"Apa kau tidak lihat, saat itu … Enrico sudah menyudutkan dirimu. Apakah kau lupa Enrico bahkan menantang Daddy untuk menyebarkan bukti kejahatanmu hanya ... hanya karena ingin melindungi budak liar itu!" Rebecca berbicara dengan mata yang berapi-api, melupakan jika sedetik yang lalu tubuhnya merinding karena kilatan di mata Leonardo.
"Heh! Itu hanya alasan yang digunakan oleh Tua Bangka itu. Pada akhirnya, kalianlah yang terlebih dahulu menyerang dan menyudutkan Enrico. Dia sudah mati itu hanya suatu keberuntungan. Seharusnya dia masih tetep hidup dan bertanggung jawab akan segala kejahatan dan korupsi luar biasa yang dia lakukan pada negara dan rakyat," ucap Leonardo dengan sinis.
"Tutup mulutmu Leonardo! Bukankah kau salah satu orang yang selalu menyuap daddy?" Suara Rebecca melengking tinggi.
Kamar baru untuk Frans sudah dipersiapkan. Bocah itu amat sangat mengagumi bagaimana banyaknya lukisan dinding superhero. Dalam kamar itu pula sudah terdapat etalase khusus action figure, barang-barang dengan harga fantastic.Lampu tidur dengan motif komedi putar yang akan memantul di dinding, dimaksudkan agar Frans tidak merasa sendirian ketika di kamar.Di pojokan ruangan pun, sudah tersedia kasur lipat untuk Denisa. Denisa akan menemani Frans tidur sampai dengan bocah itu berani untuk tidur sendiri lagi."Nah, Frans. Lihatlah kamarmu, indah sekali bukan?" Francesca menatap Francisco yang terkagum dengan keadaan kamarnya."Iya," jawab bocah itu dengan menganggukan kepalanya kuat-kuat."Fran
Enrico menggandeng Francesca kembali ke dalam kamar dengan menahan luapan gejolak dalam hatinya. Sekuat tenaga dia sebelumnya bertahan saat melihat bibir ranum wanita di sisinya bergerak-gerak bercerita untuk Frans. Mata biru yang indah itu hanya fokus pada satu titik keindahan yang dapat dia bayangkan kekenyalan dan kelembutannya. Enrico sudah hampir tidak tahan merenggang perasaan dan membenamkan diri dalam keindahan itu. Lelaki tampan yang sangat mempesona dengan aura dingin yang kuat itu, seakan meleleh dalam keindahan Bidadari cinta yang berada di hadapannya. Dia tak menunda waktu lagi untuk menakutkan diri mereka berdua saat pintu kamar baru saja tertutup. Wajah mereka berdua terbenam dalam tautan lidah dan menjelajah semakin jauh menelusuri setiap jengkal bagian terdalam.
Dapur Mansion yang biasanya hanya terdengar dentingan suara alat masak dan siulan sumbang para koki, kini mulai ramai dengan celotehan ceria anak kecil yang begitu riang.Francisco dengan sangat gembira berlari mengelilingi dapur dengan membawa semangkuk tepung di mangkuk. Dia baru saja menemukan kesenangan menipu tepung sehingga menciptakan debu putih yang bertebaran di udara.Sementara Pappa dan Mamma-nya sibuk membuat adik, Frans sibuk menggoda seisi mansion."Jangan Tuan Muda, aduh aku tidak pernah pakai bedak," rengek seorang koki pria yang mukanya sudah putih seperti badut."Ini 'kan bukan bedak. Tapi, tepung." Frans kembali meletakan telapak tangan kecilnya ke dalam mangkuk berisi tepung dan mengoleskan ke wajah si koki."Aku sudah cukup tampan, tidak mau pakai tepung," rengeknya lagi memelas."Bukan buat tampan, bial koki kaya badut." Mendengar kata-katanya sendiri sebuah ide terlintas di benak Frans.Bocah kecil d
"Selamat siang, Tuan Enrico." Samuel masuk setelah mendengar suara Enrico yang mengizinkannya membuka pintu."Kau sudah menyelesaikan tugasmu?" Wajah Enrico tampak tenang namun sorot matanya menyiratkan kebahagiaan."Sudah, Tuan. Hanya saja …." Samuel tidak berani melanjutkan perkataannya."Hanya apa?" Enrico menatap pria yang baru saja masuk dengan heran."Sebaiknya Anda lihat ini, Tuan." Samuel berjalan mendekati Enrico dan menyodorkan map coklat yang dia bawa.Wajah Enrico menyorotkan rasa heran yang amat sangat. Dia membuka tali pengait amplop dan mengeluarkan isinya. Mata saphire itu menelusuri setiap kata yang tertera dengan seksama.Tiba-tiba saja Enrico meremas dan melempar kertas itu dan menatap ke arah Samuel dengan sengit. Pandangan tajam Enrico dengan raut wajah penuh tanda tanya membuat Samuel ngeri."Apa maksudnya ini, Samuel?" Suara Enrico mendesis dengan geram."Itu … itu yang saya dapatkan dari me
