Namun, kenyataan berkata lain. Sesakit apapun wanita itu, akantetap bertahan demi satu alasan, yaitu adanya buah hati di antara keduanya.Deka merambat melewati pagar dengan gerak perlahan. Lalu, mendekati motor dan menstarternya.Seketika, Lolita menoleh ke arah suara motor itu. Menelisik tempat yang mulai gelap dan mendapati punggung Deka sudah menjauh.“Kenapa, Sayang? A-ada apa?”Tama mengikuti arah mata Lolitamemandang. Ia masih dapat melihat punggung seorang pria menjauh sebelum menghilang di antara padatnya lalu lintas.“Kita pulang. Tiara sudah menunggu. Ayo.”Tama merangkul bahu Lolita. Mereka berjalan bersisian.Lolita masih sesenggukan. Sementara Tama mengusap pelan bahu istrinya agarmerasa tenang.Selama perjalanan, Lolita enggan menanggapi ucapan Tama. Iamemilih membuang pandangan ke samping kiri.Tama mengerti ekspresi itu. Membiarkan Lolita diam adalahsalah satu solusi meredam kemarahan. Tanpa aba-aba, Tama meraih jemari Lolita, tapi dengan sigap Lolita menepisnya.Tama
“Setelah papa tolak, eh dia gak mau keluar dari mobil. Kan papapanik, jangan-jangan ketauan sama karyawan.”“Bilang aja kesempatan. Mumpung berdua aja itu.”“Mama ... papa serius. Sudah itu, dia papa bentak biar keluar.Akhirnya keluar dia, Ma. Tapi bukan si-““Mama nggak mau namanya disebut!”“Em, iya. Tapi dia tak malah mengetuk pintu mobil terus nyosorgitu aja. Papa rasa ... dia mengetahui kedatangan Mama sebelumnya. Buktinya dialangsung menunjuk ke arah Mama.”“Papa pikir, Mama percaya. Malas mendengarkan pengakuan Papayang banyak dramanya.”Lolita berdiri, lalu meninggalkan ruang kerja Tama.“Mama ...! Is, lokal tambah lemburan ini,” keluhnya. Ia mendekatilaptop dan menyentuh tanda shut down.Tama berlari kecil mengikut Lolita. Tak lupa menyambut bonekadi atas mejanya.“Mama!”Tama memeluk Lolita dari belakang begitu sampai di dalam kamar.“Lepaskan!” pinta Lolita. Tangannya sibuk membuka kaitan tanganTama yang melingkar di perutnya.“Papa, lepaskan!”“Nggak. Papa nggak ngapa-ngap
emarinya yang lentik, sibuk membolak-balik majalah fashion yangbaru saja ia beli. Netranya tajam merekam setiap jejak penglihatan pada setiap modepakaian terkini.Bibirnya bergumam. Lalu, mengumbar senyum ketika mendapatkansesuatu yang diinginkan.Tak puas dengan itu, ia membuka ponselnya dan berselancar disana. Menapaki setiap model pakaian terkini pada aplikasi online.“Dapat,” gumamnya sambil meletakkan majalah, kemudian terfokuspada layar pipih.“Sayang,” ucapnya manja saat seseorang keluar dari kamar mandi.Rambutnya basah, bahkan masih menetes. Ia buru-buru menyambar handuk untuk mengusapnya.“Kenapa?” balasnya.“Mami mau ini, dong.”Jemari lentiknya menunjuk pada sebuah pakaian.“Kemarin sudah beli. Lagian, uang yang kemarin kemana?”“Ck, pelit. Kemarin kan aku ulang tahun, Pi. Uangnya habis buatmakan-makan sama temen-temen kuliah. Papi yang belum kasih hadiah, ucapan juga nggak.”Bibir itu mengerucut sedemikian rupa, sehingga membuat si lelaki yang dipanggilpapi menjadi gemas.“
