Setelah kepergian Jendra kemarin, sama sekali tidak ada pesan atau telepon darinya. Pagi ini aku memutuskan untuk mengajak Shela membeli sarapan di luar. Aku ingin menghirup udara segar, agar bisa mengurangi sesak di hatiku.
Aku menunggu Shela di lobby, karena tadi dia bilang sudah siap. Saat menunggu Shela, ada pesan masuk dari Mama yang menanyakan kabarku. Dan tentu saja aku menjawab bahwa aku baik-baik saja, dan meminta maaf karena beberapa minggu ke depan mungkin aku tidak bisa pulang."Ya Ampun Del, mata lo parah banget sih bengkak kayak gitu." Begitu sampai Shela langsung terkejut melihat keadaan mataku.Aku mengedikkan bahu, "ntar juga kempes sendiri, tadi udah gue kompres kok.""Sumpah lo nangis berapa lama sampek bengkak gitu?semalem gue samperin lo gak mau."Semalam Shela meneleponku mengajak untuk beli makan diluar karena dia melihatku seharian kemarin lemes dan tidak bersemangat, jadi dia berinisiatif mengajakku keluar untuk refreshing. Namun saa"Dela, sini nak." Papa memanggilku untuk mendekatinya. Aku duduk dihadapan papa, tak lama mama menyusul dan duduk di samping papa. "Apa bener kamu pacaran sama nak Jendra." Tanya papa langsung to the point. Aku menatap Jendra yang sekarang juga sedang menatapku. "Kami udah ga ada hubungan apa-apa Pa." "Kami sedang bertengkar, ada salah paham diantara saya dan Dela. Tapi saya serius dengan ucapan saya untuk segera menikahi Dela." Aku menatap tajam pada Jendra, namun dia tak juga gentar. Papa menghembuskan nafas berat, "Nak Jendra, kalau ada salah paham diantara kalian bisa kalian selesaikan terlebih dahulu. Mengenai keinginan Nak Jendra untuk menikahi Dela, saya serahkan sepenuhnya keputusan pada Dela. Apa orangtua Nak Jendra udah tahu tentang keluarga kami? Jendra menggangguk dengan yakin, "sudah om, Mama saya sudah tahu. Dan keluarga saya sudah setuju." Aku membuang muka dan berdecih sebal. "Ya sudah kalian selesaikan dulu kesalahpahaman
Mau tak mau akhirnya Tari membuka lebar pintunya dan mempersilahkan kami masuk. Jendra masuk ke dalam masih dengan menggenggam tanganku diikuti oleh Aldo dibelakangku. Wajah Tari terlihat semakin kesal saat aku melewatinya. Tanpa dipersilahkan tuan rumah, Jendra mengajakku duduk di sofa, Aldo berdiri di sampingnya. Tari mengambil duduk tepat depan kami. "Apa ancaman yang kamu lemparkan pada Dela sampai dia jauhi aku?" Tanya Jendra tanpa basa basi, nada bicaranya pun terdengar dingin. Tari menatapku nyalang, seolah menuduhku mengadukannya. "Gak udah natap Dela kayak gitu, bukan dia yang ngadu. Jelas-jelas tadi kamu sendiri yang bilang di telepon." Lagi Jendra membuka suaranya. "Aku bakalan sebarin foto itu kalau mbak Dela gak jauhin mas Jendra." "Cih," Jendra berdecih kesal. "Dari mana foto itu, perasaan pas kita ngobrol berdua gak ada orang lain disana." "Mas gak perlu tahu." "Oke, aku bakal cari tahu sendiri. Kamu siap-siap aja terima akibatnya."