Baru saja Devonte berbalik dari pintu ruangan Enrico, dia harus kembali berhadapan dengan Francesca. Tak dapat dia gantikan wajah kecemasan dengan senyuman tenang, karena wanita itu sudah menyadarinya."Apa terjadi sesuatu? Kenapa kau tampak muram?" pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Francesca hanya dijawab dengan hembusan nafas Devonte."Apa terjadi sesuatu dengan Enrico? Kalian bertengkar? Bagaimana keadaannya saat ini?" Francesca bergerak maju melewati Devonte dan hendak memegang gagang pintu."Jangan masuk."Tangan Francesca berhenti untuk menggerakkan gagang pintu, dia membalikan tubuhnya dan menatap heran ke arah Devonte."Dia sudah tahu." Perkataan sepintas Devonte masih menimbulkan pert
"Wah, ada telol ayam di kepala Flans dah sekalang." Tangan mungil Frans menggosok keningnya yang sudah membengkak sebesar telur ayam.Gerakan lucu dari wajah imut yang meringis membuat Enrico tertawa sedangkan Francesca tersenyum lebar. Enrico tak hentinya membelai kepala Frans penuh kasih sayang."Muka Flans jelek ya?" Bibir mungil Flans tampak manyun."Nggak. Frans lucu, Frans tetap tampan meskipun ada telur di sini." Enrico memencet dahi anaknya."Aow! Sakit Pappa." Frans menjerit dengan sorot mata marah."Iya, maafkan Pappa. Frans kalau jalan hati-hati ya, tidak perlu berlari dengan kencang apalagi di atas lantai marmer, licin.""Tadi Flans kangen Pap
Francesca benar-benar merasa terpuruk. Keadaannya sangat labil dan lemah. Wanita cantik itu terlihat kacau dan terus menangis meskipun tidak sekeras sebelumnya. Serra sudah membawa Francesca kembali ke Mansion utama dan menemani wanita itu untuk berbaring di tempat tidur, tapi Francesca menolak dan bersikeras untuk menanti kedatangan Enrico dan Frans di ruang tamu. Francesca bahkan tidak menyentuh makanan yang tersedia hanya segelas coklat hangat yang dipaksakan oleh Serra. Aroma manis dan rasanya yang legit hanya bisa sedikit saja menenangkan hati Francesca. “Ini sudah malam Serra … mereka tidak juga kembali." Suaranya terdengar serak. "Cobalah berpikir tenang dan positif. Enrico tidak mungkin menjauhkan dirim
"Dad! Apa passport Anna, Adel dan Archie sudah siap?" Anna menghubungi Andrew Knight melalui video call."Sudah beres, Princes.""Lalu, kapan kita mulai berangkat?" Adelaide tiba-tiba sudah di samping saudara kembarnya."Sudah tidak sabar semua ya, my Princes?" Andrew semakin senang menggoda kedua putri kembarnya yang beranjak dewasa."Iyalah, ini kan pertama kalinya kami bisa keluar negeri." serentak Adel dan Anna menjawab perkataan Daddy Andrew."Bukannya kalian sudah pernah ke Indonesia?""Beda Daddy. Ini pertama kali kita ke Eropa dengan pesawat pribadi." Anna mencibir ke arah Andrew Knight."Benar! Iya kalau kak Conrad
SATU TAHUN KEMUDIAN "Kau sudah pastikan kalau bekal Frans sudah disiapkan Denisa?" Napas Francesca tersengal ketika menanyakan hal itu. "Iya sudah. Jangan mengkhawatirkan hal itu. Frans akan baik-baik saja." Enrico tampak memegang tangan Francesca dengan cemas. Butiran keringat dingin menghiasi kening wanita cantik yang bertambah pucat itu. Tangan dinginnya dalam genggaman tangan Enrico yang hangat. "Frans … apakah … dia menanyakanku?" Sesaat setelah rasa sakitnya mereda Francesca kembali mengkhawatirkan Frans, anak sulungnya. "Tentu saja. Dia sangat merindukanmu. Kau harus kuat dan sehat ya. Kami memerlukan dirimu." Enrico dengan sabar mengelus rambut Francesca.
