"Mmmaaf Nyonya, saya tidak punya maksud buruk." Bilna gugup. "Ya tidak apa-apa. Yang pasti kita harus jujur dengan kenyataan." Kembali Bilna merasa tersudutkan oleh ucapan Nyonya Marissa. "Bilna mau masuk dulu, sejak datang tadi Bilna belum menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya dilakukan." Bila bangkit terburu-buru dari tempat duduknya. "Ya silahkan." Nyonya Marisa tidak menghalangi sedikitpun. Bilna nampak memeriksa tasnya sebelum ia beranjak. Huuufh... Sebuah botol kecil terjatuh dari tasnya. "Botol Apa itu Bilna?" Refleks Nyonya Marisa bertanya. Bilna nampak sedikit kaget oleh pertanyaan yang ditujukan untuknya. "Mmm. Ini, Nyonya Ini adalah botol obat." "Obat apa? kamu sakit?" "Pulang ke rumah kemarin, Bilna mengalami sakit kepala, makanya beli obat ini. Sekarang udah enggak lagi Nyonya." Entah mengapa nyonya Marissa merasa terganggu dengan keberadaan botol kecil yang barusan terjatuh dari dalam tas bilna tersebut.
Rumah megah ini sudah dilengkapi oleh CCTV di setiap ruangan kecuali kamar tidur dan kamar mandi. Itu sengaja dipasang oleh nyonya Marissa untuk keamanan dan kenyamanan di rumahnya. Oleh karena itu tidak terlalu susah bagi mereka untuk menyelidiki gerak-gerik Bilna. Hari ini Rama dan Aliyah menginap di rumah nyonya Marissa. Hanya saja Aliyah belum menampakan diri kepada Bilna. Hal itu dilakukan untuk menarik reaksi Bilna. Drrrt... Drrrt... Dari ponsel Aliyah muncul sebuah notifikasi pesan... Dengan cepat Aliyah membuka pesan tersebut. "Aliyah, sekali lagi tolong kamu dan Rama berhati-hati di rumah mertuamu, seseorang yang berbahaya mengintai kalian. Jangan sembarangan minum sesuatu yang di buat oleh pembantu barunya. Sekali lagi, tolong berhati-hati." Kembali jantung Aliyah di buat gelisah dengan pesan dari nomor tidak di kenal tersebut, di hubungi pun tidak bisa. "Lihat, Pa pesan ini muncul lagi." Aliyah memberikan ponselnya dan memperl
Rama berjalan melewati ruang tengah dimana Bilna sedang menyapu. Melihat siapa yang lewat, perempuan itu punya sebuah inisiatif. "Braaakh...." Terdengar sesuatu yang menabrak meja. "Aduuuuh... Tuan... Tolong... Tolongin Bilnaa... " Bilna rupanya, wanita itu tiba-tiba tersungkur, menabrak meja yang ada di depannya. Rama merasa heran bukannya tadi wanita itu sedang baik-baik saja menyapu, kok malah sekarang tiba-tiba bisa terjatuh. Tubuh Bilna terduduk lunglai di lantai. Dengan pakaian bagian bawah yang tersingkap, sehingga menampakan paha mulusnya. "Kamu bisa bangun sendiri kan. Aku tak kuat bila harus mengangkatmu." Jawab Rama jutek. "Aduh Tuan tolong, Bilna udah nggak kuat untuk bangun nih. Kaki Bilna sakit." Wanita itu merintih-rintih. Dengan tangan mengelus-elus kakinya. Nampak berusaha bangun namun tidak berhasil. Rama merasa serba salah. Apakah harus Dia membantu Bilna untuk bangun atau tidak. Namun karena mengetahui kelicikan Bilna, Rama
