"Kalian kenapa, sih? Lesu banget."
Vania meletakkan dua cangkir teh yang mengepulkan aroma melati dihadapan kedua sahabatnya, Gaby dan Fey.Gaby mendengus pelan lalu menyesap teh hangat itu. Ia mengabaikan rasa ingin tahu Vania yang besar, terhadap kemunculannya tiba-tiba di depan pintu apartemen."Udah kayak ayam yang mau di potong besok aja," lanjut Vania meneruskan sindirannya.Fey mendesis pelan tapi, tidak berniat untuk membalas ejekan wanita itu. Dia masih berhutang penjelasan tentang apa yang terjadi semalam dan Fey yakin tidak akan bisa menjelaskan apapun untuk saat ini. Lebih baik menahan diri agar tidak memancing rasa penasaran Vania lebih jauh.Vania mengernyitkan keningnya, heran. Semalam ia sudah cukup dikagetkan dengan menghilangnya Gaby dan Fey secara tiba-tiba dan kini kedua wanita itu kompak muncul dengan wajah di tekuk tanpa mengeluarkan sepatah katapun sebagai penjelasan.Biasanya, mereka akan memborbardir ponsel Vania terlebih dulu sebelum benar-benar sampai di apartemen ini. Tapi kali ini Fey muncul dengan wajah panik dan penampilan acak-acakan. Semuanya serba kusut, mulai dari baju hingga rambutnya. Sedangkan Gaby datang setelahnya, berpenampilan yang tak jauh berbeda."Katakan. Kalian sama siapa semalam?" Tuding Vania."Hmm." Gaby bergumam malas. "Aku pulang dan tidur.""Aku juga." Fey menarik naik syal yang digunakannya untuk menutupi leher dan setengah wajahnya.Vania melengos malas. Dia sudah hafal kelakuan aneh Fey dan Gaby setiap kali mereka berbohong."Gaby, apa ini American style?" Selidik Vania. Ia menunjuk kemeja putih yang tampak kebesaran di tubuh Gaby.Wanita itu hanya membalas dengan cengiran konyol."Dan ini," alih Vania pada Fey. "Apa kamu kehabisan baju sampai harus memakai baju yang sama dengan semalam?""Ah. I—itu …""Jadi … ngaku aja deh. Semalam kalian ONS 'kan?"Panik, Fey cegukan dan menutup bibirnya dengan kedua telapak tangan.Gerakan itu seolah membenarkan tebakan Vania. Membuat wanita itu melebarkan senyum di bibirnya, bahkan kini sudutnya terangkat.Vania melirik wanita lainnya yang tengah duduk santai di atas sofa dimana kedua tersangka duduk untuk di sidang. "Kamu juga 'kan?" Tudingnya ke arah Gaby.Gaby mengerjabkan matanya, bersikap seakan tidak mengerti apa yang di maksud oleh sahabatnya."Aku? Kenapa?"Vania berdecak sebal. "Nggak usah pura-pura bego deh," sergahnya."Semalam kamu menghilang tanpa kabar. Aku mencari mu ke setiap sudut bar tapi tak menemukan jejak apapun.""Kamu pergi sama siapa? Jangan-jangan ONS juga?" Tebak Vania sambil berpura-pura syok. Ia membelalakkan mata dan menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan.Gaby berdecih muak melihat gaya Vania. "Bukan ONS," aku-nya.Fey dan Vania segera bertukar pandangan dengan senyum culas. Keduanya segera mendekat, mengurung Gaby di tengah."Sama siapa?" Buru Fey antusias.Vania mengangguk cepat bak boneka di dasboard mobil.Gaby melengos malas. "Mike.""Hah?""Apa?"Kali ini Vania tak sekedar berpura-pura karena dia benar-benar syok."Gimana? Enak nggak?" Goda Fey."Kamu sendiri, gimana? Enak nggak?" Balas Gaby.Fey mendesah kecewa. "Nggak tahu. Alkohol terkutuk itu membuatku tak mengingat apapun.""Hmm." Gaby bergumam singkat. Mengingat kembali apa yang terjadi semalam, membuat pipinya