Bab 7: Jaga Jarak Aman, Bro!
Me time! Itulah yang dilakukan Naila saat ini. Memutari setiap lantai dari Mall sendirian.
Sebelumnya, Naila terpaksa mengganti blouse dengan potongan yang lebih panjang. Hampir saja Naila juga berganti jeans setelah mematut dirinya di cermin cukup lama, namun jika hal itu dia lakukan, sama saja dengan Naila membenarkan semua ucapan Xavier.
Pandangan Naila menyapu setiap senti Mall dari kota kembang itu. Derap langkahnya begitu percaya diri. Kemampuan finansial serta kebiasaan hidup glamour-lah yang membentuk rasa percaya diri dalam diri Naila.
Naila begitu sibuk memanjakan mata dengan deretan toko-toko barang mewah yang beberapa di antaranya adalah milik kolega gadis itu.
“Tidak! Aku sudah punya yang lebih bagus,” gumam Naila saat melihat salah satu gaun yang terpajang di etalase butik.
Gaun bernuansa biru gelap, dengan motif bunga tulip berlatar senja itu terlihat begitu anggun di tubuh manekin langsing setinggi 170 cm.
Lama Naila berdiri di sana. Dengan satu tangan menyangga dagu, dan tangan lain terlipat di dada.
Pantulan wajahnya di etalase toko tersebut membuat Naila termenung. Dirinya melihat sosok rupawan di sana, begitu mirip dengan seseorang.
“Semakin dewasa, aku semakin mirip dengan Mama Natusha,” monolog Naila dalam hati.
Tidak ingin terjebak dengan kenangan masa lalu terlalu dalam, Naila kembali melanjutkan langkahnya. Melewati satu per satu butik, sembari berulang kali bergumam pada diri sendiri,
“Sudah punya!”
“Mama sudah membelikannya.”
“Itu hadiah dari Tante Ayunda.”
“Hm, menarik! Hanya saja aku sudah punya banyak clutch.”
Begitu seterusnya, Naila tidak pernah menemukan satu barang pun yang menarik hatinya. Hingga langkah Naila terhenti pada salah satu toko yang menjual aksesoris.
Dream catcher yang tergantung di etalase display toko berhasil menarik perhatian Naila.
Benda berbentuk lingkaran dengan rumbai-rumbai yang menjuntai panjang, di setiap penghujung rumbai dipasangi bulu angsa. Di dominasi warna ungu dengan gliter telah membuat Naila jatuh cinta.
Buru-buru Naila masuk ke dalam toko. Di antara banyaknya aksesoris di sana, tujuan Naila hanya dream catcher yang tergantung di sana.
“Mbak, aku mau dream catchernya!” tegas Naila pada salah satu pegawai toko.
Pegawai yang didekati oleh Naila ikut melirik arah telunjuk pelanggannya yang satu ini. Padahal, dia sendiri sedang sibuk melayani pelanggan yang baru saja memborong banyak aksesoris wanita.
Pegawai itu tersenyum dengan penuh penyesalan, “Maaf, Mbak. Itu sudah dibeli orang.”
“Sudah dibeli? Tapi masih tergantung di etalase toko. Jangan berbohong jika Anda tidak ingin menjualnya dan hanya dipasang sebagai pajangan.” Naila berang. Ucapan dari pegawai toko itu tidak sesuai dengan apa yang terjadi saat ini.
Logikanya saja sudah berbeda. Bagaimana bisa barang yang sudah dibeli masih dipajang seperti ini?
“Benar, Mbak. Saya sendiri yang menerima pelanggannya tadi.”
“Aku tidak tanya siapa yang terima, Mbak! Kalo memang sudah dibeli, kenapa masih ada di etalase? Ini loh, yang aku tanyakan dari tadi,” protes Naila.
Pegawai tersebut sedikit menunduk, dirinya merasa malu telah lalai dalam menjalankan tugas hingga kini mengundang masalah dan menjadi pusat perhatian seluruh pengunjung toko.
“Saya lupa memindahkannya, Mbak. Pembelinya tadi buru-buru membayar dan segera pergi. Katanya, dia akan kembali setelah urusannya selesai dan mengambil dream catchernya,” jelas pegawai toko masih dengan wajah yang menunduk.
