Junior menggeliat, menguap sesaat lalu membuka matanya. Suara gemericik air hujan yang gerimis membuat tubuhnya terasa berat untuk bangun.
Junior menarik selimut, memeluk Amora yang masih terlelap dan berpetualang dalam mimpi.
"Emh.. Bangun, Razelia, sayang, istriku.." bisik Junior dengan mengulum senyum, matanya terpejam, ingatannya kini sibuk pada kejadian 9 tahun lalu.
"Yumtas, nama aku Yumtas om.." Junior saat benar - benar usia 19 tahun terlihat ramah dan baik sekali.
Jayden tersenyum tipis."Dia Amora, Razelia Amora Rulzein. Anak om.." di tatapnya Amora yang saat itu 9 tahun.
"Hanya seminggu, tidak lama dan om har
Amora menatap Junior yang menghampiri mejanya, Amora menghentikan kegiatan meminum airnya."Kenapa?" tanya Amora dengan suara sedikit serak, mungkin karena terlalu semangat hari ini.Junior duduk di kursi samping Amora, tangannya terulur untuk menyeka peluh di dahi Amora."Cuma mau tegasin sama mereka, lo punya gue.." bisik Junior dengan mencuri kecupan di rambut Amora.Ayu dan Surya memekik tertahan, saking tidak sanggup menatap keuwuan pasangan yang sedang hangat - hangatnya itu."Malu ih, di liatin orang.." Amora berbisik dengan kesal.Junior tidak peduli, wajahnya terlihat di tekuk tak bersahabat. Moodnya masih buruk."Kenapa sih?" Amora berbisik saat aura Junior menak
"Reska baik - baik saja, dia selalu bisa menjaga diri.." Ali melepas tasnya lalu membantu sang istri untuk duduk.Rumah kecil namun aman itu sudah mereka tempati hampir 6 tahun lamanya."Bunda mau ketemu, kapan semua berakhir.." Vanzania terbatuk pelan, tubuhnya kian kurus semenjak minggu lalu.Ali mengusap bahu sang istri, memeluknya dengan menghela nafas berat."Reska pasti temuin buktinya, dia bahkan sampai rela terjun ke dunia gelap agar bisa cari bukti itu.."Vanzania, atau sering di panggil bunda Vanza itu semakin cemas."Apa anak kita sampai mengkonsumsi obat terlarang?" suaranya bergetar dengan mata basah.
Amora menggeliat pelan, matanya merem melek saat Junior bermain di lehernya. Setelah sesi penjelasan dan makan malam. Junior mulai menyerangnya."Libur dulu.." pinta Amora dengan menggeliat gelisah, kedua matanya merem melek kegelian.Keaktifan tangan Junior sungguh menyiksa, membuai hingga rasanya akan meledak. Amora menggeliat."Sekali, lagi pengen, Mor.." bisik Junior dengan suara serak.Amora menggeliat."Ugh_" pekiknya saat gerakan Junior di bawahnya semakin bertambah."ber-berhenti.." erangnya tertahan.Kepala Amora mendongkak, ke kiri dan ke kanan. Rasanya tidak bisa di jelaskan, dia hanya merasa akan meledak.
"Makanya jangan terus di serang, lawan bisa lemah.." Sopyan menjitak wali pasien yang selalu menjadi pasien rahasianya itu.Junior mengusap kepalanya sekilas, untung mereka kenal hampir 7 tahun dan seumuran. Junior menatap Amora yang kini tertidur dengan sebelah tangan di infus."Jadi cuma kecapean?" Junior menatap Amora lurus dan sendu sesaat."Terus lo harap hamil?" Sopyan tersenyum mengejek."misi lo masih gantung, jangan dulu bikin dia bunting.." lanjutnya acuh tak acuh.Junior menghela nafas pelan."Udah mau kepala 3 gue, temen - temen gue udah punya 3, 5 anak, hebat.." takjubnya dengan tidak bertenaga."Pake pengaman selama seks?" Sopyan duduk di kursi kebanggaannya dengan santai.
