Bab 1. Kabur
"Aahh ..." Karmila menghentikan langkah kakinya saat mendengar desah4n dari kamar ibunya. Gadis belia yang baru saja merayakan kelulusan sekolah itu, menajamkan pendengarannya. "Mmm ..." Dia membuang napas kasar saat mendengar lenguhan demi lenguhan tersebut. Ini bukan kali pertama dia mendengar suara seperti itu. Rasa jijik saat mendengar suara er4ngan yang bersahutan, gadis itu pun melangkahkan kakinya dengan cepat menuju kamarnya dan segera mengunci pintu. Mila, begitu dia disapa, menjatuhkan tubuhnya di atas kasur yang sama sekali tidak empuk. "Ouch!" erangnya lelah. Seragam miliknya sangat kotor penuh dengan coretan warna-warni pilox. dia sudah merasa kelelahan ikut konvoi kendaraan bersama teman-teman lainya. Kini di rumah, dia harus =menyaksikan kemaksiatan yang ibunya lakukan. Mata indah Mila menatap langit-langit kamar miliknya. Memorinya terlempar ke enam bulan silam. Saat itu, sejak Oma Rita yang merawatnya sejak kecil tutup usia, Mila terpaksa tinggal bersama Ibu kandungnya, yang notabene membuangnya dari kecil dulu. Rumah yang dulu ditempati dirinya bersama Oma Rita, telah dijual oleh sanak saudara wanita itu.Mila diusir, karena memang tak memiliki hak apapun. Oma Rita yang tak memiliki anak karena tak pernah menikah semasa hidupnya.
Dia hanya diadopsi. Oma Rita yang waktu itu hidup sendirian, merasa kasihan pada Mila kecil yang kurus tak terawat. Ibu dan bapaknya bercerai saat Mila berusia tiga tahun.
Mila dirawat bapaknya setelah perceraian itu, tapi tak lama ... bapaknya meninggal. Menurut cerita yang dia dengar, bapaknya hanyut dan dinyatakan hilang saat memancing di sungai besar yang berada di dekat kampungnya. Ibunya, sibuk dengan dunianya sendiri dan tak mau merawatnya.
Semua cerita itu dia dengar dari Oma Rita dan beberapa tetangganya. Dan kini, selepas Oma Rita tiada, dia terpaksa berada satu atap dengan ibunya karena tidak memiliki tempat tinggal lain. itu pun, Mila harus memohon kepada Ibunya.
Jenny benar-benar tidak menginginkan Mila, dia bahkan hanya memberi ijin putrinya itu tinggal di rumahnya hingga sampai lulus sekolah. Setelah itu, dia tidak mau tahu, Mila harus angkat kaki dari rumahnya yang hanya mengontrak itu. Jika saja bukan karena ketakutan menjadi gelandangan, dia tak akan sudi tinggal bersama ibunya.
"Hahaha iya, makasih ya ... jangan lupa datang lagi!"
Mila mengerlingkan matanya saat mendengar suara ibunya di luar sana. Dia membatin, meratapi kemalangannya yang harus tinggal bersama ibu kandung yang tak memedulikannya sama sekali. Kruuuk ... Mila memegang perutnya yang berbunyi nyaring. Dia lantas bangun dari rebahannya dan mengambil handuk yang dia gantung di dekat jendela kamarnya. Dia ingin mandi lalu pergi mencari makan.Mila keluar dari kamarnya. Jenny yang hendak pergi ke kamar mandi, melirik ke arah putrinya yang baru saja keluar dari kamar.
Kamar Mila memang berada di belakang, di dekat dapur. Rumah kontrakan yang Jenny sewa ada dua kamar. Satu yang ditempati Mila saat ini adalah gudang sebelum putrinya itu datang. Mila mendengus kesal saat Ibunya mendahuluinya masuk ke kamar mandi. Dia pun memutuskan untuk tidak mandi dan masuk kembali ke dalam kamarnya.Dia menukar seragam kotornya dengan kaos oversize dan celana jeans panjang. Rambutnya dia gulung dengan asal. Tak lupa, menyemprotkan minyak wangi untuk menyamarkan bau asam yang melekat di badannya. Diraihnya dompet di tote bag, Mila menghitung jumlah uang miliknya yang mulai menipis.