"Duh, Kak Francesca cakep banget." Anna menautkan tangannya di lengan kakak perempuannya. "Kau juga cantik sekali Anna dan kau juga sangat menawan. Tak di sangka kalian bisa tampil sangat anggun dan dewasa." Di tengah keluarganya, Francesca merasa kebahagiaannya nyaris sempurna. "Kita 'kan sudah dewasa bukan anak-anak lagi," sahut Anna dan Adelaide bersamaan. "Iya, sudah bisa berpacaran." Francesca menertawakan wajah mereka yang seketika manyun. "Apa ada yang sudah memiliki pacar?" "Anna itu banyak yang 'nembak' tapi dia suka pilih-pilih." "Apaan sih, Adelle!" Semburat merah muda membuat wajah Anna bertambah cantik. "Benarkah? Sssttt pacaran saja, jangan seperti
"Nyonya Francesca Torres? Mari lewat sini." Seorang wanita yang anggun menghampiri Francesca.Francesca menatap heran ke arah seorang wanita tak dikenalnya yang bergaun indah. Sebuah alat terselip di telinga yang membuat dia bisa berkomunikasi dengan orang lain. Wanita itu segera memimpin langkah dan memisahkan Denisa dari Francesca. Meskipun heran Francesca tetap mengikuti langkah wanita yang membawa dirinya ke pintu utama.Anggukan kecil dari wanita tersebut merupakan tanda yang dimengerti oleh pengawal, mereka segera membuatkan pintu.Mata hazel Francesca seketika menyipit ketika melihat kemewahan dan kemeriahan acara di dalamnya. Dia termangu menatap ratusan pasang mata yang seketika menatap ke arahnya seolah mereka sudah menantikan kehadirannya.Musik lembut k
Francesca mematut dirinya di depan cermin, perubahan penampilan yang sangat luar biasa terjadi pada dirinya saat ini. Wajah polos, imut dan manis itu telah berubah penuh riasan memukau yang sangat dewasa dan anggun.Dia hampir tak percaya ketika Leonardo mengirimkan seorang penata rias untuk memoles wajahnya dengan warna-warni yang senada. Kecantikan Francesca tampak lebih menonjol setelah tangan-tangan tampil tersebut menghiasi wajahnya. Wajah mungilnya terlihat sangat berbeda membuatnya merasa seakan menatap sosok lain di pantulan cermin."Anda luar biasa cantik dan sangat anggun, Nyonya. Bagaikan putri dalam dongeng." Perias itu memuji kecantikan Francesca. Dia berulang kali memutari tubuh wanita cantik yang baru saja dia dandani.“Sedikit parfum lagi anda akan spektakuler." Perias itu memilih b
"Bagaimana jika mereka bahagia tanpa kehadiranku?" Francesca mengulang pertanyaan Leonardo dengan putus asa.Hati wanita itu seakan terguncang mendengar perkataan Leonardo. Benarkah kehadirannya selama ini tidak pernah memberikan kebahagian? Bagaimana mungkin semua kebahagiaan yang mereka rasakan selama beberapa bulan ini hanya sandiwara?Apakah Enrico begitu marah padanya sehingga harus pergi begitu saja.Jikalau sedari awal dia menceritakan kepada Enrico mengenai status dirinya, apakah semua ini tidak akan terjadi?"Apakah Enrico berkata seperti itu padamu?" Francesca tampak sangat tertekan.Leonardo mengangkat kedua bahunya acuh seraya menyandarkan punggung ke bangku dan menatap ke arah taman. Dia mengalihkan p
