"May? Kamu kenapa?" tanya Mas Yoga ketika aku sudah duduk di sampingnya. Kami sudah keluar dari area gedung, dan kini sudah ada di jalan raya menuju rumah orang tuanya.
Aku tersenyum mendengar pertanyaan Mas Yoga. "Enggak, Mas. Cuma agak sedikit mual saja."
Seketika Mas Yoga kaget. "Hah? Mual? Kamu masuk angin?" Sepertinya dia was-was.
Aku pun sedikit terkekeh. "Bukan, Mas. Kamu tahu enggak? Tadi ada mantan suamiku dan pacarnya?"
Mas Yoga menautkan kedua alisnya. Lalu, sekarang ia seperti bernapas lega. "Oh, syukurlah kalau bukan sakit. Mau Flashback mantan ya?" ucapnya nyeleneh. Dari wajahnya, sepertinya dia pasrah saat ingin mendengar jawaban dariku.
"Ya ampun, bukan flashback, Mas. Aku sih sebenarnya enggak tahu ada mereka. Cuma, pas tadi kamu ijin untuk ke toilet, mereka berdua hampiri aku. Mereka itu ejek-ejek dan hina-hina aku."
Mas Yoga memotong. "Di depan orang?"
"Iya, Mas. Tapi, kamu tahu aku 'kan? Aku santai saja. Aku hanya diam. Masak iya aku beretika buruk di hadapan orang. Nah, tadi, pas Mas ambil mobil, kenapa mereka datang lagi coba. Mereka hampiri aku di depan gedung itu. Mereka ejek-ejek aku lagi. Bahkan lebih parah. Mereka juga angkuh sekali. Dasar, aku sampai geli dengernya."
Mas Yoga kembali kaget. Sepertinya dia juga agak kesal. "Hah? Masak iya? Wah, bener-bener tuh mereka!"
"Eh, jangan emosi, Mas. Aku juga enggak apa-apa kok. Santai lah, Mas. Aku memang hanya mual aja melihat etika mereka berdua. Sombong sekali, Mas. Aku juga diejek di depan orang. Ya, tapi biarlah, aku diam, menunjukkan kalau aku lebih baik dari mereka."
"Ya ampun, beneran kamu cuma diam?" tanya Mas Yoga.
"Enggak, aku loncat-loncat," kelakarku.
"Eh, kamu nih!" Dia kesal.
Aku pun terkekeh. "Ya aku diem lah, Mas. Aku enggak ada kerjaan urusin mereka."
"Memang, dia itu kok bisa diundang ke pernikahan manajer aku?" kata Mas Yoga.
"Oh, jadi yang menikah itu manajer kamu, Mas?" heranku.
"Iya. Yang menikah itu manajer baru di perusahaan. Dia itu seusia sama aku. Apa mungkin rekannya ya?" ucap Mas Yoga.
"Em, enggak tahu sih, Mas. Mas Anang mantan suamiku 'kan GM di perusahaan. Mungkin lah mereka kenal." Aku menjelaskan.
"GM? Di perusahaan mana?" tanyanya.
"Iya, di Mandala Corps kalau belum keluar. Tapi, sepertinya dia masih di sana." Aku memberitahu.
"Oh, Mandala Corps? Itu 'kan perusahaan saingan kita? Kamu enggak tahu ya? Jadi, mantan suami kamu General Manager di perusahaan itu?" jawab Mas Yoga. Aku baru tahu.
"Oh gitu ya, Mas? Aku sih baru tahu."
"Iya, katanya perusahaan itu sedang mengalami penurunan. Entah kenapa juga. Bahkan, mereka sampai akan menjual saham."
Aku lumayan kaget. "Menjual saham?"
Mas Yoga manggut-manggut.
"Kok bisa, Mas?" heranku.
"Apa yang tidak bisa kalau dalam dunia bisnis? Dulu memang perusahaan itu sering dapat penghargaan. Tapi, semakin ke sini memang semakin menurun kualitasnya. Bahkan, proyek besar yang biasa mereka menangkan pun sekarang sepertinya susah. Klien lebih memilih perusahaan kita."
