Andrinof, Keenandra dan Amira berada di satu ruangan yang sama. Andrinof memegang bunga di tangannya, Keenandra tengah menggendong Amira naik ke ranjang. Ketiganya terdiam saling berpandangan satu sama lain. Tak pelak, pemandangan ini membuat Sam dan Citra yang berdiri di luar pintu menutup mulut mereka menahan tawa yang mungkin sebentar lagi akan meledak. Andrinof dengan beraninya masuk ke dalam kamar, tak peduli dengan pelototan Keenandra yang menyuruhnya keluar dari sana. Ia malah sengaja duduk di tepian ranjang lalu memberikan bunga tadi untuk Amira. Keenandra menahan geraman di giginya. Jika bukan karena Amira, sepupunya yang tak tahu diri ini akan ditendangnya keluar dari kamar. "Amira, maaf baru bisa datang." Andrinof menyerahkan bunga mawar itu pada Amira. Harum semerbak wangi bunga itu terhirup oleh Keenandra yang berdiri di sebelahnya. Amira melirik kekasihnya setelah menerima bunga itu, memperhatikan setiap sudut matanya yang menatap tak suka pada Andrinof. "Terima kasi
Amira duduk di tengah, di samping kiri dan kanannya ada Andrinof juga Keenandra. Keduanya tak ada yang mau mengalah memperebutkan perhatian dari wanita cantik itu. Mereka sama kuat, Andrinof yang sengaja mengambilkan makanan untuk Amira sedangkan Keenandra mengambilkan minumannya. Amira tersenyum canggung melihat antusias keduanya. Wajah mereka terlihat serius tanpa suara dan kata. Sebaliknya, dua orang yang duduk berseberangan dengan mereka malah tertawa gelielihat interaksi aneh ketiganya. "Haha. Dua orang sedang berlomba berebut perhatian," sindir Sam. "Siapa kak Sam?" Citra yang polos bertanya pada Sam. "Itu. Andrinof dan Keenan sedang berebut perhatian dari Amira. Kubu mana yang akan menang?" Citra memang sejak tadi memperhatikan kedua pria itu. Saat Amira sedang makan, maka Andrinof mengambilkan potongan ayam dan sayuran lalu saat ia tersedak, Keenandra mengambilkan minuman. "Tidak apa-apa kak Sam. Mbak Amira memang pantas mendapatkan perhatian dari orang yang dia sayang,"
Amira sudah mulai menjalankan aktivitasnya seperti biasa. Pagi sekali ia bangun dan duduk di meja makan sembari menunggu makan pagi yang sedang disiapkan oleh Citra. Hari ini, ia akan kembali bekerja secara penuh di kantor. "Cit, kemarin di kantor enggak terjadi apa-apa kan?" tanya Amira sambil menggerakkan kursor di laptopnya. Citra yang masih memanggang waffle menoleh lalu mengangguk. "Saya mau lihat updatenya." "Sudah saya kirim mbak. Kirim ke email biasa," sahut Citra. Amira langsung mengecek email yang biasa Citra kirimkan. Tidak ada yang aneh di sana. Setelah memastikan semuanya beres, ia pun menutup laptopnya. "Nanti kamu tolong cek lagi persiapan untuk launching produk kita di media sosial. Saya sudah kirim eskalasinya." "Yang parfum mbak?" Amira mengangguk. "Terakhir saya cek sudah siap mbak. Tinggal nunggu approval." "Ok. Nanti saya akan langsung tanda tangani semuanya." Citra menaruh piring waffle dan j
