Bu Ine pun menanggapi balik. "Pelanggan adalah Raja. Tapi tidak ada Raja semacam Mas Ini ya? Kalau ingin dihormati dan dihargai orang, hormatilah dan hargailah diri kamu sendiri. Silahkan bayar, baru boleh pergi!" gertak Bu Ine. Sepertinya saat ini Mas Anang benar-benar dipermalukan. Betul juga kata Bu owner, mana ada Raja semacam Mas Anang?"Lalu mau Anda apa?" Mas Anang nyolot sekali.~~~ Kom Komala ~~~***"Mau saya, Anda bayar sekarang juga, atau diam di sini bersih-bersih. Anda boleh pulang setelah resto ini tutup. Kalau tak ada orang yang datang untuk membayar ganti rugi, Anda dan Mbak ini tidak boleh pergi. Kalian bantu beres-beres di resto ini. Mengerti!"Wow, sungguh ini benar-benar membuatku tertawa lebar. Bu Ine dengan yakin meminta si general manager itu untuk bersih-bersih?"Apa? Anda menghina saya?" bentak Mas Anang."Mas, nurut saja, Mas. Lagipula, saya sejak tadi mendengar kesombongan Mas pada mantan istri Mas dan pacarnya itu. Saya pikir Mas mau bayar dan banyak uang.
"Kalian lagi ngapain di sini? Bukannya kalian ada meeting dengan WP?" Bu Ine bertanya kepada aku dan juga anaknya.Kami sekarang ngobrol di luar restoran karena akan segera pergi, sedangkan Mas Anang dan pacarnya mau tidak mau harus menuruti apa yang telah jadi konsekuensinya. Rasakan kamu, Mas. Ini mungkin baru permulaan secara tak direncana.Sepertinya dia tak ada yang membantu. Jangankan kalau miskin, teman Mas Anang saat ia sedang di atas saja tak ada yang bantu. Buktinya, tadi beberapa kali dia menghubungi sahabat, tak ada satupun yang nyangkut. "Ya, kami memang ada pertemuan dengan WP, Mah. Tapi mereka kecegat itu, ada pohon tumbang di arah ke sini. Mama kok bisa di sini? Tak kena macet?" tanya sang anak pada ibunya."Mama sejak tadi juga di sini. Dengar ada keributan dari pelayan, Mama langsung hampiri. Mama kaget sih saat lihat kamu." Bu Ine memberi kami alasan. Tapi bisa sekali beliau berakting. Tapi bukan akting juga, memangnya harus apa yang ia katakan tadi untuk bahas ana
"Mama? Apa kabar, Mah?"Ternyata itu adalah mantan mertuaku. Ya, Ibu Mas Anang. Aku sodorkan tangan untuk menyalaminya. Bagaimanapun juga, dia adalah orang tua yang harus dihormati. Mantan mertua bersedia kusalami, namun wajahnya tetap angkuh sekali. Mas Anang juga keangkuhannya turun dari sang Ibu sepertinya."Baik. Kamu ngapain? Makan?" tanyanya sembari menyelidik penampilanku dari ujung kaki ke ujung kepala. Heuh, sebenarnya aku kesal dengan tatapannya itu, tapi mau bagaimana lagi."Iya, Mah. Maya akan makan di sini. Mama baru datang?" ujarku kembali."Enggak, saya ke sini cuma mau pesan makan untuk dibawa ke rumah. Oh ya, jangan panggil saya Mama lagi dong. Kamu sudah bukan menantu saya. Saya sudah punya lagi calon menantu yang lebih cantik dan baik dari kamu."Degh!Aku benar-benar terenyah dengan perkataan mantan Ibu mertua. Benar juga, kenapa aku harus panggil dia Mama? Mungkin karena sudah kebiasaan, jadi masih belum lupa."Baik, Bu. Saya panggil Ibu saja," ucapku."Nah, gitu
