Bugh!
Hamam melayangkan tinjunya tepat ke pipi kiri laki-laki itu. Tak siap dengan serangan yang tiba-tiba, tubuh jangkung dan ramping segara melayang menghantam pot bunga besar yang ada di sisi kiri Hamam. Benda itu langsung hancur berkeping-keping ditimpa tubuh itu.
Ibu menjerit panik menyaksikan kemarahan Hamam. Dengan segera suami yang sedang disulut api amarah itu bergerak menghampiri tamu yang tak diundang dan bertubi-tubi melayangkan pukulan dan tendangan tanpa ampun. Laki-laki dengan tubuh kusut masai itu melawan dan menangkis semua serangan Hamam yang membabi-buta. Ketika pukulan terakhir Hamam hampir mengenai pelipisnya, ia menangkis dan mencengkram tangan suami yang sedaang murka tersebut. Serta-merta, menarik tubuh Hamam jatuh dan duduk di atas perutnya.
Hamam memicingkan mata, berusaha menjaga pandangan dari derasnya hujan yang mendera. Laki-laki yang menduduki tubuhnya menyeringai lebar lalu mendekatkan wajah dan berujar : “Bibirnya..., sama manis dengan senyumnya,” kekehnya pelan.
Seringai dingin meningkahi suaranya yang penuh dendam. Hamam membeliakkan mata. Membalas tatapan tajam lelaki itu dengan murka. Memberikan kekuatan baru pada dirinya. “Apa yang sudah kau lakukan pada istriku?! Bedebah! Kau apakan Amy?!” teriaknya sambil membanting tubuh jangkung itu hingga terkapar membentur tiang rumah.
Ibunya kembali menjerit-jerit. Memohon Hamam menghentikan semua perkelahian mereka. Bukannya takut, laki-laki itu malah tertawa keras dan sumbang. Membalas teriakannya. Hamam menggertakkan rahang dan bersiap menyerang kembali.
“Sakit bukan? Rasanya bila wanita yang kau cintai direbut paksa darimu?”
Hamam berdiri mematung.
Laki-laki itu duduk dengan satu tungkai kakinya menekuk dan satunya lagi berselonjor begitu saja. Dengan santai ia mengusap sudut bibirnya yang berdarah dengan tangan bertumpu pada tungkai kaki yang menekuk. Ia memandang Hamam dingin. Menyunggingkan cengiran seolah-olah pukulan demi pukulan yang Hamam layangkan tadi hanyalah sapuan angin lalu. Dengan perlahan ia menjilati bibirnya yang basah dan kembali berkata, “Amy yang malang..., harus terjebak bersamamu tanpa kepastian,” kekehnya lagi.
Darah Hamam kembali bergejolak dan hendak kembali melayangkan tendangan ketika tiba-tiba ibunya menjerit dan jatuh berdebam dari teras rumah. “Hamam, hentikan..., hentikan, Nak. Sudah. Jangan lakukan lagi. Ibu mohon,” jerit Ibunya sambil memukul-mukul ubin jalan.
Hamam bergeming. Ragu. Antara ingin menuruti ibu atau nafsu amarahnya.
“Ya, Hamam. Hentikan dan bersembunyilah di bawah ketiak ibumu,” seru laki-laki itu mengejek.
Hamam balik memandangnya marah tetapi segera dihentikan ibunya yang memohon untuk dibantu berdiri. Hamam berbalik dan memapah wanita tua itu untuk berdiri. Seluruh tubuhnya bergetar menahan amarah.
“Sudahlah, Nak. Tak usah kau percayai dia. Masuklah. Tenangkan dirimu. Jika kau teruskan, ada yang akan terluka. Nak, ibu mohon. Masuklah!”
Suara dan keadaan ibunya yang memelas membuat amarah di hati Hamam mereda. Dengan tajam ia memandang laki-laki itu. Lalu memaksakan diri untuk masuk disertai dorongan pelan dari ibunya. Setelah tubuh Hamam hilang dari pandangan, ibunya berbalik dan memandang laki-laki penyebab masalah anaknya. Laki-laki itu telah berdiri dan sedang mengusap pipinya yang lebam.