Mendengar informasi sampai di sini, aku lumayan terhibur. Jadi, perusahaan tempat Mas Anang kerja sedang ada dalam masalah? Hemh, andai kita bisa dipertemukan dalam masalah ini. Dan dia tertampar oleh keangkuhannya. Eh, apa yang aku pikirkan?
"May?"
Mas Yoga mengagetkanku.
"Eh, iya, Mas?"
"Are you okay?" tanyanya.
Aku pun menyeringai unjuk gigi. "Hehe. Very nice, Mas. Aku baik-baik saja kok."
Mas Yoga melempar balik senyuman untukku.
Dia itu manis sekali. Kulitnya tak putih bak keturunan Inggris, tapi agak-agak sawo matang, tapi lebih putih dari sawo matang. Ya, begitulah. Dia itu pria idaman sekali. Pintar, tampan, santun dan juga ramah pada siapapun. Tapi, dia juga sangar pada orang Jahat.
Sampai pembicaraan di sini, aku juga agak heran. Kembali ke awal, kenapa bisa Mas Anang kenal dengan manajer perusahaan Mas Yoga? Apa mereka rekan dekat?
"Oh ya, Mas? Apa mantan suamiku dan manajer perusahaan kamu itu bisa ada kemungkinan punya hubungan baik ya, Mas? Soalnya 'kan nih, Mas, em, manajer perusahaan kamu apa iya undang manajer perusahaan lain kalau bukan sahabat? Kalau sahabat, sepertinya bukan deh, Mas. Rumah mereka jauhan. Atau aku enggak tahu ya, Mas?" Aku melontarkan pertanyaan atas keanehan yang kutangkap.
"Sepertinya mereka sahabat atau teman sekelas kali? Usianya juga mungkin sama."
"Em, gitu ya, Mas?" ucapku menanggapi.
Sebenarnya aku ada sedikit curiga kalau Mas Anang itu bukan rekan Pak Andi yang tadi menikah. Apa jangan-jangan ada bisnis diantara mereka? Ah, mana mungkin. Mereka jelas-jelas mengendarai kendaraan yang berbeda. Mas Anang di Mandala Corps, dan Pak Andi di Halilintar Corps. Secara akal sehat, mereka 'kan bersaing dan tak mungkin dekat. Tapi, siapa tahu, mereka memang rekan dulu. Karena teman-teman Mas Anang pun aku tak tahu.
Jarak ke rumah Mas Yoga masih agak jauh. Tapi, dia malah mengajakku mempir ke sebuah restoran. Apa dia akan makan sejenak? Tapi, kami baru saja menyantap makanan di kondangan. Apa Mas Yoga masih lapar?
"Loh, Mas? Katanya mau ke rumah orang tua kamu?" heranku setelah mobil yang kami naiki berhenti di halaman resto.
"Siapa bilang mau ajak kamu ke rumah? Aku bilang, Mama aku mau ketemu sama kamu." Dia tersenyum sambil melepas sabuk pengaman.
Aku pun sedikit malu. "Hemh." Seringaian senyumku terlontar.
Dia turun lebih dulu, dan aku dijemputnya seperti biasa. Sepertinya dia selalu ada niatan untuk membukakan pintu, tapi aku tak enak. Dia itu bosku, bos spesial. Apa iya aku menunggu untuk dibukakan pintu?
"Mama aku katanya ngajak ketemu di sini aja biar deket nanti aku antar kamu pulang. Kalau ke rumah 'kan harus putar balik, lama. Kasihan keluarga kamu nunggu di rumah." Mas Yoga menjelaskan padaku saat berjalan memasuki restoran mewah berbintang. Baru kali ini aku di bawa ke tempat ini. Memang lokasinya lumayan jauh dari kantor dan dari rumah kami berdua. Tapi, ada hal genting apa?
"Selamat siang, Mas? Silahkan, Ibu sudah menunggu di ruang VIP."
