[Kapan kamu sempatnya aja. Aku juga belum sempat kalau dalam waktu dekat.][Terus, ngapain ngajakin? Dasar!]Namira pura-pura marah. [Iseng aja. Eh, jujur, ya?][Ish, dasar!][Bercanda, Beb. Btw, aku suka warna rambutmu pas pertama kali bertemu di rumah om Teguh.][Masa?] Tulis Namira menggoda.[Beneran ini. Eh, boleh menelepon?]Tak sadar, keduanya berbalas pesan hingga malam beranjak. Tak puas hanya seperti itu, Riko melakukan panggilan video. Namira tak menolak, bahkan malam itu mereka lalui hingga mencapai sepertiganya.Riko menunjukkan gelagat aneh sejak awal pertemuan. Di belakang sang paman, ia kerap menghubungi Namira. Keduanya merasa cocok dalam obrolan, terlebih usia keduanya berdekatan hanya terpaut tiga tahun. Riko sudah menyelesaikan kuliahnya, dan ternyata satu kampus dengan Namira.Mereka semakin akrab, lantaran menemukan banyak kecocokan.“Kok kita terlambat dipertemukan ya, Na?” Pertanyaan menggantung yang diucapkan Riko diakhir percakapan. Namira menyambut dengan se
Seorang pria berdiri mondar-mandir di depan mobilnya. Sesekali mengisap rokok, lalu mengebulkan asap ke udara. Resah, karena seseorang yang ia tunggu belum juga muncul.Sudah setangah jam yang lalu pria itu menunggu. Rokok yang terselip di jarinya sudah berganti lagi. Ia duduk, berusaha setenang mungkin. Tetapi tetap saja merasa gelisah.“Ko!”Panggil seorang wanita yang tak lain adalah Namira. Ia berlari dengan terpincang-pincang dengan mengenakan satu sepatu, sedangkan sepatu yang satunya berasa di tangannya.Sang pria tertawa melihat pemandangan di hadapannya.“Jangan tertawa. Bantuin, buruan!”Riko mengulurkan tangan, menyambut sepatu tas yang digulingkan Namira.“Aman ‘kan?” tanya Riko memastikan.“Aman kalau nggak ketauan,” jawab Namira yang langsung masuk ke mobil. Riko melajukan kendaraannya dengan cepat. Meninggalkan jalur dua kediaman Teguh.Namira harus menghindari pengawasan dua orang yang menjaganya. Ia berada dalam kungkungan Teguh, tak diperbolehkan keluar kecuali kulia
“Kamu tinggal sendiri?” tanya Tama sambil menyuap.“Iya, Pak,” jawab Deka santai, sambil menyuap juga.“Toko bunga itu?” tanya Tama mengambang. Deka langsung menatap Tama, sepersekian detik sebelum melempar senyum. Ia tahu kemana arah pembicaraan atasannya.“Kepunyaan saya,” jawab Deka. Ia meneguk teh manisnya, lalu mengelap ujung bibirnya dengan tisu.Sementara Tama sudah menyelesaikan makan siangnya lebih dulu. Ia memperhatikan cara makan pria di hadapannya dengan pikiran kemana-mana. Tentang sosok pria tampan yang sampai saat ini masih menggandrungi istrinya.“Kamu pria mapan saat ini. Kenapa memilih toko bunga sebagai investasi?” Tama kembali melempar pertanyaan. Deka tersenyum sebelum menjawabnya.“Suka saja,” jawab Deka singkat dan ringan. Tetapi bagi Tama, itu bukanlah jawaban.“Setiap keputusan itu pasti berdasarkan alasan.” Tama terus mengejar.“Gak ada alasan. Saya menjalankan apa saja yang bisa dijadikan uang. Kebetulan ada teman yang menjual toko bunganya, kenapa saya haru
