Berlian yang Paling Keras
“Lihat ... lihat! Aku sudah bilang, kan? Kamu harus mengumpan bolanya padaku!”
Naila mengernyitkan dahi saat mendengar suara riuh dari Adrian dari ruang keluarga. Dengan sisa tenaga, Naila melepas heelsnya dan melangkah dengan sandal rumah.
Beberapa pekerja yang melihat kepulangan Naila di siang hari saling melirik satu sama lain. Tidak biasanya Naila yang begitu tepat waktu itu melanggar prinsipnya dan kembali ke rumah sebelum jam pulang kantor.
Naila tidak menggubris tatapan-tatapan dari para pekerja padanya. Keinginan yang tersembunyi di dada Naila adalah segera berpindah ke ruang keluarga dan melihat dengan siapa Adrian berbicara.
“Kan! Kamu tidak jago main game, Xavier!”
Deg! Langkah Naila terhenti. Adrian baru saja menyebutkan nama lelaki yang membuatnya naik pitam saban hari. Langkah Naila semakin cepat, buru-buru ingin memastikan jika lelaki itu benar-benar Xavier yang dia bayangkan.
Tepat di balik sofa ruang keluarga, berjarak lebih dari dua meter. Naila menatap dari sisi samping pada Xavier yang duduk nyaman di karpet berbulu. Tidak ada rasa segan dari raut wajah Xavier, meski lelaki itu memijak lantai rumah dari Naila, yang dia usili kemarin.
“Kenapa kamu membawa bocah ini, Adrian?” seru Naila geram. Kedua tangannya mendarat terlipat di dada. Mata Naila menyala dengan amarah yang membara.
Mendengar seruan keras dari kakaknya, Adrian segera melempar stick game di tangannya dan bergegas berdiri. Kedua tangan Adrian terkunci di balik punggung. Tatapannya sedikit menunduk, khawatir jika Naila akan menyeret Xavier dan memarahi lelaki itu.
“Jelaskan! Kenapa membawa lelaki itu ke sini? Kenapa membawa orang asing saat tidak ada Mama di rumah. Saat aku juga tidak ada di rumah.” Naila begitu beringas. Tatapannya menyoroti Adrian dan Xavier secara bergantian.
Mendapat sambutan panas begitu, Xavier ikut bangun dan berjalan mendekat ke arah Naila. Bersikap layaknya lelaki dewasa sembari memasang senyum ramah pada Naila.
“Adrian sudah izin. Aku saksinya!” ujar Xavier tanpa diminta Naila.
Naila mengangkat wajahnya begitu Xavier berdiri tepat di depannya. Tinggi Xavier yang melampaui Naila membuat gadis itu terpaksa menengadah.
“Hah, izin sama siapa?” tantang Naila.
“Sama Tante!”
“Tante?! Kamu masih memanggilku Tante?” Naila semakin berang. Semburat merah mulai memenuhi wajah Naila. Dirasakannya darahnya mendidih, puncak kepalanya seperti api yang berkobar. Ingin segera menghanguskan Xavier yang telah memancing emosi dalam dirinya.
“Lalu aku harus memanggil Anda apa?”
“Adrian! Lihat, bukan? Aku sudah bilang padamu, jangan berteman dengannya. Dia bahkan tidak tahu cara menghormati kakakmu!”
Adrian yang diseret Naila dalam perdebatan antara dirinya dan Xavier memilih diam. Berpura-pura tidak mendengar sembari memutar bola mata. Ingin sekali Adrian melarikan diri dari situasi rumit ini, namun meninggalkan Xavier di sana bersama Naila, sama saja dengan mengirim Xavier ke neraka.
“Oke, aku mengalah. Aku akan berhenti memanggil Anda tante, dan akan aku ganti dengan panggilan Kakak. Bisa kita berdamai?” ujar Xavier lagi sembari mengulurkan tangan.
Naila yang melihat hal tersebut hanya mencibir. Menolak berdamai dengan Xavier seperti permintaan lelaki itu.