Pelayan menyambut Mas Yoga saat kaki kami berhasil menginjak lantai marmer pertama di pintu masuk. Tapi mereka juga tersenyum padaku. Sampai disambut segala. Orang kaya berlebihan ya mungkin begini.
Aku diajak Mas Yoga untuk kembali jalan setelah menyapa balik waiters dengan santun. Berjalan ke depan agak jauh, namun ekor mataku tak henti menatap kesana-kemari memandangi keindahan resto ini. Desainnya bagus dan modern.
"Tuh, Mama. Yuk!" kata Mas Yoga.
Aku sebelumnya memang pernah dua kali bertemu dengan Ibu Mas Yoga. Aku pernah dibawa ke rumahnya, juga pernah bertemu di kantor. Dan sekarang, rasanya jantungku ingin copot menghadapi situasi ini. Apa ini akan seperti di sinetron-sinetron? Orang kaya akan menjauhkan anaknya dariku yang hanya orang sederhana?
Ibu Mas Yoga itu bagaimana ya? Dia tidak terlalu lugas tapi juga tidak begitu dingin. Dia juga sebenarnya agak cuek, tapi sejauh ini baik. Maka dari itu, sekarang aku tak mampu menebak. Apa yang akan dibicarakan oleh seorang Ibu pada anaknya jika disuruh untuk membawa wanitanya.
Sebenarnya, kami malu kalau harus bilang pacaran. Karena aku juga seorang janda beranak satu. Di usiaku yang 26 tahun ini, aku sudah gagal berumah tangga. Ya Tuhan, akan apa yang dikatakan oleh Ibu Mas Yoga?
"Assalamualaikum, Bu," sapaku pada Bu Ine menyusul setelah anaknya menyapa sang Ibu. Kami kini sudah sampai.
"Waalaikum salam."
Aku dan Mas Yoga langsung duduk di kursi terpisah namun masih satu meja. Ada sedikit getaran-getaran bila bertemu dengan orang seperti Bu Ine. Seperti ada rasa takut, malu, tahu, semuanya bercampur aduk.
"Mah, ada apa Mama ajak Maya ketemu?"
Mas Yoga lebih dulu bertanya pada ibunya. Sedangkan aku masih diam seribu bahas melihat mereka berdua bergiliran.
"Ehm!"
Bu Ine berdehem. Sontak aku pun sedikit banyak agak kaget. Apalagi, yang aku takutkan kalau Bu Ine malah tidak menginginkan aku hadir di dalam hidup anaknya.
Sebenarnya aku sudah tahu diri sejak awal saat Mas Yoga sempat ingin dekat. Aku janda beranak satu, sedangkan Mas Yoga itu masih lajang walaupun usianya satu tahun lebih tua dariku. Aku 26 dia 27. Tapi, memang Mas Yoga belum menikah.
"Begini, langsung saja. Yoga, kamu tahu 'kan? Adat istiadat keluarga kita?"
Sampai di sini mataku sudah ingin melebar mendengar lontaran dari Bu Ine.
"Maksud Mama?"