Sapuan lembut di pipi membuat Amora perlahan terjaga, basah - basah yang mulai terasa. Amora menatap Junior yang mengecup basah pipinya itu."Bangun, makan malem.." Junior mengusap poni Amora dengan mengulum senyum tipis.Kenapa lucu sekali Amora yang baru bangun tidur. Seperti anak kecil yang masih mengantuk."Mau kemana?" tanya Amora dengan suara serak, menatap Junior yang rapih dengan celana dan kemeja hitam yang senada."Urusan.." singkat Junior seraya masih mengusap Amora dan sesekali mengecup lembut pipinya."Kemana?" Amora menatap Junior dengan menuntut jawaban, tangannya terulur pada lengan berurat yang mengusapnya itu.
"Kamu ada masalah sama, Amor?" tanya Jayden di balik ponsel.Junior melirik Amora yang sudah terlelap dengan jejak air mata yang masih terlihat."Iyah, aku cuma kecewa, ayah.."Helaan nafas terdengar di sebrang sana."Soal pil KB sama Amora yang engga mau punya anak?" tebaknya yang tepat sasaran.Junior tahu, pasti Amora yang mengadu saat dirinya masih di kamar mandi."Iyah, aku pikir Amora udah terima pernikahan ini.. Aku pikir setelah lulus kita akan punya anak.." Junior tersenyum miris."Kalian harus ngobrol berdua, dengan kepala dingin_" Jayden menjeda."Amora takut hamil, Junior. 3 tahun lalu, dia melihat oran
Brian kicep, menatap Junior antara ingin tertawa dan juga kesal. Penjelasan yang tidak lucu. 27 tahun? Usia Junior? Omong kosong macam apa yang dia dengar!"Reska, nama panggilan asli gue.." Junior masih memasang wajah serius, mengabaikan kejenuhan yang ketara di wajah Brian. Dia tidak akan menyerah."Gue cerita identitas asli gue karena gue butuh bantun.. Gue mau lo bawa Satria ke tempat gue, gue cuma mau ambil Chip dan ga akan sakitin sahabat lo.." pintanya dengan memohon.Brian menekuk wajahnya."Lo ngigau? Bangun, Jun.." dia hendak beranjak saking jengkelnya namun Junior tahan."Emang sulit di percaya, tapi gue emang lagi nyamar.. Gue mau cepet bahagiain adek lo, Bri.. Bantu gue.." pintanya.
Amora mengulum senyum, memeluk mertua yang baru 1 bulanan dia temui dan kenal. Sungguh baik mertuanya itu."Bunda Vanza, katanya mau bikinin makanan buat aku?" Amora mengurai pelukannya.Vanza yang sempat sakit kini sudah sangat sehat, sakit yang mungkin di sebabkan rasa rindunya pada anaknya.Semua sudah kembali normal, sidang putusan pun sudah selesai minggu kemarin dan Ali dinyatakan tidak bersalah.Jayden mangut - mangut, mendengarkan apa yang di ucapkan Ali. Besannya yang lebih tua 6 tahun itu."Jadi, akan mencalonkan lagi?" tanya Jayden jenaka."Ah, lebih baik memimpin keluarga dulu.. Gara - gara masalah kemarin - kemarinkan saya tidak bisa memimpin rumah tangga saya dan kumpul bersama.
