Amora menatap box berisi bayi yang berada di depan pintu gerbang rumahnya. Hari ini semua penghuni terlihat heboh saat melihat ada yang membuang bayi di depan rumah.
"Arum, anak yang waktu itu ibunya kita tolong. Kita yang tebus dia di rumah sakit." Amora menatap Junior yang tengah mengamati bayi yang lebih tua beberapa bulan dari Zein dan Aka itu.
Junior membiarkan bayi perempuan itu merangkak, tertawa lucu saat melihat si kembar yang tengah duduk di sekitaran mainan.
Zein yang lebih aktif mendekati bayi perempuan itu. Zein bahkan mengecup pipi bayi manis itu, mencubit pipinya seolah mendapat mainan baru.
Amora mengamatinya dengan senyuman, tangannya yang memegang surat itu mengerat.
Grecia menggeleng, matanya merebak basah. Gadis yang kini memasuki usia 3 tahun itu terlihat semakin manis."Halus mau." Zein berseru dengan wajah seriusnya yang lucu."tata mommy, adik halus nulut cama kaka."lanjutnya.Aka hanya menatap keduanya dengan tenang. Fokusnya kini beralih pada Junior yang tengah membaca koran.Aka beranjak, melangkah pelan dengan kakinya yang mungil di lapisi jeans itu."Dad," panggil Aka dengan mendongkak menatap Junior yang kini menoleh.Junior melipat korannya."Hm, ada apa anak tampan, daddy?" tanyanya dengan menggendong Aka ke pangkuan.Aka tidak menjawab, tangan mungilnya terulur pada koran, seolah mengkode pada Junior agar mendekatkannya.
Hallo semuanya, semoga selalu sehat dan bahagia. Tidak terasa ya, sudah berada di akhir kisah Amora dan Junior. Butuh banyak mood agar bisa berakhir dengan happy ending. Tapi, untungnya bisa Chanie lalui. Chanie ucapkan terima kasih kepada semua pembaca yang membaca cerita ini dari awal sampai akhir. Terima kasih banyak dukungannya (づ ̄ ³ ̄)づ(●´∀`)ノ♡ pokoknya terima kasih. Dan ini bonus buat kalian. •Teruntuk Amora, dari Junior• Duniaku awalnya malam tanpa pagi, Ada mentari yang perlahan menyinari, Aku yang sendiri, tiba - tiba ada kamu di sisi, Hati yang kian terisi, Hari - hari yang kian berganti, Semua tentangmu, Amora sang pujaan hati.
Geogken Areska Rulzein, panggil saja Zein atau Gar-panggilan dari para sahabatnya. Zein adalah salah satu anak kembar yang terlahir dari rahim Razelia Amora Rulzein dengan sperma dari pria gagal menua bernama Nizar Areska Guntara atau yang sering di panggil Junior.Zein begitu nyentrik setelah usia kian bertambah, penampilan yang cukup urakan dengan tatto menghiasi lengan bisepnya. Padahal dia masih SMA, tapi sudah senakal anak dua puluhan. Mungkin karena gaulnya bersama para orang dewasa di Club.Club, tempat tongkrongannya. Para wanita adalah hiburannya. Penatnya kota dengan banyak penduduk dan kemacetan membuat Zein selalu mencari hiburan.Sangat berbeda dengan kembarannya yang lebih dulu lahir itu. Begitu pendiam dan berprestasi di sekolah. Geogren Areska Rulzein, nama kembaran Zein dan sering di panggil
Aka mengecup kening Grecia, meraih ponsel di tangannya lalu memindahkannya ke kasur. Soal nanti dia tidur, mungkin dia akan tidur di samping Grecia.Mereka sudah biasa tidur bersama setelah selesai belajar.Aka menatap ponsel Grecia, satu pesan masuk dari teman laki - laki adiknya itu yang membuatnya cukup terganggu.Tanpa banyak kata, Aka menghapus pesan dan memblokir nomor itu. Tidak akan Aka biarkan laki - laki mendekati Grecia di saat adiknya itu harus fokus sekolah."Zein belum pulang?" suara Amora muncul setelah derit pintu terbuka menyapa telinga Aka."Belum, Mom."Amora melirik Grecia yang terlelap di balut selimut di kasur Aka."Lain kali pindahin Cia ke kamar, kalian udah besar, alangkah bagusnya jangan tidur bersama." katanya mengalihkan topik."Aku ga ada gairah seksual sama Cia, mom." Aka kembali fok