"Begini, langsung saja. Yoga, kamu tahu 'kan? Adat istiadat keluarga kita?"Sampai di sini mataku sudah ingin melebar mendengar lontaran dari Bu Ine. "Maksud Mama?"***"Maksud Mama apa ya?" tanya sang anak pada ibunya. Aku sudah mempersiapkan kemungkinan yang akan terjadi. Dan aku harus siap.Duduk pun ini sudah tak enak. Karena sebentar lagi, mungkin aku akan diminta untuk diantarkan oleh Mas Yoga. Atau, kemungkinan buruk, aku disuruh pulang sendiri."Begini, kamu tahu suku adat keluarga kita 'kan? Kita ini berasal dari Medan dan Minang. Sedangkan Maya berasal dari Betawi."Bu Ine menjelaskan. Aku sudah tahu, memang mereka keturunan Medan dan Minang. Sedangkan aku ya, aku asli Betawi yang merupakan keturunan dari keluarga sederhana."Lalu maksud Mama apa?" Mas Yoga sudah heran dengan apa yang ibunya katakan. Sedangkan aku sejak saat ini sudah harus menerima konsekuensi, kalau hubungan kami tak baik bila diteruskan. Dari kasta pun kita berbeda.Bu Ine saat ini duduk dengan elegan be
BAB 5***Kami telah sampai di toko perhiasan. Sebelum sampai ke rumahku, Mas Yoga memang memintaku untuk memilih cincin yang aku inginkan.Namun, baru saja turun dari mobil, dari kejauhan sana sudah nampak pria dan wanita yang aku kenal. Itu Mas Anang dan pacarnya tadi. Sungguh, ini dunia sempit sekali. Apa jadinya kami harus berpapasan lagi?Mas Anang baru saja keluar dari mobil dan kini menggandeng wanita itu. Aku dan Mas Yoga masih ada di dalam mobil.Di samping kamu sekarang datang sebuah motor bebek dan parkir di samping mobil Mas Yoga.***"Mas? Kamu ngapain?" tanyaku pada Mas Yoga masih di dalam mobil."Ini, aku mau buka sepatu. Gerah banget. Aku mau pakai sandal ini saja."Mas Yoga lepas sepatu pantofel kinclong bermereknya itu dan mengganti dengan sandal gunung.Aku pun hanya meninggikan alis sambil sedikit tersenyum."Yuk!" ajaknya.Aku malah ragu, karena di sana pasti bertemu dengan Mas Anang. Tapi, untuk apa juga mengurungkan niat hanya karena orang semacam mereka?Dengan
BAB 6"Mas? Kamu kok beli cincin mahal banget?" protesku pada Mas Yoga."Mahal? Sebenarnya kalau untuk hal lain pasti itu bagiku mahal. Tapi, buat kamu, berapapun akan aku keluarkan. Alhamdulillah, aku punya cukup uang untuk beli apapun sekarang ini. Asal otak dan fisik kita sehat, uang itu akan datang lagi.""Makasih ya, Mas."Hanya itu yang bisa aku ucapkan. Kami sekarang sedang berada di jalan pulang ke rumah ibuku. Jalan lumayan agak sedikit macet karena di depan ada lampu merah."Oh ya. Aku belum tanya kamu serius. Jadi, kamu mau menikah dengan aku 'kan? Kamu ijinkan aku jadi bagian hidup kamu?"Di lampu merah saat kendaraan berhenti sejenak dia bertanya hal yang sebenarnya tak perlu ia pertanyakan."Menurut kamu, apa aku menolak setelah kamu ajak beli cincin dan cincinnya pun sudah ada di sini?" Aku menunjuk dus kecil.Dia malah tersenyum. "Ya, kamu 'kan iya-iya saja. Sebenarnya, kamu benar menerima aku sebagai calon suami kamu?" tanyanya kembali."Insyaallah, aku menerima kamu.
