"Benarkah dia terlihat senang?"
Refi langsung menelepon Louis hari itu setelah ia memberikan sepeda motornya pada Hanna. Refi pun melapor bagaimana wajah sumringah Hanna."Benar, Bos! Wajahnya berseri-seri dan dia terus berterima kasih, tapi awalnya dia ragu karena takut Bu Indira akan marah."Louis mengembuskan napas panjangnya. "Ini tidak ada hubungannya dengan Indira. Tapi baguslah kalau sudah selesai. Awasi dia! Jangan sampai dia genit pada pria lain lagi! Aku harus menemani Samuel ke luar kota mendadak.""Baik, Bos! Tenang saja!"Louis segera menutup teleponnya, tapi entah mengapa sebuah senyuman terbit di wajahnya memikirkan Hanna yang kegirangan mendapat sepeda motor baru.Namun, secepat pikiran itu muncul, secepat itu pula Louis menggeleng."Anggaplah aku sedang berbuat baik untuk orang yang membutuhkan, walaupun orang itu sangat tidak tahu terima kasih," gumam Louis gemas, sebelum ia kembali berkutat dengaHanna sontak membalikkan tubuhnya lagi ke arah Louis sambil membawa kedua tangannya ke belakang menutupi bercaknya. Jantungnya berdebar kencang dan ia masih sangat malu. Tadi saat ia sibuk bekerja, Hanna merasa seperti ada yang keluar dan tidak nyaman, tapi ia belum sempat ke toilet dan tidak terlalu perhatian lagi, apalagi sepertinya ini belum tanggalnya. "Itu ... sekali lagi maafkan aku, Pak. Tidak seharusnya Anda melihat ini! Aku ...." Hanna tampak salah tingkah, begitu juga dengan Louis. Namun, Louis akhirnya menawarkan hal yang tidak terduga. "Mungkin kau butuh ... pembalut?" Louis tidak tahu apa yang merasukinya sampai ia menawarkan itu, tapi Louis langsung bergerak cepat dan keluar dari ruangannya. "Belikan pembalut untuk Hanna, Refi!" "Eh, apa? P-pembalut?" Refi membelalak tidak percaya. "Kau sudah mendengarku kan? Pembalut yang dipakai wanita untuk datang bulan! Cepatlah!"
Hanna menyetir motornya dengan pikiran penuh malam itu. Ucapan Louis tentang mengakhiri semuanya benar-benar melekat di otaknya. Bisakah semuanya diakhiri semudah itu? Hanna terikat perjanjian dengan Indira dan ia sudah menerima uangnya. Gio pun sudah dioperasi. Bukankah itu berarti Hanna harus berjuang lebih keras untuk hamil agar bisa membayar hutangnya? Oh, rasanya seperti anti klimaks, karena alih-alih hamil, Hanna malah datang bulan. Air mata Hanna pun menetes dan angin yang menerpa wajahnya pun menerbangkan air matanya. Mendadak Hanna merasa kecewa karena ia tidak bisa langsung hamil. Sementara itu, Indira masih mengepalkan tangannya geram mendengar laporan tentang Louis yang membelikan Hanna sepeda motor baru. "Sepeda motor baru?" Indira tertawa kesal. "Kau yakin Louis yang membelikan Hanna sepeda motor baru?" "Pak Louis mengantar Hanna ke rumah sakit lalu dalam perjalanan pulang, Pak Louis sendiri yang pergi ke deal
"Apa kau sadar apa yang kau katakan tadi, Indira?" Alih-alih berhasil mengambil hati suaminya dengan makan bersama, Indira malah mendapat kemarahan Louis setelah acara makan malam itu selesai. Louis dan Indira pulang sendiri-sendiri dengan mobil mereka dan saat ini keduanya sudah berdua di kamar mereka. "Apa maksudmu, Louis?" "Kau bilang setuju Hanna bersama Samuel? Samuel itu adikku, Indira!" "Apa salahnya, Louis? Mereka sama-sama single dan kalau mereka mau bersama, aku akan merestuinya." "Kau masih bertanya apa salahnya, hah? Kau membayar Hanna untuk menjadi ibu pengganti kita, Indira. Dan kau menyodorkan Hanna untuk Samuel? Kau pikir aku akan membiarkan Samuel bersama wanita yang sudah pernah ...." "Tidur denganmu?" Louis mengembuskan napas beratnya. "Ya, Hanna pernah tidur denganku dan aku tidak akan membiarkan adikku bersamanya." Louis sudah melotot kesal, tapi Indira menanggapinya dengan tetap tenang. "Kalau begitu bagaimana dengan Dokter Martin saja? Kulihat Dokter M