seketika kembali bersemu merah."Eeeee … kamu ingat 'kan?" Tuding Fey cepat.Gaby terkekeh pelan. "Yah, sedikit," ucapnya sembari mengangkat dua jarinya, membentuk rentangan dengan cekung sempit."Gimana, gimana?" Buru Fey semangat. "Aku selalu penasaran karena—"Fey menjerit nyaring, terlalu malu untuk mengungkapkan apa yang ia pikirkan."Tunggu," tahan Vania. Ia masih saja tak percaya dengan apa yang dilakukan Gaby."Kamu dan Mike? Bukankah …""Hhh …" desah Gaby. "Entahlah. Alkohol membuatku hilang kendali. Tiba-tiba saja aku sudah mengetuk pintu apartemen dan menggodanya."Vania tergelak. "Jadi ini yang disebut benci jadi cinta?"Dia sengaja mengolok-olok tindakan Gaby. Sebelumnya wanita itu dengan frontal menolak meski Vania dan Fey membujuknya dengan alasan perceraian Mike akan segera ketuk palu."Apa Mike benar-benar akan bercerai?" tanya Gaby lirih.Vania mengangguk cepat. "Bahkan, aku secara pribadi turun tangan mendampinginya.""Tumben kamu turun tangan langsung. Mike pasti membayar mahal?""Well, cukup untuk melebarkan lagi satu gedung firma." Aku Vania sambil cengengesan.Fey berdecak kagum. "Sudah ku duga. Nggak mungkin mata duitan kayak kamu mau melewatkan klien daging se-empuk Mike.""Lalu, apa rencana kalian ke depannya?" Alih Fey pada wanita disampingnya.Gaby meluruskan punggungnya di sandaran sofa dan menyangga tekuk di puncaknya. Matanya menerawang jauh, serasa menembuh plafon menuju angkasa."Nggak ada.""Eh? Apa maksudnya?" Tuntut Vania."Semuanya sudah berakhir sampai malam itu saja. Kami setuju untuk menganggapnya tak pernah terjadi.""Loh, kenapa seperti itu?"Gaby mengangkat kepala demi melihat wajah kedua sahabatnya."Nggak ada gunanya meneruskan hubungan ini. Mike sudah berkeluarga—""Tapi dia mau bercerai, Gaby." Potong Vania.Gaby menggelengkan kepalanya. "Tidak akan ada yang berubah, Vania. Dia tetap punya keluarga, apalagi diantara mereka ada Miguel. Aku tidak bisa tiba-tiba masuk dan menjadi penyebab rusaknya hubungan mereka.""Lagipula kisah kami sudah berakhir sejak Mike dan Erika menikah," putus Gaby."Sepertinya, kamu hanya mencari-cari alasan saja," cela Fey."Aku setuju." Timpal Vania. "Jangan-jangan kamu sudah memiliki pengganti Mike?"Bersamaan dengan pertanyaan Vania. Getar ponsel yang diletakkan di atas meja berhasil mengusik konsentrasi mereka."Harry," eja Vania—membaca nama di layar ponsel Gaby.Vania dan Fey seketika memicingkan mata curiga karena Gaby merebut ponselnya dan buru-buru menjauh.Keduanya menatap Gaby lekat, curiga dengan gerak tubuh sahabatnya yang sengaja menjauh saat menerima telpon dari seseorang yang tak pernah dibahas sebelumnya."Siapa Harry?" buru Vania begitu Gaby kembali.Gaby mengaruk tekuknya. "Teman," sahutnya singkat."Teman?" Fey memainkan dua jarinya di udara, memetik makna teman yang disebut Gaby."Teman main atau teman tidur?" Selidik Vania tanpa basa-basi.Gaby terkikik geli lalu kembali duduk di posisi semula. "Penyakit kepo kalian semakin parah.""Bukan tanpa alasan yang jelas," elak Vania. "Jangan membuat kami semakin penasaran, Gaby."Gaby mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. "Baiklah, baiklah. Aku mengaku."Fey menyibak gerai rambut yang menutupi telinganya. Menunjukkan gestur seolah dia ingin mendengar dengan lebih