"Selamat, Pak. Istri Anda positif hamil." Bu dokter menyerahkan secarik kertas kepada pasangan suami istri tersebut. "Beneran, Dok?" Rama antusias. Dokter itu tersenyum sambil mengangguk. "Alhamdulillah... Kita akan punya anak, sayang. Terima kasih Tuhaaan." Rama memeluk istrinya haru. Sedangkan Aliyah, hanya diam. Satu dua bulir airmata jatuh dari sudut matanya, tanpa dia sadari. Rama segera menyisihkan embun yang menetes dari sudut mata Aliyah. Menyadari istrinya tidak dalam keadaan baik-baik saja, Rama dengan cepat mengurus pembayaran atas jasa dokter yang tadi membantu mereka. "Udah selesai, sayang. Yuk kita pulang." Rama merangkul pundak istrinya. Tidak ada rasa malu membayanginya karena melakukan itu di tempat banyak orang. "Sayang, kamu mau makan Apa?" Tanya Rama lembut. Aliyah tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Mama pengen pulang, Pa." Ucap Aliyah. Rama heran dengan sikap Aliyah. Di mobil, Rama tidak langsung menghi
Sesuai permintaan Bilna ke Mbok Rima, Hari ini Bilna di ajak oleh Mbok Rima ke supermarket untuk belanja kebutuhan dapur. Sebagai imbalannya, nanti Bilna akan memberikan seperempat Gajinya ke mbok Rima. Daftar catatan belanja sudah di berikan oleh Nyonya Marissa ke mbok Rima. Bilna merasa mendapatkan angin segar. "Ini kesempatan yang bagus" gumamnya. Maka pergilah Bilna dan Mbok Rima menuju ke supermarket. Di dalam supermarket, Entah mengapa di area bagian bawah Bilna semakin nyeri. Nyeri itu sulit untuk digambarkan. Mbok Rima yang melihat Bilna duduk kesakitan segera menghampirinya. "Ada apa, Bilna. Ada sesuatu pada perutmu?" Mbok Rima memegang pundak Bilna. "Perut Bilna terasa sakit, Mbok" "Udah biasa atau bagaimana?" "Biasanya sih memang sering terasa nyeri, tapi tidak sesakit ini. Ini sudah beberapa bulan, Mbok." "Kalau begitu seharusnya kamu harus segera periksa ke dokter. Siapa tahu ada penyakit yang serius." Saran mbok Rima.
"Halooo Bilna. Obat apa yang kau keluarkan dari kantongmu barusan? kenapa kau masukkan obat itu ke dalam obat-obatan yang akan diminum oleh Aliyah menantuku?" Sekujur tubuh Bilna gemetar melihat sesosok wanita paruh baya yang tiba-tiba keluar dari balik daun pintu. "Tidak ada obat apa-apa nyonya, Ini semua adalah obat Mbak Aliyah." Jawab Bilba dengan suara takut. "Oh begitu ya, kalau begitu sini obatnya yang ada di tanganmu itu. Saya mau lihat." Bilna semakin gemetar. "Sini cepaat...!" Bentak nyonya Marissa dengan suara meninggi. Namun Bilna berusaha untuk tetap tegar. Namun sekuat apapun usahanya, ketakutan nampak jelas. "Oke, kalau kamu tidak mau kasih, Biar aku yang ambil sendiri." Secepat kilat nyonya Marissa merebut obat itu dari genggaman Bilna. Bilna tidak bisa mengelak. Sekarang obat itu sudah berpindah tangan. Tak urung Bilna semakin cemas. "Itu sungguh bagian dari obat-obatan Aliyah, Nyonya." Bilna berpikir pembelaannya sung
"Hahahaa, kau tahu aku mengambil kesimpulan dari mana? Selama di rumah ini, semua tingkah lakumu di awasi oleh cctv yang tersebar di seluruh ruangan. Silahkan amankan wanita licik ini, pak." Titah nyonya Marissa. "Apa-apaan ini nyonya?" Bilna gelagapan. "Seperti yang kamu lihat, mereka polisi." Pikiran Bilna tidak menentu lagi. "Maaf Anda yang bernama Bilna, kan? kami membawa ini, surat penangkapan untuk Anda." Seorang dari mereka menyodorkan selembar kertas. "Kenapa mereka kemari? Mengapa tanganku yang diborgol." "kamu tahu kan mengapa tanganmu diborgol? itu karena kamu adalah tersangka. Kamu penjahat yang selalu berusaha untuk menjatuhkan Aliyah. Kamu pikir kami akan menerima semua kelakuanmu? Diam saja begitu? Tidak Bilna." "Selama ini kamu selalu lolos. Kali ini kamu jangan berharap demikian. Sudah kubilang sebelumnya, Aku tidak akan akan membiarkan begitu saja anggota keluargaku disakiti." Sambung nyonya Marissa. "Apa salahku? ap
