Usai makan bersama, aku dan Jendra bersantai di gazebo yang ada di halaman belakang rumahnya yang dikelilingi oleh taman yang berisi bunga-bunga indah ditemani oleh beberapa camilan yang tadi dibuatkan oleh asisten rumah tangga Jendra. Awalnya kami bertiga—aku, Jendra, dengan Dinda—tapi tadi Dinda pamit pergi karena ada janji dengan temannya, sedangkan Bu Wahyu berada di ruang kerjanya menyelesaikan pekerjaannya yang sempat tertunda.
Sedari tadi yang dilakukan Jendra adalah tiduran dengan menjadikan pahaku sebagai bantalnya. Tak jarang Jendra memintaku memijat kepalanya. Banyak hal yang kami bicarakan, mulai dari yang ringan hingga yang sedikit berat.Mengenai pembahasan tentang pernikahan tadi sebenarnya masih sedikit mengganjal buatku. Saat aku membahasnya kembali, sudah bisa ditebak bagaimana balasan Jendra."Kenapa lagi, sih, Dela? Tadi kamu udah setuju pernikahan kita dilaksanain bulan depan, sekarang kamu malah ragu," keluhnya gusar ketika aku menyampaikan keberAcara pertemuan di restoran Hotel Emerald kali ini berlangsung dengan hangat dan dihadiri oleh keluarga inti saja karena masih merupakan pertemuan pertama kedua keluarga. Awalnya, aku sempat khawatir Bu Wahyu akan berubah pikiran saat bertemu dengan keluargaku—entah kenapa sejujurnya masih saja ada ketakutan dalam diriku kalau Bu Wahyu belum seratus persen menerimaku. Namun, semua kekhawatiranku hilang saat melihat interaksi Mamaku dengan Bu Wahyu, terlihat mereka bisa mengobrol seperti teman lama. Diam-diam aku tersenyum sendiri, bahagia melihatnya. Aku menolehkan wajahku ke samping saat merasakan jemari tangan Jendra mengusap sudut mataku. Ternyata tanpa sadar aku meneteskan air mata bahagia. “Kenapa nangis?” bisiknya pelan. “Gak apa-apa, aku cuma terharu. Aku bahagia, Dra,” ujarku. Jendra meraih tanganku, mengusapnya perlahan. “Aku lebih bahagia, Dela.” Sore itu kami semua larut dalam bahagia bersama keluarga kami. Banyak yang kami bicarakan mulai dari pe
“Gimana, Kak, tadi rapatnya?” tanya Mama begitu aku masuk setelah mengantarkan Jendra ke depan.Jadi tadi aku akhirnya mengikuti rapat PKK seperti yang dikatakan Bu Vani-istri Wakil Wali Kota. Rapat berjalan dengan lancar, meskipun awalnya ada beberapa ibu-ibu yang terkejut dengan kehadiran dan bertanya-tanya tentang siapa aku. Dan jangan lupakan kehadiranku yang datang bersama Jendra semakin membuat penasaran. Beruntung Bu Vani berbaik hati mengenalkanku kepada Ibu-ibu yang hadir di sana. Tadi Jendra tidak ikut saat kami rapat, dia hanya mengantarku sampai di ruang rapat, setelah itu dia pergi di area luar resto bersama Pak Wakil Wali kota dan Aldo.Kembali lagi pada pertanyaan Mamaku tadi.Aku duduk di samping Mama, merangkul lengannya dan bersandar di bahu Mama. “Semuanya berjalan lancar, Ma. Banyak ibu-ibu yang usianya lebih tua dari aku, tapi mereka tetap menghormatiku. Aku juga bersyukur Ibu Wakil Wali kota baik banget orangnya, tadi banyak ngajarin aku t
Dua minggu sebelum pernikahan, aku sudah disibukkan dengan fitting beberapa baju yang akan digunakan saat akad hingga resepsi. Kini aku sedang mencoba baju yang akan kugunakan untuk acara akad dibantu oleh Mbak Erna, designer baju yang saat ini aku coba. Ada kebaya berwarna putih dengan detail swasroski di seluruh bagian atasnya, sedangkan bawahnya dipadukan dengan kain bermotif batik parang. Di atas kepalaku terpasang veil sepanjang hampir tiga meter hingga membentuk ekor di belakang tubuhku. Aku memandang diriku di cermin dengan takjub, tidak percaya bahwa kebaya yang kukenakan tampak begitu cantik dan indah. Mbak Erna membuka tirai ruang gantiku setelah memastikan kebaya yang aku kenakan sudah rapi. Keluargaku dan keluarga Jendra menatap takjub padaku, bahkan Dinda berdiri dan menghampiriku, bertepuk tangan heboh sambil menatapku. “Kak Dela cantik banget!” pujinya yang membuatku tersipu malu. “Puji aja terus sampai lupa sama Mas-nya sendiri,” protes Jendra yang tad