Pandangan keduanya bertemu. Dengan ketenangan yang terlalu dipaksakan, wanita tua itu berujar dingin, “Pergilah. Tinggalkan keluarga kami. Kau tak tahu akibat yang akan kau timbulkan pada Amy,” ucapnya perlahan.
Laki-laki itu membeku. Sorot matanya seolah-olah baru menyadari masalah besar yang ditimbulkannya.
“Jangan ganggu kami! Amy sudah bersuami. Godalah wanita lain saja!” ucapnya gemetar. “Pergilah. Dan jangan kembali,” suruh wanita tua itu kemudian berbalik dan dengan tergesa menutup pintu rumah.
Laki-laki itu berdiri diam dalam hujan. Matanya memicing, menyadari arti ucapan wanita tua itu. Sejenak, ia ragu untuk pergi. Tetapi, nalurinya memerintahkan untuk segera pergi dari rumah itu.
Dengan gontai, laki-laki itu melangkah mendekati mobilnya yang terparkir tak jauh dari sana. Ia duduk beberapa lama di dalam mobil dalam keadaan basah kuyup. Wajah yang tampan dan maskulin itu berkerut. Berpikir dan menimbang. Lalu, setelah beberapa saat kemudian, ia menstarter mobilnya dan segera berlalu dari situ.
"Amy ..., Kekasihku .... Semoga kau baik-baik saja di sana ...." Lirih suaranya hilang ditelan decit ban yang beradu dengan kerikil halaman.
***
Hamam murka.
Walaupun telah melampiaskan amarahnya pada laki-laki yang dikenalnya itu, belum juga menuntaskan kemarahannya. Dengan langkah-langkah panjang, ia masuk ke dalam kamar. Dan mendapati istrinya yang baru saja keluar dari kamar mandi. Belum menyadari apa yang barusan saja terjadi.
“Mas..., wajahmu..., kenapa?” tanya wanita itu perlahan. Langkahnya terhenti di depan kaca rias. Wajah Hamam penuh lebam. Aura marah terpancar jelas di wajahnya.
Hamam terpaku. Menelusuri tubuh istrinya yang hanya berbalut handuk putih di atas lututnya. Rambut panjang sebahu tergerai basah jatuh di punggungnya. Membiarkan bahu dan sebagian dada atasnya terbuka. Amy segera menyadari kesalahannya dan berusah menutupi tubuhnya yang terbuka.
“Barusan Reinaldi datang,” desisnya membuat wajah Amy seketika pias. “Di tengah malam. Hendak mengantarkan tas dan sebelah sepatu milikmu,” dengusnya murka.
Mulut Amy membuka dan menutup. Berusaha berbicara tetapi langsung diputus oleh Hamam.
“Yang katanya..., tertinggal di dalam mobilnya.”
Mata Hamam berkilat menyeramkan saat ia melanjutkan ucapannya.
“Saat mengantarkanmu pulang.”
Tubuh Amy bergetar hebat menyadari bahaya yang akan menimpanya. Ia mundur beberapa langkah, hendak menghindar dari Hamam. Rasa sakit yang telah terekam dalam memori kulitnya selama bertahun-tahun membuat ia berdiri dengan rasa was-was yang amat sangat. Mata Hamam membeliak melihat gestur tubuh Amy. Merasa bahwa semua prasangka yang dikira adalah benar. Serta merta tangannya bergerak mencengkram handuk yang membebat tubuh istrinya. Membuat wanita itu tersentak membentur dada Hamam.
“Ini apa?” desisnya sambil menyentuh jejak-jejak keunguan yang membekas di sepanjang leher dan dada atas Amy. Cengkramannya semakin kuat.
Amy menjadi pias. Ia mencicit panik.
“Mas..., Mas..., aku bisa jelaskan. Aku bisa jelaskan...., Mas..., aaww.”
Amy menjerit kesakitan ketika tangan kekar Hamam menamparnya tanpa ampun membuat tubuh kecilnya terpelanting membentur dipan ranjang.
“Beraninya, kau! Beraninya berbohong padaku!” teriak Hamam kalap sambil menjambak rambut istrinya dan melayangkan pukulan bertubi-tubi ke arahnya.
Amy menjerit-jerit. Berteriak memohon ampun tetapi tak digubris sedikitpun oleh Hamam. “Ampun, Mas..., ampun..., aku..., aku..., bisa jelaskan..., ampun Mas...,” jeritnya pilu.