Hari ini ada meeting dengan wedding planner. Aku akan dijemput oleh Mas Yoga dan kini sedang menunggu di ruang tamu.Kebetulan hari ini libur, jadi bertemu dengan WP dijadwalkan sekarang oleh Mas Yoga."Mah, Arya mau main ke rumah Ivan boleh?" kata anakku ijin."Boleh, Sayang. Tapi mau main apa?" tanyaku pada putra tercinta."Mau main bola, Mah di lapangan sana itu. Boleh ya, Mah? Em, Arya juga bakal kotor-kotoran dikit," kata anakku sembari memasang mimik wajah meringis takut kumarahi."Boleh, kotor sih enggak apa-apa, Sayang. Asal hati-hati, jangan ke jalan raya ya? Nanti pulang juga jangan kesorean. Mama mau keluar dulu." Aku memberinya saran sembari memberitahukan ke mana aku akan pergi."Iya, Mah. Mama mau pergi sama Om Yoga?" ucapnya.Aku tersenyum. "Iya, Nak. Sebentar lagi Om Yoga jemput Mama. Kamu ijinin 'kan?" ujarku sambil mengelus-elus lembut rambut kepalanya."Iya, Mah. Mama juga hati-hati. Arya mau berangkat sekarang ya, Mah?" katanya lagi."Kamu enggak bawa sepatu?" hera
Kenapa Mas Anang merendahkan kami serendah itu? Dasar, dia kurang ajar sekali. Sebenarnya aku malu pada Mas Yoga, tapi, bagaimana juga dia hanya menyuruhku diam saja. Ikut alur yang akan ia suguhkan.Aku saat ini dengan Mas Yoga masih menunggu tukang kerak telor selesai membuat. Tapi Mas Anang dan pacarnya terus saja mengejek kami."Ayoklah, jangan sok jual mahal. Sekali-kali kalian makan enak di resto mewah." Kata-kata Mas Anang itu tak sopan sekali. Mana ada tata krama seorang General Manager semacam dia? Oh ya ada, memang dia."Ayok, boleh, Mas. Kebetulan kami juga sedang lapar. Tadinya kami akan makan di warteg sana."Tegh!"Warteg. Haha!" Mas Anang tertawa puas.Keningku mengernyit kaget tapi ingin tersenyum mendengar jawaban Mas Yoga. Dia mau diajak makan oleh mantanku?"Mas!" Aku menyinggung sedikit tangannya dengan jariku.Saat ini Mas Yoga nampak santai setelah mengiyakan ajakan Mas Anang dan pacar sombongnya."Jangan disenggol-senggol gitu, Maya. Kamu malu hah? Tuh pacar ka
"Mohon maaf, Pak, saldo di kartu ATM ini tidak cukup!"Deg!Aku dan Mas Yoga saling melirik mengulum senyum. Sesumbar itu, tapi dia tidak cek m-banking? Aku yakin, dia miliki aplikasi itu. "Hah? Tidak cukup?" Mas Anang kaget, pun dengan pacarnya. Mereka seperti terpukul bokong oleh Tuan Crab dalam serial kartun."Huahahahaha." Dalam batinku tertawa lebar. Ingin sekali aku bergoyang di depan mereka berdua, tapi aku tak bisa lakukan itu karena aku tak begitu.Saat ini aku dan Mas Yoga saling lirik sembari mengulum tawa. Sekarang wajah Mas Anang dan pacarnya memerah. Pelayan pun masih menunggu dan sudah mengembalikan lagi kartu ATM tersebut."Mas? Kok nggak cukup?" protes pacarnya dengan kesal. Ada mimik malu di hadapan aku dan Mas Yoga.Mas Anang mempertahankan wibawanya. "Ah, masak sih? Salah kali! Atau mesinnya rusak!"Aku semakin ingin tertawa lebar. "Mas, mana ada mesin rusak bisa mendeteksi enggak cukup? Kalau enggak bisa dipakai, baru itu rusak!" ledekku dengan puas.Mas Yoga ter