"Dad! Apa passport Anna, Adel dan Archie sudah siap?" Anna menghubungi Andrew Knight melalui video call."Sudah beres, Princes.""Lalu, kapan kita mulai berangkat?" Adelaide tiba-tiba sudah di samping saudara kembarnya."Sudah tidak sabar semua ya, my Princes?" Andrew semakin senang menggoda kedua putri kembarnya yang beranjak dewasa."Iyalah, ini kan pertama kalinya kami bisa keluar negeri." serentak Adel dan Anna menjawab perkataan Daddy Andrew."Bukannya kalian sudah pernah ke Indonesia?""Beda Daddy. Ini pertama kali kita ke Eropa dengan pesawat pribadi." Anna mencibir ke arah Andrew Knight."Benar! Iya kalau kak Conrad
Francesca benar-benar merasa terpuruk. Keadaannya sangat labil dan lemah. Wanita cantik itu terlihat kacau dan terus menangis meskipun tidak sekeras sebelumnya. Serra sudah membawa Francesca kembali ke Mansion utama dan menemani wanita itu untuk berbaring di tempat tidur, tapi Francesca menolak dan bersikeras untuk menanti kedatangan Enrico dan Frans di ruang tamu. Francesca bahkan tidak menyentuh makanan yang tersedia hanya segelas coklat hangat yang dipaksakan oleh Serra. Aroma manis dan rasanya yang legit hanya bisa sedikit saja menenangkan hati Francesca. “Ini sudah malam Serra … mereka tidak juga kembali." Suaranya terdengar serak. "Cobalah berpikir tenang dan positif. Enrico tidak mungkin menjauhkan dirim
"Wah, ada telol ayam di kepala Flans dah sekalang." Tangan mungil Frans menggosok keningnya yang sudah membengkak sebesar telur ayam.Gerakan lucu dari wajah imut yang meringis membuat Enrico tertawa sedangkan Francesca tersenyum lebar. Enrico tak hentinya membelai kepala Frans penuh kasih sayang."Muka Flans jelek ya?" Bibir mungil Flans tampak manyun."Nggak. Frans lucu, Frans tetap tampan meskipun ada telur di sini." Enrico memencet dahi anaknya."Aow! Sakit Pappa." Frans menjerit dengan sorot mata marah."Iya, maafkan Pappa. Frans kalau jalan hati-hati ya, tidak perlu berlari dengan kencang apalagi di atas lantai marmer, licin.""Tadi Flans kangen Pap
Baru saja Devonte berbalik dari pintu ruangan Enrico, dia harus kembali berhadapan dengan Francesca. Tak dapat dia gantikan wajah kecemasan dengan senyuman tenang, karena wanita itu sudah menyadarinya."Apa terjadi sesuatu? Kenapa kau tampak muram?" pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Francesca hanya dijawab dengan hembusan nafas Devonte."Apa terjadi sesuatu dengan Enrico? Kalian bertengkar? Bagaimana keadaannya saat ini?" Francesca bergerak maju melewati Devonte dan hendak memegang gagang pintu."Jangan masuk."Tangan Francesca berhenti untuk menggerakkan gagang pintu, dia membalikan tubuhnya dan menatap heran ke arah Devonte."Dia sudah tahu." Perkataan sepintas Devonte masih menimbulkan pert