jelas."Ayo, katakan.""Teman," ucap Gaby. "Lebih tepatnya partner kerja.""Jangan terus berkelit Gaby. Kami tahu, kamu tidak memberikan nomor ponsel pribadi pada partner kerja," tuntut Vania. Ia mengeram gemas karena Gaby terus berusaha mengelak untuk mengatakan yang sejujurnya."Aku tidak bohong Vania. Kami hanya sekedar partner kerja sekaligus friends with benefit.""Friends with benefit?" Ulang Fey bingung. "Kalau begitu kalian sering bercinta, dong?"Gaby mengaruk kepalanya. "Yah, bisa di bilang begitu.""Kenapa kamu nggak pernah cerita, Gaby?""Buat apa?" Gaby mengendikkan bahunya menanggapi pertanyaan Fey. "Hubungan kami sebatas partner, tidak punya masa depan," urainya santai."Lalu, bagaimana dengan Mike? Apa dia tujuan di masa depanmu?" Pancing Vania."Berhentilah memberondong ku dengan pertanyaan yang sama, Vania. Tidak ada yang bakal berubah."Vania mendesah pasrah. Misinya sebagai Mak comblang gagal total."Lalu, apa rencana mu selanjutnya? Apa kamu akan menetap permanen? Aku sangat berharap kamu tetap tinggal disini dan berkumpul bersama lagi seperti dulu," pinta Fey."Ah, masalah itu aku belum memikirkannya. Yang pasti aku masih punya segudang pekerjaan yang belum terselesaikan di Amerika."Gaby mengangkat ponselnya yang kembali bergetar. Ia langsung menggeser tombol hijau di layar begitu melihat nama Paman Samuel."Halo, Paman. Sekarang? Baiklah," putusnya setelah mendengar beberapa patah kata dari pengacara sekaligus sahabat almarhum Papa."Kenapa?" tanya Vania cemas."Paman Samuel memintaku untuk pulang sekarang juga.""Bolehkah aku ikut?" Pinta Vania.Fey langsung merentangkan tangannya untuk menghalau keinginan sahabatnya yang menggebu. "Vania, bukankah kamu sudah bertekad untuk move on?" Sindirnya.Fey dan Gaby memamerkan senyum licik untuk menggoda sang pengacara."Aku 'kan cuma mau ketemu senior aja. Mungkin nantinya aku bisa memberikan beberapa masukan seputar hukum padamu," kilah Vania beralasan."Aku tak masalah," balas Gaby santai. "Ikut aja. Kamu juga Fey, lagian apa sih yang mau dibahas Paman Samuel selain harta warisan Papa.""Aku nggak deh," tolak Fey."Kenapa? Kamu nggak enak badan?" Vania meletakkan telapak tangan di kening Fey untuk mengukur suhu tubuhnya."Nggak. Cuma capek aja. Aku pengen berendam air hangat dan tidur.""Ah … capek setelah semalaman di gempur," goda Vania. "Kamu gimana, Gaby? Mau berendam juga?"Gaby mengangkat jari tengahnya ke udara untuk membalas godaan Vania. "Cukup berikan aku baju ganti. Aku tidak mungkin menemui Paman Samuel dengan kemeja kedodoran ini.""Pak tua itu bisa kena serangan jantung," kekehnya.*****"Kamu nggak jadi ikut?" Gaby melirik Vania yang baru saja menutup sambungan ponselnya.Vania menggeleng lemah. "Kamu tahu 'kan? Aku sangat ingin ikut tapi ada klien yang mendadak datang dan menunggu ku di kantor.""Oke." Gaby mengangguk paham lalu menepuk pundak sahabatnya. Ia membuka pintu dan melompat turun."Sampai nanti," pamit Vania sambil melambaikan tangan.Begitu mobil Vania meninggalkan area parkiran rumah keluarga Deuremham, sebuah sedan hitam bergerak masuk.Gaby terpaku sesaat sebelum akhirnya sadar dan mempercepat langkahnya melewati perkarangan rumah."Gaby." Panggil Mike yang turun dari dalam mobil. "Kamu baru pulang?"Langkah Gaby terhenti, ia meringis bingung. "Ya," sahutnya tanpa berbalik.Sebisa mungkin dia menghindar beradu pandang dengan Mike. Peristiwa semalam sayup-sayup terngiang kembali di ingatannya. Membuatnya kembali menyesali sembari mengutuk kebodohannya."Kamu harus lebih sering pulang ke rumah, Gaby," kata Mike. "Mama Natasha khawatir padamu.""Hmm," sah