Surat undangan perceraian telah tiba di tangan Aletta. Setelah membuka dan membacanya, ia tak henti-hentinya meracau. Emosinya kembali meledak. Semua barang yang ada di depannya jadi sasaran amukan kemarahanmya. "Arrgghh.." teriak Aletta. Ruangan belakang rumah jadi sasarannya. Vas, meja semuanya hancur seketika diamuk oleh Aletta yang tak terima dengan keinginan sepihak dari Keenandra untuk mengakhiri pernikahan mereka yang baru berjalan empat bulan. "Aku tidak mau bercerai!" teriakan Aletta sampai di telinga Sonia yang baru saja masuk ke dalam rumah. "Ada apa?" tanyanya khawatir. "Astaga! Aletta!" ia memekik begitu melihat barang-barang berserakan di lantai, hancur lebur diamuk Aletta. "Ma, tolong bantu Aletta." Aletta merengek seperti anak kecil. "Aletta tidak mau bercerai. Bantu Aletta, Ma." "Kamu kenapa sih? Kalau Keenan sudah tidak cinta sama kamu, ya tinggalin saja." Aletta terus merengek dan meracau tak jelas. Ia te
Semua terasa nyata. Sentuhan Keenandra membuat Amira mabuk kepayang hingga rasanya ingin melayang. Keenandra berhasil membangkitkan gairah yang telah memusat pada pusat tubuh Amira. Satu hentakan pelan telah membuatnya mengerang nikmat. "Ahhh..Keenan." Amira menggigit bibir bawahnya, menahan desahan yang keluar dari mulutnya. "Jangan ditahan, Amira." Atensi Amira teralihkan pada tubuh Keenandra yang kini berdiri tegak di depannya. Pria itu mengambil sesuatu dari balik lacinya. Dahi Amira menukik, dalam pikirnya apakah Keenandra akan memakai pengaman kali ini. Ternyata tidak. Entah apa yang sedang dipakai kekasihnya, tapi itu terlihat seperti sebuah cairan bening. Amira tak bertanya apa yang tadi dipakai oleh Keenandra, karena setelahnya pria itu kembali mengukung tubuh mungilnya. Pinggul Keenandra turun merendah lalu tertahan sebentar, menarik pinggul Amira hingga terdengar pekikan dari bibirnya. Tak lama kemudian, terdengarlah geram
Dua minggu setelah surat perceraian itu sampai ke tangan Aletta, persidangan pun dimulai. Sepasang suami istri itu masuk ke dalam ruangan sidang tanpa bertegur sapa. Aletta tampak murung, duduk di kursi tengah sambil menundukkan kepalanya. Tangannya terus mengusap air mata yang jatuh ke pipinya karena tak kuasa menahan sakitnya diceraikan. Ia tak pernah mengira, pernikahan pertamanya telah hancur karena ulah orang ketiga yaitu kakak angkatnya sendiri. Berbeda dengan Aletta, Keenandra yang juga duduk di kursi tengah terus melebarkan senyum menawannya. Seolah tak ada beban, ia juga melambaikan tangannya ke arah saksi dan juga wartawan yang ikut menghadiri sidang perceraiannya. Pembacaan pengajuan cerai oleh Keenandra dibacakan oleh hakim. Seluruh saksi sidang mendengarkan dengan seksama. Ada satu hal yang unik, selama ini Keenandra merasa terpaksa menjalani pernikahan atas dasar kebohongan dari pihak keluarga Aletta yang merekayasa surat perjanjian tersebut.