Sedangkan Bilna, sakit di panggulnya semakin menjadi-jadi. terkadang ia juga mengalami kesulitan dalam bernafas, ditambah dengan kepala pusing dan pucat. Pendarahan yang tidak tahu apa sebabnya di iringi rasa nyeri. Membuang air seni pun tidak nyaman. Ponsel Bilna tiba-tiba berdering, menandakan adanya panggilan masuk. Bilna dengan meringis mengangkatnya. Mila. "Ya, Mil. Kenapa?" "Ini mbak. Jacob demam, badannya panas. Nggak mau turun. Gimana ini mbak Bil?" Ada-ada saja yang membuat pikiran Bilna semakin kacau. "Anak itu... Uuuh semakin merepotkan." Gumam Bilna semakin kesal. "Maaf, Mil. Ini saya lagi menahan sakit." "Lho, mbak sakit apa?" "Belum tahu, Mil. Perut mbak bagian bawah semakin perih, di tambah dengan bagian sensitif mbak juga semakin nggak nyaman ketika buang air." "Nah kan apa Mila bilang dulu. Kan Mila udah sering buat menyarankan mbak supaya ke dokter." "Mbak tidak menyangka akan menjadi seperti ini kejadiannya,
Bab 72Dugh!Honor pensiun?Haduh, mati aku! Kenapa Pak Tohir malah bicara soal honor pensiun sih? "Hmm ... Honor pensiun selalu kukirimkan pada mantan istriku, Pak. Menurutku anakku jauh lebih membutuhkan uang itu daripada saya." jawabku cepat.Untung aku cepat berpikir ke arah sana. Jadi tidak ketahuan kalo sebenarnya setiap bulan tidak ada yang namanya uang pensiun untukku. Lagipula aku tidak punya anak kan, he ... he ...!"Oooh, pemikiran seorang ayah yang baik." Pak Tohir menganggukkan kepalanya.Aku menghela nafas panjang, setidaknya aku bisa membuat Pak tohir percaya kalau aku memang benar-benar mendapatka uang pensiun setiap bulan. Berbohong memang tidak di larang demi bisa menjaga nama baik diri kita sendiri bukan? Memangnya siapa lagi yang akan menjaga nama baik kita selain dari diri kita sendiri?*** Pagi ini aku kembali menyetirkan sepeda motor bututku menuju ke kompleks mewah dimana kemarin aku bekerja. Huuh, untuk sementara tidak apa-apa lah aku bekerja seperti ini
Bab 71"Itu, tetangga sebelah, Bib.""Ooh ..!" Aku ber oh ria."Katanya dia mau minta tolong juga sama kamu buat bersihin paritnya juga. Soalnya tukang kebunnya lagi cuti. Kamu mau kan?" lanjut Pak Tohir."Boleh kok.. mau banget malah. Kebetulan aku lagi butuh banyak uang nih." celetukku.Tentu saja aku sedang membutuhkan uang sekarang. Soalnya mulai besok aku ingin mencoba untuk melamar pekerjaan baru dan itu aku butuh bensin tentunya. Beli bensin sekalian rokok itu sudah cukup untuk membuatku susah mencari uangnya. Tidak seperti dulu. Kalau dulu mah dua barang itu adalah dua hal yang sangat mudah untuk aku dapatkan. Ah beginilah nasib yang diberikan tuhan. Kadang terasa tidak adil memang.Setelah beberapa saat lamanya, aku memutuskan untuk memulai pekerjaan.Dengan semangat aku menggeluti pekerjaan ini. Aku mulai menebak, berapa kira-kira uang yang akan diberikan oleh anaknya Pak Tohir nanti. Siapa tahu lima ratus ribu. atau bisa-bisa lebih mengingat anaknya ini adalah seorang dok