Mike memasang raut serius di wajahnya, tangannya sibuk membolak balik laporan kerja yang dikumpulkan para mahasiswa. Perhatian Mike teralihkan kala terdengar suara ketukan di depan pintu ruang kerja, membuatnya mengangkat kepala dan segera bangkit untuk menyambut orang yang muncul dari balik pintu kaca."Paman Samuel, silahkan masuk," sambut Mike sembari menggeser pintu."Kamu sibuk?" Samuel menepuk pelan pundak dari salah satu anak didiknya.Mike menggeleng pelan. "Tidak. Hanya sedang memeriksa laporan mahasiswa.""Aku harap kehadiran ku tidak menganggu pekerjaan seorang Professor," ungkap Samuel setengah bercanda.Mike terkekeh pelan. "Rektor akan langsung mengirim surat SP, bila tahu aku merasa keberatan akan kehadiran almamater terbaik dari kampus ini," balasnya.Samuel mengibaskan tangannya sambil tertawa. "Selalu menyenangkan bicara dengan mu, Mike.""Ayo, Paman." Mike mengajak Samuel duduk di satu-satunya sofa panjang yang ada di ruang kerjanya. "Paman ingin kopi atau teh?""Cu
Gaby menginjak pedal rem sedalam mungkin begitu mobil memasuki area lobi hotel Xavier.Disampingnya, Vania mencengkram tali seatbelt erat saat mobil berhenti tiba-tiba dengan suara decit yang bergema ke seantero lobi hingga memancing perhatian orang-orang yang ada disekitarnya."Hei, gila! Kamu mau mati muda ya," hardik Vania panik. "Emangnya kita mau kemana? Buru-buru banget." "Hotel Xavier." balas Gaby cuek. Ia melirik sahabatnya sekilas lalu menarik tuas pintu dan turun dari mobil. "Lah? Ngapain kesana?" Vania mengikuti langkah Gaby yang telah turun dari mobil dan memberikan kuncinya pada petugas valet.Gaby terkekeh pelan. "Tentu saja melakukan apa yang Paman Samuel inginkan?" balasnya bersama senyum misterius."Lalu, apa yang akan kamu lakukan?" Selidik Vania curiga. "Kamu mau menemui calon tunangan mu?" tanyanya ragu."Hmm … kurang lebih seperti itu." Kilah Gaby, masih berbalut sikap misterius. "Lalu, dimana Fey?" "Gaby, Vania!" Teriakan dari kejauhan membuat Vania batal untu
“Selamat siang, Tuan Xavier."Gaby dan kedua sahabatnya mendekati meja yang di huni tiga pria. Salah satunya berambut pirang sedangkan dua pria lainnya duduk menghadap jendela sehingga wajahnya tak terlihat dengan jelas."Ah, kamu," tunjuk pria pirang ke arah Fey.Gaby dan Vania kompak mengikuti arah telunjuk pria pirang."Kamu kenal?" tanya Vania tapi Fey menggeleng cepat sebagai jawaban.Tak lama, dua pria yang duduk membelakangi—bangkit dari kursinya dan berbalik untuk menyambut para tamu."Gaby, apa yang kamu lakukan disini?"'Mike!' Tubuh Gaby mendadak kaku begitu melihat pemilik suara yang mati-matian berusaha dihindarinya. "Feyleria?"Fey mengerutkan kening karena pria asing yang menyebut namanya, kini tengah menatapnya lekat. "Maaf, apa aku mengenal mu?" tanyanya ragu.Pria berambut pirang tergelak sembari menepuk pundak pria disampingnya. "Malangnya nasib mu Alex. Dia bahkan tak mengingat wajahmu," kekehnya mengejek.Pria yang dipanggil dengan nama Alex, mengeram dalam. "Diam
