"Lebih baik aku berendam dengan air hangat untuk membuang semua jejak pria itu di tubuhku. Menjijikan! Monsterrrr salivamu terasa lengket di sekujur tubuhku. Awas ya kau, jika ada kesempatan aku akan lari, meninggalkan dirimu. Persetan dengan pernikahan ini. Pasti semua palsu!"
Masih dengan menggerutu, Francesca menarik resleting gaun yang dia kenakan. Gaun itu meluncur turun dengan perlahan, memamerkan tubuh yang indah sempurna pada sepasang mata yang mencuri lihat dari balik pintu.Tonjolan di dada yang tampak membusung sempurna dengan penyangga warna biru muda berenda, menjadikan Francesca layak menjadi salah satu model pakaian dalam ternama.Gadis itu perlahan melepaskan kaitan bra di punggung, melemparkan bra itu begitu saja, sehingga keindahan dada dengan puncak berwarna merah muda itu terasa menggoda.Segitiga pelindung dia lepaskan, sehingga tubuh ramping, ranum dengan lekuk yang sempurna itu membuat sepasang mata birFrancesca tertidur dalam pelukan Enrico. Aroma tubuh maskulin pria itu menyusup masuk dalam setiap helaan napasnya. Belum lagi tangan yang melingkar dan menyentuh pinggangnya, sangup memberikan sengatan listrik kecil-kecil di sekujur tubuh. Desahan napas Enrico yang menyapu keningnya begitu lembut. Debaran jantung di dada pria itu seakan lonceng yang mengingatkan Francesca adanya sebuah kehidupan yang sedang memperangkap dirinya. Ia tak dapat berkutik, karena setiap kali ia bergerak, saat itu juga pelukan Enrico semakin mengerat. Sangat sukar baginya untuk tertidur lelap dengan sentuhan yang entah bagaimana membuatnya berdebar pula. Kemesraan yang dilakukan Enrico hari ini, sanggup melunturkan rasa sedih gadis itu. Belaian, kehangatan yang membuatnya hampir hilang akal itu selalu terbayang. Selesai mandi, pria itu membasuh dan mengeringkan tubuhnya dengan lembut. Wajah Francesca yang memanas justru membuat dirinya tampak lebih ca
Dengan jengah Francesca duduk di samping Enrico, karena hanya tempat itulah terdapat satu set piring dan gelas. Ia menyembunyikan senyum di balik sikap dingin ketika melihat sudut bibir Leonardo yang membiru.Sikap permusuhan sudah tampak di antara mereka berdua. Kilatan aura kemarahan di rasakan oleh Enrico, terpancar ketika tatapan Francesca dan Leonardo bertemu."Aku harap kalian berdua bisa bersikap selayaknya anggota keluarga yang saling menghargai. Kau mengerti bukan, Leonardo?"Ucapan itu lebih dia tujukan pada adik kandungnya, karena Enrico tahu, Francesca adalah gadis yang memilih menghindari masalah daripada menciptakannya.Leonardo hanya mendengus kesal, tanpa menyahuti perkataan Enrico. Ia melirik ke arah kedua insan tersebut, di mana Francesca mulai menyuapi Enrico. Hal yang sudah menjadi kebiasaan meskipun pria itu tidak meminta. Leonardo mencibir melihat perlakuan Francesca pada kakaknya.Set
"Kau merasakannya bukan?" Suara Rebecca sangat lembut bagai dentingan dawai biola. Mengalun naik turun menyerupai tangga nada. Senyuman tipis menghiasi wajahnya, dengan mata yang sayu tertuju pada Enrico. Pria itu meremas dada Rebecca dengan kasar dan sangat kencang. Rebecca tersentak akan reaksi Enrico. Dia meringis menahan sakit yang seketika ia sembunyikan dalam desahan. "Pelan-pelan sayangku. Aku tahu kau menginginkan diriku, seperti aku sangat menginginkan dirimu." ujar Rebecca dengan lembut. Enrico mengarahkan tangan lainnya ke arah dagu Rebecca dan berdecak meremehkan. Dia menatap sinis dan jijik ke arah Rebecca, yang masih menunjukan wajah sayu. "Kau pikir aku tertarik dengan tubuh dan dadamu? Banyak wanita lain dengan tubuh yang lebih indah darimu," ujar pria itu dengan sinis. Pria itu mendorong Rebecca agar menyingkir dari jalannya. Dia meninggalkan wanita yang saat ini sangat tersinggung denga