Naila mencebik, kesal sekali rasanya tidak berhasil mendapatkan dream catcher yang dia sukai setelah sedari tadi berkeliling.
Seharian, mood Naila berantakan. Tidak cukup karena tingkah laku Xavier yang terlalu berlebihan, kini untuk mendapatkan dream catcher saja Naila kesusahan.
“Maaf, Mbak. Hm, bagaimana jika saya membawa dream catcher yang lain?” tawar si pegawai. Berharap jika Naila setuju dengan idenya dan berhenti mengomel.
“Tidak, Mbak! Aku tidak suka barang pengganti,” sahut Naila ketus.
Naila segera berbalik dengan langkahnya yang tetap arogan. Tanpa sengaja, Naila menubruk seseorang yang telah berdiri di belakangnya sedari tadi.
Hampir saja Naila terjatuh, jika lelaki dengan tubuh kekar itu tidak tangkas menangkap Naila. Kedua tangan kekarnya seirama membantu Naila berdiri, lalu meminta maaf pada gadis cantik tersebut.
“Maaf, Mbak?!”
“Oke!”
Naila seakan enggan membuang waktu lebih lama dengan lelaki yang baru saja dia tabrak. Sejatinya, Nailalah yang harus meminta maaf, bukan sebaliknya.
Langkah Naila membawanya keluar dari toko. Diiringi tatapan heran dari pegawai dan beberapa pengunjung, serta langkah cepat dari lelaki berkemeja pekat.
“Kamu, Naila?” serunya keras.
Naila berhenti, lalu mendengus sebal. Entah siapa yang telah mengenali dirinya dan menyebut namanya di tempat ramai ini. Merusak me time berharganya yang hanya bisa dia lakukan sesekali.
“Kamu lupa padaku?”
Berulang kali Naila mengumpat di dalam hati. Giginya gemeretak kesal. Ingin sekali menghardik lelaki yang telah membuat moodnya semakin hancur berantakan.
“Aku, Adam!” seru sang lelaki tidak mau berhenti.
Sejenak, alis Naila hampir bertemu. Gadis itu berpikir keras setelah mendengar nama Adam disebutkan.
Meski enggan, Naila memutuskan untuk berbalik. Di belakang punggungnya, Adam sudah berdiri dengan senyum yang terpahat di parasnya yang bak lukisan.
Kemeja pekat yang terlihat kontras dengan kulit, jeans coklat tua, serta pantofel yang masih mengkilap membuat Adam terlihat sangat memesona. Belum lagi, gaya rambut serta postur tubuh Adam, memperlihatkan jika lelaki ini tidak berasal dari kalangan biasa.
“Adam?” balas Naila. Gadis itu masih menjaga jarak. Bahkan, tidak terkesima dengan paras rupawan Adam.
“Iya! Adam, teman masa TK-mu dulu. Kamu lupa? Kita bertengkar saat TK gara-gara aku mengataimu tidak punya Mama,” ujar Adam.
Pupil Naila membesar saat Adam menyebut kata Mama. Ingatan Naila seakan terbuka pada masa lalu.
Hari itu, saat Naila kecil kehilangan kesabaran dan memukuli teman sekelasnya sendiri, masih terekam di ingatannya.
“Hah, jadi kamu, Adam si mulut jahat.” Naila mencebik, sudut bibirnya naik, menandakan jika Naila memandang remeh pada Adam.
Adam yang melihat respons dari Naila hanya bisa tersenyum, “Aku tidak bermaksud membela diriku, Naila. Namun, saat itu aku masih terlalu kecil untuk memahami soal perceraian dan ibu sambung. Bukankah seharusnya kamu sudah memaafkanku?”
Adam berusaha mendekat ke arah Naila. Namun Naila segera mengambil langkah mundur.
“Jangan dekat-dekat, aku masih alergi dengan anak manja itu!”
“Anak manja? Maksudmu, aku?” Adam menunjuk dadanya sendiri.
“Siapa lagi? Apa mungkin aku berbicara dengan etalase toko ini?” sahut Naila sembari melirik etalase toko di sebelahnya.
“Kamu masih sama kerasnya, sangat mudah mengenalimu meski 20 tahun sudah berlalu.” Adam lagi-lagi mengambil langkah mendekat. Membuat Naila terus terdesak untuk mundur.