Resepsi berakhir. Akhirnya. Jendra membawaku menuju kamar hotel yang sudah disiapkan. Setelah tadi berpamitan terlebih dahulu pada kerabat dan keluarga kami yang masih tersisa, Jendra langsung menggandeng tanganku menuju lift. Di depan lift sudah ada Mas Aldo yang begitu kami masuk langsung memencet tombol lantai 20 yang setahuku merupakan lantai tertinggi gedung ini.“Loh, bukannya kamar kita ada di lantai 15, ya?” tanyaku heran.“Kamar kita pindah, Sayang.” Tangannya merangkum wajahku, dan sempat mengecup pelan bibirku sebelum kembali menghadap ke depan. Genggaman tangan Jendra masih terasa erat di jemariku.Begitu lift berdenting menandakan kami telah sampai di lantai 20, pintu lift terbuka. Aku yang sedikit kesulitan dengan gaun panjangku sempat hampir terjungkal, beruntung Jendra memegangi tanganku hingga aku tak sampai jatuh. Tiba di depan pintu kamar dengan nomor 2001, Jendra menempelkan access card pada pintu dan menarikku untuk ikut masuk ke dalamnya.
Hari reuni SMP Pratamadya Kota Aare akhirnya datang juga. Aku tidak sabar menunggu untuk segera sampai di hotel tempat acara. Begitu turun dari mobil, aku menuju ballroom yang sudah ramai oleh teman-teman seangkatanku. Banyak wajah-wajah familier yang masih bisa aku kenali. Banyak di antaranya menghampiriku dan menyapaku. Yang lain ada yang hanya menoleh menyadari kedatanganku, sisanya ada pula yang tidak peduli. Yah, teman datang dan pergi seiring usia. Seleksi alam. Di SMP dulu aku termasuk salah satu murid populer hingga tak heran satu sekolah mengaku-ngaku sebagai temanku. Walaupun ada banyak juga yang memang masuk lingkaran pertemananku, seiring berjalannya waktu dan kesibukan, aku mulai jarang bisa kumpul dengan mereka dan sempat lost contact juga. Jadi, ya ... kabar reuni ini pun disampaikan Andi, salah satu teman terdekatku semasa SMP. Kebetulan dia yang jadi ketua panitianya, dan menawarkan proposal padaku untuk mensponsori acara ini sekalian mengajakku ikut. Awal
Setelah sambungan telepon terputus, aku yang saat ini berada di dalam toilet menatap pantulan diriku pada cermin. Aku merasa bersalah pada Dela karena telah meninggalkannya sendirian di restoran, padahal aku yang mengajaknya ke sana. Andai saja Mama tidak memaksaku untuk bertemu dengan tamunya, aku tidak akan meninggalkan Dela sendirian. Aku membasuh wajahku agar lebih segar. Hatiku tiba-tiba diliputi rasa gelisah.Terdengar pintu kamar mandi diketuk dari luar."Pak Jendra, apa masih lama di dalam toiletnya?" Terdengar suara Aldo memanggil.Menghela napas, lalu aku sekali lagi mengambil tisu untuk mengeringkan sisa-sisa air di wajahku, sebelum kemudian bergerak membuka pintu toilet."Maaf, Bapak ditunggu Bu Wahyu di ruang makan karena sebentar lagi makan malamnya selesai.""Hmm," jawabku dengan gumaman malas, kemudian melangkahkan kaki menuju ruang makan diikuti Aldo.Sesampainya di ruang makan, orang-orang masih duduk dengan pos
Sore hari aku kembali ke kantor setelah sejak pagi melakukan peresmian maupun pengecekan proyek di beberapa daerah. Sebenarnya aku lelah, tapi beberapa berkas proyek dari kantor dinas yang ada di atas mejaku membutuhkan tanda tanganku. Saat sedang sibuk membaca dengan teliti berkas yang ada di tanganku, pintu diketuk dari luar. "Masuk," jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari berkas. "Maaf, Pak Jendra, di luar ada Bu Tari," ucap Aldo. Memejamkan mata sejenak menahan kesal, aku mengangkat kepala dan berkata, "Antarkan dia ke sini." Aku tahu tidak bisa terus begini, semuanya harus segera diputuskan. Malam setelah pertemuan pertama keluarga dulu, beberapa kali Tari memang mencoba menghubungiku dan mengajakku bertemu, tapi selalu kutolak dengan berbagai alasan. "Maaf, Mas Jendra, Tari harus datang ke sini," cicit Tari begitu berdiri di hadapanku. Tangannya tertaut, cara bicaranya gugup. Cari simpati dia? "Hmm." Berdiri dari kursiku, aku berjalan menuj