Tak ada yang salah dengan pandangan Tama. Namun rupanya Namira memergoki Tama sedang memperhatikannya. Wanita itu pun memperbaiki posisi duduk, memberi jarak pada Riko, lalu pura-pura meminum jus di depannya.Tama melanjutkan langkah, tak perduli. Memang seperti itu seharusnya. Tak ada rasa untuk wanita itu. Terlebih ia sudah mengetahui semua borok Namira yang berusaha ditutupinya.**Ada satu alasan kenapa seorang pria berhenti memikirkan orang lain, bahkan perasaannya sendiri. Demi mempertahankan satu nama yang tersemat rapi di dalam hati. Deka melakukan itu sejak bertahun-tahun lalu.Tak ada yang mengetahui bahwa diam-diam dirinya memperhatikan setiap detail Lolita. Meskipun dari jarak jauh, Deka berusaha memastikan jika tak ada seorangpun yang menyakitinya, tidak dengan Namira atau pun suaminya sendiri.Sore selepas pulang dari kantor, Deka menyempatkan diri mampir ke toko. Beberapa bunga tampak sudah kosong.Sebenarnya, ia tak begitu paham tentang bunga. Ia hanya memahami satu bu
Tama menarik tangan Lolita setelah menunggu lima menit untukbersiap-siap. Jono menutup bagasi belakang, kemudian membersihkan ceceran tanahdi halaman rumah majikannya.Lolita memandang bunga-bunga itu dengan sayang. Menyesalkankarena mereka sudah ia rawat sekian hari. Pun sama dengan pot-pot yang masihterlihat baru.“Besok kita beli lagi. Kan libur, sekalian pergi keluarnyari koleksi bunga buat menempati rak-rak yang sudah kosong.”Tama menepuk pundak Lolita yang terus mengarahkan pandanganke belakang.“Di mana?” tanya Lolita sambil membenahi posisi duduknya.“Mama yang pilih. Asal gak dari tokonya Deka.”Lolita menahan senyum mendengar suaminya yang terang-teranganmenunjukkan rasa cemburunya.“Kenapa tertawa? Papa gak suka ada laki-laki lain yangmengagumi Mama.”Lagi-lagi Tama berucap yang membuat sisi sanubari Lolitadipenuhi kelegaan. Ternyata, Tama sebegitu cemburunya sehingga rela tanpaistirahat langsung mengantarkan bunga-bunga kiriman Deka.“Sudah lama mama gak melihat pemandang
“Mungkin Tiara nyariin mama. Kan selalu begitu kalau pagi-pagibegini.” Lolita beranjak bangun, lalu mengenakan piyama. “Buruan pakai baju.” Lolitamenyerahkan piyama pada Tama yang masih malas-malasan untuk bangun.Lolita membuka hendel pintu setelah memastikan Tama sudah mengenakanpakaiannya.Ia terkejut ketika mendapati Jono menunggu dengan membelakangipintu.“Kenapa, No?” tanya Lolita. Jono terkejut mendengar sambutanLolita. Pria yang masih mengikatkan sarung di pinggang itu berbalik.“Bu, saya mau melapor kalau bunga-bunganya sudah sampai lagidi tempat semula,” ucap Jono.“Ada apa?” Belum sempat menjawab, Tama sudah berdiri bersisiandengan Lolita di ambang pintu.“Entah ini Jono gak jelas ngasih taunya,” jawab Lolita mengambilalih.“Begini Pak, Bu, bunga-bunga yang kemarin saya naikkan mobil,sekarang sudah ada lagi di tempatnya.” Jono menjelaskan. Lolita mengeryitkan dahi.“Maksudmu, ada yang meletakkan bunga-bunga itu kembali ke asalnya, begitu?” Tama memperjelas ucapan Jono.“Bet
“Gak apa-apa. Kita kirimkan rekamannya dulu ke Deni. Tapikayaknya betul kata Mama, gak perlu melapor. Nanti kalau dia datang lagi, barukita bertindak.”Lolita sedikit bisa bernafas lega. Sedikit banyak, ia jugamengkhawatirkan Deka. Ia tahu, pria itu tidak bermaksud jahat. Ia juga yakin,jika Deka sedang mati-matian berusaha menunjukkan perasaannya kembali.Lolita tak ingin menjadi penyebab hancurnya Deka untuk yang kedua kali. Untuk itu, ialebih memilih cara elegan. Tak pernah menganggapnya ada, walaupun setiap kalibertemu dengannya, selalu menyisakan sakit. Namun, Lolita harus bersikap tegas,bahwa tak akan pernah ada kata kita antara dirinya dan Deka.**Tama menyusuri lorong kantor menuju divisi lain kantornya. Ia harus turun satu lantai,kemudian melewati beberapa ruang khusus sebelum masuk ke lorong yang takseberapa panjang untuk sampai di ruangan Deka.Beberapa karyawan sengaja menunggu Tama melewati mereka,lalu baru beranjak pergi. Sebab, jarang sekali pemilik perusahaan itu sampa