“Cih! Siapa juga yang tidak mengenaliku? Wajahku tercetak di banyak media, Adam. Jangan berpura-pura manis. Maaf, aku terlalu sibuk untuk meladeni dirimu.”
Naila lekas berbalik. Langkah Naila begitu cepat demi menghindari Adam. Namun lelaki itu begitu sigap mempersempit jarak antara dirinya dengan Naila.
“Kamu menginginkan dream catcher itu?” tahan Adam. Dia sudah berdiri di depan Naila, demi menahan langkah Naila.
“Tidak sopan menguping pembicaraan orang lain,” sahut Naila lagi.
Tubuh Adam sedikit condong ke arah Naila. Lelaki itu berbisik dengan gaya sensual. “Aku tidak menguping. Tetapi suaramu yang itu membuat siapa pun bisa mendengar jika kamu menginginkan dream catcher itu, Naila.”
“Sekarang sudah tidak! Minggir atau aku teriak, Adam. Kamu ingin sekuriti datang dan membuat kegaduhan?” ancam Naila. Gadis itu lagi-lagi tersulut emosi.
“Naila ....”
“Maaf, Brother! Cukup!” Suara sanggahan menghentikan aksi dari Adam.
Naila dan Adam serentak menoleh. Jika Adam merasa sebal dengan sanggahan tersebut, maka Naila sudah bersiap-siap untuk menyumpahi siapa pun yang ingin kembali mengganggu dirinya.
“Xavier?!” Naila menutup mulutnya yang membulat saat melihat pemuda yang menyebalkan lainnya sudah berdiri di belakang Adam.
Lengkap dengan tas selempang khas anak SMA, lalu jaket yang tersampir di tali tas dan kemeja yang tidak terkancing lengkap.
“Jaga jarak aman dengan pacarku, Bro!” Xavier berucap dengan tatapan marah pada Adam.
Bab 8: Permintaan Xavier“Jaga jarak aman dari pacarku, Bro!”Xavier menekan kalimatnya hingga rahangnya mengeras. Kedua mata Xavier menatap Adam tajam. Seakan ada laser mematikan yang dipancarkan dari kedua matanya.“Pacar?!” Adam melirik Naila lalu menatap kembali Xavier. Kedua tangan Adam kini tersimpan di saku jeansnya.Bukannya merasa terintimidasi, namun kehadiran Xavier membuat Adam ingin tertawa keras.Bagaimana mungkin pria muda seperti Xavier mengaku sebagai pacar dari Naila? Gadis pemarah itu pastilah sangat pemilih soal pacar.“Naila, dia benar-benar pacarmu?” Adam tidak sabar mendengar jawaban dari Naila.Adam yakin benar, jika prediksinya soal jawaban dari Naila akan tepat 100 persen. Bagaimana bisa Naila mengakui pemuda seperti ini sebagai pacarnya? Mau dibawa ke mana embel-embel nama Halim yang selama ini dia sandang?
Ada yang Tersenyum Diam-Diam“No! Aku tidak setuju!” Naila memekik hingga lelaki seumuran papanya itu menutup telinga. Sudah hampir lima belas menit Naila berdiri di ruangan Direktur Pemasaran bernama Tanto itu. Sudah selama itu juga, Direktur berpostur gempal dengan perut sebuncit wanita hamil sembilan bulan itu menolak permintaan dari Naila. “Anda gila, hah? Anda ingin membuat perusahaan ini bangkrut dengan menyewa artis dari luar negeri untuk produk yang tidak laku ini?” seru Naila lagi. Suara Naila terdengar hingga ke luar ruangan Direktur Tanto. Beberapa karyawan yang masih bertahan di kubikel berpura-pura tidak mendengar perseteruan antara Naila dan Tanto. Meski begitu, perdebatan Naila dan Tanto bisa mereka dengar tanpa berusaha untuk mendengar. “Naila, anggaran untuk proyek ini sudah ditentukan dan jumlahnya cukup. Lagi pula, menggunakan artis luar negeri untuk mempromosikan produk ini akan membantu peningkatan penjualan. Apa kamu tidak paham soal marketing?” Tanto tidak m
“Pa!” Naila menerobos masuk ke kantor dari pemimpin puncak Halim Group.Disusul oleh Sekretarisnya Dian, dan juga Sekretaris dari Gabriel. Lelaki muda yang belum lama ini menggantikan posisi Sekretaris Sophie itu tidak pernah berani menghalangi Naila, apalagi meminta gadis itu menunggunya meminta izin pada Gabriel sebelum mempersilahkan Naila masuk.Ruangan Gabriel yang luas masih terasa nyaman. Buku-buku tua tempat dimana koleksi Gabriel berada sudah berpindah posisi dari kiri ke kanan.Sofa tempat Gabriel menerima tamu telah berganti dengan jenis yang berbeda dan lebih elegan. Dilapisi kulit dengan warna marun yang manis, serta karpet berbulu berwarna hitam dengan bercak putih.Naila seketika berhenti melangkah saat melihat salah satu karyawan dari HRD sudah berdiri di sana, beserta tiga karyawan magang yang berseragam hitam dan putih.“Bu Naila,” sapa karyawan HRD bernama Hild itu.