"Apa yang terjadi?"Gaby membuka jaket jeans yang dikenakan dan menyampirkannya pada lengan sofa."Eh, Gaby. Kamu sama siapa?" tanya Vania sambil celingukan mencari sosok lain disamping Gaby. "Sendiri?"Gaby mengangguk singkat. "Maaf ya. Aku nggak bisa jemput kamu dan ninggalin Fey sendirian kayak gini.""Santai aja." Gaby melambaikan tangannya lalu mengangkat botol untuk menuangkan cairan berwarna coklat keemasan di dalamnya—ke dalam gelas."Jadi, Ada apa dengan Fey?" Ulangnya sambil menatap prihatin pada sahabatnya yang bersimbah airmata. Dia menyesap pelan minuman dari bibir gelas.Vania mendesah pelan. "Seperti biasanya. Patah hati.""Lagi?" seru Gaby sambil mendelikkan matanya."Huaaaa.""Duh Fey, udah dong. Mau sampe kapan kamu nangis gini?" Vania menyodorkan lembaran tisu terakhir yang ditariknya dari dalam kotak. "Prooottt."Fey mengambilnya dan langsung meniup peluit panjang untuk membuang semua ingus yang menumpuk di hidungnya. Fey mengembalikan tisu bekas pakai itu kembali
"Kamu lagi ngeliatin apaan?" tanya Ben. Mengalihkan perhatian sepupunya yang sedari tadi hanya fokus pada satu titik."Menarik," gumam Alex sambil menarik seulas senyum misterius."Mau kemana?" Tahan Ben cepat saat Alex bangkit dari sofa.Keduanya baru saja menginjakkan kaki di tempat ini. Ben tidak ingin Alex tiba-tiba menghilang dengan berbagai alasan hanya untuk pulang ke rumah lebih awal."Toilet. Kenapa? Kamu mau ikut?" Goda Alex. "Asal nggak kabur aja.""Tenang. Aku cuma mau ke toilet." Alex berlalu pergi meninggalkan meja yang ditempatinya bersama Ben. Langkah Alex terhenti di lorong masuk yang memisahkan antara bathroom wanita dan pria.'Di mana dia?' batin Alex. Matanya tak lepas dari pintu masuk bathroom. Menunggu sosok yang telah lama menarik perhatiannya muncul dari balik pintu."Kamu baik-baik saja?" Sambut Alex begitu sosok yang di tunggu-tunggu muncul dengan langkah sempoyongan.Wanita itu mengangkat kepalanya untuk balas menatap Alex. "Sunny, kamu kemana aja?" racaun
"Harry." Gaby menghampiri pria yang duduk di pojok cafe hotel bertemankan sebuah laptop dan secangkir kopi."Hai, Baby." Harry bangkit untuk menyambut kedatangan wanita yang ditunggunya. Ia menarik tubuh yang mendekat kearahnya, ke dalam pelukan. "Apa kabarmu?" sapanya sembari mengecup kedua pipi putih itu bergantian. "Aku merindukanmu," imbuh Harry bersama senyum lebar di wajah tampannya, yang berhasil memancing rona merah di kedua pipi Gaby."Aku juga," balas Gaby malu-malu. "Bagaimana perjalanan mu? Apa kamu mengalami jetlag?"Harry menggeleng pelan. Ia menarik kursi disampingnya—mempersilahkan Gaby duduk lalu kembali mendorong hingga sang wanita duduk pada posisi nyaman lalu mengambil posisi lain disampingnya."Semuanya baik. Hanya ada beberapa menit delay, selebihnya berjalan lancar."Gaby mendesah lega. "Seharusnya kamu tidak usah merepotkan diri untuk datang. Aku yakin, kamu pasti lelah 'kan?""Justru seharusnya aku tiba lebih cepat. Seandainya saja pekerjaan tidak menahan, pas