**Apakah itu cemburu ketika hatimu terus memikirkan tindakannya pada wanita lain?*** 💝💝💝💝💝"Serra di mana Francesca?" Enrico yang baru saja keluar dari ruang kerja, tampak heran melihat Serra membersihkan ruang keluarga bukannya menemani Francesca."Nona masih di ruang musik, Tuan." jawabnya dengan segera."Sampai sesiang ini?" Enrico melihat jam di tangannya yang menunjukan pukul dua belas tiga puluh siang."Iya, Tuan.""Apa dia tidak lapar?" gerutu Enrico keheranan.Serra menatap Enrico, dia menimbang apakah harus menceritakan pada tuannya tentang perkataan nona Rebecca. Belum sempat ia berbicara, Enrico sudah berjalan dengan cepat ke arah ruang musik. 'Ah! Mungkin nanti saja aku ceritakan pada tuan Enrico. Lagipula
"Hentikan! Aku lapar." Awalan yang tegas diakhiri dengan kalimat mendesah.Kali ini tangan Enrico dari belakang memaksa masuk di balik penyangga bukit kembar yang sangat lembut. Remasan lembut dan ciuman di leher Francesca membuat gadis itu merasa terlena.Namun, kekerasan hati, membuat dirinya menyangkal respon tubuh. Ia mencengkeram tangan Enrico yang masih meremas dadanya dengan lembut."Tolong hentikann ... akan memalukan jika seseorang datang," rintih Francesca.Enrico dengan enggan melepaskan tangannya dari dada Francesca, membalikan tubuh gadis itu dan mulai mengecup bibirnya. Dia tidak bermaksud melepaskan gadis yang sudah berulangkali mencobai perasaannya. Tapi, Enrico juga tidak ingin Francesca semakin membenci dirinya, mengingat sikapnya yang terlalu kasar di masa lalu."Kau lapar?"Francesca mengangguk."Baiklah kita akan makan."Enrico kembali dengan
Francesca tidak ingin keluar dari kamar malam harinya. Ia membawa sepiring sandwich, kentang goreng dan minuman. Gadis itu memilih menghabiskan makan malamnya sendirian di balkony kamar, setelah memastikan pintu kamar terkunci rapat. Rasa jengkel, marah dan apapun itu semuanya di tujukan hanya pada satu mahluk, Enrico. "Dasar Monster! Kau sudah mencuri hidup dan kebebasanku, menjauhkan diri dari keluargaku, mengurung, mengancam, sekarang mempermainkan perasaanku! Aku tidak akan memaafkan dirimu!" Francesca mengunyah kentang goreng dengan kasar. Mengambil banyak potongan dan memasukan sekaligus ke dalam mulutnya. "Aku harusnya membencimu, bukan? Tapi kenapa aku harus kesal saat melihatmu bersama wanita itu? Kenapa pria tidak pernah cukup dengan satu wanita saja?" Ia kini mengunyah potongan besar sandwich dalam mulutnya sambil menatap langit yang tak berbintang. "Lihat, bintang
*** Malam ini harus indah! Sempurna karena kau sempurna di mataku! *** ********* Pria itu menyembunyikan senyuman dalam posisi wajah yang tertunduk. Dia mendengar bunyi kunci pintu yang terbuka, namun memilih tetap diam. Pria itu sengaja duduk di balkoni dalam dinginnya malam, karena ia tahu bidadarinya berhati malaikat. Dengan meringkuk ia tahu, siluet dirinya akan dapat mencairkan tembok es. Pria itu menyandarkan tubuhnya menatap bulan yang mulai menampakan dirinya perlahan. Awan mendung sudah bergeser posisi. Berganti dengan cahaya temaram bulan purnama. Langit berbintang dengan gemerlap seakan hendak menjadi saksi ketulusan hati Enrico. "Malam ini! Malam ini kau harus jadi milikku. Kau tak bisa lari lagi dariku kemanapun," gumam Enrico di tengah hembusan angin mala
"Selamat Pagi!"Enrico tersenyum lebar melihat Francesca mulai mengerjapkan matanya. Gadis itu sejenak tertegun menatap balik mata biru Enrico yang memandangnya dengan lembut.Francesca tersadar akan keadaan dirinya yang masih telanjang di dalam selimut. Ia menarik selimut itu hingga menutupi lehernya. Francesca beringsut menjauhi Enrico, ia turun dengan membawa selimut menutupi tubuhnya.Saat baru saja menjejakan kaki di lantai. Gadis itu seketika jatuh, merasakan kaki yang lemas dan bagian intimnya yang perih. 'Ah! Pangkal pahaku sakit. Lututku lemas. Aduhh apa yang dilakukan monster itu padaku," gerutunya dalam hati."Hati-hati!" Enrico turun dari tempat tidur dengan tubuh telanjang, karena selimut yang menutupi tubuhnya meliliti tubuh Francesca.Dengan cepat ia menopang tubuh Francesca untuk berdiri."Apa sakit?" tanyanya lembut.