"Ma, aku udah bilang mau membatalkan perjodohan ini. Kenapa Mama masih aja maksa aku?" "Ini semua demi kamu, Jendra, demi masa depan karir kamu. Cinta bisa datang setelah kalian menikah." Klise. Jujur saja aku meremehkan pendapat mama dalam kepalaku. Namun, saat bicara aku berusaha membuat nada suaraku senormal mungkin. "Aku sama sekali gak pengen meraih kesuksesan menggunakan cara seperti ini. Kalau memang masyarakat puas dengan kinerjaku selama periode ini, pasti mudah untuk melanjutkannya lagi." "Meski begitu kamu juga harus tetap punya penguasa yang akan mendukung kamu demi melancarkannya!" Halo? Ingin rasanya aku menunjuk diriku sendiri. Apa seorang lelaki dewasa berumur 28 tahun seperti diriku tidak pantas disebut sebagai ‘penguasa’ karena hanya memimpin perusahaan-perusahaan warisan sang ayah di bawah ketiak ibunya? Aku menggelengkan kepala tidak percaya. "Mama masih gak percaya dengan kemampuanku dan orang-orang yang selama ini mendukungku? Apa selama ini semua pencapaia
Pagi setelah Dela mengakhiri hubungan kami, aku benar-benar kalut. Aku langsung memerintahkan Aldo untuk kembali ke kota Aare. Dalam pikiranku, satu-satunya cara agar Dela tidak pergi dariku adalah menemui orang tuanya dan langsung melamarnya. Mungkin Dela akan marah, tapi aku tidak peduli. Salahkan dia yang seenaknya mengambil keputusan sendiri. Aku juga bisa seperti itu. Saat aku menyuruh Aldo untuk dia langsung ke rumah Dela, dia menolak ideku. “Maaf, Pak, sekarang sudah malam. Sangat tidak sopan kalau Bapak ke sana malam-malam.” “Terus kapan, Do? Saya gak mau menunggu lama-lama.” Aldo menghela nafas pelan.,“Besok pagi saja, Pak Jendra. Malam ini Bapak bisa istirahat dulu. Tidak mungkin Bapak menemui orang tua Bu Dela dengan keadaan kacau seperti ini.” Aku berpikir sebentar, apa yang diucapkan Aldo ada benarnya juga. Gak mungkin aku ketemu orang tuanya dengan kondisiku yang kacau begini. Akhirnya, aku memutuskan untuk pulang ke rumah dinas.Keesokkan harinya, aku sudah segera
"Ma, aku udah bilang mau membatalkan perjodohan ini. Kenapa Mama masih aja maksa aku?" "Ini semua demi kamu, Jendra, demi masa depan karir kamu. Cinta bisa datang setelah kalian menikah." Klise. Jujur saja aku meremehkan pendapat mama dalam kepalaku. Namun, saat bicara aku berusaha membuat nada suaraku senormal mungkin. "Aku sama sekali gak pengen meraih kesuksesan menggunakan cara seperti ini. Kalau memang masyarakat puas dengan kinerjaku selama periode ini, pasti mudah untuk melanjutkannya lagi." "Meski begitu kamu juga harus tetap punya penguasa yang akan mendukung kamu demi melancarkannya!" Halo? Ingin rasanya aku menunjuk diriku sendiri. Apa seorang lelaki dewasa berumur 28 tahun seperti diriku tidak pantas disebut sebagai ‘penguasa’ karena hanya memimpin perusahaan-perusahaan warisan sang ayah di bawah ketiak ibunya? Aku menggelengkan kepala tidak percaya. "Mama masih gak percaya dengan kemampuanku dan orang-orang yang selama ini mendukungku? Apa selama ini semua pencapaia