Jendra memarkirkan mobilnya di parkiran basement. Masih setia dengan diamnya, ia berjalan mendahuluiku menuju pintu lift. Melihat sikapnya yang seperti itu, membuat nyaliku semakin menciut. Begitu sampai di dalam unitnya, Jendra langsung menarik tanganku dan membawaku ke dalam pelukannya, pelukan yang selama beberapa hari ini aku rindukan. Kami berpelukan cukup lama melepaskan rindu yang selama ini membelenggu kami, hingga akhirnya Jendra melepas pelukannya dan menatapku lalu berbicara,"Kenapa kamu ga pernah cerita tentang ancaman Tari?"Aku memalingkan wajah, "aku gak mau kamu tahu?" "Apa kamu bilang?aku ga perlu tahu?dan kamu dengan seenaknya bisa ngambil keputusan sepihak gitu?" Jendra berkacak pinggang di depanku, sedangkan aku hanya bisa menundukkan kepala, tidak tahu harus berkata apa. "Listen to me. Kalau sedari awal kamu bilang, aku bisa segera ngatasin ini semua Dela." Ucapnya. Aku memberanikan diri mengangkat wajahku, di dalam matanya terlihat
Setelah makan malam, Jendra bersikeras agar sopirnya mengantar Mama dan Papa sampai ke Kota Aare, tapi tawaran itu ditolak Papa dengan bijaksana. Akhirnya, kami hanya mengantar Papa dan Mama sampai stasiun kereta sebelum pulang. Jendra berjanji akan pulang ke apartemennya setelah mengantarku kembali. Tapi, seperti biasa, janji tinggal janji. Karena saat aku turun dari mobil, Jendra ikut turun dan menggenggam tanganku lagi. Aku bertanya, “Papa Mama udah pulang, kamu ngapain, sih, ke sini lagi?” Jendra menyeringai. “Kenapa emang? Kan masih kangen.” “Hm, modus.” Jendra tergelak dan merapatkan tubuhku ke sisinya. “Dih, dibilang aku masih kangen kamu, nggak percaya. Mau aku buktiin?” Lirikan mata Jendra menggodaku. Membuat wajahku merona malu. “Draaa ... please-lah.” Aku memalingkan wajah dan menyandarkan kepalaku pada bahu Jendra. “Gombal terus dari tadi.” “Aku gak gombal. Beneran, aku masih kangen,” ucap Jendra manja. Begitu kami tiba di dep
Entah jam berapa ini, aku merasakan leherku basah oleh kecupan-kecupan, membuatku tanpa sadar mengerang. Aku membuka mata perlahan, menolehkan kepala ke samping, tampak Jendra sedang membenamkan kepalanya di leherku. "Dra?" panggilku bermaksud memyuruhnya berhenti. Namun, oleh Jendra diartikan lain. Bukannya berhenti, dia malah semakin membenamkan wajahnya di leherku dan sesekali menggunakan lidahnya, membuatku kegelian. Setelah puas, Jendra mengangkat wajahnya ke depan wajahku. Matanya menatapku lembut, memberikan senyumnya sebelum dia mulai menyesap bibirku. Aku yang mendapatkan serangan tiba-tiba hanya bisa mencoba mengimbanginya. Tubuh Jendra yang berada tepat di atasku semakin menempel pada tubuhku. Kurasakan tubuh bagian bawahnya yang menegang di antara dua pahaku membuatku terkesiap. Aku melepas ciuman kami, dan menggelengkan kepala. Jendra menatapku penuh tanda tanya. Aku mengambil jeda menarik napas setelah ciuman panjang kami. "Stop, Dra, kamu harus bis
Aku langsung mengikuti arah telunjuk Jendra, dan panik saat melihat Dinda di sana. Jangan bilang tadi dia lihat Jendra menciumku. Sekali lagi aku memukul lengan Jendra. "Aduh! Sakit, Sayang. Kenapa aku dipukul lagi, sih?" "Udah tahu ada Dinda di sana, kenapa tadi cium-cium?" omelku. "Tenang, Sayang, Dinda gak bakalan tahu. Kaca mobil ini gelap, yang dari luar gak bisa lihat kita. Ya udah, yuk, kita turun sebelum Dinda nyamperin kita ke sini." Mengembuskan napas panjang, aku akhirnya ikut turun bersama Jendra. Jendra menungguku di depan mobil, lalu mengulurkan tangannya untuk aku genggam. "Kak Dela, akhirnya ke sini juga. Aku udah kangen tahu sama kakak." Dinda langsung memelukku begitu aku berdiri di depannya. Meskipun baru bertemu satu kali dan beberapa kali berkirim pesan dengan Dinda, aku merasa sudah dekat dengannya. "Maaf, ya, kakak lagi sibuk banget akhir-akhir ini." "Sibuk menghindari Mas lagi, tuh," cibir Jendra yang langsung aku hadiahi de