Bu Ine kini hadir di tengah-tengah kami. Tapi, yang aneh adalah, manajer resto menjelaskan semua masalah pada beliau. Apa benar, resto ini milik Ibu Mas Yoga juga? Wah, aku baru tahu kalau benar."Jadi, apa yang bisa saya bantu, Pak?" Bu Ine cuek pada aku dan anaknya. Tapi kini dia bicara pada Mas Anang."Ibu siapa? Owner restoran ini 'kah?" tanya Mas Anang heran."Ya. Ini restoran milik saya. Benar apa kata manager saya kalau Anda makan tapi tidak bisa bayar?" Aku super kaget. Dugaan benar, kalau resto ini milik orang tua pria yang kini ada di sampingku. Tapi, kenapa Bu Ine tidak kaget ada anaknya di sini? Bahkan, dia juga tidak menyapa anaknya. Pantas saja tadi pelayan resto kaget saat melihat Mas Yoga datang, itu karena dia pasti kenal. Secara, Mas Yoga anak bos mereka.Ck ck ck!Lalu, bagaimana sekarang?"Saya Ine, pemilik sah resto ini. Bisa saya minta penjelasan dari Anda? Penjelasan dari manajer saya saja tidak cukup," kata Bu Ine dengan lugas. Aku kini menyenggol Mas Yoga,
"Iya, mereka berdua. Mereka yang sudah kuras uang saya." Mas Anang menunjuk Mas Yoga dan aku.BAB 11"Betul sekali, Bu Owner. Jadi gini, wanita ini mantan istri pacar saya yang ganteng dan yang memiliki jabatan General Manager ini. Tadi mereka itu jajan di pinggir jalan. Ya, karena kasihan lihat orang miskin di jalan, kami pun ajak mereka makan. Sekali-kali lah orang miskin makan di resto mewah milik Ibu ya." Aku amat terenyah dengan penjelasan dari wanita yang menjadi pacar Mas Anang. Dia berani sekali menghina anak di depan ibunya. Apalagi sebut-sebut miskin dengan tatapan meledek. Tak ada sopan santun."Oh, jadi kalian berdua ingin traktir mereka berdua tapi tak ada uang?" kata Bu Ine menanggapi."Bu, jaga bicara Ibu. Kalau Ibu bukan owner resto mewah ini, saya mungkin sudah adukan kata-kata Ibu ini ke hukum. Saya bukan tidak ada uang, tapi uang saya masih ada di rumah. Saya akan bawa dulu, apa susahnya sih? Restoran macam apa ini?" Degh!Mas Anang malah nyolot. Sepertinya dia be
PoV Maya***"Oh, jadi kamu Mas biang kerok semua ini? Aku gak nyangka kamu begini ya Mas!" Aku begitu marah. Wajahnya memerah nanar menatap pria itu."Arkh, apaan kalian, dasar tukang tuduh!" Dia itu berdecak. Dia berdalih dan tidak mengakui hal yang sebenarnya terjadi.Kami sekarang sedang berada di sebuah tempat. Dimana sekarang di sini kami sudah berhadapan dengan Mas Diwan yang ternyata memang biang kerok dari semuanya.Di sini juga tidak hanya ada aku dan suami juga anak buahku. Tapi di sini juga ada Hans yang baru saja datang. Aku sengaja ingin memperlihatkan kepadanya kalau anak buahnya selama ini telah melakukan hal yang buruk.Mas Diwan mencuri identitas dirinya untuk menerorku. Dan seakan-akan Hans lah yang ingin menggencarkan rumah tanggaku bersama Mas Yoga. Pijit sekali kelakuannya.Plak!Sebuah tamparan mendarat di pipi nya Mas Diwan oleh telapak tanganku. Mas Yog
Dada omah mundur ke belakang. Bibirnya tertarik ke atas seperti tak mengindahkan apa yang aku duga. "Ya ampun, Yoga. Kamu menduga istrimu itu hanya jadi korban orang lain? Takut itu kah kamu istri kamu pergi? Pasti benar, dia itu sudah selingkuh. Kamu ini kok kaya melindungi banget istri kamu?" Dugaanku benar, Oma menyalahkan istriku."Bukan begitu, Oma. Tapi aku sama Mas Yoga juga sedang menyelidiki siapa orang yang selalu meneror aku dengan barang-barang seperti ini. Aku benar-benar enggak tahu, Oma, aku yakin ini ada unsur disengaja." Istriku mendekat membela dirinya.Aku coba meredam kemarahan Oma. "Oke, Oma tenang dulu. Jangan marah-marah dulu. Sekarang Yoga sama Maya mau ke kamar dulu. Ada hal yang ingin kita bicarakan.""Nah, itu bagus!" Oma setuju, "pasti kamu ingin memarahi dia kan? Bagus itu, ayok sana. Jangan pernah mau kalah sama istrimu. Nanti dia bakal kebiasaan," tandas Oma.Istriku masih terus rerpojok