Mila tidak pernah sekalipun mau menerima uang dari Ibunya, karena menurutnya itu uang yang didapat dengan cara yang tidak halal. Gadis itu menghidupi dirinya sendiri dengan bekerja paruh waktu di toko peralatan alat tulis yang berada tepat di depan sekolahnya. Di jaman yang serba canggih ini, harusnya Mila bisa mengikuti trend masa kini dari video lebay saja yang bisa mendapatkan uang. Tapi Mila tidak bisa melakukan itu karena ponsel miliknya yang hanya ponsel kentang, bahkan masa aktif aplikasi hijaunya saja hampir kadaluarsa. "Nasib baik, aku sekolah di sekolah negeri. Setidaknya bebas spp lah ya ... meski yang lain-lain tetap ada yang bayar. Setidaknya terbantu, kalau tidak, bisa-bisa aku putus sekolah." gumam Mila sambil memasukan kembali dompetnya ke dalam tote bag. Tanpa pamit, Mila keluar dari rumah. Dia berjalan menuju jalan besar yang jaraknya sekitar 200 meter dari rumahnya. Tepat di depan gang masuk perkampungan ini, ada beberapa warung makan. Terutama warteg yang jam operasional 24 jam tapi ramai tanpa jeda. Mila menuju warteg itu, keadaan warteg lumayan ramai. Mila hanya memesan nasi rames dan es teh, dia menyesuaikan dengan isi dompetnya. Setelah perut terisi dengan kenyang, dia membeli gorengan di pedagang gorengan yang berjualan tepat di samping warteg. Setelahnya, dia berjalan riang menuju rumah kontrakan Ibunya. Mata Mila menyipit melihat keadaan rumah ibunya yang terlihat ramai. Bahkan sangat gaduh, ada beberapa pria yang terlihat sangat berotot di sana. Mila menghentikan langkahnya dan memilih berdiri menonton dari kejauhan. "Si4lan kamu, mau sampai kapan hutang-hutangmu ini tidak kau bayar, hah?!" bentak salah satu pria berbadan kekar itu. "Nanti lah, sabar. Pasti aku bayar ... " jawab Jenny dengan nada gemetar. Dia sudah terduduk di lantai teras karena diseret keluar dengan paksa oleh ketiga pria itu. "Halah, omong doang! kamu itu membuang-buang waktu kita tahu, gak?!" rungut Kemi ketua dari kedua pria lainnya. Kemi menoyor kasar kepala Jenny hingga wanita itu hampir tersungkur. "Hutangmu itu sudah terlalu banyak, akan sulit bagimu untuk melunasinya. Mau Kamu kerja sampai tua pun, tidak mungkin lunas. Nasib baik, kamu tidak punya anak. Jika punya, sudah di pastikan mereka menanggung beban hutangmu. Makanya jangan mudah diperdaya pria, begini kan jadinya nasibmu. Pria itu yang memakai duitnya, kamu yang sengsara bayar pada bos kami. Coba kamu punya anak perempuan, bisalah ditukar untuk melunasi hutangmu dengan menjadikannya gundik bos kita. Hahaha!" ujar Kemi diselingi gelak tawa dan ikuti juga oleh kedua anak buahnya. Mila menggigit bibir bawahnya, jantungnya berdebar kencang mendengar penuturan ketiga pria yang berada di teras rumah kontrakan ibunya itu. "Jadi Ibu terlibat hutang pada rentenir karena dibodohi pacarnya,” gumam Mila dalam hati. "Kita mau apa kan dia, Kang?" tanya Komar pada Kemi. "Kita hajar saja dia biar dia tahu diri, biar mikir bayar hutang!" Aseng memberi ide pada kedua temannya. "Jangan, Kang ... kalau saya dihajar. Gimana nanti Saya bisa kerja mencari uang untuk bayar hutang. Jangan ya, Kang. Saya janji akan segera melunasi hutang saya." Jenny menangkupkan kedua tangannya memelas. "Halah, omong kosong!" sahut Kemi menendang kasar lutut Jenny hingga membuat wanita itu meringis kesakitan. "Sungguh, Kang. Anu ... A- aku punya a nak perem puan, Kang. Dia cantik!" jawab Jenny dengan nada bergetar. Bersambung ….Bab 2"Hahaha, mau membohongi Kita dia, Kang!" ledek Komar."Tidak, sungguh!" jawab Jenny."Kami tidak sekalipun per ..." Jenny memotong perkataan Kemi karena dia melihat Mila yang berdiri melihat ke arah mereka dari jarak tak terlalu jauh. Posisi Mila berada di belakang pohon jambu yang bentuknya kurus keris.Jenny menunjuk ke arah pohon jambu itu membuat Mila terkejut.