Gaby turun dari lantai atas rumahnya dengan penampilan rapi. Di balut pakaian formal—kemeja putih di lapisi jas dan celana berbahan senada. Ia menepuk pelan lipatan di lengan, memastikan pakaian itu tampak sempurna untuk menunjang penampilan pertamanya sebagai wanita kantoran."Apa yang kamu lakukan disini?" Sentak Gaby kaget kala Mike menyambutnya dengan senyum terkembang."Aku datang untuk menjemput Miguel dan mengantarnya ke sekolah," jelas Mike."Sarapan dulu, Gaby. Kamu harus memastikan perut mu terisi penuh untuk mendapatkan energi di hari pertama kerja," ujar Natasha yang tengah sibuk menyiapkan bekal cucu semata wayangnya, Miguel.Gaby menyesap kopi yang dihidangkan para asisten rumah tangga. "Kamu mau bareng?"Tawaran yang dilontarkan Mike membuat gerakan Gaby terhenti di udara."Tidak." Sela Erika yang muncul dari balik tembok pembatas ruangan. Ia mengandeng tangan putranya yang baru menginjak usia keenam untuk segera menghampiri Mike."Papa." Miguel menyongsong Mike, memelu
Alex mengedarkan pandangannya ke sekeliling Bar. Mencari keberadaan kedua temannya yang sejak dua jam llau terus menerornya untuk segera datang."Kenapa, Sob? Ada masalah?" Sapanya sambil menepuk pundak yang menekuk wajahnya.Alex sudah bisa menebak apa yang terjadi, selama ini ia dan Ben telah menjadi saksi pasang surut hubungan Mike dengan Erika dan betapa pria itu tak pernah bisa melupakan sosok cinta pertamanya."Kamu udah makan malam, Alex?" tanya Ben yang datang dengan sepiring besar lasagna."Belum," sahut Alex lalu melirik Mike yang masih terpekur menatap lantai. "Bagaimana dengannya?"Ben mendesah pelan sambil menunjuk puluhan kaleng minuman yang berserakan di meja hingga lantai. Ia meletakkan piring di atas meja dan membuka kantong sampah yang di bawanya dari dapur, ia mengumpulkan semua kaleng kosong ke dalamnya."Apa yang terjadi? Kamu bertengkar dengan Gaby?" tanya Alex penasaran. Ia mengambil tempat disamping Mike lalu menyendok potongan lasagna ke dalam mulutnya."Aku
"Terima kasih sudah mengantar ku ke sini." Alex mengusap pipi kanan kekasihnya. "Tidak ada kata terima kasih atau maaf dalam sebuah hubungan.""Ini kewajiban, Sayang. Aku tidak akan bisa tidur malam ini kalau membiarkan mu pergi sendirian."Fey berkaca-kaca. Ia menarik Alex lebih dekat dan memeluknya erat. "Alex, izinkan aku mengatakannya untuk terakhir kali,""Terimakasih karena kamu mau bersabar menghadapi ku dan maaf karena membuat mu menunggu lama."Alex mengeratkan pelukan dan membelai punggung Fey penuh kasih sayang."Ehm, ehm ...""Masih lama? Di sini dingin."Alex dan Fey melepaskan pelukan. Keduanya tersenyum canggung pada Gaby dan Vania yang menatap keduanya penuh minat."Apa yang kalian lakukan di luar?" Kata Fey berusaha mengalihkan perhatian kedua wanita itu."Oh, ini." Gaby melambaikan kantong belanjaan di tangannya. "Late snack.""Hah? Gaby, bukannya kamu diet?""Diet apaan! Dia menguras seluruh isi kulkas ku," debat Vania. "Lagian buat apa jomblo diet.""Sejak kapan ka