Amira dan Keenandra hanya diam menghabiskan waktu sore ini berdua di balkon apartemen bertemankan minuman hangat. Keduanya memandangi langit biru Jakarta yang tampak berawan dengan hiasan matahari tenggelam di ujung barat. Amira mengembuskan napas lelahnya. Memikirkan peristiwa tadi pagi, membuatnya kehilangan banyak tenaga untuk melanjutkan aktivitasnya. "Kamu lelah?" Keenandra menoleh ke arah kanannya, melihat Amira yang menguap. Mata kekasihnya itu berkaca-kaca. "Kita masuk, yuk." Amira menggelengkan kepalanya. "Aku, masih ingin di sini." "Sudah sore. Aku akan masak makan malam untuk kita." Keenandra mengulurkan tangannya lalu menggandeng Amira masuk ke dalam. Amira pun terpaksa menurutinya. Keenandra masuk ke dapur. Amira sama sekali tak diizinkan untuk menyentuh semua bahan makanan karena katanya, hari ini ia akan memasak makanan kesukaan mereka berdua. "Keenan." suara pisau itu berhenti. Si pemilik nama menoleh ke bel
"Kamu tidak apa-apa?" Amira mengangguk. Wajah murung kekasih tercinta membuat Keenandra ikut bersedih melihatnya. Tangannya yang mengepal digenggam erat olehnya. Tangan itu gemetar dengan keringat yang membekas di ruas jarinya. "Maaf ya, seharusnya aku bisa tahu apa yang akan dikerjakannya." "Tidak apa-apa. Seharusnya aku pasang pengumuman agar dia tak bisa datang ke kantorku." Amira membuka kembali lembar kerjanya. Matanya kembali fokus pada layar laptopnya mengabaikan ocehan Keenandra yang tiada henti. "Aku akan kembali ke kantor. Kalau kamu merasa terganggu oleh Aletta, kamu bisa kerja sementara di kantor aku. Bagaimana?" usul Keenandra yang ditolak mentah-mentah oleh Amira. "Tidak. Aku bisa mengatasinya sendiri. Bagaimana dengan perceraianmu, ada perkembangan?" Keenandra menggelengkan kepalanya. Amira menghela napas berat. "Sudah kuduga." "Hakim memutuskan untuk mediasi sebanyak tiga kali. Mama menginginkan aku rujuk tapi aku tidak bisa."
"Dia pikir dia siapa?" Anna memukul meja kayu di ruangan kerja Bara setelah diusir oleh Keenandra dari ruangannya. Matanya memerah marah dengan emosi yang hampir saja tak bisa dikendalikannya. Niatnya untuk mendekati mantan kekasihnya hilang dalam sekejap karena kata-kata kasar pria itu. "Ternyata dia makin jauh sekarang. Aku pikir, dia hanya singgah sementara lalu akan kembali padaku." Anna memejamkan mata sambil berjalan mengitari ruangan kerja itu. Kepalanya berpikir banyak hal dan cara agar Keenandra mau menerima kehadirannya lagi. Dulu, Keenandra adalah satu-satunya pria yang mau berteman dengannya saat masih sekolah. Dia adalah pria yang selalu memberikan tangannya untuk diraih saat sedang ada masalah. Namun, semenjak orangtuanya tahu tentang hubungan mereka dan mengancam masa depan, mereka pun berpisah. Anna tak tahu apa yang terjadi di tahun berikutnya. Sejak mereka putus, Anna memilih menyingkir dari hidup Keenandra dan tak menunjukkan wajahnya lagi. "Apa yang harus kul
Berita kebahagiaan pasangan Keenandra dan Amira tersebar luas di media. Setelah hampir satu bulan merahasiakan peristiwa percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh Aletta, kini mereka siap untuk mempublikasikan semuanya tanpa perantara siapapun. Keenandra duduk tegap diantara banyak media yang hadir. Matanya menatap satu kamera yang mengarahkannya untuk berbicara sesuai dengan yang ingin dibicarakan. "Hari ini, saya ingin menyampaikan kebenaran berita yang telah simpang siur di berbagai media dan pembicaraan dari mulut ke mulut. Mengenai rumor jika istri saya adalah perebut suami orang, itu tidak benar. Saya dan mantan istri menikah karena sebuah perjanjian." Keenandra menarik napas panjang sejenak lalu melanjutkan lagi kalimatnya. "Ketika saya menemukan jika surat perjanjian itu palsu, saya langsung menceraikannya. Sebelum saya menikah, saya sudah bertunangan dengan Amira dan gagal karena perjanjian palsu itu. Jadi, sudah selayaknya saya kembali kepadany