Kisah yang Terungkap dari Kotak Bekal“Jelaskan!” pekik Naila.Naila berdiri menghadap meja kerjanya. Melempar kesal map biru yang seharusnya menjadi penguat dari segala tuduhan yang dia alamatkan pada Tanto.Percuma! Kerja kerasnya mencari kebusukan Tanto berakhir sia-sia.Lelaki itu memang memberi kontribusi nyata untuk perusahaan selama ini. Beberapa produk yang selama ini populer juga ada di bawah kepemimpinannya.Tetapi, sikap Tanto yang menganak-tirikan produk kecantikan Queenzee membuat Naila naik pitam.Kerja kerasnya dengan Queen seakan tidak berharga di mata Tanto. Bahkan, Tanto ingin mengganti brand ambassador produk Queenzee yang telah ditetapkan Naila dan Queen seenak hati.“Jelaskan!” ulang Naila.Satu tangan Naila bertumpu pada permukaan meja. Sedang tangan yang lain terus memijat keningnya yang berdenyut hebat.&ldquo
“Ayo!” ajak Adrian.“Tidak! Aku masih kenyang. Kalian duluan saja,” tolak Xavier.“Kenyang? Makan apa? Angin?” Adrian sedikit merunduk dengan wajah menengadah. Adrian berusaha membaca kejujuran Xavier melalui tatapan mata lelaki itu.Adrian sedikit banyak mengenal Xavier. Entah kenapa, Xavier begitu lihai dalam menyembunyikan keadaannya yang sebenarnya.Ditatapi begitu, Xavier menghindar dengan menoleh, “Jalan, Adrian. Kakakmu bisa mengomel lagi.”“Yakin? Atau mau aku bungkusin?”“Aku cukup kenyang, thanks!” Lagi-lagi Xavier menolak dengan halus.Adrian sedikit mengernyitkan dahi, seakan menemukan celah kebohongan dari jawaban Xavier. Dengan terpaksa, Adrian berhenti bertanya dan memaksa Xavier.Bagi Adrian, meski keduanya berteman, tetap saja Xavier punya privasi yang tidak bisa dia langgar.“Oke
Bab 11: Informasi yang Berharga dari Adrian“Kalian sudah kembali?” sambut Queen pada Naila dan Adrian yang baru saja kembali dari kantor.Wajah wanita itu tersenyum lebih lebar setelah melihat kehadiran Gabriel di belakang Naila dan Adrian. Wajah rupawan gabriel yang tidak dimakan usia meski rambutnya mulai memutih di kedua pelipis tidak melunturkan cinta Queen pada Gabriel. Bahkan, Naila dan Adrian kerap kali merasa cemburu dengan kasih sayang berlebihan yang ditunjukkan Queen pada Gabriel.“Terima kasih atas kerja kerasnya, Sayang,” ucap Queen sembari menghampiri Gabriel. Tas kantor Gabriel telah berpindah pada Queen dari tangan supir pribadi lelaki kaya itu.Melihat perhatian Queen pada Gabriel, Adrian yang diliputi cemburu menyikut Naila dan berdehem pelan. “Nyamuk, Kak. Ayo pergi dari sini, aku capek kalau harus jadi nyamuk terus.”“Makanya jangan ngejomblo terus, Adrian. Percuma kamu mewarisi gen keluarga Halim kalau c
Bab 12: Rasa Sakit dari Masa Lalu“Berondong?”Queen memicingkan mata setelah mendengar ucapan ambigu dari Adrian. Seumur hidupnya, belum pernah dirinya mendengar kata “brondong” disandingkan dengan Naila. “Mama ingat Xavier?” Adrian masih bermain teka-teki dengan Queen. Lelaki muda itu semakin bersemangat setelah melihat perubahan raut wajah dari Mamanya. Queen ingin sekali memberondong putranya dengan berbagai pertanyaan yang bermunculan di benaknya. Namun Adrian hanya tersenyum saat melihat raut wajah penasaran dari Queen, tanpa berniat bercerita lebih jauh. “Xavier? Temanmu dari kampus itu? Bukankah kalian magang bersama di kantor Papa? Lalu apa hubungannya dengan Kak Naila?” “Eits, Mama sabar dulu. Xavier anak yang baik, mah. Percaya deh sama Adrian,” ucap Adrian.Queen mendelik dengan ekor mata. Penjelasan ambigue dari Adrian membuat Queen bertambah penasaran. Ingin sekali dia memberondong Adrian dengan berbagai pertanyaan yang lebih dalam. Namun, niatnya terurung saat menda