Sore hari aku kembali ke kantor setelah sejak pagi melakukan peresmian maupun pengecekan proyek di beberapa daerah. Sebenarnya aku lelah, tapi beberapa berkas proyek dari kantor dinas yang ada di atas mejaku membutuhkan tanda tanganku. Saat sedang sibuk membaca dengan teliti berkas yang ada di tanganku, pintu diketuk dari luar. "Masuk," jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari berkas. "Maaf, Pak Jendra, di luar ada Bu Tari," ucap Aldo. Memejamkan mata sejenak menahan kesal, aku mengangkat kepala dan berkata, "Antarkan dia ke sini." Aku tahu tidak bisa terus begini, semuanya harus segera diputuskan. Malam setelah pertemuan pertama keluarga dulu, beberapa kali Tari memang mencoba menghubungiku dan mengajakku bertemu, tapi selalu kutolak dengan berbagai alasan. "Maaf, Mas Jendra, Tari harus datang ke sini," cicit Tari begitu berdiri di hadapanku. Tangannya tertaut, cara bicaranya gugup. Cari simpati dia? "Hmm." Berdiri dari kursiku, aku berjalan menuj
Setelah sambungan telepon terputus, aku yang saat ini berada di dalam toilet menatap pantulan diriku pada cermin. Aku merasa bersalah pada Dela karena telah meninggalkannya sendirian di restoran, padahal aku yang mengajaknya ke sana. Andai saja Mama tidak memaksaku untuk bertemu dengan tamunya, aku tidak akan meninggalkan Dela sendirian. Aku membasuh wajahku agar lebih segar. Hatiku tiba-tiba diliputi rasa gelisah.Terdengar pintu kamar mandi diketuk dari luar."Pak Jendra, apa masih lama di dalam toiletnya?" Terdengar suara Aldo memanggil.Menghela napas, lalu aku sekali lagi mengambil tisu untuk mengeringkan sisa-sisa air di wajahku, sebelum kemudian bergerak membuka pintu toilet."Maaf, Bapak ditunggu Bu Wahyu di ruang makan karena sebentar lagi makan malamnya selesai.""Hmm," jawabku dengan gumaman malas, kemudian melangkahkan kaki menuju ruang makan diikuti Aldo.Sesampainya di ruang makan, orang-orang masih duduk dengan pos
Hari reuni SMP Pratamadya Kota Aare akhirnya datang juga. Aku tidak sabar menunggu untuk segera sampai di hotel tempat acara. Begitu turun dari mobil, aku menuju ballroom yang sudah ramai oleh teman-teman seangkatanku. Banyak wajah-wajah familier yang masih bisa aku kenali. Banyak di antaranya menghampiriku dan menyapaku. Yang lain ada yang hanya menoleh menyadari kedatanganku, sisanya ada pula yang tidak peduli. Yah, teman datang dan pergi seiring usia. Seleksi alam. Di SMP dulu aku termasuk salah satu murid populer hingga tak heran satu sekolah mengaku-ngaku sebagai temanku. Walaupun ada banyak juga yang memang masuk lingkaran pertemananku, seiring berjalannya waktu dan kesibukan, aku mulai jarang bisa kumpul dengan mereka dan sempat lost contact juga. Jadi, ya ... kabar reuni ini pun disampaikan Andi, salah satu teman terdekatku semasa SMP. Kebetulan dia yang jadi ketua panitianya, dan menawarkan proposal padaku untuk mensponsori acara ini sekalian mengajakku ikut. Awal
Resepsi berakhir. Akhirnya. Jendra membawaku menuju kamar hotel yang sudah disiapkan. Setelah tadi berpamitan terlebih dahulu pada kerabat dan keluarga kami yang masih tersisa, Jendra langsung menggandeng tanganku menuju lift. Di depan lift sudah ada Mas Aldo yang begitu kami masuk langsung memencet tombol lantai 20 yang setahuku merupakan lantai tertinggi gedung ini.“Loh, bukannya kamar kita ada di lantai 15, ya?” tanyaku heran.“Kamar kita pindah, Sayang.” Tangannya merangkum wajahku, dan sempat mengecup pelan bibirku sebelum kembali menghadap ke depan. Genggaman tangan Jendra masih terasa erat di jemariku.Begitu lift berdenting menandakan kami telah sampai di lantai 20, pintu lift terbuka. Aku yang sedikit kesulitan dengan gaun panjangku sempat hampir terjungkal, beruntung Jendra memegangi tanganku hingga aku tak sampai jatuh. Tiba di depan pintu kamar dengan nomor 2001, Jendra menempelkan access card pada pintu dan menarikku untuk ikut masuk ke dalamnya.