“Jadi, aku boleh tetap bermain di sini, Kak?” Xavier tidak mau berhenti. Terus mengajak Naila berbicara. Tujuan Xavier saat ini, membuat Naila menerima dirinya sebagai teman dari Adrian.
Lagi-lagi Naila menolak menjawab. Naila semakin mengangkat wajahnya, menatap manik hazel di mata Xavier sembari berkata, “Jika tujuanmu mendekati Adrian tidak semanis rayuanmu, maka jangan salahkan aku jika kedua kakimu tidak lagi bisa membuatmu berdiri.” Lalu Naila berjalan melewati Xavier, dengan sengaja menyenggol Xavier, mempertahankan arogansinya agar Xavier paham jika dirinya tidak sedang bercanda.
Menerima perlakuan seperti itu, Xavier hanya tersenyum sembari berbalik pada Adrian. “Kakakmu unik, dan ... menarik.”
“Xavier!” Adrian segera mendekati sahabatnya. “Jangan bilang kamu naksir Kak Naila?” Adrian bergidik ngeri. Adrian kenal benar dengan Xavier, lelaki satu ini otaknya sudah korslet, seperti tersetrum listrik tegangan tinggi. Tidak mudah menyerah jika sudah menetapkan keinginan.
“Naksir? Memangnya salah? Hah, tenang saja, Adrian. Aku juga tahu batasan. Ayo lanjutkan gamenya,” kilah Xavier sembari melirik stick game yang tergeletak di karpet berbulu.
“Engga ah, kamu ga bisa main game, Xavier. Permainanmu buruk, hanya omonganmu saja yang bagus.”
“Kamu memang adiknya Naila, Adrian. Omonganmu sama pedasnya,” balas Xavier sebelum akhirnya kembali duduk di karpet berbulu.
--
Ayunan tua di halaman belakang rumah keluarga Halim terus berderit. Naila yang mengisi ayunan terus duduk diam sembari bersandar. Kepalanya terasa berat, ada banyak hal yang berkelebat di dalam sana.
Suasana sore di halaman rumah Halim terasa damai. Semilir angin yang sejuk, gemercik air dari kolam koi yang berumur lebih tua dari Naila serta pepohonan yang sama tuanya memberi efek tenang pada Naila.
Lima menit pertama, Naila merasa berat. Lima menit berikutnya, Naila merasa nyaman.
Hanya bunyi berderit yang terus menggema pelan. Naila diam dengan kedua mata terpejam.
Pikiran Naila berkelana, mengunjungi masa lalunya saat masih mungil dulu. Saat dirinya dibesarkan sendirian oleh Gabriel hingga berusia lima tahun, lalu Queen datang sebagai ibu sambung untuknya.
Naila masih ingat setiap detik yang Queen habiskan demi dirinya. Setiap air mata yang Queen tumpahkan saat dirinya terluka. Bahkan, cinta dari ibu kandungnya saja tidak bisa sedalam itu.
“Hah, Mama kapan pulangnya?” Naila bergumam masih dengan mata terpejam.
“Kamu rindu mamamu?” Sebuah suara berat menginterupsi angan Naila.
Kedua mata Naila terbuka. Tatapannya jatuh pada lelaki yang datang dan bergabung dengannya di ayunan tanpa permisi. Ayunan sedikit berderit, lalu berhenti mengayun setelah Xavier menahannya dengan kedua kakinya yang panjang.
“Ngapain, sih?” tanya Naila tidak terima. Baru saja dirinya merasa damai, malah Xavier datang merusak kedamaiannya.
“Jangan kasar begitu, Naila.”
“Naila? Kamu ingin dipukul?” Sengit, Naila tidak mau tinggal diam.
“Kita hanya terpaut usia lima tahun. Tidak nyaman memanggilmu Kakak.” Xavier membalas tanpa perduli jika sebenarnya Naila tidak menyukai kehadirannya.
“Kamu pikir ini di luar negeri? Seenak hati memanggil orang yang lebih tua dengan namanya.”
