"Kenapa wajah kamu kusut seperti pakaian yang tidak pernah disetrika seperti itu, Nadia?" tanya sang mama ketika melihat putrinya tengah mengambil air dingin di dalam kulkas.
Bella tengah memasak makanan kesukaan Nadia. Udang, seperti biasanya. Kalau tidak ada udang, Nadia tidak akan makan dan bahkan mogok makan untuk beberapa hari.
"Haus, Ma. Nadia baru pulang kuliah."
Bella menuangkan masakannya ke atas piring. Ia melirik ke arah Nadia, tumben putrinya tidak merebutnya langsung. Biasanya, Nadia akan menyambar masakan kesukaannya dan makan dengan sangat lahap.
"Kamu kenapa sih, Nadia? Cerita sama, Mama?"
Nadia menaruh botol minuman di atas meja. Nadi
Nadia berbaring di atas kasurnya dan menatap langit kamarnya. Ia beralih menatap bingkai foto di dinding. Foto ketika mereka tengah menyematkan cincin tunangan, malam itu.Nadia menghela nafas. Ia tersenyum kecut dan menitikkan air matanya. Membayangkannya saja, hanya bisa membuat hatinya sesak.Bara bahkan tidak menelponnya seperti biasa, untuk meminta maaf. Nadia yakin, Bara masih di rumah Celina untuk menunggu ekornya tertidur. Dan melupakan dirinya."Jahat kamu, Bar. Kemarin ketika aku sakit, kamu janji untuk jaga jarak dengan, Celina. Sekarang kamu ingkar kembali. Sebenarnya kamu anggap aku apa, hem?"Nadia menatap foto Bara yang berpose bersamanya. Nadia dari dulu memang tidak pernah memperbesar masalah
Nadia menepis tangan Bara yang menggenggamnya sedari tadi. Mungkin Nadia akan tersenyum manis di depan kedua orang tua nya. Tidak! Di luar rumah. Nadia belum memaafkan kejadian kemarin."Sayang! Kamu masih marah sama aku?" tanya Bara."Kamu gak mikir, Bar? Aku nungguin kamu satu jam, di halte sendirian dan keringetan karena kepanasan. Sedangkan kamu, malah asik dengan Celina."Bara mencoba meraih tangan Nadia kembali, untuk ia genggam. Namun Nadia menyembunyikan tangannya di balik tas punggung yang ia gunakan sekarang. Nadia menggunakan tas punggung hari ini, karena malas menggunakan tas selempang.Bara menghela nafas berat, "Tolong ngertiin aku, Sayang."
"Lo udah baikan sama, pak Bara?" tanya Lala. Bara kan sudah tua, jadi dirinya harus menggunakan embel-embel pak, apalagi Bara tunangan sahabat nya sekarang menjadi CEO perusahaan. Hanya Nadia dan Maya yang tidak sopan kepada yang lebih tua, hanya menyebut Bara dengan namanya saja."Gak sih, sebenernya. Gue hanya gak mau memperburuk keadaan, gue mau fokus skripsi. Gimana lo berdua? Udah di acc sama dosen?"Mereka mengangguk, membuat Nadia melebarkan matanya. Mereka akan wisuda lebih awal dan bersama-sama seperti impian mereka."Tapi gue sedih, yang jadi dosen pembimbing gue bu Nina, yang galak nya minta ampun. Bu Nina ngajar kita akuntansi dua semester dulu.""Sebenarnya bu Nina gak galak. Tapi beliau han
Nadia dengan kedua sahabatnya, tengah berkeliling mall, menikmati masa muda yang sangat menyenangkan. Mereka memakai hoodie persatuan berwarna pink, kesukaan Lala. Ingat! Hanya Lala yang menyukai warna ini, karena tidak ingin membuat Lala bersedih, mereka mengalah. Membuat Lala bersorak gembira dan memeluk Nadia dan Maya. Karena telah berkorban untuknya.“Kita jadi pusat perhatian,” ujar Nadia memperhatikan ke sekelilingnya. Banyak anak muda seumuran mereka yang, memperhatikan mereka secara terang-terangan. Mereka belum tahu saja, Nadia anak orang kaya dan juga dapat membeli mall ini langsung. Namun bukan dengan uangnya. Kan, kartu Bara ada padanya.Nadia tinggal menyodorkan kartu Bara dan membeli mall ini. Bara tidak akan berani marah kepadanya. Sebenarnya, menjadi kekasih Bara ada untungnya. Contohnya sekarang, ia akan menguras tabungan Bara yang