Hamam menarik handuk yang melilit tubuh Amy dan melepaskannya paksa. Ia memukulkan handuk tebal itu ke tubuh istrinya bertubi-tubi. “Ampun, Mas..., ampun..., aku bisa jelaskan. Mas..., salah paham...,” jerit Amy berkali-kali.
Tubuhnya yang tak dilindungi sehelai benangpun terombang-ambing ke sana kemari, mengikuti arah pukulan Hamam.
“Hamam! Hentikan! Hentikan!” teriak ibunya yang baru datang tergesa-gesa.
Mbok Napsiah yang mendengar jeritan nyonya rumahnya ikut datang dan mendekap mulut dengan pilu menyaksikan pemandangan mengerikan di hadapannya. Amy terkapar di lantai kamar dengan darah bercucuran dari hidung dan mulutnya. Perempuan itu menjerit-jerit memohon ampun dengan tubuh telanjang. Tangannya menutupi kepala berusaha untuk melindungi diri. Ibu Hamam berteriak-teriak berusaha menahan Hamam untuk tidak memukuli Amy lagi.
“Hentikan, Hamam! Hentikan! Kau bisa membunuhnya!”
Setelah beberapa saat, Hamam berhenti. Dengan frustasi ia berteriak keras, melemparkan handuk dengan kasar ke tubuh Amy. Ia hendak melangkah keluar.
“Mas..., aku tidak salah...,” isak Amy memohon. Dengan kalut ia merangkak meraih kaki Hamam dan memeluknya. Menciumi tapak suaminya, memohon pengampunan.
“Aku bisa jelaskan, Mas.... Aku tidak melakukan hal yang memalukan,” ratapnya. Di bawah kaki Hamam.
Ibu mertuanya membuang muka. Tak mempercayai ucapan perempuan malang itu. Hamam menyentakkan kaki, dan seketika pelukan Amy terlepas sehingga ia terjerambap kembali ke lantai. Hamam berlalu dalam diam. Keluar kamar dan duduk lama di meja makan. Urat pelipisnya berdenyut-denyut.
Ibu mertua menghampiri Amy. Lalu memandang wanita malang itu dari bawah matanya. “Pakai bajumu. Kita bicarakan ini baik-baik,” ucapnya datar tanpa sedikitpun niat untuk menolong Amy. Ia merasa jijik melihat menantunya.
Dari balik kulit matanya yang mulai membengkak, Amy mengangguk-angguk. Lalu meracau mengucapkan terimakasih. Ibu mertuanya berlalu. Dan segera duduk di sebelah Hamam. Meraih tangannya, berusaha menenangkan hati laki-laki itu.
Sementara, Mbok Napsiah menolong Amy sambil menangis. Menyaksikan keadaan majikannya yang memilukan. Mengusap wajah Amy yang bengkak dan membiru dengan kasih. Ia memapah Amy dan menyelimuti tubuhnya kembali dengan handuk. Lalu membantu Amy cepat-cepat berpakaian. Takut jika tuannya kembali ke kamar dan memukuli nyonya.
Sementara, di ruang makan, Hamam duduk diam. Lama.
Ibunya mengucapkan semua kata-kata menenangkan yang ia bisa. Genggaman tangan keriput itu menyelimuti tangan kekar dan berotot yang barusan memukuli tubuh tak berdaya istrinya. Entah, sudah yang ke berapa ratus kali tangan itu melakukannya selama enam tahun pernikahan mereka.
Tiba-tiba handphone yang tergeletak di atas meja makan berdenting, menandakan ada sms yang masuk. Hamam berkerenyit. Melayangkan tanda tanya ke arah gawainya. Penasaran. Siapa yang telah mengirimkan sms di tengah malam seperti ini. Hamam meraih gawai dan menyentuh layar handphonenya. Seketika tubuhnya tersentak membaca isi sms itu.
[Kau tenang saja. Aku belum sempat menggauli istrimu. Dia terlalu mulia. Dia bertahan menolak dan kabur dariku. Sayang sekali. Amy bukan wanita murahan. Tidak seperti perempuan-perempuan lain yang pernah kau tiduri.]
Hamam menegang. Sialan. Bahkan dia tau nomor handphone-ku. Batinnya.
