Jadi Ini Orangnya?
“Selamat pagi, Bu Naila!” sapa Dian.
Wanita berkacamata dengan penampilan rapi itu sudah berdiri tegak di atas heelsnya yang tumpul, menyambut atasannya yang baru saja datang dengan wajah kusut. Seakan sudah terbiasa, Dian segera menarik singgasana Naila dan mempersilahkan Naila duduk di sana.
“Anda ingin kopi, Bu?”
Naila menggeleng tidak tertarik. Tatapannya malah terfokus pada figura minimalis di meja kerjanya. Figura manis yang membingkai selembar foto, yang mengisahkan kisah manis antara dirinya dan Rey dulu.
“Anda ingin saya membuangnya?” Dian menebak. Berharap jika alasan dari wajah masam Naila hari ini disebabkan oleh berulangnya petaka yang sama. Naila putus cinta.
“Bakar!” sahut Naila. Kedua mata Naila menyala marah.
“Ba-bakar?” Dian tergagap. Biasanya, Naila hanya meminta Dian untuk membuang foto-foto Naila dengan kekasihnya, tanpa memintanya membakar. Kali ini, sepertinya Naila menaruh dendam pada mantan kekasihnya yang satu ini, aktor tampan yang sedang naik daun itu.
“Kamu tidak bisa mendengarku, Dian? Aku bilang, BAKAR!”
“Ba-baik, Bu Naila.” Dian segera meraih figura kecil itu, lalu membawanya serta dengan langkah setengah berlari.
Heelsnya yang mulai rusak bisa menimbulkan bebunyian jika Dian paksa berlari. Kehidupan Dian sebagai single parent dan baru bekerja selama satu bulan di bawah Naila membuat dirinya belum bisa bergonta-ganti barang mewah seperti sekretaris dari petinggi yang lain.
Naila yang melihat gelagat dari Dian mengerutkan kening. Kedua netra Naila mengikuti pergerakan dari Dian hingga wanita itu menghilang dari ruangannya.
Naila memutar kursi, menghadap dinding yang terbuat dari jendela kaca sembari mengatur nafas. Meski gadis itu terlihat sangat tenang, sejatinya kepala pintar Naila sedang sibuk merencanakan sesuatu. Sesekali gadis itu mengukir smirk, merasa puas dengan ide-ide yang terus bermunculan di kepalanya.
Kkrreek!
Pintu ruang kantor Naila berderit. Naila berbalik demi melihat siapa yang baru saja bergabung dengannya di sana. “Kamu sudah kembali, Dian?”
“Benar, Bu. Saya sudah membakar figura tersebut sesuai dengan kemauan Ibu. Ada lagi yang Anda butuhkan?” tanya Dian sembari tersenyum. Tulunjuknya yang kurus membenarkan letak kacamata dengan frame hitam tebal di wajahnya.
“Tentu saja! Ambil ini, dan beli beberapa potong baju dan sepatu. Pilih dari brand ternama dengan kualitas terbaik. Oh iya, harus desain terbaru!” lanjut Naila tanpa mengendurkan ekspresi arogannya.
Dian mendekati meja Naila dengan ragu-ragu. Berusaha meraih kartu kredit berwarna emas yang diletakkan Naila di sana dan menggenggamnya erat-erat.
Benak Dian dipenuhi berbagai pertanyaan, entah apa yang merasuki Naila hingga meminta dirinya yang kuno dan kolot itu membeli pakaian untuk gadis se-fashionable Naila.
“Jalan, Dian! Jangan membuatku menunggu terlalu lama.” Lagi-lagi Naila berseru. Membuat Dian yang masih bingung tersentak kaget.
“Ba-baik, Bu!”
Untuk kedua kalinya, dalam waktu kurang dari satu jam, Dian kembali berbalik dan bergegas meninggalkan ruang kantor Naila.
“Oh iya, beli beberapa riasan simpel juga. Beberapa makeupku mulai habis,” tambah Naila. Pandangan Naila masih terpaku pada meja kerjanya yang kosong. Tidak ada lagi figura yang selama ini menjadi mood-booster dari gadis itu.