“Aku tak percaya kalau bukan Deka pelakunya. Bagaimana mungkin ada orang lain yang mengetahui hubungan mereka berdua di masa lalu? Lalu sengaja mengadu domba. Masa iya Namira?”Ponsel di tangannya hampir terlempar karena terkejut panggilan masuk saat Tama sedang melamun.“Mama bikin kaget aja,” gumamnya sebelum mengangkat panggilan.“Halo, assalamualaikum, Ma,” sapa Tama.“Waalaikumsalam. Pa, sudah ketemu di siapa pelakunya?” Lolita menelpon dengan suara panik.“Mama kenapa? Kayaknya panik gitu?” Tama menangkap kegelisahan Lolita dari caranya berucap yang terdengar tergesa-gesa.“Bukan Deka, kan?” Lolita langsung menyebut nama pria itu,sontak membuat Tama mendidih.“Yakin banget bukan dia pelakunya,” balas Tama menunjukkan kekecewaan.“Iya, Pa.” Dengan suara terburu-buru.“Mama kenapa, sih? Kenapa panik begitu?”“Soalnya ada orang di luar pagar. Mengamati ke kamar mama,Pa. Orangnya di dalam mobil.”Lolita menerangkan.“Mama di mana sekarang? Jono ke mana? Ada mang Diman jugakan?” ucap
*Lewat tengah malam, perutku terasa perih. Mungkin karena sejaksore tidak terisi nasi. Aku terjaga, Kemudian bangkit. Lolita tak ada di sisiku.Dia sedang di kamar mandi, karena terdengar bunyi gemericik air.Aku memutuskan menurunkan kaki sambil memandang ke meja. BiasanyaLolita meletakkan makanan di sana. Ternyata benar. Ada dua piring teronggok di meja.Aku menyambar piyama yang sudah dipersiapkan Lolita, lalu mengenakannya.Pakaianku masih berserakan di atas ranjang. Aku tak memperdulikannya karena rasalapar sudah mendera.Sepiring nasi terasa masih hangat. Sepertinya Lolita barusaja meletakkan di sini. Sepiring lagi berisi lauk pauk. Aku langsung melahap makananini hingga habis.Lolita tersenyum ketika mendapati dua piring telah kosong.“Kelaparan rupanya,” sindirnya.“Mama membuat tenagaku habis,” balasku.“Kok mama, Papa yang minta tambah.”“Itu karena Mama memancing terus.”“Idih!”Walaupun tak ingin diprotes, tetapi dia malah mendekatiku lagi.Malahan kali ini, pakaiannya senga
Tama duduk di balik kemudinya. Sementara Lolita dan Namiraduduk di jok belakang. Akhirnya, ia berhasil meyakinkan Teguh untuk membawapulang Namira.Sesekali terdengar suara perbincangan kedua wanita itu. Tamasendiri tak ingin terlibat dalam percakapan keduanya. Ia memilih fokusmengendarakan mobil.Sesampainya di rumah, Lolita sudah menyediakan kamar untuk Namira.Kamar yang terletak di sebelah kamar Tiara, di mana pernah ditempati Namira waktu dulu.“Ini kamarmu,” ucap Lolita sambil membuka pintunya.“Di bawah aja, Mbak. Kamar yang dulu ‘kan kosong.”Lolita sedikit tertunduk. Ada sayatan yang melukai hatinya mendengarucapan Namira. Ia teringat kamar pembantu yang dipaksa untuk didiami Namira saatwanita itu kepergok menjadi istri muda suaminya.“Itu kamar pembantu. Maaf, Na, untuk kejadian waktu itu.”“Bukan salah Mbak Lita.”“Tetap saja aku sudah keterlaluan waktu itu.”“Semuanya salahku, Mbak. Aku yang rakusakan harta mas Tama, iri hati melihat kebahagian Mbak Lita. Aku memaksa mas Ta