Seraut wajah kurus, terbakar sinar matahari dengan perawakan dekil dan keringat berbau debu seketika bertandang ke dalam ingatannya. Masa lalu terkadang datang tanpa diundang. Seseorang dengan dendam yang 'tak berkesudahan mengintai Hamam dan keluarganya.
Si Br*ngsek itu!! batin Hamam sambil menggebrak meja.
Bersambung ....
"Hamam? Ada apa, Nak?" tanya ibunya terkejut setelah mendengar bunyi grbrakan meja tadi. Perempuan tua itu muncul dari dalam dan segera menuju kursi makan. Dia duduk perlahan menemani anak laki-laki kebanggaannya.“Dari siapa, Hamam?” tanya ibunya heran setelah melihat tangan laki-laki itu sibuk bergerilya di layar gawai.Hamam menghapus isi chat itu dan melempar gawainya. Membuang muka. Takut jika ibunya turut membaca sms itu dan mengetahui rahasia kelamnya.Pandangannya tertumbuk ke sosok tubuh kecil yang muncul dari kamar. Melangkah takut-takut ke arah mereka dan berhenti di depan keduanya. Di ujung meja makan. Berdiri di hadapan mereka layaknya seorang pesakitan di dalam ruang pengadilan. Ibunya memandang Amy tajam. Jelas tak suka dengan menantunya itu. Walaupun wajah istri anaknya itu mulai membengkak dan penuh lebam. “Mas...,” panggil Amy sepelan desiran angin. Hamam memandangnya lekat. Ada rasa sesal menyaksikan keadaan Amy. Bagaimanapun, istrinya berhak memberikan penjelasan
Sudah tiga hari Hamam tak pulang. Amy hanya bisa mereguk kecewa saat bayangan suaminya tak menyapa netra. Mbok Napsiah memberitahu dirinya, Hamam pulang keesokan hari, setelah kejadian yang menyedihkan itu. "Tuan ngambil pakaian sama tas dan laptop kerjanya aja, Nya. Waktu Nyonya Amy masih tidur. Terus langsung pergi pake mobil Tuan. Kayaknya mau ke kantor." Mata tua itu menatap sedih Amy. "Mungkin nginap di rumah Ndoro Besar, Nya," usulnya.Amy dirundung kekecewaan yang dalam. Bahkan suaminya tak memberikan kesempatan sama sekali untuk membela diri. Hamam lebih memilih mendengarkan ibunya ketimbang istri yang selalu dipukuli setiap ia merasa kesal ini."Nya, makan dulu. Biar cepat sehat," bujuk Mbok Napsiah. Ia masuk ke dalam kamar menghampiri Amy yang sedang berbaring sambil menatap langit-langit. Kosong. Tangan tuanya mengangsurkan semangkuk bubur ayam pada wanita itu. "Bagaimana mau makan, Mbok. Mulutku bengkak begini. Susah buat ngunyah. Sakit semua...," ucap Amy lirih. Ada be
Pernahkah kau begitu mencintai seseorang hingga kau tak lagi memperdulikan dirimu? Mengikuti segala ingin hingga dirimu melebur tak bersisa padanya? Lupa jati diri, menyelingkuhi harkat martabat sendiri? Lalu, saat dirimu sudah seutuhnya menjadi milik seseorang, ia meninggalkanmu begitu rupa. Mencabikmu hingga tak bersisa. Sampai akal tak lagi bisa menolerirmu dalam hina. ===***=== Angelique berlalu pergi dari rumah, membawa satu buah tas koper besar berisi pakaian Hamam. Melenggang pergi dengan penuh kemenangan, setelah sebelumnya mendecih pada Amy. Menertawakan kelemahan dan kebodohan wanita yang terduduk lemah di sudut kamar. Ketika bayangan pelakor itu hilang dari pandangan. Dan derum mobil milyaran rupiahnya membelah pekarangan rumah, dengan gemetar Amy mengambil gawai yang tergeletak di atas nakas. Pucat pasi ia kembali menghubungi Hamam. Setelah mencoba yang ke sepuluh kalinya, handphone laki-lak