“Baik, Bu,” jawab Dian terakhir kalinya sebelum benar-benar keluar dari ruangan Naila. Tidak ada lagi pertanyaan lanjutan dari Dian, yang ada di benaknya hanyalah menyelesaikan tugas berat dari Naila dan kembali sebelum jam makan siang.
--
“Apa kalian sudah berakhir?” Hill memulai percakapan dengan Rey begitu dirinya selesai take untuk scene hari ini. Hill bergabung bersama Rey, membawa dua kaleng soda dan mengambil tempat di sebelah Rey.
“Maksudmu, Naila?” balas Rey. Satu tangan Rey menerima uluran soda dari Hill sembari menengadah membalas tatapan Hill padanya.
Hill mengangguk, lalu membuka kaleng soda miliknya. “Kamu ketahuan?” Hill terkekeh geli lalu meneguk soda di tangannya.
“Sialan, Hill. Siapa yang membocorkan informasi itu pada Naila, sih? Aku belum mendapat banyak keuntungan dari gadis itu.”
Hill mengangkat bahu, dirinya juga tidak bisa menebak siapa yang membuat Rey kehilangan mangsa besar seperti Naila.
“Lagipula, kamu juga tidak menyukainya, bukan?”
“Heh! Siapa juga yang akan menyukai gadis kasar seperti Naila? Jika bukan karena latar belakangnya yang menakjubkan itu, aku yakin tidak akan ada satu lelaki pun yang bersedia mendekati gadis itu. Naila itu gila, Hill! Kamu lihat sikapnya saat makan malam di pestaku kemarin?” Bahu Rey bergetar. Lelaki itu merinding saat mengingat kembali kenangan bersama Naila.
“Saat Naila menyiram Venhyta?” tebak Hill.
“Yap! Setelah kejadian itu, Venhyta bahkan tidak mau bertegur sapa denganku.”
“Rey, bukankah itu juga salahmu? Kamu menggoda Venhyta di saat ada Naila di sana. Sudah bagus hanya Venhyta yang disiram, bagaimana jika kamu juga dijambak oleh tuan putri itu? Bisa rontok rambutmu, Rey!” seru Hill.
Diceramahi begitu, Rey memilih diam. Meski ucapan Hill terhadap dirinya itu ada benarnya, tetap saja Rey menolak membenarkan.
Kehidupan Rey selama ini baik-baik saja, karirnya melejit, gadis-gadis berdatangan padanya. Tidak ada satu gadis pun yang berani menolak jika Rey yang meminta. Bahkan, gadis sekasar Naila bisa menjadi mainannya.
Lama keduanya terdiam, meneguk habis soda hingga tersisa kaleng kosong. Rey meremas kaleng soda, lalu melempar asal kaleng tersebut ke meja di depannya.
“Apa artis utamanya sudah datang?” Hill bertanya sembari menengadah. Suara riuh-rendah dari pintu masuk lokasi syuting menarik perhatian Hill.
Rey yang sedari tadi juga diam, ikut melongok mengikuti arah pandang Hill. Keningnya berkerut, sinar matahari membuat jarak pandangnya terbatas. Meski begitu, Rey bisa menebak jika gadis yang baru saja masuk dan membuat kehebohan itu merupakan gadis cantik.
“Mangsa baru ...,” ujar Rey dengan senyum iblis.
“Rey, Hill, kemarilah! Kita punya sponsor baru. Kalian harus menyambutnya dan bersikap sopan padanya. Apa kamu tahu? Bahkan dana yang dia berikan untuk film ini mengalahkan dua sponsor utama lainnya. Astaga! Aku tidak percaya jika orang sehebat dirinya bisa datang langsung ke lokasi syuting.” Sutradara yang baru selesai mengatur scene menghampiri Rey dan Hill. Nafasnya terengah-engah, begitu sibuk mengumpulkan satu per satu artis dari filmnya agar ikut menyambut sponsor baru.
Mendengar penjelasan tergesa-gesa dari sutradara, mata Rey yang merupakan playboy kelas teri itu berbinar. Bisa Rey tebak, jika gadis yang baru saja datang tadi adalah sponsor baru yang disebutkan oleh sutradara.