Nadia keluar dari mobil Lala. Setelah berpamitan dengan sahabatnya. Mobil Lala melaju dengan kecepatan penuh. Nadia menenteng banyak belanjaannya. Dengan takut-takut ia memejamkan matanya sambil mengangkat sebelah tangannya, untuk melihat arlojinya. Nadia mengerjapkan matanya kala melihat jam menunjukkan pukul 10 malam.Dengan wajah pucat pasi dan bibir bergetar. Nadia mengambil nafas dalam-dalam berjalan menuju pintu utama rumahnya. Nadia membuka pintu tersebut, senyumannya luntur ketika seorang pria menyilang tangannya di dada duduk dengan tegap di single sofa. Wajah pria itu, terlihat sangat menyeramkan.Nadia melebarkan senyumannya kembali. Pura-pura tidak melihat Bara berada di sana. Pria menyeramkan itu adalah Bara, sedang mengintainya seperti mangsa dari kejauhan.“Duduk!” perintah Bara dengan sua
Nadia menghembuskan nafasnya dengan sangat pelan, ketika memperhatikan dua orang yang tengah turun dari mobil di depan kampus, sedangkan dirinya baru datang di antar oleh sang sopir. Semenjak kejadian beberapa hari yang lalu, Nadia dan Bara sampai sekarang saling mendiamkan. Tidak ada yang mengalah satu sama lain.“Bukannya itu, Nadia?” tanya Celina melihat Nadia dari kejauhan memperhatikan mereka berdua.Bukan menghampirinya, Bara terlihat acuh memandang ke arahnya. Celina mengerutkan dahinya bingung dengan sikap pasangan tersebut. Namun terbesit di dalam hatinya, untuk memanasi Nadia yang sekarang memperhatikan mereka.“Bar, ada sesuatu di....” celina menjangkau kepala Bara, yang bingung dengan perkataan Celina. Ia sedikit menundukkan ke
"Saya sudah konfirmasi dengan dosen pembimbing 1 dan dosen pembimbing 2, Pak.”Ryan mengangguk. Sekarang mereka tengah memperhatikan para pelaku usaha menengah di lapangan. Mereka terjun langsung ke lapangan untuk mengambil data dan wawancara.“Kamu sudah siap?” tanya Ryan memandang Nadia yang terlihat grogi dan menggigit jari lentiknya, memperhatikan keramaian di depan matanya. Ia hanya khawatir kalau mereka merasa terganggu.“Mereka tidak akan merasa terganggu. Karena ini juga untuk mereka semua. Kita akan membantu keluh kesah mereka. Jadi, jangan khawatir. Mahasiswa tidak boleh lembek dan juga lemah!"Nadia mengangguk dan mengambil nafas dalam. Dengan memakai almamater berwarna hija
Bara langsung meraih tangan Nadia dan menariknya untuk berdiri. Nadia tersentak dan merasa tidak enak dengan dosennya."Bara!" lirih Nadia penuh dengan penekanan."Kenapa? Jadi kamu mau tetap di sini dengan dosen mu, ini?"Nadia ingin membentak Bara. Namun ia memperhatikan ke sekelilingnya. Hampir semua pengunjung restoran memperhatikan perdebatan mereka. Bagaimana tidak, Bara bukan pria sembarangan."Sekarang pulang! Dan untuk Anda, Bapak Ryan yang terhormat. Jangan pernah mencoba mendekati tunangan saya. Karena Nadia hanya milik saya!" tekan Bara menatap tajam Ryan."Sangat indah untuk terlewat kan!"