"Siapa?" Tanya Fey begitu Mama Alex keluar dari mobil.Setelah pertemuan mereka dengan wanita di mall tadi. Alex dan Ibunya mendadak bisu dan menyibukkan diri mereka dengan pikiran masing-masing.Alex menatap Fey dalam. "Hmm, mantan istriku, Fey."Fey menganggukkan kepalanya, mengerti dengan situasi yang sedang terjadi. Sebelumnya dia sudah membaca banyak rumor di media sosial tentang sosok Alex, termasuk tentang mantan istrinya. "Alex, boleh aku tahu penyebab kalian berpisah?" Fey menatap mata Alex. Mencari kejujuran disana."Melissa memilih pria lain," ucap Alex santai. "Tapi itu tidak sepenuhnya salah Melissa.""Aku terlalu sibuk dengan pekerjaan dan hampir tidak punya waktu bersamanya." Lanjutnya.Fey mengengam tangan Alex. "Kamu menyesal?""Di tahun pertama perpisahan kami, aku sangat menyesal. Lambat laun aku bisa mengatasinya dan setelah bertemu dengan mu, aku yakin tuhan punya rencana lain untuk ku."Fey terdiam. Ia bisa merasakan kejujuran dibalik suara Alex. Pria itu tidak
Gaby mengerjapkan matanya bingung. Begitu membuka pintu rumahnya, ia langsung disambut buket bunga mawar merah yang sangat besar, nyaris memenuhi lebar pintu masuk rumahnya."Apaan nih?"Wajah Harry muncul dari balik buket. "Buat kamu," ucapnya sambil menyerahkan buket itu ke dalam dekapan Gaby. Mengabaikan wajah bingung sang wanita, Harry melenggang masuk ke dalam melewati pintu apartemen."Semalam kamu menginap disini?"Gaby menutup pintu dan mengikuti langkah Harry yang telah duduk di sofa. "Ya." Ia menuju pantry dan kembali dengan membawa dua kaleng soda."Ngapain kamu ke sini?" tanyanya langsung sambil menyerahkan salah satu kaleng pada Harry.Tiba-tiba tubuh Gaby limbung, jatuh terduduk dalam pangkuan Harry karena pria itu menarik tangannya."Aku kangen banget sama kamu, Gaby," bisik Harry. Hidungnya masuk ke balik geraian rambut Gaby, menghirup aroma yang ia rindukan.Bibir Harry menyentuh lipatan di leher Gaby. Mengigit kecil untuk meninggalkan bercak merah yang menunjukkan t
"Aaa ... Jauhkan itu dari ku, Dilan!" Teriak Fey histeris begitu melihat Dilan—keponakan Alex berlari kearahnya sambil mengayunkan cacing tanah—gemuk dan panjang. Orang-orang yang tengah sibuk memetik stroberi, berhenti untuk melihat keributan apa yang sedang terjadi. Mereka tersenyum geli bahkan beberapa sampai tertawa keras melihat kelakuan Fey dan Dilan."Ini lucu dan menggemaskan, loh," ujar Dilan sambil mengayunkan cacing ditangannya dan mengejar Fey yang berlari ketakutan."Nggak mau, aku jijik. Alex ..." Rengek Fey. Ia berlari kearah Alex dan segera memeluk lengan kekar itu erat.Alex menggelengkan kepala melihat tingkah dua bocah disampingnya. Fey dan Dilan di tugaskan memetik stroberi untuk dikumpulkan ke dalam keranjang besar tapi, sedari tadi keduanya hanya mengisi perut masing-masing dan berlarian kesana-kemari."Kalian berdua, berhenti bercanda," sela Alex untuk memisahkan keduanya."Ayolah, ini hanya cacing," ejek Dilan. Dia semakin bersemangat melihat wajah pucat Fey s
"Sintia, apa jadwal ku untuk besok?" tanya Alex pada sekretarisnya yang tengah sibuk menyiapkan nota rapat.Sang sekretaris mengalihkan perhatiannya dari laptop untuk menatap layar tablet. "Ada dua jadwal rapat.""Jam sepuluh dengan pihak manajemen dan jam dua siang anda ada rapat perdana penentuan desain bunga untuk dekorasi hotel baru.""Hmm." Alex mengetuk jari telunjuk nya berulangkali di permukaan meja. "Untuk rapat jam dua, kamu saja yang wakilkan dan rapat dengan pihak manajemen pindahkan ke hari Senin," putusnya setelah menimbang-nimbang.Sang sekretaris mengangguk mengerti lalu mengetikkan beberapa perubahan di jadwal yang telah dia susun. "Ada lagi, Pak?""Tidak. Besok saya cuti, kalau ada hal yang mendesak kamu bisa menghubungi ponsel pribadi saja."Sintia kembali mengangguk. "Baik Pak. Nota rapat sudah saya kirimkan ke email anda.""Ok." Alex melirik arloji di tangannya. "Jadwal hari ini selesai. Kamu sudah bisa pulang." Sintia segera merapikan barangnya dan buru-buru kelu