“Ayo, Hill! Kita temui calon pacarku!” Rey segera bangkit dari duduk dan membenarkan kostum syuting yang sedari tadi melekat di tubuhnya. Perannya sebagai pria keren di film tersebut membuatnya berpakaian elegan.
Terpaksa, Hill mengikuti Rey dengan langkah malas. Hill bisa menebak, jika sebentar lagi Rey akan mengeluarkan jurus-jurus mautnya demi menaklukkan gadis pemberi sponsor baru tersebut.
“Itu dia, bukan?” Rey menyikut Hill dengan pandangan tertuju pada gadis yang membelakangi keduanya.
“Kenapa dia terlihat familiar?” monolog Rey setelah memperhatikan cukup lama. Meski gadis di depannya berpakaian normal khas kantoran, tetap saja punggung gadis itu terlihat familiar.
Meski ragu-ragu, Rey tetap mendekati gadis berpunggung cantik yang sedang mengobrol dengan produser. Melihat kedatangan Rey, produser tersebut menunjuk ke arah Rey, meminta tamunya untuk ikut berbalik.
“Ini aktor baru yang saya bicarakan, Nona Halim.” Produser tersenyum bangga. Sedang Rey yang melihat kehadiran Naila, berubah pucat.
“Oh, ini orangnya?” tanya Naila.
Bab 4: Perasaan yang Sesungguhnya“Jadi, ini orangnya?” Naila hampir saja meledakkan tawa jika tidak mengingat lingkungan sekitarnya. Tatapan mata Rey yang melotot, mulut Rey yang mengaga lebar membuat Naila puas. Sangat puas hingga Naila ingin memamerkannya pada Adrian dan Hilda. Dua saudara yang selalu menertawai dirinya. “Benar, Nona. Rey adalah salah satu aktor yang mulai populer saat ini. Begitu banyak permintaan iklan datang untuk Rey. Bahkan, sudah ada tawaran film baru untuknya.” Produser menjelaskan dengan semangat yang berkobar. Sedang Naila, tertarik saja tidak untuk mendengar. Pikiran Naila saat ini hanya terpaut pada Rey yang mulai menundukkan wajah. Kepuasaan batin untuk Naila, saat melihat orang yang telah menyakiti dirinya tertekuk di ujung jemarinya. “Aku ingin menawarkan satu nama untuk film ini. Lagipula, produksinya baru dimulai, bukan?” Naila kembali melirik Sang Produser. “Na-nama? Untuk film ini?” “Yap! Aku membawa artisku sendiri. Dialah yang aku sponsori
Berlian yang Paling Keras“Lihat ... lihat! Aku sudah bilang, kan? Kamu harus mengumpan bolanya padaku!”Naila mengernyitkan dahi saat mendengar suara riuh dari Adrian dari ruang keluarga. Dengan sisa tenaga, Naila melepas heelsnya dan melangkah dengan sandal rumah. Beberapa pekerja yang melihat kepulangan Naila di siang hari saling melirik satu sama lain. Tidak biasanya Naila yang begitu tepat waktu itu melanggar prinsipnya dan kembali ke rumah sebelum jam pulang kantor. Naila tidak menggubris tatapan-tatapan dari para pekerja padanya. Keinginan yang tersembunyi di dada Naila adalah segera berpindah ke ruang keluarga dan melihat dengan siapa Adrian berbicara. “Kan! Kamu tidak jago main game, Xavier!” Deg! Langkah Naila terhenti. Adrian baru saja menyebutkan nama lelaki yang membuatnya naik pitam saban hari. Langkah Naila semakin cepat, buru-buru ingin memastikan jika lelaki itu benar-benar Xavier yang dia bayangkan. Tepat di balik sofa ruang keluarga, berjarak lebih dari dua met