“Hei, Naila, aku memang dilahirkan di luar negeri. Jadi wajar dong, aku memanggilmu dengan nama saja,” balas Xavier. Xavier memilih bersandar di ayunan. Berpura-pura memejamkan mata, bersikap tenang dan tidak terintimidasi dengan penolakan beruntun dari Naila.
“Dasar bocah nakal. Duduk saja sendiri!” gerutu Naila. Gadis itu segera turun dari ayunan. Membiarkan ayunan bergoyang keras hingga kedua kaki Xavier yang menahan ikut terseret.
Xavier membuka mata, menatap punggung Naila yang baru saja berpindah dari hadapannya. “Astaga, kenapa ada berlian sekeras ini, sih? Sepertinya perkakasku harus lebih tajam.”
Xavier yang Normal Lelaki berusia lima puluh tujuh tahun, dengan rambut yang memutih di kedua pelipis itu berdiri di balkon apartemennya. Tatapannya memendar ke seluruh penjuru kota Swiss. Bahunya masih tegap, meski raut wajahnya mulai dihiasi kerutan halus. “Suamiku,” panggil sang istri. Wanita cantik berusia tiga belas tahun lebih muda dari suaminya datang dengan nampan di tangan. Secangkir teh masih mengepulkan asap. Sepiring kukis terlihat menggoda selera. Lelaki itu menoleh saat mendengar derap langkah istrinya semakin dekat, lalu tersenyum ramah menyambut kehadiran kekasihnya. Dua puluh satu tahun kebersamaan mereka, tidak pernah sekalipun dirinya merasa menyesal telah menikahi istrinya. “Queen, istriku.” “Langitnya indah, Sayang.” Queen ikut menatap langit jingga. Balkon tempatnya dan Gabriel menghabiskan sore selama di Swiss kini menjadi tempat favorit baru bagi wanita itu. “Kamu lebih indah, Queen.”“Jangan memujiku. Usia kita tidak lagi pantas untuk saling merayu, Saya
Bab 6: Xavier yang Normal Lelaki berusia lima puluh tujuh tahun, dengan rambut yang memutih di kedua pelipis itu berdiri di balkon apartemennya. Tatapannya memendar ke seluruh penjuru kota Swiss. Bahunya masih tegap, meski raut wajahnya mulai dihiasi kerutan halus. “Suamiku,” panggil sang istri. Wanita cantik berusia tiga belas tahun lebih muda dari suaminya datang dengan nampan di tangan. Secangkir teh masih mengepulkan asap. Sepiring kukis terlihat menggoda selera. Lelaki itu menoleh saat mendengar derap langkah istrinya semakin dekat, lalu tersenyum ramah menyambut kehadiran kekasihnya. Dua puluh satu tahun kebersamaan mereka, tidak pernah sekalipun dirinya merasa menyesal telah menikahi istrinya. “Queen, istriku.” “Langitnya indah, Sayang.” Queen ikut menatap langit jingga. Balkon tempatnya dan Gabriel menghabiskan sore selama di Swiss kini menjadi tempat favorit baru bagi wanita itu. “Kamu lebih indah, Queen.”“Jangan memujiku. Usia kita tidak lagi pantas untuk saling meray
Bab 7: Jaga Jarak Aman, Bro!Me time! Itulah yang dilakukan Naila saat ini. Memutari setiap lantai dari Mall sendirian.Sebelumnya, Naila terpaksa mengganti blouse dengan potongan yang lebih panjang. Hampir saja Naila juga berganti jeans setelah mematut dirinya di cermin cukup lama, namun jika hal itu dia lakukan, sama saja dengan Naila membenarkan semua ucapan Xavier.Pandangan Naila menyapu setiap senti Mall dari kota kembang itu. Derap langkahnya begitu percaya diri. Kemampuan finansial serta kebiasaan hidup glamour-lah yang membentuk rasa percaya diri dalam diri Naila.Naila begitu sibuk memanjakan mata dengan deretan toko-toko barang mewah yang beberapa di antaranya adalah milik kolega gadis itu.“Tidak! Aku sudah punya yang lebih bagus,” gumam Naila saat melihat salah satu gaun yang terpajang di etalase butik.Gaun bernuansa biru gelap, dengan motif bunga tulip berlatar senja i