Di lantai yang dingin Lolita membentang karpet bulu.Televisi sudah menyala, Tiara duduk di sofa, kemudian berpindah ke bawah usaimamanya menyediakan tempat untuknya.Ia mengambil dua bantal untuk dirinya dan Tiara. Bocah ituasik berceloteh, menyebutkan semua tokoh kartun yang sedang ia tonton. Lolitaberbaring di sisi putrinya sambil mendengarkan setiap kata yang ia dengar.Cukup lama berdiam di sana. Sampai Tiara membangunkannya.“Mama, kapan kita main ke kantor papa?” tanya Tiara sambilmenepuk pipinya. Ia terjaga, padahal hampir terlelap.“Kapan-kapan,” jawab Lolita menggumam.“Besok ya, Ma?” tawar Tiara.“Hu’um,” jawab Lolita asal.“Hore ... Tiara mau bawain Papa buah yang dipotong-potongya, Ma?” Tiara kembali menanyai.“Hu’hum,” jawab Lolita, ia sudah terpejam tapi masihmendengar celoteh anaknya.“Mama ... HP Mama bunyi, tuh.Tiara menyodorkan ponsel ke dekat mamanya. Lolita meraih dansegera membuka.[Bukan KW ya?]Dua pesan langsung terbuka. Lolita langsung membaca pesankedua dan
“Om!”Tiba-tiba Tiara memanggil. Deka menoleh karena tidak ada pria lain di dalam ruangan, pastinya bocah itu memanggil dirinya.“Iya, manggil Om?” tanya Deka.“Ada apa, Sayang?” tanya Lolita juga pada putrinya.“Tiara pernah liat Om,” ucap Tiara lugu.“Oya, di mana?” tanya Deka penasaran.“Di HP Mama.”“Sayang, gak boleh ngomong begitu.” Lolita meraih Tiara untuk duduk di pangkuannya. Ia membisikkan sesuatu yang berisi agar tidak berbicara sembarangan.Deka menatap keduanya dengan menahan senyum.“Gak pa-pa, Lit. Aku gak akan bilang sama papanya kok,” ucap Tama dengan tenang.“Apaan, sih!”“Oke. Anggap saja aku gak dengar tadi. Tapi sepertinya kamu perlu berhati-hati menyimpan foto.”“Jangan ge-er, deh! Dia liat pas aku buka-buka di Facebook kamu, bukan di galeri, ya?”“Ow ... di Facebook?”“Ma-maksudku Cuma ... iseng.” Lolita tergagap.“Ya sudah sih, gak pa-pa juga.” Deka menanggapi dengan tenang.“Tapi beneran kok, Tiara gak bohong.” Tiba-tiba Tiara berceloteh di antara perdebatan
“Harumnya ... kamu pasti suka, Mas. Mbak Lita, bersiaplahkepanasan. Gak mungkin terorku tak berpengaruh apa-apa. Minimal tensi darahnyanaik, terus stroke.”Namira tertawa jahat di posisinya saat ini, masih menelisikrumah yang terlihat sangat tenang.Ia memutuskan turun untuk melanjutkan misinya. Dari arahyang berlawanan, sebuah mobil terlihat masuk. Di dalam menampakkan Tama.“Mas Tama! Mobilnya baru, tumben mbak Lita gak pamer. O iya,dia ‘kan sudah tutup akun.”Namira berbicara seorang diri. Ia bergerak masuk mengikutimobil Tama.“Mbak-mbak, dilarang masuk.”Langkahnya terhenti oleh karena panggilan satpam. Namira terkesiap dengan panggilan itu.“Aku?” tanya Namira.Benar saja, karena Jono menunjuk dirinya.“Kamu gak kenal aku, No?” tanya Namira keheranan.“Iya, Mbak. Saya ditugaskan mengawasi rumah ini darikedatangan Mbak Namira,” jawaban jujur Jono membuat Namira meradang.“Sejak kapan? Siapa yang menugaskan? Aku biasa wira-wiri ke sini,”protes Namira.“Maaf, Mbak. Saya hanya menja
“Ada ya, wanita kayak kamu, Na. Semoga kamu satu-satunya yanghidup di dunia ini,” ucap Lolita dengan pandangan lurus menatap kepergian mantanmadunya.“Ingat, jangan terpancing, Ma.” Tama mengingatkan. “Masuk.” Iamengajak Lolita segera menyusul Tiara.*Di bagian lain, Namira tampak kesal memandangi ponselnya. Iasedang menuntut keadilan pada Teguh, suaminya.“Pi,” panggil Namira saat layar ponselnya memperlihatkan wajahTeguh.“Kenapa? Butuh apa? Papi bentar lagi mau meeting, buruan ngomong.”“Papi gak benar-benar meminta mami datang kan? Kemarin kan mengizinkanmami meneruskan kuliah,” protes Namira.“Papi berubah pikiran. Ternyata Mami nggak bisa dipercaya. Ngapainmendatangi mantan suami Mami? Apa masih kurang pemberian papi, hah?”“Bukan begitu, Pi-““Jangan banyak alasan. Papi sudah mengeluarkan banyakuang untuk kesenangan Mami. Sekarang, giliran Mami yang membalasnya. Duit itu nyarinyasusah. Mami pikir pemberian papi gratisan apa!”“Pi-“ Seketika, Teguh memutussambungan. Namira han