"Jikalau kau katakan, bila darah lebih kental daripada air. Maka, tak semua hubungan sedarah itu, bisa mengalahkan tali ikatan tanpa darah yang sama sekalipun." ===***=== Adalah Mbok Napsiah. Seorang wanita yang telah berumur jauh lebih matang. Yang telah menjalani seluruh hari tuanya bersama Amy. Bersumpah akan selalu setia dimanapun wanita malang itu berada. Mengemas semua yang bisa ia bawa melalui tangan tuanya. Memohon maaf dan berpamitan pada Hamam. Mengucapkan beribu terimakasih untuk semua kebaikan hati tuannya selama ini. Hamam tak ambil peduli. Toh, baginya, Mbok Napsiah hanyalah seorang wanita renta, jongos miskin yang bekerja hanya untuk mendapatkan uang. Ia tak penting, hanya aksesoris tambahan yang bisa segera ia carikan penggantinya. Tanpa berkata-kata lagi, laki-laki tampan dan gagah itu pergi ke luar. Meninggalkan tubuh Amy yang tak sadarkan diri di pojok teras rumah. Seperti biasa, Mbok Napsiah dan tukang kebunnya yang akan membereskan segalanya. Ia berlalu bersama
Dokter tua itu akhirnya mengembuskan napas berat. Penampakan wajah Amy yang babak belur membuatnya semakin sulit untuk memberitahukan kebenaran itu. Sang Asisten beberapa kali melirik ke arahnya dan Amy. “Begini, Ibu …, tepatnya akhir pekan lalu suami ibu datang mengambil hasil tesnya. Sudah saya jelaskan beberapa kemungkinan-kemungkinan yang bisa ditempuh untuk mengatasi kekurangan yang di derita suami ibu …,” dokter berhenti sebentar lalu memberikan kode kepada asistennya untuk mengambilkan copy hasil pemeriksaan sebelumnya. Sang asisten tampak bingung tetapi akhirnya berjalan ke luar ruangan meninggalkan Amy dan dokter itu berdua di dalam ruangan. “Mak …, maksud dokter? Kekurangan suami saya?” bisik Amy tercekat. Dengan susah-payah dia berusaha kembali bicara. Pelipisnya terasa berdenyut seiring dengan gerak bibirnya. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dengan keterkejutan yang luar biasa. Kekurangan Mas Hamam? Jadi, selama ini …. Selama ini siapa yang ternyata mandul? Tib
Jika kita tidak berada dalam satu gelombang lagi, lalu, untuk apa kita terus melayang sendiri di sana. ***Amy terduduk di bawah papan reklame yang melindunginya dari pandangan orang-orang itu. Mereka yang berwajah rupawan tetapi berhati melebihi serigala. Angin malam berembus membelai kulit halusnya yang penuh dengan lebam. Dadanya naik turun menahan sebah di hatinya yang membuatnya seketika sesak. Keringat dingin membanjiri epidermis kulitnya mengalir di sela-sela cekungan punggungnya yang ringkih. Cahaya temaram dari lampu taman cafe menerpa wajah bengkaknya. Suram cahaya menulari raut wajahnya memantul kembali di bola mata yang sudah tidak bisa lagi mengeluarkan air mata.[Aku mencintaimu, Amy ....]Bukankah itu kata-kata yang sering kau bisikkan di telingaku setiap kau habis menyesap sari tubuhku dengan meninggalkan lebam di sana, Mas? Pandangan Amy tak lepas dari wajah Hamam yang masih saja tampak bersungut-sungut dari kejauhan. Perempuan itu tidak ingin mengalihkan matanya d
Cinta itu bisa datang dari kebersamaan. Terus dipupuk dan disirami setiap hari dengan kesabaran. Hingga berbuah lebat dan bisa dituai dalam bentuk kasih sayang yang dominan. ***♡♡♡***Amy duduk terpekur. Masih menunggu kedatangan Hamam dari dalam kamar pengantin. Matanya nanar memandangi daun pintu berwarna putih tulang pilihannya sendiri dulu itu. Yang telah penuh dengan gerombolan bunga beraroma wangi. Indah. Indah sekali.Sungguh keindahan yang merobek hati.Dan, yang sungguh menyesakkan dadanya adalah : itu kamar mereka berdua dulu. Di sanalah mereka sering bergumul memadu kasih hampir setiap malam dikarenakan hasrat s*ksual Hamam yang tidak kunjung padam setiap kali dia menyentuh Amy sehabis pulang dari kantor perusahaannya.Di tempat kerja terlalu banyak p*ha dan d*da terbuka yang lalu-lalang di depan CEO muda itu. Mulai dari yang samar-samar hingga terang-terangan mengajak laki-laki tampan itu naik ke tempat tidur.Namun, masa-masa liar itu sudah lewat. Telah dihabiskan Hama