Bab 13: Terungkapnya Kisah dari Masa LaluXavier duduk dengan posisi bersedekap, menatap kosong melalui jendela kosannya pada langit nan gelap di luar sana. Cahaya remang dari sinar rembulanlah yang menjadi satu-satunya penerangan untuk Xavier, serta perasaan bersalahnya pada Aira dan Jey.Xavier menurunkan kedua kaki perlahan demi menghindari bunyi berderit dari kursi tua yang dia duduki. Perasaannya yang hampa berubah sakit saat melihat bibinya Aira, terlelap di ranjang lapuk miliknya.“Mereka tidur di kasur mahal dengan ranjang berukir, Bi. Kenapa hanya Bibi dan Paman yang bernasib seperti ini?” gumam Xavier tanpa mengalihkan tatapannya pada Aira dan Jey.Kkrrieet!Xavier segera berbalik saat melihat Jey bangun dari tidur. Pria berusia empat puluh tujuh tahun itu mengusap wajahnya yang masih dikuasai kantuk yang hebat. Lalu meluruskan kedua kakinya yang keram karena tidur di ranjang pendek yang tidak sesuai dengan tinggi t
Bab 48: Suatu Sore di LA“Kenapa gaun lagi, Sayang?” Pria bermanik mata hazel itu tidak henti-hentinya mengeluh setelah melihat outfit sang istri yang lebih mirip model. Padahal, jika mengikuti rencana awal, mereka hanya akan menghabiskan waktu yang indah di MacArthur Park sembari menikmati sore nan romantis bersama.“Memangnya kenapa?” balas sang istri. Dia menata ulang rambut panjangnya yang tergerai hingga punggung, sebelum akhirnya menjempit anak rambut dengan jepitan mungil yang dibelikan sang suami saat masih di negara sendiri.“Naila ... aku tidak suka jika pria-pria bule itu menatap kaki dan lenganmu! Ganti saja dengan jeans dan kemeja lengan panjang!” keluhnya lagi.“Astaga, Xavier?! Apa kamu lupa siapa penyebabnya? Apa kamu lupa betapa panjangnya malam tadi hingga bangun pagi ini, tubuhku terasa remuk? Pinggangku linu, bahkan seluruh tubuh sakit. Aku kesulitan berjalan jika mengenakan je
Dua sosok yang mengira akan bersama dua tahun lalu itu, kini duduk saling berhadapan dalam bisu. Gadis yang tersenyum tipis itu menghentikan kekakuan dengan menyodorkan selembar undangan nuansa emas serta mengeluarkan harum ke arah pemuda di hadapannya. Dia tersenyum Seraya berujar, “Semoga kamu bisa datang, ya?”“Kamu mengundangku?” selidik pemuda itu.Dia terus berusaha menahan segala tanda tanya yang terus berkecamuk saat melihat mantan kekasih yang pernah dipermainkannya itu berbesar hati mengundang dirinya. Padahal, hubungan keduanya berakhir dengan saling membalas satu sama lain.“Yap ... tidak ada alasan untuk tidak mengundangmu, Rey?!” balas gadis itu.“Setelah kamu menghancurkan karierku, Naila?”“Kamu juga menghancurkan hidupku, Rey. Kamu memanfaatkanku, demi menaiki dunia hiburan itu.” Naila terus berbicara dalam nada rendah. Sekalipun dia tidak me