"On time banget, ya," sindir Gaby bernada sarkas begitu melihat dua sahabatnya datang sambil cengengesan.Fey memasang wajah polos sedangkan Vania memilih cuek."Kamu 'kan tahu, Miss Fey ini dijuluki error maps. Kita ngabisin waktu dua jam cuma buat nyari belokan putar arah," cerca Vania. Ia membanting punggungnya di atas kursi ropan."Yah, maap. Namanya juga buta arah," desah Fey pasrah."Buruan pesan. Lapar banget, nih." Vania mengambil alih buku menu yang terbuka di hadapan Gaby. Ia terlalu lelah untuk berdebat setelah menghabiskan waktu dua jam duduk di dalam mobil untuk perjalanan yang biasanya di tempuh selama tiga puluh menit."Tumben kamu nyetir, Fey? Bukannya, belakang ini selalu di antar sopir pribadi?" Goda Gaby."Lagi marahan nggak jelas," sambar Vania sebelum Fey sempat membuka mulutnya.Gaby terkekeh geli. "Kenapa lagi? Ngambek?"Fey menggelengkan kepala. "Cuma lagi pengen bareng kalian aja," ucapnya beralasan."Bohong banget. Pasti kamu lagi nge-tes si Alex 'kan?" Tebak
"Gimana?"Vania terkikik geli kala mata bulat berpijar dengan penuh harap—menatap lekat untuk menunggu reaksinya."Enak?" buru Ben tak sabar."Hmm." Gumam Vania sekedarnya. "Hanya, Hmm?" desah Ben kecewa. "Ternyata seburuk itu."Dua jam berpeluh—berkutat di balik meja dapur untuk menyajikan resep andalannya, spaghetti aglio e olio. Ben berharap Vania akan kagum akan kemampuan memasaknya tapi, yang ia dapatkan hanya'lah gumam samar tanpa ekspresi."Buruk?" Vania mengembangkan senyum geli. "Ini luar biasa Ben!""Eh." Ben membulatkan matanya, tak menyadari bahwa Vania tengah mengerjainya."Ini enak banget," seru Vania sambil menyuapkan gulungan mie ke dalam mulutnya."Enyak," gumamnya sambil terus mengunyah dengan lahap."Bercanda mu mengerikan," keluh Ben sambil terkekeh geli."Apa kamu membuka restoran?"Ben mengeleng lemah. "Tidak.""Kenapa?" Vania berseru nyaring. "Masakan mu luar biasa, Ben.""Terima kasih," balas Ben sendu.Vania menangkap raut sedih di balik senyum dari wajah yan
"Mike, itu semua sudah mustahil dan …""Terlambat." Gaby menatap sayu. Hatinya teriris pilu hanya demi mengucapkan kalimat yang bertentangan dengan hatinya."Gaby."Suara lirih dari mata yang berembun semakin mengoyahkan hati Gaby. Namun ia berkeras hati karena kini akan ada lebih banyak hati yang tersakiti bila mereka melanjutkan hubungan yang kini terlarang.Gaby mendorong pundak Mike hingga mencapai posisi duduk yang nyaman. "Mike, aku dan Harry baru saja sepakat untuk membina hubungan kami ke jenjang yang lebih serius." Ia dapat melihat kilatan amarah di mata Mike setiap kali nama Harry disebut."Lebih baik kita menyudahi takdir buruk ini dan fokus pada masa depan."Mike menggelengkan kepalanya tegas. "Tidak, Gaby. Aku telah gagal mempertahankan cinta kita lima tahun lalu tapi kali ini aku tak akan gagal lagi.""Mike." Gaby terpaku pada raut wajah dengan rahang yang mengeras. Tatapan mata yang menatapnya lekat menunjukkan betapa besar kegigihan Mike untuk kembali memilikinya.Sua