PoV Anang***Namaku Anang Wiguna. Sebenarnya disingkat saja, namaku masih ada tengahnya.Hari ini aku lagi-lagi bertemu dengan Maya si mantan istri di jalanan. Dia sedang membeli kerak telor bersama pacarnya yang miskin itu.Dari penampilan dan wajah, memang pria itu lumayan, tapi, kalau dari segi ekonomi, ya dia apa? Jalan ke sana kemari dengan kaki saja. Tak ada kendaraan yang layak.Setelah bercerai denganku, sepertinya Maya tak bisa lagi dapatkan pria yang lebih dariku. Yang lebih kaya maksudnya. Sepertinya Maya malu mengakui kalau dirinya itu kalah di hadapanku. Sepertinya menyesal juga telah memilih kata talak daripada dimadu.Saat itu, aku dan sekretaris memang menjalin hubungan. Ya, sekadar ingin menikmati hal baru lah. Tapi saat itu Maya malah memergoki kami berdua. Bahkan mantan sekretaris itu, telah menyerahkan kehormatannya padaku. Dia itu seorang janda muda, jelaslah aku tertarik.Kenapa sekarang dia kusebut mantan sekretaris? Karena posisinya telah tergantikan. Sejak p
-Anang-"Saya sudah merendahkan harga diri saya ya Bu untuk kerja di sini. Ibu jangan pancing emosi saya!" ucapku kesal."Jangan sombong! Andai kamu bisa bayar, kamu tidak akan kerja seperti ini! Sok-soan makan sampai puluhan juta dengan songong, tapi tidak bisa bayar," kritiknya semakin membuatku malu oleh para pelayan lain. Sepertinya mereka menertawakanku atas ini. Awas saja, setelah ini aku pastikan restoran ini sepi. Akan kuhasut semua orang supaya tidak makan di restoran ini."Saya bisa beli restoran ini, jangan sombong, Bu!" ujarku lagi dengan kesal padanya."Jangan sok mau beli, 35 juta saja kamu cuma bayar separuhnya. Ayok, cepat kerja! Oh ya, coba saya ingin lihat cara kamu melayani tamu!"Aku kaget dengan permintaan wanita tua di dekatku ini."Maksud Ibu bagaimana?" "Kamu coba layani tamu. Kamu ke depan dan sambut pelanggan. Ayok!" titahnya."Saya gak mau! Saya hanya bertugas di belakang ya, Bu?" Aku menolak dengan tegas.Sebenarnya cara bicara wanita tua ini adem sekali,
- Anang -Aku benar-benar malu tingkat Dewa. Wajahku sepertinya masak sekali saat diejek oleh Tante rekan Ibu. Mati aku, mati!Ibu seketika menolehku dengan tatapan super kaget dipenuhi kemurkaan. "A … Anang? Kamu ngapain di sini? Kamu … kok pakek baju pelayan sih?" ucap Ibu dengan nada jijik. Mampus aku sekarang! Sudah sial, kena malu juga."Anang? Kamu!" Ibu mendekat lalu menyelidik."Bu! Aku … aku gak bisa bayar makan di resto ini. Uangku habis gara-gara si Maya dan pacarnya. Mereka kuras uangku!" Aku menjelaskan dengan cara bisik-bisik pada telinga Ibu. "Apa? Kok bisa?" Dia kaget."Selamat siang, ada apa ini?" Suara owner datang. "Kamu cepat layani pelanggan! Jangan berdiri saja!" titahnya padaku yang sedang ada di dekat Ibu. Ibu pun menganga tak habis pikir."Hah? Jeng? Jadi beneran? Anakmu pelayan?" Rekan Ibu kaget sekali mendengar apa yang diucapkan oleh owner. "Jeng, Jeng, Jeng jangan salah paham. Em, mungkin saja ini candaan anak saya. Dia memang begitu. Hehe." Ibu coba m
PoV Anang***"Aduh, lelah banget nih, Mas! Kamu harus ganti rugi semuanya. Kulitku kusam gara-gara kelamaan di dapur!" Sindy merengek kala kami baru saja keluar dari resto tepat pukul sepuluh malam. Lelah sekali hari ini. Apalagi dua bodyguard pemilik hotel terus stand by di tempat. Mereka tak memberikan aku dan Sindy napas lega. Menyesal sekali gara-gara si Maya, uangku habis banyak. Mana itu untuk sambung hidup. Untuk gaji asisten rumah tangga juga. Yang terpenting, bagian Ibu. Kalau Ibu sampai tak dapat bulanan, ia akan ngoceh."Aku juga sama, kamu pikir kamu doang?" ketusku terus berjalan di pinggir jalan yang ramai. Mungkin saja banyak yang mentertawakan kami dari dalam mobil sana. Kami bak gembel, jalan kaki dengan wajah lusuh sekali.Saat ini kami juga harus berjalan untuk bawa kendaraan di jarak seratus meteran. Hah, semoga saja mobil tak dicuri orang.Lampu-lampu pinggir kota menerangi setiap langkah kami berdua. Kalau saja mereka hidup, pasti saat ini sedang tertawa terbah