Dua minggu sebelum pernikahan, aku sudah disibukkan dengan fitting beberapa baju yang akan digunakan saat akad hingga resepsi. Kini aku sedang mencoba baju yang akan kugunakan untuk acara akad dibantu oleh Mbak Erna, designer baju yang saat ini aku coba. Ada kebaya berwarna putih dengan detail swasroski di seluruh bagian atasnya, sedangkan bawahnya dipadukan dengan kain bermotif batik parang. Di atas kepalaku terpasang veil sepanjang hampir tiga meter hingga membentuk ekor di belakang tubuhku. Aku memandang diriku di cermin dengan takjub, tidak percaya bahwa kebaya yang kukenakan tampak begitu cantik dan indah. Mbak Erna membuka tirai ruang gantiku setelah memastikan kebaya yang aku kenakan sudah rapi. Keluargaku dan keluarga Jendra menatap takjub padaku, bahkan Dinda berdiri dan menghampiriku, bertepuk tangan heboh sambil menatapku. “Kak Dela cantik banget!” pujinya yang membuatku tersipu malu. “Puji aja terus sampai lupa sama Mas-nya sendiri,” protes Jendra yang tad
“Gimana, Kak, tadi rapatnya?” tanya Mama begitu aku masuk setelah mengantarkan Jendra ke depan.Jadi tadi aku akhirnya mengikuti rapat PKK seperti yang dikatakan Bu Vani-istri Wakil Wali Kota. Rapat berjalan dengan lancar, meskipun awalnya ada beberapa ibu-ibu yang terkejut dengan kehadiran dan bertanya-tanya tentang siapa aku. Dan jangan lupakan kehadiranku yang datang bersama Jendra semakin membuat penasaran. Beruntung Bu Vani berbaik hati mengenalkanku kepada Ibu-ibu yang hadir di sana. Tadi Jendra tidak ikut saat kami rapat, dia hanya mengantarku sampai di ruang rapat, setelah itu dia pergi di area luar resto bersama Pak Wakil Wali kota dan Aldo.Kembali lagi pada pertanyaan Mamaku tadi.Aku duduk di samping Mama, merangkul lengannya dan bersandar di bahu Mama. “Semuanya berjalan lancar, Ma. Banyak ibu-ibu yang usianya lebih tua dari aku, tapi mereka tetap menghormatiku. Aku juga bersyukur Ibu Wakil Wali kota baik banget orangnya, tadi banyak ngajarin aku t
Acara pertemuan di restoran Hotel Emerald kali ini berlangsung dengan hangat dan dihadiri oleh keluarga inti saja karena masih merupakan pertemuan pertama kedua keluarga. Awalnya, aku sempat khawatir Bu Wahyu akan berubah pikiran saat bertemu dengan keluargaku—entah kenapa sejujurnya masih saja ada ketakutan dalam diriku kalau Bu Wahyu belum seratus persen menerimaku. Namun, semua kekhawatiranku hilang saat melihat interaksi Mamaku dengan Bu Wahyu, terlihat mereka bisa mengobrol seperti teman lama. Diam-diam aku tersenyum sendiri, bahagia melihatnya. Aku menolehkan wajahku ke samping saat merasakan jemari tangan Jendra mengusap sudut mataku. Ternyata tanpa sadar aku meneteskan air mata bahagia. “Kenapa nangis?” bisiknya pelan. “Gak apa-apa, aku cuma terharu. Aku bahagia, Dra,” ujarku. Jendra meraih tanganku, mengusapnya perlahan. “Aku lebih bahagia, Dela.” Sore itu kami semua larut dalam bahagia bersama keluarga kami. Banyak yang kami bicarakan mulai dari pe