Zeva mengerjapkan matanya, merasakan kalau matahari sudah menyapa dan menerobos masuk lewat sela - sela jendela.Zeva menatap langit - langit, mencoba mengumpulkan nyawa dan mengingat di mana dia sekarang."Udah bangun, sarapan dulu." Zein menutup pintu dapur, melangkah menghampiri Zeva yang masih diam.Zeva mengerjap polos."Badan Zeva kok sakit semua rasanya, padahalkan semalem yang di pukul - pukul alat pipisnya Zeva." terangnya dengan suara khas yang terdengar seperti anak kecil mengadu.Zein menahan nafas sesaat sebelum berpaling untuk menyembunyikan bibirnya yang berkedut, hampir saja terbahak. Tapi maaf, terbahak bukan gayanya.Zein kembali menatap Zeva yang tidur terlentang dengan selimut menutupi tubuh polosnya seleher."Sekolah di mana?" Zein mengambil topik lain, wajahnya begitu datar.Tidak biasanya Zein bertanya bahka
Ayana dan Slavi menghampiri Zeva yang baru datang ke sekokah. Penampilan cerah dan lugu gadis itu membuat keduanya semakin ingin membuat Zeva liar seperti mereka. "Katanya dia di bawa sama cowok, pasti di apa - apain." kikik Slavi sebelum sampai di depan Zeva. "Hallo Slavi, Hallo Ayana." sapanya riang dengan senyum manis yang memabukan. Namun Slavi dan Ayana malah muak melihat senyum itu. "Hai." sapa balik Slavi sekenanya."gimana? Udah ga perawan?" tanyanya dengan memasang wajah angkuh dan meremehkan. Zeva mengangguk antusias."Udah, namanya Geo—" alisnya bertaut, dia lupa kepanjangannya. "Sip, lo berarti bisa jadi anggota kita." Ayana berseru denga
Aka menghampiri Zein, keduanya berdiri berhadap - hadapan. Ketara sekali kalau si kembar identik itu begitu berbeda dalam segi penampilan. Aka rapih dengan dasi terpasang di tempatnya, tidak miring seperti Zein. Kancing seragam Zein bahkan terbuka dua. "Apa?" Zein menekuk wajahnya muak, terlihat tidak suka dengan kehadiran Aka. "Mommy, di ruang guru." Aka berlalu melewati Zein, dia pun tidak ingin berlama - lama dengan Zein. Para manusia di sekitar terlalu ketara memandangi keduanya dan mulai menilai perbedaan di antara keduanya. Grecia yang berpapasan dengan Zein sontak berseru kesal dengan memukul lengan bisep Zein."Bang! Mommy marah banget tahu! Bolos abis itu tawuran!" omel
Zeva demam, tubuhnya lemas. Sudah tiga minggu dia pindah rumah yang cukup jauh dari sekolah. Mungkin itu alasannya."Adit mau kemana?" mata sayu Zeva mengerjap polos."Bantuin bunda, kamu istirahat aja." di usap kening Zeva lalu berlalu.Zeva menghela nafas, nafasnya jadi ikut panas. Zeva tidak suka sakit begini. Zeva tidak mau balik lagi ke rumah sakit."Demamnya turun engga?" Lamita datang, membawa satu gelas air lalu memperiksa kening dan leher Zeva."Kata Adit, turun dikit, bunda."Lamita mengangguk pelan, menyimpan gelas itu di nakas."Bunda tanggung beresin belakang dulu, bunda tinggal sebentar, Zeva tidur dulu, ya?"Zeva mengangguk."Maaf ya bunda, Zeva engga bisa bantu." sesalnya dengan sendu.***"Pindah?" Zein terdenga
Ngidam, satu kata yang membuat Zein mengacak rambutnya frustasi. Zeva sungguh menyebalkan saat ini, permintaannya membuatnya gila. "Sekali aja, pake." Zeva mengembungkan pipinya yang semakin berisi itu. "Aku laki - laki, cowok, pria, Zeva sayang." Zein tersenyum paksa dengan menahan geraman marah. "Cuma merah sebentar, masih ga mau?" tatapannya menatap Zein dengan lucunya. Sontak Zein tidak berkutik, sialan memang wajah Zeva yang menggemaskan itu. "Jangan tebel - tebel." Zein pun pasrah, melirik sekitarnya yang cukup ramai. "Yeay!" Zeva dengan semangat menempelkan lipstik merah itu pada bibir Zein yang tebal nan seksi itu. Zein menatap wajah cerah Zeva dengan tatapan yang kian melembut, istrinya begitu bahagia hanya karena tindakan kecil itu. Harusnya Zein tidak menolak dari awal. "Woah!" Zeva menutup mu