Pungkas Amy melemparkan bom atom ke dalam ruangan itu. Terdengar seruan tertahan dari beberapa mulut yang penasaran dengan kelanjutan drama ini. Hamam memucat. Pias. Bagaikan darah tersirap meninggalkan wajahnya yang tampan. Ibunya terbeliak pasi dengan bibir gemetar. “Kau ..., bohong!” Getar bibirnya. Jari telunjuknya mengacung ke wajah bekas menantunya. Amy memandangnya tenang. Tak ada lagi rasa takut dalam dirinya. Hatinya sudah mati rasa. “Dalam kertas itu, salinan dari laporan hasil tes dari dokter obgyn terpercaya di kota ini, Ibu. Seorang dokter, yang kredibilitasnya telah diakui semua orang di sini.” Amy memandang ibu mertuanya dingin. “Jika orang sebesar itu mampu berbohong, maka, semua nama baik klinik besarnya bisa dituntut oleh semua orang,” sambungnya lagi.Semua orang terdiam. “Maka, marilah kita ambil kesimpulan, anak kesayanganmulah yang berbohong padaku. Pada kita semua yang ada di sini,” desis Amy. “Tepat dihari ia memukuli aku, di depan matamu, ia telah mengetahu
“Jadi?” tanya Lily Fazo sambil duduk bersandar di kursi belakang rumah. Tangannya menyanggah kepalanya di satu sisi dan matanya memandang ke arah semak-semak pohon mawar liar yang bergerombol di pagar halaman. Amy memandang ke arah wanita itu dengan pandangan bertanya. “Jadi, bagaimana?” tanya Amy heran. Ia duduk menyandar lalu tersenyum. Cahaya matahari sore memantul dari kaca jendela dan mengenai rambutnya. Ia tampak begitu cantik dan bahagia. Lily Fazo memandanginya lama. Merasa ikut bahagia bersama ibu hamil itu. “Aku bersyukur kau lepas dari Hamam. Sebuah pernikahan yang tidak sehat, hanya akan membawa luka bagi semua. Terutama anak-anak. Mereka tidak akan mudah untuk memaafkan orang-orang yang telah menyakitinya, seperti halnya Bella,” ucap Lily Fazo dalam. Matanya yang cokelat gelap memandang Amy dengan sayang. “Namun, kau harus memaafkan, Amy. Saat itu akan datang. Dan kau akan berhadapan dengan itu semua.” Lily Fazo memandang Amy lembut. Sesuatu berdesir di dalam hati wani
Reinaldi pulang dengan membawa sejuta perasaan. Campur aduk di dalam dirinya. Dan saat melihat Amy duduk di bangku kayu di samping rumah, ia merasakan ketenangan dan kedamaian seketika menyelimutinya. Wanita itu tampak sedang merenung. Gurat kesedihan menghiasi wajah cantiknya. Reinaldi duduk di samping istrinya, merengkuh pundak Amy hingga perempuan itu tersadar dari lamunannya. “Assalammualaikum,” ucap suami dari Amy tersebut. Amy segera menoleh. Matanya yang sendu menatap Reinaldi dengan penuh kerinduan. Betapa tidak, tepat seminggu mereka tidak bertemu. “Ada apa, Kekasihku?” tanya Reinaldi lembut. Tangannya mengelus perut besar istrinya. Amy menghembuskan nafas. Sebenarnya, dia sangat ingin menceritakan ihwal pertemuan dan perkelahiannya dengan Angelique beberapa hari lalu. Namun, pengertiannya akan sifat Reinaldi membuatnya berusaha menahan lidahnya.Reinaldi tentu akan langsung terbang kembali dan menemui Angelique. Amy bisa memastikan permasalahan ini akan lebih panjang jik