Satu minggu berlalu, baik Louis maupun Indira kembali disibukkan dengan pekerjaannya masing-masing. Indira harus ke luar kota dan mereka tidak sempat berbagi kemesraan lagi. Begitu juga dengan Hanna yang sibuk menyelesaikan pekerjaannya di kantor. Ia berdebar setiap hari takut Indira akan membahas tentang dirinya yang datang bulan dan gagal hamil, tapi anehnya, Indira tidak membahasnya sama sekali dan malah pergi ke luar kota begitu lama. Namun, Hanna juga tidak memikirkannya lagi karena ada masalah yang lebih serius untuk ia pikirkan."Permisi, Bu Hanna! Ada pesan dari administrasi untuk melunasi tagihan rumah sakit," seru seorang suster saat Hanna menjenguk Gio malam itu. Kondisi Gio membaik dengan cepat. Setelah Gio dipindahkan dari ICU ke kamar rawat inap biasa, Gio pun dengan cepat diijinkan untuk rawat jalan. Hanya saja, Hanna belum bisa melunasi tagihan rumah sakitnya. "Ah, iya, aku akan ke sana nanti." "Baiklah, per
"Hai, Hanna! Senang bertemu denganmu di sini!" Samuel menyapa Hanna saat makan malam di restoran resort. Makanan disajikan ala buffet dan para karyawan pun berbaur dengan akrab, termasuk Samuel yang berkenalan dengan beberapa karyawan. "Pak Samuel, Anda juga ikut ke sini," sapa Hanna sopan. "Tentu saja! Aku adalah calon pemenang, Hanna. Haha." "Ah, untung saja kategori juaranya berbeda antara pria dan wanita karena aku pasti tidak akan menang melawan Anda." Samuel tergelak mendengarnya. "Haha, kau juga bersemangat menang ternyata. Kupikir kau hanya sekedar ikut meramaikan." "Ah, kebetulan aku sedang butuh uang, Pak." Samuel menaikkan alisnya dan sedikit canggung sejenak. "Ah, begitu ya? Kalau begitu semoga kau menang besok. Tapi aku sempat melihat medannya dan sama sekali tidak mudah. Apa kau sudah biasa berlari?" Hanna mengangguk. "Aku juara lari saat masih sekolah dulu, Pak." Samuel antusias
"Louis, tunggu aku! Mengapa kau berlari begitu cepat?"Indira dan Louis ikut berlari bersama peserta lain, mereka juga berolahraga, tapi Indira punya rute shortcut sendiri untuk kembali tanpa harus menyelesaikan sembilan kilometer.Louis terus berlari meninggalkan istrinya di belakang."Kalau tidak cepat, kita akan jauh tertinggal, Indira!""Memangnya kenapa kalau kita tertinggal?" bentak Indira sambil berhenti berlari. "Bukankah kita juga tidak sedang memperebutkan hadiah? Kita yang memberikan hadiah itu, memangnya kenapa kalau kita tertinggal? Kita juga bisa kembali tanpa harus menyelesaikan rutenya."Louis ikut berhenti sambil terus melongok ke depan dan berdecak kesal, seolah ada sesuatu di depan sana yang harus ia raih, sampai Indira pun tidak tahan lagi."Siapa yang kau lihat di depan? Kau mengejar Samuel? Atau Hanna?" geram Indira akhirnya dengan begitu kesal.Louis pun mengembuskan napas pan