Bab 46: Peringatan!Kekerasan tidak menyelesaikan segalanya. Adegan di dalamnya hanya sebagai alur dari cerita dan bukan sebagai contoh dalam menghadapi sesuatu di dalam kehidupan.--“Heh! Tikus got kemarin sore nantangin kita, Bro!” Pria bertopi bannie berujar dengan nada merendahkan. Sudut bibir kanannya naik, karena merasa jika Net tidak sebanding dengan dirinya apalagi melawan mereka berdua. Ditambah lagi, pemuda yang berdiri dengan wajah melongo di belakang Net terlihat lebih lemah dari Naila, sehingga rasa percaya dirinya naik berkali-kali lipat hanya dalam waktu yang sangat singkat.“Sebentar, sepertinya gadis ini bukan gadis biasa,” lirih pria berperut buncit dengan tatapan penuh selidik. Dia terus memperhatikan kuda-kuda dari Net serta bentuk tubuh dari gadis itu.Merasa yakin dengan firasatnya, dia kembali memperkuat genggamannya pada belati yang sedari tadi dia gunakan u
Bab 45: Dua Penjahat II“Berhentilah menjerit, kamu akan aman bersamaku, Sayang,” bisik seseorang itu. Naila yang sedari tadi menatap paras penolongnya mulai bersikap tenang. Gadis itu berhenti menjerit, dan memilih untuk mengatur napasnya yang berkejaran.“Kemarilah, peluk aku, Nail.” Pemuda itu melepaskan bekapannya di mulut Naila setelah melihat gadisnya, lalu mengulurkan kedua tangannya demi menyambut gadisnya yang masih begitu ketakutan. Naila yang mengenali dan merindukan pemuda itu, segera menghambur, memeluk seerat mungkin pemuda yang semalam hampir tidak bisa dilihatnya lagi.Keduanya berbagi pelukan dalam. Xavier terus berusaha menghentikan Naila yang menangis terisak dengan membelai punggungnya, sedang Naila semakin mempererat pelukannya pada Xavier, membenamkan wajahnya di pelukan pemuda itu demi memastikan sekali lagi jika pria yang menolong dirinya benar-benar kekasihnya sendiri.“Ke mana gadis
Bab 44: Dua PenjahatHampir satu jam lamanya gadis dengan rambut kuncir kuda atau pony tail itu berdiri di jendela kamarnya yang tertutup tirai putih gading. Tatapannya terus menyisir ke seluruh bagian dari taman belakang rumah yang menjadi pemandangan dari kamarnya. Berulang kali, gadis yang diberi nama Naila itu mencebik, sebab jumlah penjaga yang berjaga hari ini jadi dua kali lipat dibanding sebelumnya.Pagi tadi, tidak ada angin ataupun hujan, sebelum berangkat bekerja, Gabriel memberi perintah pada para penjaga untuk meningkatkan keamanan dan tidak memberi Naila izin untuk keluar tanpa keamanan. Itulah sebabnya, gadis berparas cantik itu menjelma menjadi burung dalam sangkar emas. Tidak ada teman yang bisa menemaninya saat ini, hanya kesunyian yang menjadi sahabat baik gadis itu di kamarnya yang feminin.Di tengah keputusasaan itu, Naila mendengar seseorang bersuara keras dari luar sana. Gelak tawanya memecah sunyi hingga menembus
Bab 43: Keputusan“Xavier, berhentilah! Kamu keterlaluan,” seru Naila. Gadis itu terus mengulangi permintaannya terhadap pemuda yang semakin beringgas merengkuh dirinya.Xavier mengendus dalam-dalam aroma harum dari tubuh Naila, lalu dihadiahinya sebuah kecupan di setiap senti pundak gadis itu. Tanpa henti, tanpa rasa puas. Xavier berubah menjadi monster dengan sorot mata yang kelam hingga tidak mampu mendengar jerit putus asa dari gadis yang disukainya.“Xavier, ada apa denganmu? Hentikan! Kamu menyakitiku, Xavier?!” Naila terus menghujamkan pukulan demi pukulan ke setiap bagian yang bisa dia raih dari tubuh pemuda itu. Namun, semakin beringas pula cumbuan di lehernya yang jenjang serta wajahnya yang lembab.“Aku tidak mau kehilanganmu, Nail,” desah Xavier setelah berhenti mencumbu Naila. Pemuda itu memutuskan untuk merebahkan wajahnya yang menghangat di pundak Naila yang terus bergerak turun dan naik.