Ngidam, satu kata yang membuat Zein mengacak rambutnya frustasi. Zeva sungguh menyebalkan saat ini, permintaannya membuatnya gila. "Sekali aja, pake." Zeva mengembungkan pipinya yang semakin berisi itu. "Aku laki - laki, cowok, pria, Zeva sayang." Zein tersenyum paksa dengan menahan geraman marah. "Cuma merah sebentar, masih ga mau?" tatapannya menatap Zein dengan lucunya. Sontak Zein tidak berkutik, sialan memang wajah Zeva yang menggemaskan itu. "Jangan tebel - tebel." Zein pun pasrah, melirik sekitarnya yang cukup ramai. "Yeay!" Zeva dengan semangat menempelkan lipstik merah itu pada bibir Zein yang tebal nan seksi itu. Zein menatap wajah cerah Zeva dengan tatapan yang kian melembut, istrinya begitu bahagia hanya karena tindakan kecil itu. Harusnya Zein tidak menolak dari awal. "Woah!" Zeva menutup mu
Jalan - jalan kilat pun berakhir dengan Zeva yang asyik dengan benih - benih bunga yang di belinya. Membiarkan Jackson menanamnya karena tukang kebun tak kunjung datang. Jackson terlihat menggali dengan air wajah tidak yakin, dia sudah beberapa kali menolak untuk menanam benih itu namun Zeva keukeuh agar dirinya yang menanam benih itu. Demi apapun, Jackson belum pernah menanam bunga. Semoga saja semua benihnya tumbuh dengan baik. Harapnya masih dengan tidak yakin. "Sayang, ayo masuk." Zein bersuara di ambang pintu. Zeva yang sedang berjongkok menoleh lalu mengangguk dengan patuhnya."Beresin ya, Jackson. Maaf ngerepotin sama ga bisa terus nemenin." sesalnya dengan lugu. Jackson terkekeh dalam hati, dia itu pegawainya. Kenapa Zeva tidak sadar soal itu dan berperan seperti teman saja. Mungkin karena terlalu baik pikir Jackson. "Tidak apa - apa
Bang Jack membantu Zein yang akan pergi pemotretan dan pengambilan video untuk iklan minuman yang sudah terlanjur mengkontraknya. Tadinya Zein ingin membatalkan namun kata bang Jack lebih baik lanjut karena perusahaan itu tidak keberatan soal skandal yang menimpa Zein. "Cuma 6 menit, durasi yang singkat. Sayang sama uang kamu walau uang kamu ga akan habis." kata Jack seraya merapihkan tas Zein. "Kalau gitu ajak Zeva boleh? Biar pulang langsung jalan." Jack menggeleng tegas."Ga bisa, Zeva masih jadi inceran. Kasihan dia, Zein." balasnya. Zein menekuk wajahnya, tidak bisa menyangkal ucapan Jack yang benar adanya. "Tuan Zein—" panggil Jackson yang mengundang Jack untuk menoleh juga."nyonya Zeva menangis di belakang dan menyuruh saya untuk memang—" Zein lebih dulu membawa langkahnya ke taman belakang di banding mendengarkan penjelasan pengawal
Hanya Zein yang di omeli atasan terus tersenyum cerah seperti orang yang di mabuk kasmaran. Telinganya seolah tuli dari amukan atasannya. Bang Jack menyenggol Zein, menyadarkan artisnya itu agar pikirannya berada di tempatnya, tidak berkelana ke tempat lain. Zein melunturkan senyumnya, mengerjap sekali lalu melirik bang Jack sekilas sebelum menatap atasannya yang mukanya sudah semerah tomat saking emosi. "Kamu sedang naik daun! Dengan gegabah memutuskan menikah tanpa melibatkan kami sebagai rumah produksi yang melahirkan kamu!" bentak si atasan dengan menunjuk Zein di sebrangnya—penuh emosi. Suara ponsel berdering terus menemani perbincangan mereka, membuat si atasan semakin merasakan kepalanya pecah rasanya. Sudah pasti yang menelpon itu investor yang mendanai film Zein yang pastinya gagal produksi itu. "Film di tahan bahkan bisa batal ta
Zeva menggeleng, terlihat tidak nyaman di tempatnya. Zeva rasanya campur aduk. Senang, rindu, takut dan sedih menjadi satu. "Ayo, ada aku." Zein mengusap jemari Zeva yang ada di genggamannya. Kedua mata Zeva mulai basah, bibirnya bergetar saking tidak sanggupnya menahan semua rasa di dadanya. Hampir satu tahun dia jauh dari Lamita. "Kenapa?" Zein dengan sabar membujuk Zeva agar mau turun dari mobil. "Bunda masih marah ga ya?" suara Zeva bergetar dengan air mata lolos. *** Zeva menatap nanar Lamita yang sama kacaunya, kedua mata mereka sama basah. Semarah apapun, seorang ibu pasti akan luluh dan kalah saat rindu tidak bisa di bendung lagi.