“Itu dia, dia anakku!" teriak Jenny menunjukan posisi Mila pada ketiga pria penagih hutang."Mana?" tanya Kemi melihat ke arah yang ditunjukan Jenny."Kayaknya itu, Kang. Gadis kecil itu!" tunjuk Aseng yang sudah melihat posisi Mila.Kemi menajamkan padangannya, meski keadaan halaman rumah kontrakan itu terang benderang karena cahaya lampu. Tapi mata Kemi mengalami rabun jauh, sehingga tak begitu jelas jika harus melihat jarak jauh."Udah, tangkap saja dulu ... lumayan lah. Daripada kena omelan melulu karena ga pernah dapat hasil dari si Jenny ini!" ujar Komar mengusulkan.Mila mundur beberapa langkah, kemudian dia me
Bab 3."Kayaknya dia deh yang tadi nakut-nakutin aku tadi!" sahut Jojo salah satu anak buah Benni."Maaf, Mas-Mas, Abang-Abang. Saya gak bermaksud lancang. Cuma tadi saya kepepet karena dikejar orang, terpaksa saya lompat kesini. Saya cuma bersembunyi, gak punya maksud lain kok. Sumpah!" ujar Mila."Jangan percaya, Bos. Siapa tahu dia itu sebenarnya intel," bisik Jojo."Bukan-bukan kok!" sahut Mila saat mendengar penuturan Jojo."Saya ini cuma gadis biasa saja, bukan intel seperti yang kalian duga," imbuh Mila."Mana ada maling ngaku!" balas Koko.Mila menoleh ke arah Koko, pria berkulit hitam berambut kerinting itu menatap tajam ke arah Mila."Sumpah, Bang-Abang ... saya ini tadi di kejar-kejar orang," Mila kembali menegaskan."Memang siapa yang mengejar kamu? Kenapa kamu bisa dikejar mereka, kamu buron?" tanya Dirga, dia berdiri paling dekat dengan Benni.Mila menoleh ke sumber suara, mata Mia melebar. Mulutnya sedikit terbuka saat melihat pria yang baru saja bersuara itu."Jawab!"
Bab 4Benni menatap ke arah Mila yang melipat kedua tangannya di perut.Terus kamu maunya kerja apa? Di sini selain aman, kamu juga bisa dapat makan gratis. Dapat gaji, tinggal di tempat yang nyaman. Kamu kerja di sini dapat gaji, sudah. Tidak perlu banyak mikir kerjaannya haram atau halal. Uang yang buat bayar uang haram atau bukan., yang penting uang lancar,” tutur Benni santai."Dari jawabanmuku bisa menyimpulkan jika kalian itu memang benar-benar menggeluti bisnis gelap," ucap Mila."Biarin gelap, biar tidak kena bayar listrik tiap bulan!" balas Benni hingga membuat Dirga menahan tawa."Biarkan aku pergi, aku tidak mau terlibat dengan urusan kalian. Jangan khawatir, jika tertangkap aku tidak akan pernah mau menikah dengan bapakmu. Aku juga tidak akan kembali ke rumah ibuku," tegas Mila."Hei, anak buah bapakku itu bukan Komar dan Aseng doang. Tapi banyak sekali di luaran sana! Saat ini di pastikan kamu itu sudah jadi buronan mereka.""Masa? Kenapa kamu beriya-iya sekali memaksa