[Kapan kamu sempatnya aja. Aku juga belum sempat kalau dalam waktu dekat.][Terus, ngapain ngajakin? Dasar!]Namira pura-pura marah. [Iseng aja. Eh, jujur, ya?][Ish, dasar!][Bercanda, Beb. Btw, aku suka warna rambutmu pas pertama kali bertemu di rumah om Teguh.][Masa?] Tulis Namira menggoda.[Beneran ini. Eh, boleh menelepon?]Tak sadar, keduanya berbalas pesan hingga malam beranjak. Tak puas hanya seperti itu, Riko melakukan panggilan video. Namira tak menolak, bahkan malam itu mereka lalui hingga mencapai sepertiganya.Riko menunjukkan gelagat aneh sejak awal pertemuan. Di belakang sang paman, ia kerap menghubungi Namira. Keduanya merasa cocok dalam obrolan, terlebih usia keduanya berdekatan hanya terpaut tiga tahun. Riko sudah menyelesaikan kuliahnya, dan ternyata satu kampus dengan Namira.Mereka semakin akrab, lantaran menemukan banyak kecocokan.“Kok kita terlambat dipertemukan ya, Na?” Pertanyaan menggantung yang diucapkan Riko diakhir percakapan. Namira menyambut dengan se
*Lewat tengah malam, perutku terasa perih. Mungkin karena sejaksore tidak terisi nasi. Aku terjaga, Kemudian bangkit. Lolita tak ada di sisiku.Dia sedang di kamar mandi, karena terdengar bunyi gemericik air.Aku memutuskan menurunkan kaki sambil memandang ke meja. BiasanyaLolita meletakkan makanan di sana. Ternyata benar. Ada dua piring teronggok di meja.Aku menyambar piyama yang sudah dipersiapkan Lolita, lalu mengenakannya.Pakaianku masih berserakan di atas ranjang. Aku tak memperdulikannya karena rasalapar sudah mendera.Sepiring nasi terasa masih hangat. Sepertinya Lolita barusaja meletakkan di sini. Sepiring lagi berisi lauk pauk. Aku langsung melahap makananini hingga habis.Lolita tersenyum ketika mendapati dua piring telah kosong.“Kelaparan rupanya,” sindirnya.“Mama membuat tenagaku habis,” balasku.“Kok mama, Papa yang minta tambah.”“Itu karena Mama memancing terus.”“Idih!”Walaupun tak ingin diprotes, tetapi dia malah mendekatiku lagi.Malahan kali ini, pakaiannya senga
Tama duduk di balik kemudinya. Sementara Lolita dan Namiraduduk di jok belakang. Akhirnya, ia berhasil meyakinkan Teguh untuk membawapulang Namira.Sesekali terdengar suara perbincangan kedua wanita itu. Tamasendiri tak ingin terlibat dalam percakapan keduanya. Ia memilih fokusmengendarakan mobil.Sesampainya di rumah, Lolita sudah menyediakan kamar untuk Namira.Kamar yang terletak di sebelah kamar Tiara, di mana pernah ditempati Namira waktu dulu.“Ini kamarmu,” ucap Lolita sambil membuka pintunya.“Di bawah aja, Mbak. Kamar yang dulu ‘kan kosong.”Lolita sedikit tertunduk. Ada sayatan yang melukai hatinya mendengarucapan Namira. Ia teringat kamar pembantu yang dipaksa untuk didiami Namira saatwanita itu kepergok menjadi istri muda suaminya.“Itu kamar pembantu. Maaf, Na, untuk kejadian waktu itu.”“Bukan salah Mbak Lita.”“Tetap saja aku sudah keterlaluan waktu itu.”“Semuanya salahku, Mbak. Aku yang rakusakan harta mas Tama, iri hati melihat kebahagian Mbak Lita. Aku memaksa mas Ta