Zein terlihat segar, hari ini hari sabtu. Hari liburnya walau hanya sehari dalam bulan ini. Dia harus memanfaatkannya sebaik mungkin. "Emang kamu engga kepikiran soal nikah?" Suara Jack membuat Zein menghantikan langkahnya, bersembunyi dan menguping. "Zeva ga mau rusak impian Zein, cukup Zeva aja yang mimpinya rusak. Zein baik, Zeva ga mau sakitin orang baik." lugunya dengan begitu tulus. "Mimpi? Emang kamu punya mimpi apa?" Jack terlihat memandang Zeva hangat. "Jadi dewasa, itu mimpi Zeva waktu kelas 3 SD sebelum kecelakaan." Zeva tersenyum kecil, pandangannya menerawang."Tapi, ternyata dewasa itu ga enak. Zeva ga bisa egois. Dulu mungkin Zeva asal ambil apapun milik Adit tanpa tahu perasaan Adit. Sekarang Zeva harus banyak puter otak, ga bisa seenaknya. Zeva juga ga mau Zein hancur karena Zeva, apalagi fans - fans Zein yang sayang banget sama Zein. Zeva pasti bikin banyak orang sedi
Zein menghela nafas panjang penuh kelegaan, akhirnya semua adegan telah selesai dia lakukan dengan sebaik dan secepat mungkin. Zein membawa langkahnya hendak ke ruang tunggu yang di mana Zeva ada di sana. Namun, seseorang menghadangnya. "Dia bukan adik kamukan Zein?" todongnya dengan tatapan meredup sedih. Zein mengerang dalam hati, dia lupa mengurus satu perempuan yang sempat dia beri harapan itu. "Hm." Perempuan muda itu tersenyum kecut."Bener ternyata sama gosip yang beredar, kamu banyak mainin perempuan. Terus kita gimana?" desaknya dengan kedua mata mulai merebak basah. Zein terlihat tenang."Emang kita apa? Kita cuma temen, temen dalam beradu akting, temen main ke bioskop, ga lebih. Kamu bahkan belum pernah aku ajak ke atas ranjang." terangnya dengan santai. Perempuan itu menatap Zein dengan tidak percaya, kecewa dan sedih.
Zeva terlihat mengernyit, merasakan pening menghantam kepalanya. Perlahan, kedua matanya terbuka. Dahinya mengkerut karena silau lampu. "Pusing?" Zeva sontak menoleh kaget dan meringis saat kepalanya berdenyut pusing. Zein mengusap kepala Zeva, memijat lembut pelipisnya."Tidur dulu atau mau makan?" tawarnya. Zeva menatap Zein dengan mengabaikan kepalanya yang berdenyut. "Kenapa Zeva di sini lagi? Adit sama Yumni mana?" tanyanya dengan suara serak dan layu. Zein masih betah mengusap dan memijat lembut pelipis Zeva. Zeva pun tidak menolak karena jujur saja itu enak baginya. "Mereka pulang." balas Zein sekenanya. "Kenapa ga bawa Zeva juga? Kenapa malah di bawa kesini?" Zeva menepis tangan Zein dan berusaha turun dari kasur Zein. Zein menahan bahunya."Rumah kamu di sini, jelas kamu harus ada di si
Zein terlihat kelelahan, jadwal mendadak di ubah membuatnya jadi semakin sibuk. Zein menatap ponselnya, membuka pesan yang dia kirimkan pada Zeva. Masih belum di baca, bahkan Zeva terlihat tidak aktif. Zein memutuskan tidur sebentar, membiarkan Jack membawa mobilnya hingga ke apartement. Tak lama mobil Zein sampai. "Zein, mau bang Jack anter?" tawar Jack dengan memindai sekitar, takutnya ada penguntit nekad. "Ga usah, bang Jack urus yang lain aja." balas Zein dengan tidak bertenaga, terlihat lelah sekali. "Yaudah." Zein turun."Hati - hati bang di jalannya." kata Zein sebelum berlalu. "Hm, kalo udah sampe telepon bang Jack." Zein hanya melambaikan sebelah tangannya tanpa berbalik dan tanpa menghentikan langkah gontainya. ***