Xavier yang Normal Lelaki berusia lima puluh tujuh tahun, dengan rambut yang memutih di kedua pelipis itu berdiri di balkon apartemennya. Tatapannya memendar ke seluruh penjuru kota Swiss. Bahunya masih tegap, meski raut wajahnya mulai dihiasi kerutan halus. “Suamiku,” panggil sang istri. Wanita cantik berusia tiga belas tahun lebih muda dari suaminya datang dengan nampan di tangan. Secangkir teh masih mengepulkan asap. Sepiring kukis terlihat menggoda selera. Lelaki itu menoleh saat mendengar derap langkah istrinya semakin dekat, lalu tersenyum ramah menyambut kehadiran kekasihnya. Dua puluh satu tahun kebersamaan mereka, tidak pernah sekalipun dirinya merasa menyesal telah menikahi istrinya. “Queen, istriku.” “Langitnya indah, Sayang.” Queen ikut menatap langit jingga. Balkon tempatnya dan Gabriel menghabiskan sore selama di Swiss kini menjadi tempat favorit baru bagi wanita itu. “Kamu lebih indah, Queen.”“Jangan memujiku. Usia kita tidak lagi pantas untuk saling merayu, Saya
Bab 6: Xavier yang Normal Lelaki berusia lima puluh tujuh tahun, dengan rambut yang memutih di kedua pelipis itu berdiri di balkon apartemennya. Tatapannya memendar ke seluruh penjuru kota Swiss. Bahunya masih tegap, meski raut wajahnya mulai dihiasi kerutan halus. “Suamiku,” panggil sang istri. Wanita cantik berusia tiga belas tahun lebih muda dari suaminya datang dengan nampan di tangan. Secangkir teh masih mengepulkan asap. Sepiring kukis terlihat menggoda selera. Lelaki itu menoleh saat mendengar derap langkah istrinya semakin dekat, lalu tersenyum ramah menyambut kehadiran kekasihnya. Dua puluh satu tahun kebersamaan mereka, tidak pernah sekalipun dirinya merasa menyesal telah menikahi istrinya. “Queen, istriku.” “Langitnya indah, Sayang.” Queen ikut menatap langit jingga. Balkon tempatnya dan Gabriel menghabiskan sore selama di Swiss kini menjadi tempat favorit baru bagi wanita itu. “Kamu lebih indah, Queen.”“Jangan memujiku. Usia kita tidak lagi pantas untuk saling meray
Bab 7: Jaga Jarak Aman, Bro!Me time! Itulah yang dilakukan Naila saat ini. Memutari setiap lantai dari Mall sendirian.Sebelumnya, Naila terpaksa mengganti blouse dengan potongan yang lebih panjang. Hampir saja Naila juga berganti jeans setelah mematut dirinya di cermin cukup lama, namun jika hal itu dia lakukan, sama saja dengan Naila membenarkan semua ucapan Xavier.Pandangan Naila menyapu setiap senti Mall dari kota kembang itu. Derap langkahnya begitu percaya diri. Kemampuan finansial serta kebiasaan hidup glamour-lah yang membentuk rasa percaya diri dalam diri Naila.Naila begitu sibuk memanjakan mata dengan deretan toko-toko barang mewah yang beberapa di antaranya adalah milik kolega gadis itu.“Tidak! Aku sudah punya yang lebih bagus,” gumam Naila saat melihat salah satu gaun yang terpajang di etalase butik.Gaun bernuansa biru gelap, dengan motif bunga tulip berlatar senja i
Bab 8: Permintaan Xavier“Jaga jarak aman dari pacarku, Bro!”Xavier menekan kalimatnya hingga rahangnya mengeras. Kedua mata Xavier menatap Adam tajam. Seakan ada laser mematikan yang dipancarkan dari kedua matanya.“Pacar?!” Adam melirik Naila lalu menatap kembali Xavier. Kedua tangan Adam kini tersimpan di saku jeansnya.Bukannya merasa terintimidasi, namun kehadiran Xavier membuat Adam ingin tertawa keras.Bagaimana mungkin pria muda seperti Xavier mengaku sebagai pacar dari Naila? Gadis pemarah itu pastilah sangat pemilih soal pacar.“Naila, dia benar-benar pacarmu?” Adam tidak sabar mendengar jawaban dari Naila.Adam yakin benar, jika prediksinya soal jawaban dari Naila akan tepat 100 persen. Bagaimana bisa Naila mengakui pemuda seperti ini sebagai pacarnya? Mau dibawa ke mana embel-embel nama Halim yang selama ini dia sandang?