Seorang pria sedang menunduk di depan sebuah pusara.Tangisnya tak berhenti meski rintik-rintik gerimis mulai berjatuhan.Ceceran lumpur bekas galian makam mengotori bawah celananya.Tak ada niat ingin beranjak pergi, bahkan ketika langit sore mulai gelap.“Pak, sebentar lagi hujannya deras dan sudah mau malam.Sebaiknya kita pulang saja,” ucap salah seorang dari anak buahnya.Pria itu tak juga mengangkat kepalanya. Ia terus tertunduk. Sedih.Seorang anak buahnya membentang payung. Hujan yang mulaideras membuatnya segera mendekati pria itu lagi yang keukeh tak mau pulang, lalumelindunginya dengan tulus.“Pak Teguh, hari sudah gelap,” ucap seorang pembawa payungtadi mengingatkan. Barulah Teguh mengangkat wajah. Ia mengusap nisan kayu yangbasah oleh hujan.“Maafkan papa, Nak. Beristirahatlah dengan tenang,” ucapnyasendu. Teguh berdiri menatap nisan itu sebelum benar-benar pergi.Senja yang tak lagi kemerahan, senja yang sudah bergantimalam membawa Teguh meninggalkan area pemakaman putri ke
Tama menghubungi semua teman-teman Lolita. Terutama Mita, satu-satunya teman yang ia datangi secara langsung. Tapi, Mita tidak mengetahui keberadaan sahabatnya.Tama mengkhawatirkan keadaan Lolita karena sudah dua jam tidak dapat dihubungi.Ia panik, takut jika terjadi sesuatu pada diri istrinya. Apalagi Lolita sedang hamil tua.“Ya Allah, di mana kamu, Ma?”Berulang kali menyentuh nama Lolita pada layar pipih ponselnya. Tapi, tak juga mendapat jawaban, nomor ponsel Lolita tidak bisa dihubungi.Sementara itu, seseorang yang sedang dikhawatirkan sedang menikmati makanannya. Lolita sudah menghabiskan setengah dari isi nasi kotak sambil mengaktifkan ponselnya.Setelah mengurus Namira dan membayar biaya administrasi, ia berpamitan untuk mencari makanan, karena rasa lapar mendera.Ponselnya langsung berdering begitu mendapat sinyal.“Halo, Ma. Mama di mana saja? Dua jam papa seperti orang stres nyariin Mama.” Tama terdengar sangat panik.“Aku di rumah sakit, Pa. HP baru aktif lagi.”“Mama
“Bu, kayaknya tempat yang ibu tuju jauh dari hunian.Maksudnya, rumah di sana masih jarang-jarang. Saya pernah ke sana satu kali,”ucap sopir taksi itu memberitahu. Sejenak, Lolita takmenyahut. Lalu berisaham meyakinkan hatinya. “Gak apa-apa, Pak.Saudara saya sedang butuh pertolongan di sana,” ucapnya yakin.“Oke kalau begitu.”Mereka bercakap-cakap tentang keadaan tempat yang akanmereka datangi. Meski di sana rumahnya jarang-jarang, tapi ada juga yangmelewati jalanan itu. Rata-rata para petani, terlihat dari bawaan mereka.“Itu sepertinya rumah yang ibu maksud,” ucap sopir sambilmenunjuk rumah bercat coklat.Terlihat lebih mewah dari rumah-rumah yang lainnya, berdiri diatas dataran tinggi.“Berhenti di sini, Bu?”Lolita mengamati sekitar rumah sebelum meyakinkan bibirnya untukmenjawab si sopir.“Iya, Pak,” jawabnya.Si sopir menghentikan laju kendaraan tepat di depan pintu pagar.“Pak, jika saya tidak keluar selama setengah jam, tolong hubungi suami saya. Ininomornya.” Lolita menyodo
Lolita sendiri menjadi tercengang, heran sekaligus takpercaya. Namira pandai memainkan sandiwara. Ia tak mempercayainya. Namun,melihat sorot mata ketakutan wanita itu dan raut wajah saat melihat sosok Teguhkeluar dari toilet, membuat Lolita bertanya-tanya. Ada sesuatu yang tidakseharusnya terjadi pada diri Namira.“Sayang.” Panggilan Tama mengalihankan lamunannya. Lolita menggenggamrobekan kertas yang diberikan Namira tadi, kemudian menyambut kedatangan Tamayang membawa piring.“Kenapa?” tanya Tama melihat gelagat aneh istrinya.“Gak ada. Lama nungguin Papa,” jawabnya no berbohong.“Oh, toiletnya antriannya panjang, Sayang.” Tama meletakkansepiring makanan di hadapan Lolita.“Papa gak makan?”“Gak usah. Mama saja.”Tama mengedarkan pandangan ke samping kanan dan kiri. Tampakseberapa orang yang bisa kenal. Ia melambaikan tangan dan tersenyum.“Ma, papa ngobrol dulu sama temen, ya? Tuh, di situ,” pintaTama sambil menunjuk seorang pria berperawakan tinggi, putih, dan bermatasipit. Keturu