Bab 5Dirga mengantar Mila ke sebuah kamar yang letaknya menyorok kedalam.Kreek ...Pintu terbuka dan memperlihatkan kamar yang berisi kasur, lemari pakaian dan nakas. Kamar itu tidak begitu luas, hanya saja ada kamar mandi dalam yang terbilang kecil juga."Kamu bisa pakai kamar ini, biasanya kamar ini yang tempat pacar Benni. Jika aku kasih kamu kamar yang di belakang sana, tidak ada kamar mandi dalam. Rata-rata yang ada di sini kan cowok, nanti kamu kurang nyaman.""Sudah tahu di sini semua cowok, ngapain aku di tampung di sini. Pindahin kemana gitu," gerutu Mila."Ya, sementara tinggal di sini dulu. Nanti pasti di pindahin, kok.""Kemana? Kalian gak berniat untuk mindahin aku ke dunia lain, kan?" tanya Mila penuh selidik."Ya gak lah, biar kita preman tapi tingkatan kita masih sebatas tukang palak. Belum merambah ke yang sana," jawab Dirga santai.Mila melangkah hendak keluar dari kamar, tapi Dirga dengan cepat menarik tote bag gadis tengil itu hingga gadis itu kembali masuk kedal
Bab 6 Benni masuk ke dalam rumahnya, dia ingin memastikan jika gadis yang dia sembunyikan itu, akan jadi incaran bapaknya atau tidak. Jika tidak, dia akan melepaskan gadis itu pergi dari markasnya. Saat dia masuk, ada tiga orang anak buah bapaknya yang berdiri dengan kepala tertunduk di hadapan Pak Broto yang duduk bersilang kaki, sesekali pria itu menghisap dalam-dalam rokok yang diapit oleh kedua jari tangan kanannya. "Jadi, Jenny belum bisa bayar semua hutang pacarnya yang kabur itu?" tanya Pak Broto. "Iya, Bos," jawab Kemi. Benni memasang telinga dan pura-pura mencari sesuatu di lemari kayu yang berada tak jauh dari sofa ruang tamu. "Ini Bos," Komar menyerahkan selembar kertas berukuran 15x15 pada Pak Broto. Pak Broto menerimanya lalu menyipitkan mata saat melihat ke arah kertas poto yang bergambar seorang gadis berambut panjang dan masih berseragam sekolah. "Apa maksudnya ini, kalian mau aku mengadopsi anak ini?" tanya Pak Broto dengan raut wajah kebingungan.
Bab 7Diatas tikar yang terbentang di bawah pohon mangga yang rindang, terhidang nasi hangat, lele goreng lengkap dengan lalapan beserta sambal. Es teh juga sudah siap untuk mengobati dahaga. "Milo, kamu tidak punya keinginan untuk melanjutkan kuliah?" tanya Benni disela-sela makan siang mereka. Tangan Mila yang hendak menyuapkan nasi, seketika terhenti. "Gak mikir sampai ke situ aku, Bang. Aku tidak pernah punya pikiran yang muluk-muluk. Bisa lulus sampai SMK saja sudah bersyukur. Iya kali mau kuliah, biaya hidup saja aku harus cari sendiri sampai ngab. Gak pernah kepikiran pokoknya." "Jadi, sekarang kan sudah lulus. Apa rencanamu?" tanya Benni lagi. "Rencana apa? orang aku sudah terkurung di sini. Ya pikirannya, ya cuma di sini doang. Mau punya rencana apa lagi, coba? Misal Bang Benni mau ngelepasin aku, mungkin aku baru mikir rencana mau hidup yang kayak gimana." "Milo, aku bukannya berniat mengurung kamu. Tapi, anak buah bapakku memang sedang mencari-cari kamu. Waktu meliha
"Hei, buruan jawab! Kenapa malah senyam-senyum kayak orang gila!" ujar Benni kesal. "Hehe, menyetir. Biar bisa menyetir mobil, biar bisa kebut-kebutan. Impianku itu jadi pembalap mobil kayak film yang pernah kutonton. Tapi entah apa judulnya, lupa," ujar Mila sambil cengar-cengir, tanpa dia tahu jika kelima pria yang mendengar ocehannya merasa dongkol. "Bener-bener kurang se-ons ini bocah!" umpat Jojo lalu memasukan sayur selada ke mulutnya dengan kasar. "Kita turutin saja maunya si Milo ini. Kita masukan dia kursus nyetir, biar impiannya jadi pembalap tercapai!" ujar Benni menatap serius Mila. Mila tersenyum menunjukan rasa senangnya. "Serius kamu, Ben?" tanya Dirga terkejut. "Serius, nanti kalau dia sudah jago. Kita bisa rekrut dia jadi driver kita. Kita kan udah punya rencana mau buat tim p3rampokan. Itu loh, rencana untuk merampok bank," ujar Benni sambil mengedipkan sebelah matanya pada Jojo. "Eh, iya betul juga. Bagus kalau begitu. Ya sudah, jangan tunggu lama-lama