“J*laaang!! Apa yang kau lakukan pada adikku!!” Teriakan menggelegar terdengar dari arah belakang, diiringi dengan sentakan pada rambut Agelique yang ditarik dengan kuat. Sementara lengannya dicekal dan dipiting ke belakang. Tubuh perempuan itu seketika jatuh dengan punggung menghantam lantai duluan. Angelique meringis lalu membuka mata dan seketika terkejut ketika melihat tubuh besar Poppy telah berdiri di hadapannya. Berkacak pinggang dengan wajah memerah murka. Sebelah tangan perempuan itu sudah memegang sesuatu. Sebuah bantal yang besar sekali sedangkan sebelahnya lagi sibuk menggenggam payung kecil yang kembali dipukulkannya pada tubuh Angelique yang sebagian sangat terbuka sehingga membuat beberapa pengunjung lelaki yang lewat mengambil kesempatan untuk menyaksikan pertarungan tak imbang itu sambil melotot.Sementara, Mbok Napsiah, pembantu yang setia itu segera saja cepat-cepat menangkap tubuh Amy yang limbung dan menariknya menjauh dari tiang selasar. Hatinya berdegup kencan
Perempuan cantik bergaun merah itu sedang menunggu saudari sepupunya, di depan pintu sebuah butik terkenal, yang menjual perlengkapan bayi. Amy berdiri dalam balutan gaun hamil midi buatan perancang Indonesia yang terkenal. Rambutnya yang hitam bergelombang di ikat dengan model putri Perancis, menambah kesan wanita cantik nan elegan. Bibirnya terus-menerus menyunggingkan senyum penuh kebahagiaan dan keharuan, mensyukuri segala nikmat dan bahagia yang telah diraihnya sekarang. Gawainya berdering. Ia menatap layar dan tertawa kecil. Belum sampai sepuluh menit yang lalu, Ali, suaminya yang luar biasa tampan itu meneleponnya.“Assalamuaikum, Cinta. Belum genap sepuluh menit yang lalu, engkau menekan tombol end,” sapa Amy geli. Suara tawa renyah yang dalam dan berat menyambutnya di sana.“Tidak. Aku hanya ingin memastikan, apakah kau baik-baik saja di sana, Kekasihku,” jawab suara bariton itu lembut.“Aku dan anak kita, baik-baik saja, Cinta. Tenang-tenanglah di kantor sana. Aku tak mau m
“Mamih, bantulah aku, Mamih. Aku tak mau berpisah dengan Hamam. Aku hanya mau Hamam dalam hidupku,” ujar Angelique terus menghiba pada ibu mertuanya. “Kami telah mengenal sedari kecil. Kami selalu bersama, Mamih. Semenjak dulu. Bahkan, aku rela melepas keperawananku dulu hanya untuk Hamam, Mamih. Pada malam pesta perpisahan sekolah SMU dulu, Mamih, kami ...,”“Cukup, Angelique. Cukup. Tak perlu kau jabarkan perihal masa lalu kalian yang sudah sama-sama rusak itu,” tukas Bu Sonia risih. Angelique terdiam. Berusaha menahan kegelisahan hati yang tak bisa disembunyikannya. Ibu mertuanya memandang risau. Mempertanyakan semua kesalahan yang telah dilakukannya.“Aku mencintainya, Mamih ...,” gugunya. Sesenggukan menangis di sudut sofa ruang keluarga Bu Sonia. Ia datang tanpa memperdulikan larangan ayahnya. Keluarga besarnya menentang keras keinginannya untuk rujuk dengan Hamam. Setelah peristiwa KDRT itu. Ah, cinta memang seaneh ini.“Tetapi, mengapa kau menyia-nyiakan semua kesempatan yang
Tanpa diminta, Angelique duduk di hadapan lelaki itu."Halo, Reinaldi," sapa perempuan itu ramah. Senyumnya yang paling manis terkembang begitu saja.Laki-laki itu tampak kurang senang ketika harus berhadapan dengan Angelique."Kursi itu sudah ada yang punya," ujarnya masam. "Aku tidak pernah mengundangmu untuk duduk di situ."Kebiasaan lelaki ini yang apa adanya membuat Angelique tertawa renyah. Deretan giginya tampak berkilau ditimpa cahaya sore musim dingin kota Vienna."Oww, belum ada yang punya," ejek perempuan itu sambil menyentuh jemari manis Reinaldi yang masih kosong.Lelaki itu secara spontan menarik tangannya menjauhi Angelique."Apa maumu, Angel?" desis Reinaldi waspada. Angel tapi kelakuan melebihi devil.Angelique kembali tertawa. Dia mengedarkan pandang ke sekeliling kafe, dan melihat beberapa pria memandang balik ke arahnya. Dia memang semenarik itu dengan blouse sutera sepadan dengan pantalon rajut yang semakin menampakkan keindahan tubuhnya yang jenjang. Seuntai ka