SATU TAHUN KEMUDIAN "Kau sudah pastikan kalau bekal Frans sudah disiapkan Denisa?" Napas Francesca tersengal ketika menanyakan hal itu. "Iya sudah. Jangan mengkhawatirkan hal itu. Frans akan baik-baik saja." Enrico tampak memegang tangan Francesca dengan cemas. Butiran keringat dingin menghiasi kening wanita cantik yang bertambah pucat itu. Tangan dinginnya dalam genggaman tangan Enrico yang hangat. "Frans … apakah … dia menanyakanku?" Sesaat setelah rasa sakitnya mereda Francesca kembali mengkhawatirkan Frans, anak sulungnya. "Tentu saja. Dia sangat merindukanmu. Kau harus kuat dan sehat ya. Kami memerlukan dirimu." Enrico dengan sabar mengelus rambut Francesca.
"Duh, Kak Francesca cakep banget." Anna menautkan tangannya di lengan kakak perempuannya. "Kau juga cantik sekali Anna dan kau juga sangat menawan. Tak di sangka kalian bisa tampil sangat anggun dan dewasa." Di tengah keluarganya, Francesca merasa kebahagiaannya nyaris sempurna. "Kita 'kan sudah dewasa bukan anak-anak lagi," sahut Anna dan Adelaide bersamaan. "Iya, sudah bisa berpacaran." Francesca menertawakan wajah mereka yang seketika manyun. "Apa ada yang sudah memiliki pacar?" "Anna itu banyak yang 'nembak' tapi dia suka pilih-pilih." "Apaan sih, Adelle!" Semburat merah muda membuat wajah Anna bertambah cantik. "Benarkah? Sssttt pacaran saja, jangan seperti
"Nyonya Francesca Torres? Mari lewat sini." Seorang wanita yang anggun menghampiri Francesca.Francesca menatap heran ke arah seorang wanita tak dikenalnya yang bergaun indah. Sebuah alat terselip di telinga yang membuat dia bisa berkomunikasi dengan orang lain. Wanita itu segera memimpin langkah dan memisahkan Denisa dari Francesca. Meskipun heran Francesca tetap mengikuti langkah wanita yang membawa dirinya ke pintu utama.Anggukan kecil dari wanita tersebut merupakan tanda yang dimengerti oleh pengawal, mereka segera membuatkan pintu.Mata hazel Francesca seketika menyipit ketika melihat kemewahan dan kemeriahan acara di dalamnya. Dia termangu menatap ratusan pasang mata yang seketika menatap ke arahnya seolah mereka sudah menantikan kehadirannya.Musik lembut k
Francesca mematut dirinya di depan cermin, perubahan penampilan yang sangat luar biasa terjadi pada dirinya saat ini. Wajah polos, imut dan manis itu telah berubah penuh riasan memukau yang sangat dewasa dan anggun.Dia hampir tak percaya ketika Leonardo mengirimkan seorang penata rias untuk memoles wajahnya dengan warna-warni yang senada. Kecantikan Francesca tampak lebih menonjol setelah tangan-tangan tampil tersebut menghiasi wajahnya. Wajah mungilnya terlihat sangat berbeda membuatnya merasa seakan menatap sosok lain di pantulan cermin."Anda luar biasa cantik dan sangat anggun, Nyonya. Bagaikan putri dalam dongeng." Perias itu memuji kecantikan Francesca. Dia berulang kali memutari tubuh wanita cantik yang baru saja dia dandani.“Sedikit parfum lagi anda akan spektakuler." Perias itu memilih b