Mila duduk di dekat jendela yang tirainya sengaja dia buka. Dia menatap keatas langit yang di penuhi bintang. Keindahan langit malam semakin terlihat karena cahaya bulan purnama. Mila memeriksa ponselnya, tidak ada yang menghubunginya. Karena Mila memang tak memiliki teman dekat atau sahabat. Dia lebih memilih berteman ala kadarnya. Ibunya juga tidak memiliki nomor teleponnya, jadi dia merasa aman dalam pelarian ini. "Mungkin, saat ini ... ini adalah tempat teraman untukku. Lagi pula aku mau pergi kemana jika keluar dari sini? Aku belum siap untuk menjadi gelandangan." Mila berbicara seorang diri dengan menompang kepalanya dengan tangan kirinya yang dia sandarkan di dinding. "Milo!" Mila menoleh ke arah pintu kamarnya yang tertutup, dia mengangkat satu alisnya karena merasa heran. "Tumben dia ada di sini?" gumam Mila. Mila beranjak dari tempatnya dan membuka pintu. Benni berdiri di depan kamar, ia tersenyum menunjukan barisan giginya. Mila terpesona melihat wajah tampan Benni,
Mila sudah berada di dapur sejak subuh, membantu Mbok Denok memasak di dapur. Mak Leha, sudah sibuk mencuci pakaian kotor penghuni panti dengan mesin cuci. Mbok Denok beberapa kali terdengar membuang napas berat. Mila sesekali memperhatikan wanita yang sudah sangat baik padanya itu."Mil, kamu sudah yakin dengan keputusanmu ini?" Mbok Denok pada akhirnya membuka suara. "Ya, Mbok. Mila sudah yakin ..." "Mbok merasa khawatir tapi tak bisa berbuat apa-apa," ucap Mbok Denok sedih."Gak pa pa, Mbok. Mila sudah biasa menjalani kehidupan yang keras," jawab Mila mencoba menenangkan perasaan Mbok Denok."Semoga saja semua baik-baik saja ya, Mil." "Aamiin, Mbok." "Kamu jaga diri baik-baik, jaga kandungan kamu. Simbok sudah menganggap calon anakmu ini seperti cucu Simbok sendiri," kata Simbok berpesan, Mila mengangguk. "Mil," Simbok dan Mila langsung terdiam saat Yuza tiba-tiba datang ke dapur."Ya, Kak?" jawab Mila mendekati Yuza."Aku sama Mama mau berangkat sekarang. Kamu baik-baik d
Berat bagi Mila menjalani hari-hari yang selalu dalam pantauan Bu Sania dan juga Moza. Gadis kota itu terlihat ramah saat ada Bu Sania dan Yuza, selebihnya dia seperti manusua angku yang minta di keroyok dan dipukuli ramai-ramai. Sore itu, dia merasa begitu lelah setelah seharian berkerja. Intan membantu memijat kaki Mila meski Mila sudah melarangnya. "Tan, jangan lupa untuk siap-siap ya. Kita bisa aja disuruh pergi dari sini kapan saja. Jadi kita harus sudah siap," Kata Mila. "Iya, Kak. Barang-barang Intan kan cuma sedikit," balas Intan. "Iya, semoga mereka mencarikan rumah yang sesuai dan nyaman. Jadi kita bisa usaha cari uang meski tanpa keluar jauh dari rumah." "Maksudnya, kita jualan gitu ya kak?" tanya Intan."Ya gitu juga, boleh." Intan mengangguk seolah benar-benar mengerti apa yang mereka bicarakan. Tiga hari kemudian, Saat Mila sedang membantu Mbok Denok dan Mak Leha di dapur. Bu Sania datang menemui Mila. "Mila," panggil Bu Sania. "Ya, Bu. Bagaimana?" jawab Mila sa