Bab 8: Permintaan Xavier“Jaga jarak aman dari pacarku, Bro!”Xavier menekan kalimatnya hingga rahangnya mengeras. Kedua mata Xavier menatap Adam tajam. Seakan ada laser mematikan yang dipancarkan dari kedua matanya.“Pacar?!” Adam melirik Naila lalu menatap kembali Xavier. Kedua tangan Adam kini tersimpan di saku jeansnya.Bukannya merasa terintimidasi, namun kehadiran Xavier membuat Adam ingin tertawa keras.Bagaimana mungkin pria muda seperti Xavier mengaku sebagai pacar dari Naila? Gadis pemarah itu pastilah sangat pemilih soal pacar.“Naila, dia benar-benar pacarmu?” Adam tidak sabar mendengar jawaban dari Naila.Adam yakin benar, jika prediksinya soal jawaban dari Naila akan tepat 100 persen. Bagaimana bisa Naila mengakui pemuda seperti ini sebagai pacarnya? Mau dibawa ke mana embel-embel nama Halim yang selama ini dia sandang?
Ada yang Tersenyum Diam-Diam“No! Aku tidak setuju!” Naila memekik hingga lelaki seumuran papanya itu menutup telinga. Sudah hampir lima belas menit Naila berdiri di ruangan Direktur Pemasaran bernama Tanto itu. Sudah selama itu juga, Direktur berpostur gempal dengan perut sebuncit wanita hamil sembilan bulan itu menolak permintaan dari Naila. “Anda gila, hah? Anda ingin membuat perusahaan ini bangkrut dengan menyewa artis dari luar negeri untuk produk yang tidak laku ini?” seru Naila lagi. Suara Naila terdengar hingga ke luar ruangan Direktur Tanto. Beberapa karyawan yang masih bertahan di kubikel berpura-pura tidak mendengar perseteruan antara Naila dan Tanto. Meski begitu, perdebatan Naila dan Tanto bisa mereka dengar tanpa berusaha untuk mendengar. “Naila, anggaran untuk proyek ini sudah ditentukan dan jumlahnya cukup. Lagi pula, menggunakan artis luar negeri untuk mempromosikan produk ini akan membantu peningkatan penjualan. Apa kamu tidak paham soal marketing?” Tanto tidak m
“Pa!” Naila menerobos masuk ke kantor dari pemimpin puncak Halim Group.Disusul oleh Sekretarisnya Dian, dan juga Sekretaris dari Gabriel. Lelaki muda yang belum lama ini menggantikan posisi Sekretaris Sophie itu tidak pernah berani menghalangi Naila, apalagi meminta gadis itu menunggunya meminta izin pada Gabriel sebelum mempersilahkan Naila masuk.Ruangan Gabriel yang luas masih terasa nyaman. Buku-buku tua tempat dimana koleksi Gabriel berada sudah berpindah posisi dari kiri ke kanan.Sofa tempat Gabriel menerima tamu telah berganti dengan jenis yang berbeda dan lebih elegan. Dilapisi kulit dengan warna marun yang manis, serta karpet berbulu berwarna hitam dengan bercak putih.Naila seketika berhenti melangkah saat melihat salah satu karyawan dari HRD sudah berdiri di sana, beserta tiga karyawan magang yang berseragam hitam dan putih.“Bu Naila,” sapa karyawan HRD bernama Hild itu.