"Selamat, Hanna!""Terima kasih! Terima kasih!"Acara hash akhirnya selesai. Pembagian hadiah pun langsung diberikan saat itu juga, segera setelah semua orang tiba di garis finish.Indira yang diwakilkan oleh GM perusahaan memberikan hadiah berupa uang tunai pada Hanna dan Samuel. Hanna terus tertawa sumringah dan menyimpan uangnya baik-baik, sedangkan Samuel awalnya menolak hadiahnya karena uang puluh juta tidak ada arti baginya.Namun, karena itu sudah aturan acara, Samuel pun menerimanya.Acara berlanjut dengan makan siang bersama dan para karyawan pun tidak berhenti memberi selamat pada Hanna."Sekali lagi, selamat, Hanna! Bagaimana kau melakukannya? Kau berlari begitu cepat jauh meninggalkan kami!""Aku hanya berlari dan berlari tanpa menoleh ke belakang. Ini karena Pak Samuel yang terus memberiku semangat!"Hanna dan teman-temannya pun makan dengan bahagia, tanpa sadar bahwa
Louis sudah uring-uringan sejak pagi, sejak hash berlangsung, sejak Samuel dan Hanna berpelukan setelah hash berakhir, ditambah Indira yang memperlakukan Hanna semena-mena. Ya, Louis melihat semuanya dan ia ingin sekali menegur istrinya, tapi ia tidak bisa. Selain karena ada banyak karyawan di sana, orang-orang yang duduk di meja bersama Indira juga adalah para manager perusahaan. Louis cukup tahu diri untuk menjaga harga diri istrinya di sana, walaupun ia ingin sekali menarik istrinya pergi dan memarahinya. Sepanjang hari, Louis pun mencari cara mendekati Hanna, bicara dengan wanita itu tanpa ketahuan, tapi tidak bisa. Hingga akhirnya, begitu tahu Susan ijin pulang duluan, Louis pun mencari Hanna ke kamar wanita itu. Namun, ia malah melihat pemandangan yang membakar amarahnya. Samuel sedang berdiri di depan pintu kamar Hanna dan mengobrol sambil tertawa. Samuel menyodorkan amplop uang hadiah hash tadi, tapi Hanna terlihat menolaknya. Pasti ada alasan Hanna menolak uang itu dan p
"Lari, Hanna! Kau agak lemas pagi ini!" Samuel dan Hanna sedang jogging pagi itu. Rute mereka adalah memutari kawasan resort sampai keluar ke jalan, lalu kembali lagi ke resort. Samuel pun begitu kuat berlari, sedangkan Hanna lebih sering berjalan atau kadang membungkuk. Pegal kuadrat karena hash dan karena digempur Louis membuat Hanna butuh waktu recovery lebih lama. "Maafkan aku, Samuel! Aku masih kelelahan karena kemarin." Samuel tergelak. "Haha, orang yang tidak biasa olahraga memang begitu. Tapi baiklah, kita berjalan saja kalau kau terlalu lelah." "Hmm!" Hanna mengangguk dan akhirnya mereka pun melangkah bersama sampai mereka sudah hampir tiba kembali di lokasi resort. Samuel melangkah mendului Hanna masuk ke kawasan resort. Hanna pun masih mengikutinya saat tiba-tiba sebuah sepeda motor melaju begitu cepat di samping Hanna. Hanna tersentak dan bergeser ke samping, menghindari terlalu dekat dengan sepeda motor itu, tapi ia malah memekik kaget saat kakinya menginjak sesua
"Sial! Berani-beraninya mereka berselingkuh di belakangku!" Indira terus melangkah kembali ke kamarnya dengan perasaan yang kacau. Sebisa mungkin, ia bersikap tenang seolah tidak terjadi apa-apa. Namun, begitu tiba di kamar dan menemukan kamarnya tetap kosong, Indira pun kembali marah. Samar-samar ia merasakan aroma sabun dan parfum Louis. Suaminya itu baru saja mandi dan dalam sekejap pergi lagi tanpa menunggunya. "Akhh!" pekik Indira yang menyambar semua barang di atas meja dan membuangnya ke lantai. Napas Indira tersengal karena amarah dan bayangan bagaimana berantakannya ranjang Hanna membuat Indira makin marah. "Berani sekali kau tidur dengan suamiku tanpa memberitahuku, Hanna! Tanpa ijinku! Bahkan, kau membohongi aku seolah aku tidak tahu kalian bersama! Sial!" geram Indira lagi. Indira pun berakhir duduk dengan kesal, menantikan Louis yang tidak kunjung kembali juga ke kamar. Tanpa ia ketahui, Louis sendiri memang kembali ke kamar dan ia pun bertanya-tanya di mana Indir