"Kenapa memangnya? anda hanya ingin menerima bayi ini tapi tidak dengan saya?" tanya Mila dengan wajah yang dibuat-buat sedih."Tidak dua-duanya!" tegas Bu Sania.Mila terbelalak pura-pura terkejut mendengar perkataan Bu Sania. "Tega sekali anda, Nyonya. Aku mungkin memang tak pantas menjadi bagian dari kalian. Tapi, bayi ini ... dia ini ... " jawab Mila dengan nada yang terdengar pilu.Di luar dapur, Mak Leha dan Mbok Denok menggaruk kepala mereka karena bingung. Karena tadi Mila bilang punya suami dan sekarang lain pengakuannya."Aku tidak peduli, bawa saja anak itu pergi denganmu!" jawab Bu Sania sinis."Ya Tuhan, tak kusangka dan tak kuduga. Orang yang kelihatannya baik, dermawan suka menolong orang. Tapi tega pada pada darah dagingnya sendiri," ucap Mila."Ck, tidak perlu banyak bicara! Pergi saja ... berapa yang kamu mau agar kamu mau pergi jauh dari kehidupan kami?" tanya Bu Sania. Mila tersenyum miring, ini yang dia tunggu dari tadi. "Aku ... hanya mau Mas Yuza. Dia bisa
Yuza tergelak mendengar penuturan Mila. Dia mengira jika Mila cemburu pada Moza. "Sebenarnya, aku juga tidak suka pada Moza. Dia itu pilihan mamaku, dia putri sahabat baik Mama," ucap Yuza berharap agar Mila mengerti arti ucapannya."Maksudmu, kamu menyukai wanita lain?" tanya Mila. Yuza tersenyum lalu mengangguk."Lalu kenapa bilang padaku, kenapa tidak bilang saja pada orang tuamu," balas Mila membuat Yuza menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Ck, gimana ya?" gumam Yuza."Apanya yang gimana?" tanya Mila bingung meligat tingkah Yuza."Sku bingung aja bilang ke mereka, gak punya alasan yang tepat. Ya ... alasan yang mungkin bisa diterima, misal aku bilang sudah punya tambatan hati. Sayangnya, aku gak punya." "Oh begitu ... ya sudah. Terima nasib, mungkin memang dia jodohmu," jawab Mila santai.Yuza tersenyum, jawaban Mila tak sesuai yang dia harapkan. Padahal dia mengira, jika Mila bakal mengatakan, mau di jadikan alasan untuk menolak Moza."Kembalilah ke aula!" usir Mila. Akhirny
Desas-desus Mila hamil semakin ramai diperbincangkan di panti. Semua penghuni menduga jika Mila hamil dengan Yuza, tapi mereka sengaja merahasiakan hubungan mereka karena memiliki alasan tersendiri. Dugaan itu semakin kuat, karena Yuza sangat perhatian pada Mila. "Mila, kamu kalau sudah lelah istirahat saja. Biar Mbok sama Mak Leha yang menyelesaikan semua ini," ucap Mbok Denok yang merasa khawatir karena wajah Mila terlihat pucat. Mereka sedang membuat kue dan makanan untuk menyambut kedatangan orang tua Yuza. "Mungkin Mila semangat untuk menyambut kedatangan mertuanya," celetuk Mak Leha, spontan Mbok Denok menyenggol Mak Leha. Mila cukup terkejut mendengar perkataan Mak Leha. Sejak kapan dia digosipkan jadi istri Yuza. Mila menunduk, sebenarnya dia memang sedang tidak enak badan. Dia merasa pusing dan badan terasa dingin. "Mbok, Mak, Mila masuk ke kamar dulu ya. Gak enak badan soalnya." Mila pada akhirnya memutuskan untuk masuk ke kamar saja. Dia tak ingin memaksakan diri u
Seminggu kemudian ... Mila merasakan sakit kepala yang luar biasa. Dia bahkan tak bisa bangun walau sekadar ingin ke kamar mandi. Intan begitu perhatian pada Mila, untung saja hari ini hari minggu sehingga Intan tak perlu sekolah dan bisa menjaga Mila. Tok~tok Intan membuka pintu kamar, Yuza berdiri di depan pintu. "Mana Kak Mila?" tanya Yuza. "Tuh, kepalanya sakit katanya." Intan menunjuk ke arah Mila yang terbaring di ranjang dengan mata tertutup. Yuza masuk ke dalam dan langsung menyentuh dahi Mila kemudian kaki Mila yang terasa dingin. Yuza mengukur tensi Mila. "Astaga, tensinya rendah sekali," gumam Yuza. "Kak," Intan menyerahkan sesuatu pada Yuza. Yuza tertegun melihat benda yang baru saja Intan berikan padanya. Intan mendekati Yuza lalu berbisik di telingan Yuza. "Intan menemukan itu di kamar mandi sekitar satu minggu yang lalu," bisik Intan. Yuza mengingat-ingat kembali percakapan saat pertama bertemu dengan Mila. "Jangan-jangan ..." ucapan Yuza meng