Sejak menghindar dari kejaran Maya, hidup Citra menjadi sedikit tenang sekarang. Tak ada lagi yang mengusiknya hingga menjelang pernikahannya bulan depan. Mungkin saja wanita itu memilih menghindarinya juga karena ancaman dari Sam beberapa waktu lalu. Maya adalah tipe wanita yang tak takut dengan apapun, kecuali kakeknya. Sam mengatakan, dirinya akan mengadu pada kakek Maya jika terus menerus menganggu kehidupannya. Namun, semuanya tak bertahan lama. Maya tiba-tiba saja muncul di kantor Amira dengan senyuman lebarnya. "Hai, Citra," sapanya dari jauh. Citra terdiam, hanya membalas sapaannya dengan lambaian tangannya. "Kita makan siang di luar. Aku mau ajak kamu ke resto yang dulu pernah kamu rekomendasikan." 'Kapan aku rekomendasi resto?' pikir Citra dalam hati. "Ehm, aku mau makan siang sama mas Sam," tolak Citra. "Yah, sayang sekali. Tapi, aku enggak masalah kok makan bersama kalian," ujar Maya tanpa malu-malu. "Tapi mas Sam akan marah. Sebaiknya mbak Maya jangan ikut bersama
Bukan Maya namanya jika menyerah begitu saja. Setelah ditolak mentah-mentah oleh Citra, dia bukannya pergi dari kehidupan wanita itu. Maya malah semakin gencar mendekati bahkan melebihi intensitas kedekatannya dengan Sam sebagai kekasihnya. Citra tak bisa berkutik jika sudah berhadapan dengan Maya. Semua kalimat penolakannya selalu berhasil dihempaskan oleh wanita itu. Saat Citra berpura-pura sedang sakit, Maya datang ke rumahnya. Hal itu membuat Citra risih hingga membuatnya terpaksa menginap di apartemen milik Sam untuk sementara. "Maya tak akan tahu apartemen ini kan?" tanya Citra yang dijawab anggukan oleh Sam. Citra bisa menghela napas lega. Pengawasan di apartemen mewah milik Sam sedikit membuatnya aman. Tak bisa sembarang orang masuk. Sam hanya memberikan kartu tanda pemilik pada Citra sekalian dengan kodenya. "Kamu harus tegas. Bilang saja kalau kamu akan menikah bulan depan," ujar Sam kesal. "Aku sudah tegas. Kurang tegas apalagi aku,
"Amira!" Seseorang muncul dari balik pintu kamar lalu berlari menghampiri Amira yang sedang berbincang serius dengan Keenandra. Matanya terbelalak kaget, bibirnya menganga heran. Maya, wanita yang baru saja datang itu memang tak pernah bertemu dengan Amira selama lebih dari lima tahun sejak kepergiannya ke Kanada bersama Sam. "Masih ingat sama aku?" Amira melengos tak mau menatap Maya yang sejak tadi terkekeh melihat reaksi sahabatnya itu. "Aduh, ada yang marah sama aku nih." Maya mengambil duduk dekat Amira, menepuk-nepuk tangannya dengan lembut. "Maaf ya, aku tuh sedikit sibuk beberapa tahun ini. Kamu tahu kan, aku dan—" matanya melirik ke arah Sam yang sedang duduk di sofa tengah. Maya dan Sam memang tak pernah membicarakan pernikahan mereka. Bahkan tak mengundang semua sahabat dekat mereka di Jakarta. Ini semua karena memang pernikahan mereka adalah pernikahan yang dipaksakan. Maya tak masalah, toh dia juga tak peduli dengan semua itu. Nam