Ada yang Tersenyum Diam-Diam“No! Aku tidak setuju!” Naila memekik hingga lelaki seumuran papanya itu menutup telinga. Sudah hampir lima belas menit Naila berdiri di ruangan Direktur Pemasaran bernama Tanto itu. Sudah selama itu juga, Direktur berpostur gempal dengan perut sebuncit wanita hamil sembilan bulan itu menolak permintaan dari Naila. “Anda gila, hah? Anda ingin membuat perusahaan ini bangkrut dengan menyewa artis dari luar negeri untuk produk yang tidak laku ini?” seru Naila lagi. Suara Naila terdengar hingga ke luar ruangan Direktur Tanto. Beberapa karyawan yang masih bertahan di kubikel berpura-pura tidak mendengar perseteruan antara Naila dan Tanto. Meski begitu, perdebatan Naila dan Tanto bisa mereka dengar tanpa berusaha untuk mendengar. “Naila, anggaran untuk proyek ini sudah ditentukan dan jumlahnya cukup. Lagi pula, menggunakan artis luar negeri untuk mempromosikan produk ini akan membantu peningkatan penjualan. Apa kamu tidak paham soal marketing?” Tanto tidak m
“Pa!” Naila menerobos masuk ke kantor dari pemimpin puncak Halim Group.Disusul oleh Sekretarisnya Dian, dan juga Sekretaris dari Gabriel. Lelaki muda yang belum lama ini menggantikan posisi Sekretaris Sophie itu tidak pernah berani menghalangi Naila, apalagi meminta gadis itu menunggunya meminta izin pada Gabriel sebelum mempersilahkan Naila masuk.Ruangan Gabriel yang luas masih terasa nyaman. Buku-buku tua tempat dimana koleksi Gabriel berada sudah berpindah posisi dari kiri ke kanan.Sofa tempat Gabriel menerima tamu telah berganti dengan jenis yang berbeda dan lebih elegan. Dilapisi kulit dengan warna marun yang manis, serta karpet berbulu berwarna hitam dengan bercak putih.Naila seketika berhenti melangkah saat melihat salah satu karyawan dari HRD sudah berdiri di sana, beserta tiga karyawan magang yang berseragam hitam dan putih.“Bu Naila,” sapa karyawan HRD bernama Hild itu.
Bab 48: Suatu Sore di LA“Kenapa gaun lagi, Sayang?” Pria bermanik mata hazel itu tidak henti-hentinya mengeluh setelah melihat outfit sang istri yang lebih mirip model. Padahal, jika mengikuti rencana awal, mereka hanya akan menghabiskan waktu yang indah di MacArthur Park sembari menikmati sore nan romantis bersama.“Memangnya kenapa?” balas sang istri. Dia menata ulang rambut panjangnya yang tergerai hingga punggung, sebelum akhirnya menjempit anak rambut dengan jepitan mungil yang dibelikan sang suami saat masih di negara sendiri.“Naila ... aku tidak suka jika pria-pria bule itu menatap kaki dan lenganmu! Ganti saja dengan jeans dan kemeja lengan panjang!” keluhnya lagi.“Astaga, Xavier?! Apa kamu lupa siapa penyebabnya? Apa kamu lupa betapa panjangnya malam tadi hingga bangun pagi ini, tubuhku terasa remuk? Pinggangku linu, bahkan seluruh tubuh sakit. Aku kesulitan berjalan jika mengenakan je
Dua sosok yang mengira akan bersama dua tahun lalu itu, kini duduk saling berhadapan dalam bisu. Gadis yang tersenyum tipis itu menghentikan kekakuan dengan menyodorkan selembar undangan nuansa emas serta mengeluarkan harum ke arah pemuda di hadapannya. Dia tersenyum Seraya berujar, “Semoga kamu bisa datang, ya?”“Kamu mengundangku?” selidik pemuda itu.Dia terus berusaha menahan segala tanda tanya yang terus berkecamuk saat melihat mantan kekasih yang pernah dipermainkannya itu berbesar hati mengundang dirinya. Padahal, hubungan keduanya berakhir dengan saling membalas satu sama lain.“Yap ... tidak ada alasan untuk tidak mengundangmu, Rey?!” balas gadis itu.“Setelah kamu menghancurkan karierku, Naila?”“Kamu juga menghancurkan hidupku, Rey. Kamu memanfaatkanku, demi menaiki dunia hiburan itu.” Naila terus berbicara dalam nada rendah. Sekalipun dia tidak me