Subuh buta, Mila sudah terbangun karena alarm yang dia pasang. Dia mengikuti intruksi yang tertera di bungkus testpack. Urine yang paling akurat adalah yang saat bangun tidur. Dia membawa kotak susu uht kosong yang sudah dia potong ke dalam kamar mandi lalu mencucinya untuk dia gunakan sebagai penampung urine nya. Mila menghela napas panjang, lalu mencelupkan stik testpack, beberapa detik saja alat itu sudah menunjukkan dua garis yang bermakna jika dia positif hamil. Mulut Mila terganga, dia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Ih, nanti aku ken cing lagi lah. Aku tes lagi ..." gumamnya. Mila lekas membersihkan kamar mandi dan keluar dari kamar mandi. Intan sudah terbangun dan menunggu di depan kamar mandi. 'Wah, bocil itu bangunnya pagi sekali,' batin Mila. Mila duduk di kursi belajar milik Intan, dia membuka satu botol air mineral yang semalam dia beli. Meneguknya dengan perlahan sambil memikirkan bagaimana menjelaskan pada Yuza jika memang dirinya hamil. Dia han
"Kamu kenapa, Mir?" tanya Mbok Denok yang merasa jika Mila terlihat aneh. Mila menelan air liurnya. "Mm, aku merasa ingin memakan mangga itu, Mbok." Mbok Denok menatap heran ke arah Mila, lalu mengeluarkan satu per satu mangga dalam kresek. Intan ikut duduk di dekat Mbok Denok. Liur Mila semakin mengucur saat mencium aroma getah mangga. "Kamu kok terlihat kayak oeang ngidam sih, Mil?" celetuk Mbok Debok. Mila tertegun, dia kembali mengingat tanggal periode haid nya. "Astaga ..." gumam Mila dalam hati."Kenapa jadi diam?" tanya Mbok Denok semakin bingung.Mila tersenyum untuk menutupi rasa gugupnya, lalu mengambil satu mangga dan mencium aromanya. "Hmm, seger ... masih belum matang ini," ucap Mila mengalihkan pembicaraan."Iya, kita diamkan dulu beberapa hari baru matang dan bisa kita makan," balas Mbok Denok."Pak Rt itu yang rumahnya berselang dua rumah dari panti ini, kan?" tanya Mila ingin tahu."He'em, yang depan rumahnya ada dua pohon mangga itu," jawab Mbok Denok. Mereka
Bella merasa puas dengan apa yang sudah dia lakukan pada Dirga. Rasa cintanya pada Dirga sangat besar, tapi seketika rasa itu menjadi rasa benci tanpa cela. Dia benci karena Dirga bukan hanya memukulinya, tapi menghina dan ingin menghancurkan keluarganya. Dia juga sangat marah, karena Dirga sudah membuat Mila pergi dari rumah. Bella mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Benni dan yang lain membuntuti Bella, tujuan mereka saat ini adalah pulang ke rumah untuk memberi pelajaran pada Shasa. Bu Rani merasa lega saat kedua anaknya datang. Bu Sari yang menemani kakak madunya juga ikut merasa lega. Pak Broto duduk di sofa, Shasa menempel pada Pak Broto dengan wajah sedikit tegang. "Mana Dirga?" tanya Bu Rani."Dia sudah mendapatkan apa yang semestinya dia dapat." jawab Bella duduk di sofa seberang yang berhadapan dengan bapaknya dan Shasa. "Astaga, Bella. Kamu kan sedang hamil, kamu harus hati-hati. Kamu barusan naik motor sendirian? Ih ... biar Ibu ambilkan air minum dulu buat k