PoV Yoga***"Semua informasinya sudah aku kirim lewat email."Pesan masuk setelah aku keluar dari ruang meeting. Temanku yang detektif ini menjanjikan waktu sebentar, tapi karena katanya dia ada meeting penting sehingga pekerjaannya dia tunda dulu. Dan baru sekarang dia mengirimkan semuanya. Katanya sudah lewat email.Aku Pun bergegas menuju ruang bekerja. Membuka laptop dan segera mencari tahu informasi terbaru yang masuk lewat email yang yang aku pakai untuk mendapatkan informasi darinya.Tanpa basa-basi aku pun segera membaca dan melihat bukti lokasi yang telah temanku itu selidiki.Degh!Aku kaget ketika dua nomor yang berbeda itu ternyata berada di lokasi yang sama. Bahkan bukan berdekatan, tapi memang di titik yang sama.Satu Nomor dengan identitas bernama Diwan. Dan satu lagi nomor atas nama Hans. Aku malah semakin bingung, jangan-jangan dugaan istriku benar, kalau Diwan lah yang memanfaatkan situasi ini untuk meneror istriku. Tapi apa maksud dan tujuannya?Ku tanya lagi kepad
PoV Yoga***[Maaf, kita belum bisa bertemu. Aku hanya bisa mengagumimu tanpa bisa melihatmu. Kita ini berada di posisi yang masih salah. Aku punya istri dan kamu pun punya. Aku hanya berharap suatu saat kita bersatu]Wajah istriku saat ini benar-benar murung dan ketakutan. Dia pasti berpikir kalau aku akan marah. "Mas, sumpah aku nggak tahu lho Mas salah orang ini," resahnya.Aku berusaha percaya. "Oke, sudah jelas kalau orang itu benar-benar menginginkan kamu. Tapi identitasnya terus saja dia sembunyikan.""Mas, aku yakin, ini adalah kerjaan seseorang untuk menghancurkan rumah tangga kita saja. Sumpah, aku gak tahu soal ini." Kekeh istriku seperti meresahkan pikiranku saat ini.Kami berdua diam. Namun, tiba-tiba istriku mengatakan kalau dia memiliki sebuah ide. "Mas!" Dia membuyarkan lamunanku. "Ada apa?" tanyaku.Dia malah mondar-mandir. "Gini nih, Mas, aku kok jadi suuzon kalau
PoV Yoga***"Selidikku siapa Diwan yang dimaksud oleh Hans. Saya mau kabar sebelum 24 jam!" titahku pada orang suruhan.Mereka langsung sigap mengiyakan.Aku ingin tahu nama Diwan yang disebut Hans. Mungkin saja dia adalah Diwan yang sama dengan suaminya Risma.Dari kantor dia resign katanya ingin buka usaha, tapi setelah aku telusuri ternyata Diwan tidak buka usaha di rumah. Kata ibunya istriku Diwan itu seperti masih kerja kantoran.Aku ingin segera clear kan masalah ini. Keresahan hati mengenai Hans yang ingin merebut istriku ini harus segera aku pecahkan saat ini juga. Jangan sampai ada kesalahpahaman diantara kita yang terlalu jauh.Di menit kemudian tiba-tiba ponselku berdenting. Setelah melihat nama yang tertera di nomor panggilan yang masuk, ternyata dia adalah istriku.Segera aku menjawabnya. "Ya, Sayang?" sapaku lebih dulu."Mas, aku ada kabar dari sese