Usai makan bersama, aku dan Jendra bersantai di gazebo yang ada di halaman belakang rumahnya yang dikelilingi oleh taman yang berisi bunga-bunga indah ditemani oleh beberapa camilan yang tadi dibuatkan oleh asisten rumah tangga Jendra. Awalnya kami bertiga—aku, Jendra, dengan Dinda—tapi tadi Dinda pamit pergi karena ada janji dengan temannya, sedangkan Bu Wahyu berada di ruang kerjanya menyelesaikan pekerjaannya yang sempat tertunda. Sedari tadi yang dilakukan Jendra adalah tiduran dengan menjadikan pahaku sebagai bantalnya. Tak jarang Jendra memintaku memijat kepalanya. Banyak hal yang kami bicarakan, mulai dari yang ringan hingga yang sedikit berat. Mengenai pembahasan tentang pernikahan tadi sebenarnya masih sedikit mengganjal buatku. Saat aku membahasnya kembali, sudah bisa ditebak bagaimana balasan Jendra. "Kenapa lagi, sih, Dela? Tadi kamu udah setuju pernikahan kita dilaksanain bulan depan, sekarang kamu malah ragu," keluhnya gusar ketika aku menyampaikan keber
Acara pertemuan di restoran Hotel Emerald kali ini berlangsung dengan hangat dan dihadiri oleh keluarga inti saja karena masih merupakan pertemuan pertama kedua keluarga. Awalnya, aku sempat khawatir Bu Wahyu akan berubah pikiran saat bertemu dengan keluargaku—entah kenapa sejujurnya masih saja ada ketakutan dalam diriku kalau Bu Wahyu belum seratus persen menerimaku. Namun, semua kekhawatiranku hilang saat melihat interaksi Mamaku dengan Bu Wahyu, terlihat mereka bisa mengobrol seperti teman lama. Diam-diam aku tersenyum sendiri, bahagia melihatnya. Aku menolehkan wajahku ke samping saat merasakan jemari tangan Jendra mengusap sudut mataku. Ternyata tanpa sadar aku meneteskan air mata bahagia. “Kenapa nangis?” bisiknya pelan. “Gak apa-apa, aku cuma terharu. Aku bahagia, Dra,” ujarku. Jendra meraih tanganku, mengusapnya perlahan. “Aku lebih bahagia, Dela.” Sore itu kami semua larut dalam bahagia bersama keluarga kami. Banyak yang kami bicarakan mulai dari pe
Pagi setelah Dela mengakhiri hubungan kami, aku benar-benar kalut. Aku langsung memerintahkan Aldo untuk kembali ke kota Aare. Dalam pikiranku, satu-satunya cara agar Dela tidak pergi dariku adalah menemui orang tuanya dan langsung melamarnya. Mungkin Dela akan marah, tapi aku tidak peduli. Salahkan dia yang seenaknya mengambil keputusan sendiri. Aku juga bisa seperti itu. Saat aku menyuruh Aldo untuk dia langsung ke rumah Dela, dia menolak ideku. “Maaf, Pak, sekarang sudah malam. Sangat tidak sopan kalau Bapak ke sana malam-malam.” “Terus kapan, Do? Saya gak mau menunggu lama-lama.” Aldo menghela nafas pelan.,“Besok pagi saja, Pak Jendra. Malam ini Bapak bisa istirahat dulu. Tidak mungkin Bapak menemui orang tua Bu Dela dengan keadaan kacau seperti ini.” Aku berpikir sebentar, apa yang diucapkan Aldo ada benarnya juga. Gak mungkin aku ketemu orang tuanya dengan kondisiku yang kacau begini. Akhirnya, aku memutuskan untuk pulang ke rumah dinas.Keesokkan harinya, aku sudah segera
"Ma, aku udah bilang mau membatalkan perjodohan ini. Kenapa Mama masih aja maksa aku?" "Ini semua demi kamu, Jendra, demi masa depan karir kamu. Cinta bisa datang setelah kalian menikah." Klise. Jujur saja aku meremehkan pendapat mama dalam kepalaku. Namun, saat bicara aku berusaha membuat nada suaraku senormal mungkin. "Aku sama sekali gak pengen meraih kesuksesan menggunakan cara seperti ini. Kalau memang masyarakat puas dengan kinerjaku selama periode ini, pasti mudah untuk melanjutkannya lagi." "Meski begitu kamu juga harus tetap punya penguasa yang akan mendukung kamu demi melancarkannya!" Halo? Ingin rasanya aku menunjuk diriku sendiri. Apa seorang lelaki dewasa berumur 28 tahun seperti diriku tidak pantas disebut sebagai ‘penguasa’ karena hanya memimpin perusahaan-perusahaan warisan sang ayah di bawah ketiak ibunya? Aku menggelengkan kepala tidak percaya. "Mama masih gak percaya dengan kemampuanku dan orang-orang yang selama ini mendukungku? Apa selama ini semua pencapaia