Bab 42: Aku Tidak Akan Menyerah“Aku akan melaporkannya pada polisi, Presdir!” saran Jey setelah berpikir cukup lama.“Jangan, Jey! Hal seperti ini hanya akan mengundang wartawan untuk datang ke rumah. Permasalahan pertunangan Naila yang dibatalkan saja sudah cukup menyusahkan. Jika permasalahan seperti ini masuk ke pihak polisi, maka akan menyeret seluruh keluarga dan nama baik perusahaan. Sebaiknya, kita menyelidiki lebih dulu. Aku yakin, ini menyangkut perusahaan,” tahan Bagas tanpa beranjak dari duduknya.Suasana seketika menghening kembali. Setiap anggota keluarga Halim yang berada di rumah itu saling berpikir dalam diam, begitu juga dengan Naila dan Adrian yang masih syok dengan kejadian yang baru saja menimpa keduanya.“Tunggu! Aku ingat sesuatu.” Jey bangkit dari sofa lalu berjalan mendekati Naila yang masih duduk dengan dipeluk oleh Queen.Gadis itu memasang wajah muram, sedikit menengad
Bab 41: Ancaman“Kamu akan berdiri saja di situ?” geram Naila.Sorot matanya terus menatap ke arah gadis berambut pendek yang berdiri tegap tepat di sisi mejanya. Gadis itu melipat kedua tangan di belakang punggung, kedua kakinya tegap, bahkan ekspresinya datar menatap ke luar ruangan.“Apa kamu tidak lelah, hah?” lanjut Naila masih dengan intonasi kesalnya.Sudah semingguan ini, gadis tanpa ekspresi itu menjadi bodyguard yang mengekorinya ke mana pun, termasuk ke kamar mandi. Bahkan, gadis ini tidak menurut jika Naila memintanya untuk menunggu di luar.“Aku tidak butuh Bodyguard, Net!” seru Naila. Dirinya tidak bisa berhenti mencebik, mengingat bagaimana terkekangnya hidupnya setelah Net hadir.“Memangnya kamu enggak punya kerjaan lain, apa? Selain ngekorin aku?”“Kerjaan saya mengikuti Anda, Nona!” balas Net tanpa mengendurkan ekspresi din
Bab 40: Alasan Kembali dan Sindiran Andrian“Saya, Presdir?” Xavier menunjuk dirinya sendiri dengan wajah bingung. Baik Queen dan Naila berhenti sejenak, memandangi Gabriel yang masih menatap Xavier dengan sorot matanya yang dalam.“Ayo, Naila ... kamu harus istirahat,” ajak Queen seraya sedikit memaksa putrinya. Wanita itu sadar jika sang suami punya urusan pribadi dengan Xavier.Dengan berat hati, Naila membiarkan Xavier menghadapi Gabriel seorang diri. Membiarkan pemuda itu dalam sulitnya berhadapan dengan Gabriel, demi menutupi kenyataan jika keduanya mulai bersama sejak hari ini. Meski langkahnya terasa berat, tetap saja dia beranjak mengiringi langkah kaki Queen.“Kita bicara di ruang kerjaku. Jika kedua orangtuamu melihatmu, sudah pasti mereka akan menyeretmu bersamanya,” ujar Gabriel lagi seraya memimpin langkah.Pria itu melepas kacamatanya, lalu berjalan ke arah ruang kerja yang selama