Jalan - jalan kilat pun berakhir dengan Zeva yang asyik dengan benih - benih bunga yang di belinya. Membiarkan Jackson menanamnya karena tukang kebun tak kunjung datang. Jackson terlihat menggali dengan air wajah tidak yakin, dia sudah beberapa kali menolak untuk menanam benih itu namun Zeva keukeuh agar dirinya yang menanam benih itu. Demi apapun, Jackson belum pernah menanam bunga. Semoga saja semua benihnya tumbuh dengan baik. Harapnya masih dengan tidak yakin. "Sayang, ayo masuk." Zein bersuara di ambang pintu. Zeva yang sedang berjongkok menoleh lalu mengangguk dengan patuhnya."Beresin ya, Jackson. Maaf ngerepotin sama ga bisa terus nemenin." sesalnya dengan lugu. Jackson terkekeh dalam hati, dia itu pegawainya. Kenapa Zeva tidak sadar soal itu dan berperan seperti teman saja. Mungkin karena terlalu baik pikir Jackson. "Tidak apa - apa
Bang Jack membantu Zein yang akan pergi pemotretan dan pengambilan video untuk iklan minuman yang sudah terlanjur mengkontraknya. Tadinya Zein ingin membatalkan namun kata bang Jack lebih baik lanjut karena perusahaan itu tidak keberatan soal skandal yang menimpa Zein. "Cuma 6 menit, durasi yang singkat. Sayang sama uang kamu walau uang kamu ga akan habis." kata Jack seraya merapihkan tas Zein. "Kalau gitu ajak Zeva boleh? Biar pulang langsung jalan." Jack menggeleng tegas."Ga bisa, Zeva masih jadi inceran. Kasihan dia, Zein." balasnya. Zein menekuk wajahnya, tidak bisa menyangkal ucapan Jack yang benar adanya. "Tuan Zein—" panggil Jackson yang mengundang Jack untuk menoleh juga."nyonya Zeva menangis di belakang dan menyuruh saya untuk memang—" Zein lebih dulu membawa langkahnya ke taman belakang di banding mendengarkan penjelasan pengawal
Hanya Zein yang di omeli atasan terus tersenyum cerah seperti orang yang di mabuk kasmaran. Telinganya seolah tuli dari amukan atasannya. Bang Jack menyenggol Zein, menyadarkan artisnya itu agar pikirannya berada di tempatnya, tidak berkelana ke tempat lain. Zein melunturkan senyumnya, mengerjap sekali lalu melirik bang Jack sekilas sebelum menatap atasannya yang mukanya sudah semerah tomat saking emosi. "Kamu sedang naik daun! Dengan gegabah memutuskan menikah tanpa melibatkan kami sebagai rumah produksi yang melahirkan kamu!" bentak si atasan dengan menunjuk Zein di sebrangnya—penuh emosi. Suara ponsel berdering terus menemani perbincangan mereka, membuat si atasan semakin merasakan kepalanya pecah rasanya. Sudah pasti yang menelpon itu investor yang mendanai film Zein yang pastinya gagal produksi itu. "Film di tahan bahkan bisa batal ta
Zeva menggeleng, terlihat tidak nyaman di tempatnya. Zeva rasanya campur aduk. Senang, rindu, takut dan sedih menjadi satu. "Ayo, ada aku." Zein mengusap jemari Zeva yang ada di genggamannya. Kedua mata Zeva mulai basah, bibirnya bergetar saking tidak sanggupnya menahan semua rasa di dadanya. Hampir satu tahun dia jauh dari Lamita. "Kenapa?" Zein dengan sabar membujuk Zeva agar mau turun dari mobil. "Bunda masih marah ga ya?" suara Zeva bergetar dengan air mata lolos. *** Zeva menatap nanar Lamita yang sama kacaunya, kedua mata mereka sama basah. Semarah apapun, seorang ibu pasti akan luluh dan kalah saat rindu tidak bisa di bendung lagi.