"Sayang ..., tidak apa-apa mami tinggal?"Panggilan lembut Bu Sonia ditanggapi dengan dingin oleh Angelique. Perempuan itu hanya membuang muka sambil meringis menahan sakit akibat bengkak di wajahnya. Pukulan Hamam benar-benar meluluhlantakkan tubuhnya.'Bagaimana mungkin Amy tahan hidup bersama Hamam setelah dipukuli seperti ini berulangkali? Terbuat dari apa tubuh wanita itu? Apakah ot*aknya terbuat dari baja atau bubur kertas sehingga mau menerima penyiksaan begini selama bertahun-tahun?' batin Angelique sambil memperhatikan dedaunan pohon mangga yang rimbun di ujung halaman rumah sakit.Setelah mendapat keker*san dari Hamam, keluarganya secepat kilat mengangkut Angelique ke rumah sakit. Ruangan VVIP segera disiapkan dengan kawalan ketat dari bodyguard keluarga Noto.Mereka sedapat mungkin meredam hal-hal yang bisa menjadi santapan para paparazi untuk konsumsi tabloid-tabloid murahan maupun acara-acara gosip tentang keadaan Angelique. Bukan main kemarahan yang ditunjukkan Tuan No
Hari telah menjelang sore, ketika pintu rumah Amy diketuk oleh seseorang. Dengan susah payah, ia bangkit dari sofa dan bergerak perlahan menuju pintu. Usia kandungannya telah mencapai delapan bulan, sehingga membuatnya sedikit sulit bergerak. Anaknya kemungkinan kembar. Hal yang patut ia syukuri dengan baik.“Ibu?” ucapnya terkejut. Saat sosok Bu Sonia berdiri di hadapannya dengan wajah masgyul. Tubuh perempuan tua itu tampak lebih kurus dari waktu terakhir mereka bertemu. Tanpa diduga, mantan mertuanya itu segera menubruk Amy dan mulai menangis tersedu-sedu. “Ib ..., ibu ...? Apa-apaan ini?” seru Amy sambil berusaha menjauhkan diri dari ibu Hamam. Tetapi, Bu Sonia semakin bergeming, lalu memegang sebelah tangan perempuan hamil itu sambil terisak-isak.“Amy ..., menantuku ..., anakku ..., mohon ..., mohon maafkan ibumu ini,” ucapnya sambil tersedu-sedu. Amy mengibaskan tangannya, berusaha melepaskan tangan wanita itu dengan takut. Bayangan wajah bengis mantan mertuanya dulu masih te
Reinaldi berdiri di depan jendela. Berusaha menyesap udara dan bernafas dengan normal. Ada sesak yang hendak menyeruak keluar dari rongga dadanya. Betapa belasan tahun lalu ia menginginkan momen tadi. Sebuah sentuhan halus menyapa punggungnya. Bertahan di sana dalam waktu yang lama. Menepuk-nepuk pelan otot-otot yang tegang lalu merangkul bahunya dengan hangat."Kau puas, Ali?" tanya Ari tanpa memandang wajah Reinaldi. Wajah tampan kakak iparnya itu menatap keluar jendela. Ke arah gedung-gedung pencakar langit di bawah sana. Reinaldi memandangnya. Merasakan kehangatan yang menenangkan dari rangkulan lengan kokoh Ari. Belasan tahun lalu, laki-laki inilah yang menguatkannya melewati semua cobaan terberat Ali. Saat-saat terburuknya. Lelaki yang kasih sayangnya melebihi saudara kandung.Air matanya merebak, hingga sosok itu bagai bayangan di hadapannya. Ari menoleh dan tersenyum. Menepuk-nepuk pundak dengan hangat, lalu mengeratkan rangkulan di bahu lebarnya, membiarkan Reinaldi menunduk