Kisah yang Terungkap dari Kotak Bekal“Jelaskan!” pekik Naila.Naila berdiri menghadap meja kerjanya. Melempar kesal map biru yang seharusnya menjadi penguat dari segala tuduhan yang dia alamatkan pada Tanto.Percuma! Kerja kerasnya mencari kebusukan Tanto berakhir sia-sia.Lelaki itu memang memberi kontribusi nyata untuk perusahaan selama ini. Beberapa produk yang selama ini populer juga ada di bawah kepemimpinannya.Tetapi, sikap Tanto yang menganak-tirikan produk kecantikan Queenzee membuat Naila naik pitam.Kerja kerasnya dengan Queen seakan tidak berharga di mata Tanto. Bahkan, Tanto ingin mengganti brand ambassador produk Queenzee yang telah ditetapkan Naila dan Queen seenak hati.“Jelaskan!” ulang Naila.Satu tangan Naila bertumpu pada permukaan meja. Sedang tangan yang lain terus memijat keningnya yang berdenyut hebat.&ldquo
“Ayo!” ajak Adrian.“Tidak! Aku masih kenyang. Kalian duluan saja,” tolak Xavier.“Kenyang? Makan apa? Angin?” Adrian sedikit merunduk dengan wajah menengadah. Adrian berusaha membaca kejujuran Xavier melalui tatapan mata lelaki itu.Adrian sedikit banyak mengenal Xavier. Entah kenapa, Xavier begitu lihai dalam menyembunyikan keadaannya yang sebenarnya.Ditatapi begitu, Xavier menghindar dengan menoleh, “Jalan, Adrian. Kakakmu bisa mengomel lagi.”“Yakin? Atau mau aku bungkusin?”“Aku cukup kenyang, thanks!” Lagi-lagi Xavier menolak dengan halus.Adrian sedikit mengernyitkan dahi, seakan menemukan celah kebohongan dari jawaban Xavier. Dengan terpaksa, Adrian berhenti bertanya dan memaksa Xavier.Bagi Adrian, meski keduanya berteman, tetap saja Xavier punya privasi yang tidak bisa dia langgar.“Oke
Bab 48: Suatu Sore di LA“Kenapa gaun lagi, Sayang?” Pria bermanik mata hazel itu tidak henti-hentinya mengeluh setelah melihat outfit sang istri yang lebih mirip model. Padahal, jika mengikuti rencana awal, mereka hanya akan menghabiskan waktu yang indah di MacArthur Park sembari menikmati sore nan romantis bersama.“Memangnya kenapa?” balas sang istri. Dia menata ulang rambut panjangnya yang tergerai hingga punggung, sebelum akhirnya menjempit anak rambut dengan jepitan mungil yang dibelikan sang suami saat masih di negara sendiri.“Naila ... aku tidak suka jika pria-pria bule itu menatap kaki dan lenganmu! Ganti saja dengan jeans dan kemeja lengan panjang!” keluhnya lagi.“Astaga, Xavier?! Apa kamu lupa siapa penyebabnya? Apa kamu lupa betapa panjangnya malam tadi hingga bangun pagi ini, tubuhku terasa remuk? Pinggangku linu, bahkan seluruh tubuh sakit. Aku kesulitan berjalan jika mengenakan je
Dua sosok yang mengira akan bersama dua tahun lalu itu, kini duduk saling berhadapan dalam bisu. Gadis yang tersenyum tipis itu menghentikan kekakuan dengan menyodorkan selembar undangan nuansa emas serta mengeluarkan harum ke arah pemuda di hadapannya. Dia tersenyum Seraya berujar, “Semoga kamu bisa datang, ya?”“Kamu mengundangku?” selidik pemuda itu.Dia terus berusaha menahan segala tanda tanya yang terus berkecamuk saat melihat mantan kekasih yang pernah dipermainkannya itu berbesar hati mengundang dirinya. Padahal, hubungan keduanya berakhir dengan saling membalas satu sama lain.“Yap ... tidak ada alasan untuk tidak mengundangmu, Rey?!” balas gadis itu.“Setelah kamu menghancurkan karierku, Naila?”“Kamu juga menghancurkan hidupku, Rey. Kamu memanfaatkanku, demi menaiki dunia hiburan itu.” Naila terus berbicara dalam nada rendah. Sekalipun dia tidak me