Setelah selesai berbulan madu dan menikmati keindahan Jepang, Andrinof dan Natalia langsung datang menjenguk Amira yang masih berada di rumah sakit. Menyusul kemudian Andrew dan Karina serta ibu mertua Amira yang juga baru pulang dari luar negeri. Mereka semua ramai-ramai mengunjungi cucu pertama keluarga Bara El Pasha yang telah dinantikan kelahirannya. Pasangan Andrinof dan Natalia membawa pakaian bayi yang sudah mereka pesan jauh-jauh hari, keluarga Andrew membawakan pakaian untuk Amira dan perlengkapan untuk pendukung asi. Sedangkan nyonya Marina membawakan vitamin dan jamu-jamuan tradisional untuk membantu memulihkan kesehatan. Mereka bergerombol masuk ke dalam ruangan VIP yang kini sudah penuh sesak. Semuanya antri ingin melihat cucu keluarga Bara El Pasha yang katanya tampan melebihi ayahnya. Itu kata Sam di grup keluarga. "Tampannya. Mirip kakeknya saat masih kecil," celetuk Marina. "Memangnya mama pernah lihat kakek masih kecil?" cibi
Amira tak dapat menahan kegembiraannya tatkala bertemu dengan putra pertamanya yang kini tengah berada di dalam gendongannya. Tubuh mungil selembut kapas itu tertidur. Wajahnya sangat tampan, putih bersih dengan hidung mancung yang diwarisi dari ayahnya. Kata Keenandra, saat matanya terbuka terlihat mirip sekali dengannya. Amira sangat senang. Setidaknya, ada satu kemiripan di wajah putranya itu walau hanya matanya saja. "Tampan ya. Mirip kamu semuanya," ujar Amira yang kini mencebikkan bibirnya. Sedikit kesal tapi ia senang. Keenandra tertawa lalu mencubit bibir istrinya yang menyenangkan itu. "Kalau mau yang mirip kamu, bikin lagi satu," celetuknya yang seketika mendapatkan cubitan di pinggang dari Amira. "Ngomongnya. Aku belum sembuh ya." "Nanti dong. Kalau si adek udah satu atau dua tahun." Amira tak menanggapinya. Namun ucapan Keenandra ada benarnya juga. Umur mereka tak lagi muda, tidak ada salahnya untuk kejar memiliki keturun
"Lepaskan! Lepaskan aku!" Aletta berteriak dari balik jeruji penjara yang kini membatasi ruang gerak-geriknya. Satu jam lalu, ia dinyatakan bersalah atas tuduhan perencanaan pembunuhan yang hampir membuat nyawa Amira melayang. "Lepaskan aku!" "Heh! Diam lo!" Aletta yang tadi berteriak nyaring seketika terdiam. Suara yang menggelegar baru saja, berasal dari belakang punggungnya. Perlahan ia menoleh, memperhatikan seseorang yang kini berdiri tegap sambil berkacak pinggang menatap padanya. Aletta meneguk salivanya. Nyalinya yang tinggi saat berada di luar penjara tiba-tiba hilang dalam sekejap mata. "Lu mantan artis yang enggak laku itu kan?" orang itu berjalan menghampiri Aletta. Besar dan tinggi bagaikan tiang, melebihi tinggi Aletta. "Kenapa masuk penjara lo?" "I-itu. Karena..." Aletta tergagap. Bibirnya bergetar ketakutan. Sudut matanya basah, rasanya ia ingin sekali menangis yang keras saat ini. "Kalau ditanya,
Tepat tiga hari setelah kejadian, polisi akhirnya turun tangan untuk menangkap Aletta di rumahnya. Saat siang hari Sonia baru saja selesai membereskan kekacauan yang disebabkan oleh amukan Aletta, kedatangan polisi ke rumahnya membuat segalanya kembali kacau. Matanya terbelalak melihat surat penangkapan yang diberikan oleh polisi. Tidak, ia tak percaya jika anaknya terlibat kasus pembunuhan berencana yang membuat nyawa Amira hampir melayang. "Anak saya tidak mungkin seperti itu, Pak. Anak saya selalu di rumah." Sonia mencegah pihak kepolisian masuk ke dalam rumahnya. Sonia tak ingin anaknya ditangkap. Aletta anak yang baik, itu pikirnya. "Silakan dibuktikan di kantor polisi dengan keterangan yang diberikan." Sonia menghalangi dengan merentangkan tangannya, ia tak rela anaknya dibawa oleh mereka. "Ibu, jangan menghalangi tugas kepolisian. Kalau ibu menghalangi, ibu bisa terkena pasal oleh kami karena menyembunyikan pelaku kejahatan." Sonia meng