Dua bulan telah berlalu. Kedua sahabat Nadia sudah resmi menikah dan sekarang fokus dengan rumah tangga mereka masing-masing.Nadia menghela nafas pelan ketika dirinya akhirnya bisa berjalan kembali, setelah terapi setiap minggu dan memiliki keinginan yang kuat untuk berjalan. Namun jangan lupakan dibalik kesembuhan Nadia, terdapat seorang pria yang setia dan penyabar di sampingnya.Nadia masih tidak menyangka, ternyata Bara adalah jodohnya dan pernikahan mereka sudah berumur tiga bulan. Bara adalah segalanya untuk Nadia. Tuhan menghadirkan Bara sebagai penerang di kehidupan Nadia yang sunyi dan sepi.“Semoga Bara menyukai hadiahku.”Nadia segera bersiap setelah menyiapkan kejutan untuk Bara. Hari
Senyuman Lala luntur ketika melihat calon suaminya mengobrol dengan dokter muda yang terlihat sangat cantik dan dewasa.Lala mengeratkan pegangan tangannya di rantang yang ia bawa untuk dokter Ryan.Lala berdiri di ujung pintu. Sepertinya mereka tidak menyadari dirinya berada di sana. Karena terlalu asyik mengobrol. Lala mundur perlahan dan segera berbalik arah kembali menuruni anak tangga.Ryan menatap dokter Neza dengan pandangan sulit diartikan. Dokter Neza adalah dokter baru di rumah sakit ini dan sepertinya menyukainya. Karena sedari tadi mencoba mencairkan suasana untuk menggodanya.“Dokter Ryan juga berprofesi menjadi seorang dosen? Wah hebat ya. Dokter sanga
“Sebenarnya, aku ada niatan untuk menjenguk nenek di rumah sakit jiwa,” ujar Nadia pelan, membuat semua orang yang ada di meja makan berhenti sejenak dari aktivitasnya.“Tidak!” tegas Bara, membuat Nadia bukannya takut malah pantang menyerah.“Kenapa, Sayang? Sampai mau jenguk nenek kamu yang jahat dan tidak manusiawi itu?” tanya Rani menatap Nadia, membuat Nadia menghela nafas pelan.“Nadia, ingin berdamai dengan semuanya. Tenang, hanya nenek ajha, kok. Ngak sama dia-dia itu,” ujar Nadia lagi.“Dia siapa?” tanya Bara.“Mantan sahabat kamulah. Siapa lagi, yang kamu belain mati-matian sampai membuang cincin ak ....”
Bara meneliti wajah Nadia yang tengah tertidur. Cantik dan manis. Bibir mungil semanis madu itu selalu berhasil membuatnya tidak berhenti mengecupnya seperti sekarang ini.Mereka masih berada di kantor. Sebentar lagi jam pulang kerja tiba. Namun melihat istrinya masih memejamkan matanya. Bara jadi tidak tega membangunkan Nadia.Bara menghela nafas dan merogoh ponselnya. Ia menyalakan kamera dan mengambil gambar Nadia sebanyak-banyaknya."Sayang banget sama kamu." Bara mendusel hidungnya di leher Nadia, membuat Nadia terusik."Eugh …." Akhirnya Nadia terbangun dan bergumam kesal kepadanya. Karena menganggu tidur nyenyak wanita itu."Sayang, dah
Nadia meringis kala merasakan sakit yang menderai . Nadia menatap Bara yang pagi ini sudah rapi untuk berangkat bekerja.“Sayang, ayo mandi. Kita ke kantor.”Nadia terperangah mendengarnya, “Kamu sendirian pergi. Aku di rumah ajha.”“Nggak bisa, Sayang. Kamu harus ada di samping aku setiap waktu.”Tanpa izin, Bara menggendong Nadia dan masuk ke dalam kamar mandi. Dengan telaten, Bara membasuh dan membersihkan tubuh Nadia dengan sangat lembut dan hati-hati.Setelah menghabiskan waktu 5 menit. Bara menggendong Nadia dan mendudukkannya di pinggir ranjang.Bara beralih mencari dress untuk sang istri. Warna marun dan juga mantel tebal untuk sang istr