Tubuh Ibu terhempas ke sofa. Kalau ngamuk ya begini, Ibu tak bisa dicegah. Ah, biarakan saja, aku selalu menganggapnya kaleng rombeng saja."Udah ah, Bu, aku mau masuk! Mau mandi dan berendam air hangat. Tubuhku bau keringat!" Gegas aku bangkit dan tinggalkan Ibu sendiri yang sedang riweuh karena kena malu oleh rekannya. Sebenarnya aku juga sama, Bu, tapi malas untuk cerita. Sepertinya otakku sudah benar-benar muak sekali.***"Eh, tahu enggak? Aku lihat GM kita jadi pelayan di restoran? Aku kemarin ke resto diajak pacarku. Eh, dari kejauhan aku benar-benar lihat kalau Pak Anang sedang jadi pelayan!"Jleb!Terdengar bisik-bisik karyawanku saat langkah kaki ini mulai mendekat ke arah mereka. Karena posisi duduk balik dinding, jadi mereka tak tahu kalau aku sedang ada di sekitar."Ah, masak sih? Masak Pak Anang jadi pelayan? Dia kan angkuh sekali!"Kedua bola mataku membuka lebar. Ternyata kemarin ada karyawan yang melihatku jadi pelayan? Mati aku. "Masak sih?""Iya, katanya pas makan
PoV Maya***"Oh, jadi kamu Mas biang kerok semua ini? Aku gak nyangka kamu begini ya Mas!" Aku begitu marah. Wajahnya memerah nanar menatap pria itu."Arkh, apaan kalian, dasar tukang tuduh!" Dia itu berdecak. Dia berdalih dan tidak mengakui hal yang sebenarnya terjadi.Kami sekarang sedang berada di sebuah tempat. Dimana sekarang di sini kami sudah berhadapan dengan Mas Diwan yang ternyata memang biang kerok dari semuanya.Di sini juga tidak hanya ada aku dan suami juga anak buahku. Tapi di sini juga ada Hans yang baru saja datang. Aku sengaja ingin memperlihatkan kepadanya kalau anak buahnya selama ini telah melakukan hal yang buruk.Mas Diwan mencuri identitas dirinya untuk menerorku. Dan seakan-akan Hans lah yang ingin menggencarkan rumah tanggaku bersama Mas Yoga. Pijit sekali kelakuannya.Plak!Sebuah tamparan mendarat di pipi nya Mas Diwan oleh telapak tanganku. Mas Yog
Dada omah mundur ke belakang. Bibirnya tertarik ke atas seperti tak mengindahkan apa yang aku duga. "Ya ampun, Yoga. Kamu menduga istrimu itu hanya jadi korban orang lain? Takut itu kah kamu istri kamu pergi? Pasti benar, dia itu sudah selingkuh. Kamu ini kok kaya melindungi banget istri kamu?" Dugaanku benar, Oma menyalahkan istriku."Bukan begitu, Oma. Tapi aku sama Mas Yoga juga sedang menyelidiki siapa orang yang selalu meneror aku dengan barang-barang seperti ini. Aku benar-benar enggak tahu, Oma, aku yakin ini ada unsur disengaja." Istriku mendekat membela dirinya.Aku coba meredam kemarahan Oma. "Oke, Oma tenang dulu. Jangan marah-marah dulu. Sekarang Yoga sama Maya mau ke kamar dulu. Ada hal yang ingin kita bicarakan.""Nah, itu bagus!" Oma setuju, "pasti kamu ingin memarahi dia kan? Bagus itu, ayok sana. Jangan pernah mau kalah sama istrimu. Nanti dia bakal kebiasaan," tandas Oma.Istriku masih terus rerpojok