Sore hari aku kembali ke kantor setelah sejak pagi melakukan peresmian maupun pengecekan proyek di beberapa daerah. Sebenarnya aku lelah, tapi beberapa berkas proyek dari kantor dinas yang ada di atas mejaku membutuhkan tanda tanganku. Saat sedang sibuk membaca dengan teliti berkas yang ada di tanganku, pintu diketuk dari luar. "Masuk," jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari berkas. "Maaf, Pak Jendra, di luar ada Bu Tari," ucap Aldo. Memejamkan mata sejenak menahan kesal, aku mengangkat kepala dan berkata, "Antarkan dia ke sini." Aku tahu tidak bisa terus begini, semuanya harus segera diputuskan. Malam setelah pertemuan pertama keluarga dulu, beberapa kali Tari memang mencoba menghubungiku dan mengajakku bertemu, tapi selalu kutolak dengan berbagai alasan. "Maaf, Mas Jendra, Tari harus datang ke sini," cicit Tari begitu berdiri di hadapanku. Tangannya tertaut, cara bicaranya gugup. Cari simpati dia? "Hmm." Berdiri dari kursiku, aku berjalan menuj
Setelah sambungan telepon terputus, aku yang saat ini berada di dalam toilet menatap pantulan diriku pada cermin. Aku merasa bersalah pada Dela karena telah meninggalkannya sendirian di restoran, padahal aku yang mengajaknya ke sana. Andai saja Mama tidak memaksaku untuk bertemu dengan tamunya, aku tidak akan meninggalkan Dela sendirian. Aku membasuh wajahku agar lebih segar. Hatiku tiba-tiba diliputi rasa gelisah.Terdengar pintu kamar mandi diketuk dari luar."Pak Jendra, apa masih lama di dalam toiletnya?" Terdengar suara Aldo memanggil.Menghela napas, lalu aku sekali lagi mengambil tisu untuk mengeringkan sisa-sisa air di wajahku, sebelum kemudian bergerak membuka pintu toilet."Maaf, Bapak ditunggu Bu Wahyu di ruang makan karena sebentar lagi makan malamnya selesai.""Hmm," jawabku dengan gumaman malas, kemudian melangkahkan kaki menuju ruang makan diikuti Aldo.Sesampainya di ruang makan, orang-orang masih duduk dengan pos
Hari reuni SMP Pratamadya Kota Aare akhirnya datang juga. Aku tidak sabar menunggu untuk segera sampai di hotel tempat acara. Begitu turun dari mobil, aku menuju ballroom yang sudah ramai oleh teman-teman seangkatanku. Banyak wajah-wajah familier yang masih bisa aku kenali. Banyak di antaranya menghampiriku dan menyapaku. Yang lain ada yang hanya menoleh menyadari kedatanganku, sisanya ada pula yang tidak peduli. Yah, teman datang dan pergi seiring usia. Seleksi alam. Di SMP dulu aku termasuk salah satu murid populer hingga tak heran satu sekolah mengaku-ngaku sebagai temanku. Walaupun ada banyak juga yang memang masuk lingkaran pertemananku, seiring berjalannya waktu dan kesibukan, aku mulai jarang bisa kumpul dengan mereka dan sempat lost contact juga. Jadi, ya ... kabar reuni ini pun disampaikan Andi, salah satu teman terdekatku semasa SMP. Kebetulan dia yang jadi ketua panitianya, dan menawarkan proposal padaku untuk mensponsori acara ini sekalian mengajakku ikut. Awal
Resepsi berakhir. Akhirnya. Jendra membawaku menuju kamar hotel yang sudah disiapkan. Setelah tadi berpamitan terlebih dahulu pada kerabat dan keluarga kami yang masih tersisa, Jendra langsung menggandeng tanganku menuju lift. Di depan lift sudah ada Mas Aldo yang begitu kami masuk langsung memencet tombol lantai 20 yang setahuku merupakan lantai tertinggi gedung ini.“Loh, bukannya kamar kita ada di lantai 15, ya?” tanyaku heran.“Kamar kita pindah, Sayang.” Tangannya merangkum wajahku, dan sempat mengecup pelan bibirku sebelum kembali menghadap ke depan. Genggaman tangan Jendra masih terasa erat di jemariku.Begitu lift berdenting menandakan kami telah sampai di lantai 20, pintu lift terbuka. Aku yang sedikit kesulitan dengan gaun panjangku sempat hampir terjungkal, beruntung Jendra memegangi tanganku hingga aku tak sampai jatuh. Tiba di depan pintu kamar dengan nomor 2001, Jendra menempelkan access card pada pintu dan menarikku untuk ikut masuk ke dalamnya.