Seminggu telah berlalu. Sepasang pengantin baru tersebut, sekarang akhirnya pulang ke rumah orang tua Bara. Nadia mengambil nafas panjang ketika Bara dengan seenaknya, tidak ingin menurunkannya ke kursi roda. Bara mengendongnya sampai ke dalam rumah. Nadia hanya bisa pasrah dan mengeratkan pelukannya ke leher suaminya.Barang-barang, semuanya telah dibawa oleh sopir dan para pembantu ke dalam kamar mereka.“Wah, pengantin baru sudah pulang ternyata,” ujar Rani terlihat antusias. Nadia duduk bersama Bara di depan meja makan, bersama dengan kedua orang tua Bara.“Bagaimana bulan madunya, Sayang?” tanya Rani kepada Nadia.Nadia tersenyum kikuk dan menunduk, “Lancar, Ma.”Mereka berdua mengucap
“Bisa gak sih, kamu gak buat masalah sekali saja.” Nadia menyilang tangan di dadanya bersandar di punggung ranjang kamar hotel.Bara menghela nafas pelan, “Ini juga demi kamu, Sayang. Aku gak suka semua orang menghina kamu, Nadia. Tolong ngertiin aku!” Bara sedikit meninggikan suaranya, membuat Nadia menggelengkan kepalanya tidak percaya.“Kamu marah sama aku? Kamu bentak aku?” tandas Nadia.“Sayang, bukan seperti itu.”“Iya, kamu udah gak sayang sama aku. Kamu mengulangi kesalahan yang dulu. Kamu ... hiks.”Nadia merasakan sesak di dadanya. Wanita itu kembali terbayang kejadian yang dulu. Katakan dirinya berlebihan, namun trauma itu kembali muncul.
Hari ini pasangan pengantin baru tersebut memilih menghabiskan waktu di taman. Banyak anak-anak bermain di ujung sana dengan gembira, membuat Bara dan juga Nadia ikut tersenyum melihatnya.“Kamu mau makan apa, Sayang?” Bara mengelus bahu Nadia yang berada di dekapannya.Nadia yang merada di dekapan suaminya mendongak, sejenak memikirkan sesuatu yang akan ia beli. Nadia melonggarkan pelukannya dan mulai mengitari ke segala penjuru taman, dengan bola mata cantiknya, banyak berbagai macam makanan ringan penggugah selera.“Cilok, harga 5 ribuan.” Nadia menunjuk dagang cilok dengan dagunya, yang terlihat memakai sepeda motor tengah dikerumuni banyak orang.“5 ribuan?” Bara mengangkat sebelah alisnya.
“Katanya ... mau istirahat. Ini langsung unboxing kamar hotel.” Nadia mendengus sembari berbaring di atas bantal yang sangat empuk. Warna putih mendominasi, mencirikan mereka tengah berada di hotel bintang lima.Padahal tadi, sebelumnya. Bara sudah berkata bahwa mereka akan istirahat setelah acara pernikahan usai. Tapi apa? Hanya omong kosong saja.Bara membuka jasnya. Pria itu melangkah ke arah kamar mandi dan menutupnya dengan rapat. Ada apa dengannya? Nadia memutus pandangannya dan mulai memejamkan matanya.Beberapa menit telah berlalu. Bara keluar dengan memakai kaos oblong. Pria itu mengusap kepalanya yang perlahan mulai kering karena usapan handuk yang bersih.Bara menghela nafas ketika melihat Nadia memejamkan matanya karena kelelahan. Tapi, bagaimana