Indira mencari Louis pagi itu. Tidak benar-benar mencari karena rasa marahnya pada Louis membuatnya menyenangkan dirinya dengan cara lain sepanjang malam. Indira tidak tidur di kamarnya tadi malam, tapi Indira sudah membayangkan bahwa Louis akan mencarinya dan merasa bersalah, apalagi ia juga tidak mengangkat telepon dari suaminya itu semalam. Namun, saat ia kembali ke kamar, ia melihat ranjangnya begitu rapi, tidak terlihat tanda-tanda Louis tidur di sana semalam. Alih-alih mencarinya, Louis malah ikut menghilang. Indira geram dan mendadak mencari suaminya menyusuri koridor di resort. Hingga langkah kakinya terhenti saat ia melihat Louis keluar dari satu kamar yang Indira tahu adalah kamar Hanna.Tangan Indira terkepal dan setelah Louis menghilang, ia buru-buru mengetuk pintu kamar itu. Hanna sendiri masih mengira Louis yang mengetuk pintunya, tapi saat ia membukanya, ia langsung membelalak melihat siapa yang berdiri di sana. "B-Bu Indira?" "Itu ... selamat pagi, Bu Indira!" s
Louis bangun dari tidurnya yang sangat berkualitas pagi itu. Rasa lelah ditambah rasa puas membuatnya tidur begitu nyenyak. Tubuhnya mulai terbiasa dengan rasa tubuh dan aroma Hanna yang membuat ia merasa sangat nyaman. Perlahan, Louis membuka matanya dan dengan cepat, ia menemukan wanita yang sedang meringkuk di pelukannya. Awalnya Louis tersentak melihat Hanna, tapi sedetik kemudian, wajah cantik Hanna membiusnya. Wajah manis itu tenang seperti bayi yang kelelahan. Louis tahu Hanna pasti lelah melayani hasratnya yang sangat liar semalam. "Baiklah, tidurlah dulu!" bisik Louis sambil meraih helaian rambut Hanna dan menyingkirkannya dari wajah wanita itu. Louis terus menatap wajah itu sampai kesadarannya membuat ia menggeram lagi. "Sial! Perselingkuhan benar-benar terjadi dan kau benar-benar menginginkan wanita lain selain istrimu! Dan sialnya lagi kau menikmatinya!" geram Louis. "Tapi entahlah! Nyatanya Hanna juga istriku, seharusnya ini bukan selingkuh!" Louis menggertakkan gi
"Mmpphh, Pak Louis ...." Suara Hanna teredam oleh ciuman Louis yang datang tiba-tiba, tajam dan memburu. Bibir mereka bertumbuk dengan kasar, penuh tuntutan. Louis menahan tubuh Hanna erat di pelukannya. Satu lengannya mengunci pinggang wanita itu, satu lagi menangkup tengkuk, jemarinya menekan kulit sensitif di sana, memaksa Hanna menerimanya. Tubuh Hanna tegang, ia berusaha tidak membalas ciuman Louis dan berniat berteriak, tapi Louis malah memanfaatkan kesempatan saat bibir Hanna terbuka untuk memperdalam pagutannya, menjelajahi mulut wanita itu dengan gerakan penuh kelaparan. Dalam kepanikan, tangan Hanna menekan dada Louis, mendorong, tapi pria itu benar-benar sekeras batu. Louis menciumi Hanna seperti pria yang kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Seperti seseorang yang menemukan oasis setelah berhari-hari tersesat di padang pasir. Hanna berusaha tetap sadar, berusaha mengingat siapa dirinya, di mana ia berada. Tapi bibir Louis ... tangan Louis ... aroma tubuhnya ... semua