PoV Yoga***"Semua informasinya sudah aku kirim lewat email."Pesan masuk setelah aku keluar dari ruang meeting. Temanku yang detektif ini menjanjikan waktu sebentar, tapi karena katanya dia ada meeting penting sehingga pekerjaannya dia tunda dulu. Dan baru sekarang dia mengirimkan semuanya. Katanya sudah lewat email.Aku Pun bergegas menuju ruang bekerja. Membuka laptop dan segera mencari tahu informasi terbaru yang masuk lewat email yang yang aku pakai untuk mendapatkan informasi darinya.Tanpa basa-basi aku pun segera membaca dan melihat bukti lokasi yang telah temanku itu selidiki.Degh!Aku kaget ketika dua nomor yang berbeda itu ternyata berada di lokasi yang sama. Bahkan bukan berdekatan, tapi memang di titik yang sama.Satu Nomor dengan identitas bernama Diwan. Dan satu lagi nomor atas nama Hans. Aku malah semakin bingung, jangan-jangan dugaan istriku benar, kalau Diwan lah yang memanfaatkan situasi ini untuk meneror istriku. Tapi apa maksud dan tujuannya?Ku tanya lagi kepad
PoV Yoga***[Maaf, kita belum bisa bertemu. Aku hanya bisa mengagumimu tanpa bisa melihatmu. Kita ini berada di posisi yang masih salah. Aku punya istri dan kamu pun punya. Aku hanya berharap suatu saat kita bersatu]Wajah istriku saat ini benar-benar murung dan ketakutan. Dia pasti berpikir kalau aku akan marah. "Mas, sumpah aku nggak tahu lho Mas salah orang ini," resahnya.Aku berusaha percaya. "Oke, sudah jelas kalau orang itu benar-benar menginginkan kamu. Tapi identitasnya terus saja dia sembunyikan.""Mas, aku yakin, ini adalah kerjaan seseorang untuk menghancurkan rumah tangga kita saja. Sumpah, aku gak tahu soal ini." Kekeh istriku seperti meresahkan pikiranku saat ini.Kami berdua diam. Namun, tiba-tiba istriku mengatakan kalau dia memiliki sebuah ide. "Mas!" Dia membuyarkan lamunanku. "Ada apa?" tanyaku.Dia malah mondar-mandir. "Gini nih, Mas, aku kok jadi suuzon kalau
PoV Yoga***"Selidikku siapa Diwan yang dimaksud oleh Hans. Saya mau kabar sebelum 24 jam!" titahku pada orang suruhan.Mereka langsung sigap mengiyakan.Aku ingin tahu nama Diwan yang disebut Hans. Mungkin saja dia adalah Diwan yang sama dengan suaminya Risma.Dari kantor dia resign katanya ingin buka usaha, tapi setelah aku telusuri ternyata Diwan tidak buka usaha di rumah. Kata ibunya istriku Diwan itu seperti masih kerja kantoran.Aku ingin segera clear kan masalah ini. Keresahan hati mengenai Hans yang ingin merebut istriku ini harus segera aku pecahkan saat ini juga. Jangan sampai ada kesalahpahaman diantara kita yang terlalu jauh.Di menit kemudian tiba-tiba ponselku berdenting. Setelah melihat nama yang tertera di nomor panggilan yang masuk, ternyata dia adalah istriku.Segera aku menjawabnya. "Ya, Sayang?" sapaku lebih dulu."Mas, aku ada kabar dari sese
Ternyata Hans sedang ada masalah keluarga. Mungkinkah dia bermasalah dengan istrinya sehingga ingin mendapatkan istriku? Benar saja dia barusan menyanjung istriku tanpa ada rasa resah."Semoga rumah tangga kalian kembali membaik ya," ujarku mengharapakan."Ya, semoga. Terima kasih."Lumayan lama berbincang-bincang ke sana-kemari. Bahkan kami juga membahas bisnis yang sedang berjalan. Namun, karena sudah pukul sebelas, aku pun gegas kembali ke kantor. Cukup untuk hari ini menjadi detektif secara langsung tanpa Hans sadari. Karena aku yakin, dia tak akan sadar kalau kecurigaan hati ini jatuh padanya. Entah kalau dia sudah tahu semuanya, sehingga dia seakan-akan memperlihatkan tak sedang terjadi sesuatu di depanku.***Saat makan siang aku ijin pada istri untuk bertemu dengan dua rekan. Yang satunya baru tiba dari luar negeri setelah pergi selama empat bulan lamanya. Dia melanjutkan studi di sana."Halo, Will, apa kabar?" Aku m