"Bagaimana jika mereka bahagia tanpa kehadiranku?" Francesca mengulang pertanyaan Leonardo dengan putus asa.Hati wanita itu seakan terguncang mendengar perkataan Leonardo. Benarkah kehadirannya selama ini tidak pernah memberikan kebahagian? Bagaimana mungkin semua kebahagiaan yang mereka rasakan selama beberapa bulan ini hanya sandiwara?Apakah Enrico begitu marah padanya sehingga harus pergi begitu saja.Jikalau sedari awal dia menceritakan kepada Enrico mengenai status dirinya, apakah semua ini tidak akan terjadi?"Apakah Enrico berkata seperti itu padamu?" Francesca tampak sangat tertekan.Leonardo mengangkat kedua bahunya acuh seraya menyandarkan punggung ke bangku dan menatap ke arah taman. Dia mengalihkan p
"Dad! Apa passport Anna, Adel dan Archie sudah siap?" Anna menghubungi Andrew Knight melalui video call."Sudah beres, Princes.""Lalu, kapan kita mulai berangkat?" Adelaide tiba-tiba sudah di samping saudara kembarnya."Sudah tidak sabar semua ya, my Princes?" Andrew semakin senang menggoda kedua putri kembarnya yang beranjak dewasa."Iyalah, ini kan pertama kalinya kami bisa keluar negeri." serentak Adel dan Anna menjawab perkataan Daddy Andrew."Bukannya kalian sudah pernah ke Indonesia?""Beda Daddy. Ini pertama kali kita ke Eropa dengan pesawat pribadi." Anna mencibir ke arah Andrew Knight."Benar! Iya kalau kak Conrad
Francesca benar-benar merasa terpuruk. Keadaannya sangat labil dan lemah. Wanita cantik itu terlihat kacau dan terus menangis meskipun tidak sekeras sebelumnya. Serra sudah membawa Francesca kembali ke Mansion utama dan menemani wanita itu untuk berbaring di tempat tidur, tapi Francesca menolak dan bersikeras untuk menanti kedatangan Enrico dan Frans di ruang tamu. Francesca bahkan tidak menyentuh makanan yang tersedia hanya segelas coklat hangat yang dipaksakan oleh Serra. Aroma manis dan rasanya yang legit hanya bisa sedikit saja menenangkan hati Francesca. “Ini sudah malam Serra … mereka tidak juga kembali." Suaranya terdengar serak. "Cobalah berpikir tenang dan positif. Enrico tidak mungkin menjauhkan dirim
"Wah, ada telol ayam di kepala Flans dah sekalang." Tangan mungil Frans menggosok keningnya yang sudah membengkak sebesar telur ayam.Gerakan lucu dari wajah imut yang meringis membuat Enrico tertawa sedangkan Francesca tersenyum lebar. Enrico tak hentinya membelai kepala Frans penuh kasih sayang."Muka Flans jelek ya?" Bibir mungil Flans tampak manyun."Nggak. Frans lucu, Frans tetap tampan meskipun ada telur di sini." Enrico memencet dahi anaknya."Aow! Sakit Pappa." Frans menjerit dengan sorot mata marah."Iya, maafkan Pappa. Frans kalau jalan hati-hati ya, tidak perlu berlari dengan kencang apalagi di atas lantai marmer, licin.""Tadi Flans kangen Pap
Baru saja Devonte berbalik dari pintu ruangan Enrico, dia harus kembali berhadapan dengan Francesca. Tak dapat dia gantikan wajah kecemasan dengan senyuman tenang, karena wanita itu sudah menyadarinya."Apa terjadi sesuatu? Kenapa kau tampak muram?" pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Francesca hanya dijawab dengan hembusan nafas Devonte."Apa terjadi sesuatu dengan Enrico? Kalian bertengkar? Bagaimana keadaannya saat ini?" Francesca bergerak maju melewati Devonte dan hendak memegang gagang pintu."Jangan masuk."Tangan Francesca berhenti untuk menggerakkan gagang pintu, dia membalikan tubuhnya dan menatap heran ke arah Devonte."Dia sudah tahu." Perkataan sepintas Devonte masih menimbulkan pert