Ternyata Hans sedang ada masalah keluarga. Mungkinkah dia bermasalah dengan istrinya sehingga ingin mendapatkan istriku? Benar saja dia barusan menyanjung istriku tanpa ada rasa resah."Semoga rumah tangga kalian kembali membaik ya," ujarku mengharapakan."Ya, semoga. Terima kasih."Lumayan lama berbincang-bincang ke sana-kemari. Bahkan kami juga membahas bisnis yang sedang berjalan. Namun, karena sudah pukul sebelas, aku pun gegas kembali ke kantor. Cukup untuk hari ini menjadi detektif secara langsung tanpa Hans sadari. Karena aku yakin, dia tak akan sadar kalau kecurigaan hati ini jatuh padanya. Entah kalau dia sudah tahu semuanya, sehingga dia seakan-akan memperlihatkan tak sedang terjadi sesuatu di depanku.***Saat makan siang aku ijin pada istri untuk bertemu dengan dua rekan. Yang satunya baru tiba dari luar negeri setelah pergi selama empat bulan lamanya. Dia melanjutkan studi di sana."Halo, Will, apa kabar?" Aku m
PoV Yoga***Dia seperti gelisah setelah berkali-kali melirikku. "Oh, ya, it's oke. Em, diantar siapa kemari? Em, ya, duduk, duduk!" Ia nampak salah tingkah lagi. Hal yang membuat hatiku jadi tidak nyaman bila dia begini. "Resepsionis yang mengantarkan." Aku menjawab sembari duduk di sofa."Oh iya." Ia manggut dengan bola mata tak henti bergerak.Aku semakin curiga dengan ekspresinya. "Sepertinya Pak Hans sedang gelisah sekali? Ada hal buruk 'kah?" Bola matanya tak menatapku fokus. Semuanya membuatku semakin penasaran. Kenapa aku menduga dialah yang akan merusak rumah tanggaku. Untuk apa juga dia pindah rumah ke tempat yang dekat dengan rumahku? Tapi aku tak bisa suudzon begini. Harus benar-benar dicari bukti terlebih dahulu."Em, ada hal yang teramat pentingkah hingga langkah Pak Yoga sampai kemari?" tanyanya begitu resah. Tapi ada sandiwara persembunyian di baliknya."Oh tak ada apa-apa. Kebetulan saya hari
Betapa kagetnya aku, ada KTP rekan bisnisku di layar. Dengan jelas kutatap foto dan juga nama lengkap. Benar sekali, tak ada yang salah."Hans Putra Baskhara," batinku kaget.Aku zoom kembali lebih detail. Aku juga melihat lagi file lain, siapa tahu salah buka, ternyata tidak. Benar-benar identitas Hans kudapat.Ada sosial media juga yang terpaut dengan nomor asing itu. Semua wajah rekan bisnisku. Ini benar-benar membuatku bertanya-tanya. Bukankah kemarin Risma memalsukan atas nama Hans? Lalu istriku menyelidiki hingga identitas Risma dan suaminya itu terbukti? Sekarang?Apa mungkin ini bukti palsu? Gegas kuhubungi kembali si orang suruhan. Dia yakin 100%, data yang ia dapat dari nomor tersebut itu benar. Tidak ada yang keliru. Aku jadi geleng-geleng kepala. Setelah dipikir-pikir, hari ini lebih baik aku datang pada Hans. Perusahaan cabangnya yang baru berdiri itu akan kuhampiri. Mungkin dia bisa memberikan penjelasan atas semu
PoV Yoga***Sekarang di rumah ada Oma. Ia katanya ingin tinggal di sini sampai istriku melahirkan nanti. Biasalah, orang tua selalu banyak sekali aturan dan juga soal pantrangan. Kupikir dulu dia juga melakukan hal yang sama pada anak dan cucunya, dan sekarang istriku. Oma akan berada di sini untuk menjaga istri dan jabang bayiku. Mungkin lebih ke ingin menemani.Itu kata Oma, yang aku pikir di sini Oma lebih ke menginginkan peraturan baru. Dia sepertinya ingin mencaritahu bagaimana istriku kesehariannya lebih detail. Kutahu, Oma selalu menginginkan semua hal itu sempurna.Di sisi lain datangnya Oma membuatku gembira. Jadinya, aku juga bisa melihat dan menjaga dia lebih dekat lagi. Bukan hanya bertemu setahun sekali atau dua kali saja.Usianya sudah sepuh sekali. Kalau tak salah, sudah lebih dari 78 tahunan. Begitu katanya. Dengan usia demikian, dia masih mampu berjalan tegap walaupun tak secepat sewaktu masih muda. Kadang aku berpikir,