PoV Yoga***Dia seperti gelisah setelah berkali-kali melirikku. "Oh, ya, it's oke. Em, diantar siapa kemari? Em, ya, duduk, duduk!" Ia nampak salah tingkah lagi. Hal yang membuat hatiku jadi tidak nyaman bila dia begini. "Resepsionis yang mengantarkan." Aku menjawab sembari duduk di sofa."Oh iya." Ia manggut dengan bola mata tak henti bergerak.Aku semakin curiga dengan ekspresinya. "Sepertinya Pak Hans sedang gelisah sekali? Ada hal buruk 'kah?" Bola matanya tak menatapku fokus. Semuanya membuatku semakin penasaran. Kenapa aku menduga dialah yang akan merusak rumah tanggaku. Untuk apa juga dia pindah rumah ke tempat yang dekat dengan rumahku? Tapi aku tak bisa suudzon begini. Harus benar-benar dicari bukti terlebih dahulu."Em, ada hal yang teramat pentingkah hingga langkah Pak Yoga sampai kemari?" tanyanya begitu resah. Tapi ada sandiwara persembunyian di baliknya."Oh tak ada apa-apa. Kebetulan saya hari
Betapa kagetnya aku, ada KTP rekan bisnisku di layar. Dengan jelas kutatap foto dan juga nama lengkap. Benar sekali, tak ada yang salah."Hans Putra Baskhara," batinku kaget.Aku zoom kembali lebih detail. Aku juga melihat lagi file lain, siapa tahu salah buka, ternyata tidak. Benar-benar identitas Hans kudapat.Ada sosial media juga yang terpaut dengan nomor asing itu. Semua wajah rekan bisnisku. Ini benar-benar membuatku bertanya-tanya. Bukankah kemarin Risma memalsukan atas nama Hans? Lalu istriku menyelidiki hingga identitas Risma dan suaminya itu terbukti? Sekarang?Apa mungkin ini bukti palsu? Gegas kuhubungi kembali si orang suruhan. Dia yakin 100%, data yang ia dapat dari nomor tersebut itu benar. Tidak ada yang keliru. Aku jadi geleng-geleng kepala. Setelah dipikir-pikir, hari ini lebih baik aku datang pada Hans. Perusahaan cabangnya yang baru berdiri itu akan kuhampiri. Mungkin dia bisa memberikan penjelasan atas semu
PoV Yoga***Sekarang di rumah ada Oma. Ia katanya ingin tinggal di sini sampai istriku melahirkan nanti. Biasalah, orang tua selalu banyak sekali aturan dan juga soal pantrangan. Kupikir dulu dia juga melakukan hal yang sama pada anak dan cucunya, dan sekarang istriku. Oma akan berada di sini untuk menjaga istri dan jabang bayiku. Mungkin lebih ke ingin menemani.Itu kata Oma, yang aku pikir di sini Oma lebih ke menginginkan peraturan baru. Dia sepertinya ingin mencaritahu bagaimana istriku kesehariannya lebih detail. Kutahu, Oma selalu menginginkan semua hal itu sempurna.Di sisi lain datangnya Oma membuatku gembira. Jadinya, aku juga bisa melihat dan menjaga dia lebih dekat lagi. Bukan hanya bertemu setahun sekali atau dua kali saja.Usianya sudah sepuh sekali. Kalau tak salah, sudah lebih dari 78 tahunan. Begitu katanya. Dengan usia demikian, dia masih mampu berjalan tegap walaupun tak secepat sewaktu masih muda. Kadang aku berpikir,