Dalam perjalanan, Lolita berceloteh tentang Namira. Tama enggan mendengarkan. Tapi tetapi pura-pura demi menyenangkan istrinya yangakhir-akhir ini lebih sensitif.“Kayaknya dia lagi sakit deh, Pa. Masa jalannya pakai kursiroda.” Lolita berucap dengan santai.“Kasihan ya, Pa,” tambahan lagi karena Tama tak menanggapi.“Ck, jangan terlalu mengurusi urusan orang lain, Ma. Kita sudah lama tidak membahasnya lagi kan?” Tama mengingatkan.“Cuma penasaran, Pa.”“Buka saja media sosialnya kalau penasaran. Beres kan?”“Bener-bener. Tumben Papa nyuruh begitu?”“Daripada ribut tanyaini itu sama papa dan papa gak tau jawabannya? Apa perlu papa yang talkingakunnya?”“Eh, eh, jangan dong!”Tama tertawa melihat respons Lolita yang cemberut sambil mengutak-atikponselnya.“Mama ngapain?”“Lihat facebook sama ig dia.”Mendadak Tama menyambar ponselnya, lalu mengantongi.“Pa.”“Kita makan dulu. Papa gak suka membicarakan nama diaapalagi saat kita makan. Ayo turun.”Mereka sudah sampai di depan sebuah kaf
Pandangannya mengitari area parkiran. Mencari posisimobilnya yang berdiam di sudut halaman. Tiba-tiba pandangan menangkap sosok Namira. “Kenapa sih, duniaterasa sempit. Di mana-mana ketemu dia melulu,” gerutunya. “Astagfirullah!” iaberucap kembali ketika melihat wanita itu terhuyung dengan di bantu seoranglaki-laki yang pernah datang bersama Teguh. Namira tampakkesakitan sambil memegangi bagian bawah perutnya. “Dia sakit? Ataujangan-jangan ....”Lolita mundur beberapa langkah hingga tubuhnya terhadangtiang di sebuah lorong.“Sakit, Pi ...,” keluh Namira sambil di dorong menggunakankursi roda. Teguh terlihat mengiringi Namira. Hingga rombongan itu menghilangdi ujung lorong, Lolita tetap tertegun di tempatnya.Rasa penasaran memenuhi isi kepala. Lolita berpikir sejenaksebelum akhirnya mengikuti Namira dari jarak jauh.Namira langsung mendapat penanganan. Lolita menemukan Teguhsedang menelepon seseorang di luar ruangan. Suaranya tak jelas. Lolita mendekatuntuk mendapat informasi. Saya
Keesokan harinya, kondisi Lolita masih juga belum berubah. Bahkan kondisi tubuhnya semakin lemah. Ia menolak ketika Tama memanggilkan dokter untuknya. Lolita sendiri merasa hanya butuh istirahat.Hingga siang hari, keadaannya tidak kunjung membaik. Iseng-iseng ia menyuruh Ipah membeli alat tes kehamilan. Sebenarnya tidak mempercayai jika ia sedang mengidam.“Tak ada salahnya dicoba,” gumamnya sambil membuka alat itu. Ia mencelupkan ke dalam air seni yang sudah ditampungnya. Dadanya berdebar menunggu setiap detik hingga terpampang jelas dua garis merah.“Alhamdulillah!” serunya dari dalam kamar mandi.Lolita buru-buru keluar untuk berbagi kebahagiaan dengan Ipah. ARTnya terlihat sangat senang, sama seperti Lolita.“Ibu saya buatkan sup biar segar badannya. Dari tadi pagi belum makan lo,” ucap Ipah menawarkan.“Boleh. Jangan terlalu asin ya? Di banyakin kentangnya, saya lagi malas makan nasi,” balas Lolita.“Siap, Bu.” Ipah gegas ke bawah untuk mengeksekusi masakan untuk Lolita.Lolita