Bab 70Aku fokuskan kembali pendengaranku agar lebih baik. Entahlah karena rasa benci ku padanya juga membuat aku penasaran dengan apa sebenarnya yang mereka obrolkan. Orang-orang biasa menyebut sifatku ini kepo. Tapi aku peduli amat.Ternyata tidak meleset pendengaranku sebelumnya, bahwa laki-laki itu benar-benar menolak ajakan temannya untuk berlibur hanya karena ayah dan anak mereka.Busyet sekali. Mungkin saja dengan cara itu ia sudah merasa menjadi pahlawan untuk Aliyah. Aku yakin sekali anggapanmu itu pasti salah, Rama. Andaikan saja kau sadar pada kenyataannya akulah yang lebih lama hidup bersama aliyah dibanding kamu yang baru beberapa tahun saja menikahinya. Jadi, aku belum merasa kalah dibanding kamu. Memang itu kenyataan kok.Beberapa saat kemudian aku lihat laki-laki itu pergi meninggalkan teman yang tadi berusaha merayunya untuk pergi berlibur bersama tanpa keikutsertaan Aliyah. Kulihat ada raut kesal pada wajah temannya yang ia tinggalkan.Ingin rasanya aku merebut A
Siang ini serasa aku tidak berselera untuk menyelesaikan semrawut agenda pekerjaan di perusahaan. Batinku masih terbayang-bayang dengan sikap Aliyah yang sedang menaruh curiga padaku. Aku memilih untuk duduk di restoran seorang diri. Biasanya aku sangat bersemangat untuk pulang dan menemui Aliyah dan juga Bian. Tapi kali ini aku merasa pasti akan sia-sia bila aku pulang. Sebab Aliyah pasti akan kembali mengabaikan aku. Sesuatu yang cukup membuatku tersiksa."Hai...!" aku di kejutkan dengan suara yang tidak terlalu asing di telingaku.Aku menoleh."Jhoni? Kamu lagi?" Jhoni terlihat tersenyum menanggapi respon dariku. "Sendirian ajah?" tanyanya."Iya nih." jawabku."Kenapa nggak bareng temen?" tanyanya."Ah sesekali menyendiri, Jhon." jawabku datar."Kenapa malah terlihat sendu, Bro? kamu punya masalah apa? Hayoo ngaku,! Iya, kan? Sini ..! Cerita sama aku ajah!" Jhoni duduk di depanku setelah memesan santap siangnya."Ah enggak, aku nggak punya masalah apa-apa kok." jawabku menyembu
Bab 68Hari ini aku berniat menyibukkan diri dengan kegiatan bersama beberapa teman kantor. Kebetulan ada sebuah kegiatan yang diadakan hari ini.Biasanya di hari libur seperti ini, aku akan senantiasa berlibur bersama Rama dan Bian, putraku. Kalaupun ada kegiatan, aku biasa memilih untuk tidak ikut, sebab waktu bersama keluarga lebih penting bagiku.Tapi tidak dengan hari libur kali ini. Aku seperti tidak berselera untuk menghabiskan waktu bersama Rama. Laki-laki yang baru saja membuat hatiku terluka.Sederetan pesan yang sedemikian gamblang menunjukkan siapa si pengirim pesan, membuatku sulit untuk mempercayai kata-kata ramah. Untuk saat ini, aku merasa tak bersimpati sedikitpun dengan segenap alasan yang ia utarakan. Bisa saja itu hanyalah salah satu cara yang Rama tempuh untuk mengambil kepercayaanku kembali. Tidak Rama! Tidak akan semudah itu untuk mengembalikan kepercayaan ini.Memang ini pertama kalinya seumur-umur pernikahan kami aku mendapati ujian seperti ini. Dan ini merup
Bab 67"Siapa yang mengirimkan pesan seperti ini? Siapa?"[Rama, aku tunggu kamu di depan Mutiara Hotel ya. Sesuai sama janji kamu kemarin. Masih ingat kan kamu bilang apa. Oke deh ditunggu malam ini. Seperti biasa, jam 08.00 malam jangan lupa. Hmm... Jangan sampe ketahuan Aliyah ya, Sayang.]Degh!Jantungku berdegup, apa maksudnya coba.[Oh ya, Rama, jangan lupa katanya kamu pengen beliin aku cincin buat hadiah ulang tahunku besok? Makanya sebaiknya kamu nginep aja malam ini di Mutiara hotel, biar pagi besok kita langsung ke toko perhiasan buat memenuhi janji kamu. Aku pengen kamu beliin aku liontin yang berwarna biru. Hehee]Aku semakin tidak mengerti dengan pesan itu. Aneh benar-benar aneh.Sementara aku melihat jekas ekspresi marah pada wajah istriku.Aku tidak bisa menyalahkannya. Bagaimanapun aku bisa memposisikan diri sebagai dirinya yang merupakan istriku. Jujur saja jika seandainya aku yang berada pada posisinya saat ini tak urung aku juga pasti akan termakan emosi. Siapa ya