Bab 46: Peringatan!Kekerasan tidak menyelesaikan segalanya. Adegan di dalamnya hanya sebagai alur dari cerita dan bukan sebagai contoh dalam menghadapi sesuatu di dalam kehidupan.--“Heh! Tikus got kemarin sore nantangin kita, Bro!” Pria bertopi bannie berujar dengan nada merendahkan. Sudut bibir kanannya naik, karena merasa jika Net tidak sebanding dengan dirinya apalagi melawan mereka berdua. Ditambah lagi, pemuda yang berdiri dengan wajah melongo di belakang Net terlihat lebih lemah dari Naila, sehingga rasa percaya dirinya naik berkali-kali lipat hanya dalam waktu yang sangat singkat.“Sebentar, sepertinya gadis ini bukan gadis biasa,” lirih pria berperut buncit dengan tatapan penuh selidik. Dia terus memperhatikan kuda-kuda dari Net serta bentuk tubuh dari gadis itu.Merasa yakin dengan firasatnya, dia kembali memperkuat genggamannya pada belati yang sedari tadi dia gunakan u
Bab 45: Dua Penjahat II“Berhentilah menjerit, kamu akan aman bersamaku, Sayang,” bisik seseorang itu. Naila yang sedari tadi menatap paras penolongnya mulai bersikap tenang. Gadis itu berhenti menjerit, dan memilih untuk mengatur napasnya yang berkejaran.“Kemarilah, peluk aku, Nail.” Pemuda itu melepaskan bekapannya di mulut Naila setelah melihat gadisnya, lalu mengulurkan kedua tangannya demi menyambut gadisnya yang masih begitu ketakutan. Naila yang mengenali dan merindukan pemuda itu, segera menghambur, memeluk seerat mungkin pemuda yang semalam hampir tidak bisa dilihatnya lagi.Keduanya berbagi pelukan dalam. Xavier terus berusaha menghentikan Naila yang menangis terisak dengan membelai punggungnya, sedang Naila semakin mempererat pelukannya pada Xavier, membenamkan wajahnya di pelukan pemuda itu demi memastikan sekali lagi jika pria yang menolong dirinya benar-benar kekasihnya sendiri.“Ke mana gadis
Bab 44: Dua PenjahatHampir satu jam lamanya gadis dengan rambut kuncir kuda atau pony tail itu berdiri di jendela kamarnya yang tertutup tirai putih gading. Tatapannya terus menyisir ke seluruh bagian dari taman belakang rumah yang menjadi pemandangan dari kamarnya. Berulang kali, gadis yang diberi nama Naila itu mencebik, sebab jumlah penjaga yang berjaga hari ini jadi dua kali lipat dibanding sebelumnya.Pagi tadi, tidak ada angin ataupun hujan, sebelum berangkat bekerja, Gabriel memberi perintah pada para penjaga untuk meningkatkan keamanan dan tidak memberi Naila izin untuk keluar tanpa keamanan. Itulah sebabnya, gadis berparas cantik itu menjelma menjadi burung dalam sangkar emas. Tidak ada teman yang bisa menemaninya saat ini, hanya kesunyian yang menjadi sahabat baik gadis itu di kamarnya yang feminin.Di tengah keputusasaan itu, Naila mendengar seseorang bersuara keras dari luar sana. Gelak tawanya memecah sunyi hingga menembus
Bab 43: Keputusan“Xavier, berhentilah! Kamu keterlaluan,” seru Naila. Gadis itu terus mengulangi permintaannya terhadap pemuda yang semakin beringgas merengkuh dirinya.Xavier mengendus dalam-dalam aroma harum dari tubuh Naila, lalu dihadiahinya sebuah kecupan di setiap senti pundak gadis itu. Tanpa henti, tanpa rasa puas. Xavier berubah menjadi monster dengan sorot mata yang kelam hingga tidak mampu mendengar jerit putus asa dari gadis yang disukainya.“Xavier, ada apa denganmu? Hentikan! Kamu menyakitiku, Xavier?!” Naila terus menghujamkan pukulan demi pukulan ke setiap bagian yang bisa dia raih dari tubuh pemuda itu. Namun, semakin beringas pula cumbuan di lehernya yang jenjang serta wajahnya yang lembab.“Aku tidak mau kehilanganmu, Nail,” desah Xavier setelah berhenti mencumbu Naila. Pemuda itu memutuskan untuk merebahkan wajahnya yang menghangat di pundak Naila yang terus bergerak turun dan naik.