Louis sudah uring-uringan sejak pagi, sejak hash berlangsung, sejak Samuel dan Hanna berpelukan setelah hash berakhir, ditambah Indira yang memperlakukan Hanna semena-mena. Ya, Louis melihat semuanya dan ia ingin sekali menegur istrinya, tapi ia tidak bisa. Selain karena ada banyak karyawan di sana, orang-orang yang duduk di meja bersama Indira juga adalah para manager perusahaan. Louis cukup tahu diri untuk menjaga harga diri istrinya di sana, walaupun ia ingin sekali menarik istrinya pergi dan memarahinya. Sepanjang hari, Louis pun mencari cara mendekati Hanna, bicara dengan wanita itu tanpa ketahuan, tapi tidak bisa. Hingga akhirnya, begitu tahu Susan ijin pulang duluan, Louis pun mencari Hanna ke kamar wanita itu. Namun, ia malah melihat pemandangan yang membakar amarahnya. Samuel sedang berdiri di depan pintu kamar Hanna dan mengobrol sambil tertawa. Samuel menyodorkan amplop uang hadiah hash tadi, tapi Hanna terlihat menolaknya. Pasti ada alasan Hanna menolak uang itu dan p
"Selamat, Hanna!""Terima kasih! Terima kasih!"Acara hash akhirnya selesai. Pembagian hadiah pun langsung diberikan saat itu juga, segera setelah semua orang tiba di garis finish.Indira yang diwakilkan oleh GM perusahaan memberikan hadiah berupa uang tunai pada Hanna dan Samuel. Hanna terus tertawa sumringah dan menyimpan uangnya baik-baik, sedangkan Samuel awalnya menolak hadiahnya karena uang puluh juta tidak ada arti baginya.Namun, karena itu sudah aturan acara, Samuel pun menerimanya.Acara berlanjut dengan makan siang bersama dan para karyawan pun tidak berhenti memberi selamat pada Hanna."Sekali lagi, selamat, Hanna! Bagaimana kau melakukannya? Kau berlari begitu cepat jauh meninggalkan kami!""Aku hanya berlari dan berlari tanpa menoleh ke belakang. Ini karena Pak Samuel yang terus memberiku semangat!"Hanna dan teman-temannya pun makan dengan bahagia, tanpa sadar bahwa
"Louis, tunggu aku! Mengapa kau berlari begitu cepat?"Indira dan Louis ikut berlari bersama peserta lain, mereka juga berolahraga, tapi Indira punya rute shortcut sendiri untuk kembali tanpa harus menyelesaikan sembilan kilometer.Louis terus berlari meninggalkan istrinya di belakang."Kalau tidak cepat, kita akan jauh tertinggal, Indira!""Memangnya kenapa kalau kita tertinggal?" bentak Indira sambil berhenti berlari. "Bukankah kita juga tidak sedang memperebutkan hadiah? Kita yang memberikan hadiah itu, memangnya kenapa kalau kita tertinggal? Kita juga bisa kembali tanpa harus menyelesaikan rutenya."Louis ikut berhenti sambil terus melongok ke depan dan berdecak kesal, seolah ada sesuatu di depan sana yang harus ia raih, sampai Indira pun tidak tahan lagi."Siapa yang kau lihat di depan? Kau mengejar Samuel? Atau Hanna?" geram Indira akhirnya dengan begitu kesal.Louis pun mengembuskan napas pan
"Hai, Hanna! Senang bertemu denganmu di sini!" Samuel menyapa Hanna saat makan malam di restoran resort. Makanan disajikan ala buffet dan para karyawan pun berbaur dengan akrab, termasuk Samuel yang berkenalan dengan beberapa karyawan. "Pak Samuel, Anda juga ikut ke sini," sapa Hanna sopan. "Tentu saja! Aku adalah calon pemenang, Hanna. Haha." "Ah, untung saja kategori juaranya berbeda antara pria dan wanita karena aku pasti tidak akan menang melawan Anda." Samuel tergelak mendengarnya. "Haha, kau juga bersemangat menang ternyata. Kupikir kau hanya sekedar ikut meramaikan." "Ah, kebetulan aku sedang butuh uang, Pak." Samuel menaikkan alisnya dan sedikit canggung sejenak. "Ah, begitu ya? Kalau begitu semoga kau menang besok. Tapi aku sempat melihat medannya dan sama sekali tidak mudah. Apa kau sudah biasa berlari?" Hanna mengangguk. "Aku juara lari saat masih sekolah dulu, Pak." Samuel antusias