Dua minggu sebelum pernikahan, aku sudah disibukkan dengan fitting beberapa baju yang akan digunakan saat akad hingga resepsi. Kini aku sedang mencoba baju yang akan kugunakan untuk acara akad dibantu oleh Mbak Erna, designer baju yang saat ini aku coba. Ada kebaya berwarna putih dengan detail swasroski di seluruh bagian atasnya, sedangkan bawahnya dipadukan dengan kain bermotif batik parang. Di atas kepalaku terpasang veil sepanjang hampir tiga meter hingga membentuk ekor di belakang tubuhku. Aku memandang diriku di cermin dengan takjub, tidak percaya bahwa kebaya yang kukenakan tampak begitu cantik dan indah. Mbak Erna membuka tirai ruang gantiku setelah memastikan kebaya yang aku kenakan sudah rapi. Keluargaku dan keluarga Jendra menatap takjub padaku, bahkan Dinda berdiri dan menghampiriku, bertepuk tangan heboh sambil menatapku. “Kak Dela cantik banget!” pujinya yang membuatku tersipu malu. “Puji aja terus sampai lupa sama Mas-nya sendiri,” protes Jendra yang tad
“Gimana, Kak, tadi rapatnya?” tanya Mama begitu aku masuk setelah mengantarkan Jendra ke depan.Jadi tadi aku akhirnya mengikuti rapat PKK seperti yang dikatakan Bu Vani-istri Wakil Wali Kota. Rapat berjalan dengan lancar, meskipun awalnya ada beberapa ibu-ibu yang terkejut dengan kehadiran dan bertanya-tanya tentang siapa aku. Dan jangan lupakan kehadiranku yang datang bersama Jendra semakin membuat penasaran. Beruntung Bu Vani berbaik hati mengenalkanku kepada Ibu-ibu yang hadir di sana. Tadi Jendra tidak ikut saat kami rapat, dia hanya mengantarku sampai di ruang rapat, setelah itu dia pergi di area luar resto bersama Pak Wakil Wali kota dan Aldo.Kembali lagi pada pertanyaan Mamaku tadi.Aku duduk di samping Mama, merangkul lengannya dan bersandar di bahu Mama. “Semuanya berjalan lancar, Ma. Banyak ibu-ibu yang usianya lebih tua dari aku, tapi mereka tetap menghormatiku. Aku juga bersyukur Ibu Wakil Wali kota baik banget orangnya, tadi banyak ngajarin aku t
Acara pertemuan di restoran Hotel Emerald kali ini berlangsung dengan hangat dan dihadiri oleh keluarga inti saja karena masih merupakan pertemuan pertama kedua keluarga. Awalnya, aku sempat khawatir Bu Wahyu akan berubah pikiran saat bertemu dengan keluargaku—entah kenapa sejujurnya masih saja ada ketakutan dalam diriku kalau Bu Wahyu belum seratus persen menerimaku. Namun, semua kekhawatiranku hilang saat melihat interaksi Mamaku dengan Bu Wahyu, terlihat mereka bisa mengobrol seperti teman lama. Diam-diam aku tersenyum sendiri, bahagia melihatnya. Aku menolehkan wajahku ke samping saat merasakan jemari tangan Jendra mengusap sudut mataku. Ternyata tanpa sadar aku meneteskan air mata bahagia. “Kenapa nangis?” bisiknya pelan. “Gak apa-apa, aku cuma terharu. Aku bahagia, Dra,” ujarku. Jendra meraih tanganku, mengusapnya perlahan. “Aku lebih bahagia, Dela.” Sore itu kami semua larut dalam bahagia bersama keluarga kami. Banyak yang kami bicarakan mulai dari pe