Zein terlihat segar, hari ini hari sabtu. Hari liburnya walau hanya sehari dalam bulan ini. Dia harus memanfaatkannya sebaik mungkin. "Emang kamu engga kepikiran soal nikah?" Suara Jack membuat Zein menghantikan langkahnya, bersembunyi dan menguping. "Zeva ga mau rusak impian Zein, cukup Zeva aja yang mimpinya rusak. Zein baik, Zeva ga mau sakitin orang baik." lugunya dengan begitu tulus. "Mimpi? Emang kamu punya mimpi apa?" Jack terlihat memandang Zeva hangat. "Jadi dewasa, itu mimpi Zeva waktu kelas 3 SD sebelum kecelakaan." Zeva tersenyum kecil, pandangannya menerawang."Tapi, ternyata dewasa itu ga enak. Zeva ga bisa egois. Dulu mungkin Zeva asal ambil apapun milik Adit tanpa tahu perasaan Adit. Sekarang Zeva harus banyak puter otak, ga bisa seenaknya. Zeva juga ga mau Zein hancur karena Zeva, apalagi fans - fans Zein yang sayang banget sama Zein. Zeva pasti bikin banyak orang sedi
Zein menghela nafas panjang penuh kelegaan, akhirnya semua adegan telah selesai dia lakukan dengan sebaik dan secepat mungkin. Zein membawa langkahnya hendak ke ruang tunggu yang di mana Zeva ada di sana. Namun, seseorang menghadangnya. "Dia bukan adik kamukan Zein?" todongnya dengan tatapan meredup sedih. Zein mengerang dalam hati, dia lupa mengurus satu perempuan yang sempat dia beri harapan itu. "Hm." Perempuan muda itu tersenyum kecut."Bener ternyata sama gosip yang beredar, kamu banyak mainin perempuan. Terus kita gimana?" desaknya dengan kedua mata mulai merebak basah. Zein terlihat tenang."Emang kita apa? Kita cuma temen, temen dalam beradu akting, temen main ke bioskop, ga lebih. Kamu bahkan belum pernah aku ajak ke atas ranjang." terangnya dengan santai. Perempuan itu menatap Zein dengan tidak percaya, kecewa dan sedih.
Zeva terlihat mengernyit, merasakan pening menghantam kepalanya. Perlahan, kedua matanya terbuka. Dahinya mengkerut karena silau lampu. "Pusing?" Zeva sontak menoleh kaget dan meringis saat kepalanya berdenyut pusing. Zein mengusap kepala Zeva, memijat lembut pelipisnya."Tidur dulu atau mau makan?" tawarnya. Zeva menatap Zein dengan mengabaikan kepalanya yang berdenyut. "Kenapa Zeva di sini lagi? Adit sama Yumni mana?" tanyanya dengan suara serak dan layu. Zein masih betah mengusap dan memijat lembut pelipis Zeva. Zeva pun tidak menolak karena jujur saja itu enak baginya. "Mereka pulang." balas Zein sekenanya. "Kenapa ga bawa Zeva juga? Kenapa malah di bawa kesini?" Zeva menepis tangan Zein dan berusaha turun dari kasur Zein. Zein menahan bahunya."Rumah kamu di sini, jelas kamu harus ada di si
Zein terlihat kelelahan, jadwal mendadak di ubah membuatnya jadi semakin sibuk. Zein menatap ponselnya, membuka pesan yang dia kirimkan pada Zeva. Masih belum di baca, bahkan Zeva terlihat tidak aktif. Zein memutuskan tidur sebentar, membiarkan Jack membawa mobilnya hingga ke apartement. Tak lama mobil Zein sampai. "Zein, mau bang Jack anter?" tawar Jack dengan memindai sekitar, takutnya ada penguntit nekad. "Ga usah, bang Jack urus yang lain aja." balas Zein dengan tidak bertenaga, terlihat lelah sekali. "Yaudah." Zein turun."Hati - hati bang di jalannya." kata Zein sebelum berlalu. "Hm, kalo udah sampe telepon bang Jack." Zein hanya melambaikan sebelah tangannya tanpa berbalik dan tanpa menghentikan langkah gontainya. ***