Seorang pria sedang menunduk di depan sebuah pusara.Tangisnya tak berhenti meski rintik-rintik gerimis mulai berjatuhan.Ceceran lumpur bekas galian makam mengotori bawah celananya.Tak ada niat ingin beranjak pergi, bahkan ketika langit sore mulai gelap.“Pak, sebentar lagi hujannya deras dan sudah mau malam.Sebaiknya kita pulang saja,” ucap salah seorang dari anak buahnya.Pria itu tak juga mengangkat kepalanya. Ia terus tertunduk. Sedih.Seorang anak buahnya membentang payung. Hujan yang mulaideras membuatnya segera mendekati pria itu lagi yang keukeh tak mau pulang, lalumelindunginya dengan tulus.“Pak Teguh, hari sudah gelap,” ucap seorang pembawa payungtadi mengingatkan. Barulah Teguh mengangkat wajah. Ia mengusap nisan kayu yangbasah oleh hujan.“Maafkan papa, Nak. Beristirahatlah dengan tenang,” ucapnyasendu. Teguh berdiri menatap nisan itu sebelum benar-benar pergi.Senja yang tak lagi kemerahan, senja yang sudah bergantimalam membawa Teguh meninggalkan area pemakaman putri ke
Tama menghubungi semua teman-teman Lolita. Terutama Mita, satu-satunya teman yang ia datangi secara langsung. Tapi, Mita tidak mengetahui keberadaan sahabatnya.Tama mengkhawatirkan keadaan Lolita karena sudah dua jam tidak dapat dihubungi.Ia panik, takut jika terjadi sesuatu pada diri istrinya. Apalagi Lolita sedang hamil tua.“Ya Allah, di mana kamu, Ma?”Berulang kali menyentuh nama Lolita pada layar pipih ponselnya. Tapi, tak juga mendapat jawaban, nomor ponsel Lolita tidak bisa dihubungi.Sementara itu, seseorang yang sedang dikhawatirkan sedang menikmati makanannya. Lolita sudah menghabiskan setengah dari isi nasi kotak sambil mengaktifkan ponselnya.Setelah mengurus Namira dan membayar biaya administrasi, ia berpamitan untuk mencari makanan, karena rasa lapar mendera.Ponselnya langsung berdering begitu mendapat sinyal.“Halo, Ma. Mama di mana saja? Dua jam papa seperti orang stres nyariin Mama.” Tama terdengar sangat panik.“Aku di rumah sakit, Pa. HP baru aktif lagi.”“Mama
“Bu, kayaknya tempat yang ibu tuju jauh dari hunian.Maksudnya, rumah di sana masih jarang-jarang. Saya pernah ke sana satu kali,”ucap sopir taksi itu memberitahu. Sejenak, Lolita takmenyahut. Lalu berisaham meyakinkan hatinya. “Gak apa-apa, Pak.Saudara saya sedang butuh pertolongan di sana,” ucapnya yakin.“Oke kalau begitu.”Mereka bercakap-cakap tentang keadaan tempat yang akanmereka datangi. Meski di sana rumahnya jarang-jarang, tapi ada juga yangmelewati jalanan itu. Rata-rata para petani, terlihat dari bawaan mereka.“Itu sepertinya rumah yang ibu maksud,” ucap sopir sambilmenunjuk rumah bercat coklat.Terlihat lebih mewah dari rumah-rumah yang lainnya, berdiri diatas dataran tinggi.“Berhenti di sini, Bu?”Lolita mengamati sekitar rumah sebelum meyakinkan bibirnya untukmenjawab si sopir.“Iya, Pak,” jawabnya.Si sopir menghentikan laju kendaraan tepat di depan pintu pagar.“Pak, jika saya tidak keluar selama setengah jam, tolong hubungi suami saya. Ininomornya.” Lolita menyodo
Lolita sendiri menjadi tercengang, heran sekaligus takpercaya. Namira pandai memainkan sandiwara. Ia tak mempercayainya. Namun,melihat sorot mata ketakutan wanita itu dan raut wajah saat melihat sosok Teguhkeluar dari toilet, membuat Lolita bertanya-tanya. Ada sesuatu yang tidakseharusnya terjadi pada diri Namira.“Sayang.” Panggilan Tama mengalihankan lamunannya. Lolita menggenggamrobekan kertas yang diberikan Namira tadi, kemudian menyambut kedatangan Tamayang membawa piring.“Kenapa?” tanya Tama melihat gelagat aneh istrinya.“Gak ada. Lama nungguin Papa,” jawabnya no berbohong.“Oh, toiletnya antriannya panjang, Sayang.” Tama meletakkansepiring makanan di hadapan Lolita.“Papa gak makan?”“Gak usah. Mama saja.”Tama mengedarkan pandangan ke samping kanan dan kiri. Tampakseberapa orang yang bisa kenal. Ia melambaikan tangan dan tersenyum.“Ma, papa ngobrol dulu sama temen, ya? Tuh, di situ,” pintaTama sambil menunjuk seorang pria berperawakan tinggi, putih, dan bermatasipit. Keturu
