stroberi untuk dikumpulkan ke dalam keranjang besar tapi, sedari tadi keduanya hanya mengisi perut masing-masing dan berlarian kesana-kemari."Kalian berdua, berhenti bercanda," sela Alex untuk memisahkan keduanya."Ayolah, ini hanya cacing," ejek Dilan. Dia semakin bersemangat melihat wajah pucat Fey s
"Sintia, apa jadwal ku untuk besok?" tanya Alex pada sekretarisnya yang tengah sibuk menyiapkan nota rapat.Sang sekretaris mengalihkan perhatiannya dari laptop untuk menatap layar tablet. "Ada dua jadwal rapat.""Jam sepuluh dengan pihak manajemen dan jam dua siang anda ada rapat perdana penentuan desain bunga untuk dekorasi hotel baru.""Hmm." Alex mengetuk jari telunjuk nya berulangkali di permukaan meja. "Untuk rapat jam dua, kamu saja yang wakilkan dan rapat dengan pihak manajemen pindahkan ke hari Senin," putusnya setelah menimbang-nimbang.Sang sekretaris mengangguk mengerti lalu mengetikkan beberapa perubahan di jadwal yang telah dia susun. "Ada lagi, Pak?""Tidak. Besok saya cuti, kalau ada hal yang mendesak kamu bisa menghubungi ponsel pribadi saja."Sintia kembali mengangguk. "Baik Pak. Nota rapat sudah saya kirimkan ke email anda.""Ok." Alex melirik arloji di tangannya. "Jadwal hari ini selesai. Kamu sudah bisa pulang." Sintia segera merapikan barangnya dan buru-buru kelu
"On time banget, ya," sindir Gaby bernada sarkas begitu melihat dua sahabatnya datang sambil cengengesan.Fey memasang wajah polos sedangkan Vania memilih cuek."Kamu 'kan tahu, Miss Fey ini dijuluki error maps. Kita ngabisin waktu dua jam cuma buat nyari belokan putar arah," cerca Vania. Ia membanting punggungnya di atas kursi ropan."Yah, maap. Namanya juga buta arah," desah Fey pasrah."Buruan pesan. Lapar banget, nih." Vania mengambil alih buku menu yang terbuka di hadapan Gaby. Ia terlalu lelah untuk berdebat setelah menghabiskan waktu dua jam duduk di dalam mobil untuk perjalanan yang biasanya di tempuh selama tiga puluh menit."Tumben kamu nyetir, Fey? Bukannya, belakang ini selalu di antar sopir pribadi?" Goda Gaby."Lagi marahan nggak jelas," sambar Vania sebelum Fey sempat membuka mulutnya.Gaby terkekeh geli. "Kenapa lagi? Ngambek?"Fey menggelengkan kepala. "Cuma lagi pengen bareng kalian aja," ucapnya beralasan."Bohong banget. Pasti kamu lagi nge-tes si Alex 'kan?" Tebak
"Gimana?"Vania terkikik geli kala mata bulat berpijar dengan penuh harap—menatap lekat untuk menunggu reaksinya."Enak?" buru Ben tak sabar."Hmm." Gumam Vania sekedarnya. "Hanya, Hmm?" desah Ben kecewa. "Ternyata seburuk itu."Dua jam berpeluh—berkutat di balik meja dapur untuk menyajikan resep andalannya, spaghetti aglio e olio. Ben berharap Vania akan kagum akan kemampuan memasaknya tapi, yang ia dapatkan hanya'lah gumam samar tanpa ekspresi."Buruk?" Vania mengembangkan senyum geli. "Ini luar biasa Ben!""Eh." Ben membulatkan matanya, tak menyadari bahwa Vania tengah mengerjainya."Ini enak banget," seru Vania sambil menyuapkan gulungan mie ke dalam mulutnya."Enyak," gumamnya sambil terus mengunyah dengan lahap."Bercanda mu mengerikan," keluh Ben sambil terkekeh geli."Apa kamu membuka restoran?"Ben mengeleng lemah. "Tidak.""Kenapa?" Vania berseru nyaring. "Masakan mu luar biasa, Ben.""Terima kasih," balas Ben sendu.Vania menangkap raut sedih di balik senyum dari wajah yan
"Mike, itu semua sudah mustahil dan …""Terlambat." Gaby menatap sayu. Hatinya teriris pilu hanya demi mengucapkan kalimat yang bertentangan dengan hatinya."Gaby."Suara lirih dari mata yang berembun semakin mengoyahkan hati Gaby. Namun ia berkeras hati karena kini akan ada lebih banyak hati yang tersakiti bila mereka melanjutkan hubungan yang kini terlarang.Gaby mendorong pundak Mike hingga mencapai posisi duduk yang nyaman. "Mike, aku dan Harry baru saja sepakat untuk membina hubungan kami ke jenjang yang lebih serius." Ia dapat melihat kilatan amarah di mata Mike setiap kali nama Harry disebut."Lebih baik kita menyudahi takdir buruk ini dan fokus pada masa depan."Mike menggelengkan kepalanya tegas. "Tidak, Gaby. Aku telah gagal mempertahankan cinta kita lima tahun lalu tapi kali ini aku tak akan gagal lagi.""Mike." Gaby terpaku pada raut wajah dengan rahang yang mengeras. Tatapan mata yang menatapnya lekat menunjukkan betapa besar kegigihan Mike untuk kembali memilikinya.Sua