Bab 66"Gimana, Mas, apa Rama mau kamu ajak ke puncak?" Intan, wanita penghibur langganan ku bertanya.Aku menghela nafas,"Belum bisa katanya, Tan." jawabku pendek."Lhoo, kenapa? Apa dia nggak tertarik sama fotoku?"Yaaah, aku lagi-lagi menarik nafas panjang. Memang kemarin itu Intan memintaku untuk memperlihatkan potretnya pada Rama, dengan harapan Rama mau kuajak ke puncak. Tentu saja Intan menunggu kami di sana. Rencanaku, aku berharap Rama mau menuruti kemauanku, dan secara tidak langsung dia bakalan kujadikan alat untuk tidur bareng Intan di puncak. Tapi nyatanya laki-laki:takut istri itu menolak."Kenapa malah diam, Mas Jhon? Apa kamu sengaja ya nggak pamerin fotoku sama dia? Kalau begitu mah mana mau dia ke puncak. Coba kalau Mas memperlihatkan potretku itu padanya, dijamin deh dia bakalan mau turut serta."Aduh, kamu salah besar, Intan. Rama tidak semudah itu.Meski tidak kupungkiri aku belum menyodorkan foto Intan padanya. Tapi sebelum aku melakukan itu, aku sudah dikecew
Bab 65Rama memang keterlaluan. Terlalu b*doh dia di mataku untuk sok menasehati. Pake menyarankan aku untuk menghargai Nayla segala.Nayla mah tetaplah Nayla, gemuk, pendek, dan nggak menarik sama sekali. Meski di modalin berapa saja, dia tetep ajah gendut dan jelek. Yang ada nanti cuma buang-buang duit ajah. Kan tambah rugi akunya. Bener-bener nggak deh kalo harus modalin Nayla ***"Nayla! Kamu dari mana ajah, ini kok meja makan kosong gini. Kamu tahu nggak kalo suami pulang di jam segini? Kenapa nggak nyiapin makan siang?" aku bicara membentak pada wanita yang telah aku nikahi sejak lima belas tahun yang lalu.Kulihat tubuh bongsornya bergerak-gerak ketika ia berjalan, membuatku bergidik jijik. Uuuh, rasanya aku menyesal telah menikahi wanita segemuk dia. Bener-bener istri yang nggak bisa menjaga dan mengurus tubuhnya agar tetap ideal."Jawab aku Nayla, kenapa kamu nggak nyiapin makan siang buat aku?" dekali lagi aku menekankan pertanyaan padanya karena dia belum juga menjawab p
Bab 64 Aku tertegun dengan cara berpikirnya Rama. Cara berpikirnya sungguh berbeda dengan cara berpikirku. Tidak, aku tidak setuju dengan cara pandangnya dia. Aku berpikir bagaimana caranya agar aku bisa menyadarkannya. Aku tak sampai hati jika melihatnya selalu dalam penguasaan istrinya. Istrinya memang cantik sih, tapi sebagai lelaki seharusnya dia tidak boleh hanyut dalam pesona kecantikan perempuan. Akhirnya aku mendapatkan ide bagus."Ram, gimana kalo kita jalan bareng hari ini? Kita ke puncak. Besok kan masih hari libur, jadi kita bisa bermalam di sana. Itung-itung refreshing otak. Gimana? Kamu mau, kan?"Aku harap-harap cemas menanti jawaban dari Rama. "Aduh, aku hari ini udah terly buat janji sama Bian, dia pasti nagih janji sama Papa dan Mamanya." Aku melengos."Bian anakmu?" keningku terasa berkerut."Iya, memang siapa lagi."Rasanya kalau lama-lama berada di dekat Rama Aku bisa gila rasanya. Entahlah aku menilai Rama seperti sudah tidak punya ruang lingkup sendiri, di