Dalam perjalanan, Lolita berceloteh tentang Namira. Tama enggan mendengarkan. Tapi tetapi pura-pura demi menyenangkan istrinya yangakhir-akhir ini lebih sensitif.“Kayaknya dia lagi sakit deh, Pa. Masa jalannya pakai kursiroda.” Lolita berucap dengan santai.“Kasihan ya, Pa,” tambahan lagi karena Tama tak menanggapi.“Ck, jangan terlalu mengurusi urusan orang lain, Ma. Kita sudah lama tidak membahasnya lagi kan?” Tama mengingatkan.“Cuma penasaran, Pa.”“Buka saja media sosialnya kalau penasaran. Beres kan?”“Bener-bener. Tumben Papa nyuruh begitu?”“Daripada ribut tanyaini itu sama papa dan papa gak tau jawabannya? Apa perlu papa yang talkingakunnya?”“Eh, eh, jangan dong!”Tama tertawa melihat respons Lolita yang cemberut sambil mengutak-atikponselnya.“Mama ngapain?”“Lihat facebook sama ig dia.”Mendadak Tama menyambar ponselnya, lalu mengantongi.“Pa.”“Kita makan dulu. Papa gak suka membicarakan nama diaapalagi saat kita makan. Ayo turun.”Mereka sudah sampai di depan sebuah kaf
Pandangannya mengitari area parkiran. Mencari posisimobilnya yang berdiam di sudut halaman. Tiba-tiba pandangan menangkap sosok Namira. “Kenapa sih, duniaterasa sempit. Di mana-mana ketemu dia melulu,” gerutunya. “Astagfirullah!” iaberucap kembali ketika melihat wanita itu terhuyung dengan di bantu seoranglaki-laki yang pernah datang bersama Teguh. Namira tampakkesakitan sambil memegangi bagian bawah perutnya. “Dia sakit? Ataujangan-jangan ....”Lolita mundur beberapa langkah hingga tubuhnya terhadangtiang di sebuah lorong.“Sakit, Pi ...,” keluh Namira sambil di dorong menggunakankursi roda. Teguh terlihat mengiringi Namira. Hingga rombongan itu menghilangdi ujung lorong, Lolita tetap tertegun di tempatnya.Rasa penasaran memenuhi isi kepala. Lolita berpikir sejenaksebelum akhirnya mengikuti Namira dari jarak jauh.Namira langsung mendapat penanganan. Lolita menemukan Teguhsedang menelepon seseorang di luar ruangan. Suaranya tak jelas. Lolita mendekatuntuk mendapat informasi. Saya
Keesokan harinya, kondisi Lolita masih juga belum berubah. Bahkan kondisi tubuhnya semakin lemah. Ia menolak ketika Tama memanggilkan dokter untuknya. Lolita sendiri merasa hanya butuh istirahat.Hingga siang hari, keadaannya tidak kunjung membaik. Iseng-iseng ia menyuruh Ipah membeli alat tes kehamilan. Sebenarnya tidak mempercayai jika ia sedang mengidam.“Tak ada salahnya dicoba,” gumamnya sambil membuka alat itu. Ia mencelupkan ke dalam air seni yang sudah ditampungnya. Dadanya berdebar menunggu setiap detik hingga terpampang jelas dua garis merah.“Alhamdulillah!” serunya dari dalam kamar mandi.Lolita buru-buru keluar untuk berbagi kebahagiaan dengan Ipah. ARTnya terlihat sangat senang, sama seperti Lolita.“Ibu saya buatkan sup biar segar badannya. Dari tadi pagi belum makan lo,” ucap Ipah menawarkan.“Boleh. Jangan terlalu asin ya? Di banyakin kentangnya, saya lagi malas makan nasi,” balas Lolita.“Siap, Bu.” Ipah gegas ke bawah untuk mengeksekusi masakan untuk Lolita.Lolita