Bab 46: Peringatan!Kekerasan tidak menyelesaikan segalanya. Adegan di dalamnya hanya sebagai alur dari cerita dan bukan sebagai contoh dalam menghadapi sesuatu di dalam kehidupan.--“Heh! Tikus got kemarin sore nantangin kita, Bro!” Pria bertopi bannie berujar dengan nada merendahkan. Sudut bibir kanannya naik, karena merasa jika Net tidak sebanding dengan dirinya apalagi melawan mereka berdua. Ditambah lagi, pemuda yang berdiri dengan wajah melongo di belakang Net terlihat lebih lemah dari Naila, sehingga rasa percaya dirinya naik berkali-kali lipat hanya dalam waktu yang sangat singkat.“Sebentar, sepertinya gadis ini bukan gadis biasa,” lirih pria berperut buncit dengan tatapan penuh selidik. Dia terus memperhatikan kuda-kuda dari Net serta bentuk tubuh dari gadis itu.Merasa yakin dengan firasatnya, dia kembali memperkuat genggamannya pada belati yang sedari tadi dia gunakan u
Bab 45: Dua Penjahat II“Berhentilah menjerit, kamu akan aman bersamaku, Sayang,” bisik seseorang itu. Naila yang sedari tadi menatap paras penolongnya mulai bersikap tenang. Gadis itu berhenti menjerit, dan memilih untuk mengatur napasnya yang berkejaran.“Kemarilah, peluk aku, Nail.” Pemuda itu melepaskan bekapannya di mulut Naila setelah melihat gadisnya, lalu mengulurkan kedua tangannya demi menyambut gadisnya yang masih begitu ketakutan. Naila yang mengenali dan merindukan pemuda itu, segera menghambur, memeluk seerat mungkin pemuda yang semalam hampir tidak bisa dilihatnya lagi.Keduanya berbagi pelukan dalam. Xavier terus berusaha menghentikan Naila yang menangis terisak dengan membelai punggungnya, sedang Naila semakin mempererat pelukannya pada Xavier, membenamkan wajahnya di pelukan pemuda itu demi memastikan sekali lagi jika pria yang menolong dirinya benar-benar kekasihnya sendiri.“Ke mana gadis
Bab 44: Dua PenjahatHampir satu jam lamanya gadis dengan rambut kuncir kuda atau pony tail itu berdiri di jendela kamarnya yang tertutup tirai putih gading. Tatapannya terus menyisir ke seluruh bagian dari taman belakang rumah yang menjadi pemandangan dari kamarnya. Berulang kali, gadis yang diberi nama Naila itu mencebik, sebab jumlah penjaga yang berjaga hari ini jadi dua kali lipat dibanding sebelumnya.Pagi tadi, tidak ada angin ataupun hujan, sebelum berangkat bekerja, Gabriel memberi perintah pada para penjaga untuk meningkatkan keamanan dan tidak memberi Naila izin untuk keluar tanpa keamanan. Itulah sebabnya, gadis berparas cantik itu menjelma menjadi burung dalam sangkar emas. Tidak ada teman yang bisa menemaninya saat ini, hanya kesunyian yang menjadi sahabat baik gadis itu di kamarnya yang feminin.Di tengah keputusasaan itu, Naila mendengar seseorang bersuara keras dari luar sana. Gelak tawanya memecah sunyi hingga menembus
Bab 43: Keputusan“Xavier, berhentilah! Kamu keterlaluan,” seru Naila. Gadis itu terus mengulangi permintaannya terhadap pemuda yang semakin beringgas merengkuh dirinya.Xavier mengendus dalam-dalam aroma harum dari tubuh Naila, lalu dihadiahinya sebuah kecupan di setiap senti pundak gadis itu. Tanpa henti, tanpa rasa puas. Xavier berubah menjadi monster dengan sorot mata yang kelam hingga tidak mampu mendengar jerit putus asa dari gadis yang disukainya.“Xavier, ada apa denganmu? Hentikan! Kamu menyakitiku, Xavier?!” Naila terus menghujamkan pukulan demi pukulan ke setiap bagian yang bisa dia raih dari tubuh pemuda itu. Namun, semakin beringas pula cumbuan di lehernya yang jenjang serta wajahnya yang lembab.“Aku tidak mau kehilanganmu, Nail,” desah Xavier setelah berhenti mencumbu Naila. Pemuda itu memutuskan untuk merebahkan wajahnya yang menghangat di pundak Naila yang terus bergerak turun dan naik.