Bab 42: Aku Tidak Akan Menyerah“Aku akan melaporkannya pada polisi, Presdir!” saran Jey setelah berpikir cukup lama.“Jangan, Jey! Hal seperti ini hanya akan mengundang wartawan untuk datang ke rumah. Permasalahan pertunangan Naila yang dibatalkan saja sudah cukup menyusahkan. Jika permasalahan seperti ini masuk ke pihak polisi, maka akan menyeret seluruh keluarga dan nama baik perusahaan. Sebaiknya, kita menyelidiki lebih dulu. Aku yakin, ini menyangkut perusahaan,” tahan Bagas tanpa beranjak dari duduknya.Suasana seketika menghening kembali. Setiap anggota keluarga Halim yang berada di rumah itu saling berpikir dalam diam, begitu juga dengan Naila dan Adrian yang masih syok dengan kejadian yang baru saja menimpa keduanya.“Tunggu! Aku ingat sesuatu.” Jey bangkit dari sofa lalu berjalan mendekati Naila yang masih duduk dengan dipeluk oleh Queen.Gadis itu memasang wajah muram, sedikit menengad
Bab 41: Ancaman“Kamu akan berdiri saja di situ?” geram Naila.Sorot matanya terus menatap ke arah gadis berambut pendek yang berdiri tegap tepat di sisi mejanya. Gadis itu melipat kedua tangan di belakang punggung, kedua kakinya tegap, bahkan ekspresinya datar menatap ke luar ruangan.“Apa kamu tidak lelah, hah?” lanjut Naila masih dengan intonasi kesalnya.Sudah semingguan ini, gadis tanpa ekspresi itu menjadi bodyguard yang mengekorinya ke mana pun, termasuk ke kamar mandi. Bahkan, gadis ini tidak menurut jika Naila memintanya untuk menunggu di luar.“Aku tidak butuh Bodyguard, Net!” seru Naila. Dirinya tidak bisa berhenti mencebik, mengingat bagaimana terkekangnya hidupnya setelah Net hadir.“Memangnya kamu enggak punya kerjaan lain, apa? Selain ngekorin aku?”“Kerjaan saya mengikuti Anda, Nona!” balas Net tanpa mengendurkan ekspresi din
Bab 40: Alasan Kembali dan Sindiran Andrian“Saya, Presdir?” Xavier menunjuk dirinya sendiri dengan wajah bingung. Baik Queen dan Naila berhenti sejenak, memandangi Gabriel yang masih menatap Xavier dengan sorot matanya yang dalam.“Ayo, Naila ... kamu harus istirahat,” ajak Queen seraya sedikit memaksa putrinya. Wanita itu sadar jika sang suami punya urusan pribadi dengan Xavier.Dengan berat hati, Naila membiarkan Xavier menghadapi Gabriel seorang diri. Membiarkan pemuda itu dalam sulitnya berhadapan dengan Gabriel, demi menutupi kenyataan jika keduanya mulai bersama sejak hari ini. Meski langkahnya terasa berat, tetap saja dia beranjak mengiringi langkah kaki Queen.“Kita bicara di ruang kerjaku. Jika kedua orangtuamu melihatmu, sudah pasti mereka akan menyeretmu bersamanya,” ujar Gabriel lagi seraya memimpin langkah.Pria itu melepas kacamatanya, lalu berjalan ke arah ruang kerja yang selama