Bab 42: Aku Tidak Akan Menyerah“Aku akan melaporkannya pada polisi, Presdir!” saran Jey setelah berpikir cukup lama.“Jangan, Jey! Hal seperti ini hanya akan mengundang wartawan untuk datang ke rumah. Permasalahan pertunangan Naila yang dibatalkan saja sudah cukup menyusahkan. Jika permasalahan seperti ini masuk ke pihak polisi, maka akan menyeret seluruh keluarga dan nama baik perusahaan. Sebaiknya, kita menyelidiki lebih dulu. Aku yakin, ini menyangkut perusahaan,” tahan Bagas tanpa beranjak dari duduknya.Suasana seketika menghening kembali. Setiap anggota keluarga Halim yang berada di rumah itu saling berpikir dalam diam, begitu juga dengan Naila dan Adrian yang masih syok dengan kejadian yang baru saja menimpa keduanya.“Tunggu! Aku ingat sesuatu.” Jey bangkit dari sofa lalu berjalan mendekati Naila yang masih duduk dengan dipeluk oleh Queen.Gadis itu memasang wajah muram, sedikit menengad
Bab 41: Ancaman“Kamu akan berdiri saja di situ?” geram Naila.Sorot matanya terus menatap ke arah gadis berambut pendek yang berdiri tegap tepat di sisi mejanya. Gadis itu melipat kedua tangan di belakang punggung, kedua kakinya tegap, bahkan ekspresinya datar menatap ke luar ruangan.“Apa kamu tidak lelah, hah?” lanjut Naila masih dengan intonasi kesalnya.Sudah semingguan ini, gadis tanpa ekspresi itu menjadi bodyguard yang mengekorinya ke mana pun, termasuk ke kamar mandi. Bahkan, gadis ini tidak menurut jika Naila memintanya untuk menunggu di luar.“Aku tidak butuh Bodyguard, Net!” seru Naila. Dirinya tidak bisa berhenti mencebik, mengingat bagaimana terkekangnya hidupnya setelah Net hadir.“Memangnya kamu enggak punya kerjaan lain, apa? Selain ngekorin aku?”“Kerjaan saya mengikuti Anda, Nona!” balas Net tanpa mengendurkan ekspresi din
Bab 40: Alasan Kembali dan Sindiran Andrian“Saya, Presdir?” Xavier menunjuk dirinya sendiri dengan wajah bingung. Baik Queen dan Naila berhenti sejenak, memandangi Gabriel yang masih menatap Xavier dengan sorot matanya yang dalam.“Ayo, Naila ... kamu harus istirahat,” ajak Queen seraya sedikit memaksa putrinya. Wanita itu sadar jika sang suami punya urusan pribadi dengan Xavier.Dengan berat hati, Naila membiarkan Xavier menghadapi Gabriel seorang diri. Membiarkan pemuda itu dalam sulitnya berhadapan dengan Gabriel, demi menutupi kenyataan jika keduanya mulai bersama sejak hari ini. Meski langkahnya terasa berat, tetap saja dia beranjak mengiringi langkah kaki Queen.“Kita bicara di ruang kerjaku. Jika kedua orangtuamu melihatmu, sudah pasti mereka akan menyeretmu bersamanya,” ujar Gabriel lagi seraya memimpin langkah.Pria itu melepas kacamatanya, lalu berjalan ke arah ruang kerja yang selama