Emi tertegun, namun kemudian ia mengangguk, “Iya Bu, pernah. Baik saya maupun Bill pernah ke sana mengawal bos, selain itu saya ada keluarga di Keystone jadi sekalian singgah sebentar.” “Apa kamu pernah bertemu langsung dengan keluarga Nathan?” tanya Nina lagi, ia merasa penasaran dan ingin mendapat informasi yang banyak mengenai keluarga Nathan. “Ya tentu, tapi tidak pernah komunikasi, hanya melihat sekilas.” Emi menjelaskan, ia harus berhati-hati, khawatir salah memberi informasi. Tugas seorang pengawal ya hanya mengawal, tidak berhak memberikan penilaian. “Apakah menurut pengamatanmu mereka baik?” selidik Nina lagi. “Wah kalau itu saya tidak bisa menilai, Bu. Karena baik atau buruk itu relatif, dari sudut mana seseorang melihatnya. Dan sebagai pengawal kami tidak berhak untuk menilai sesuatu, karena itu melampaui batasan kami.” Emi menjawab dengan diplomatis, ia khawatir Nina banyak tanya macam-macam yang ia sendiri tidak mempunyai hak untuk menjelaskannya. Untungnya Nina tidak
“Kalian kenapa? kompak sekali?” komentar Nina melihat tingkah Nathan dan Mike, gadis itu tidak bisa menahan tawanya. “Sayang, apa dia meminjam uang padamu dengan jaminan villa nya di New Jersey?” Nathan langsung menebak, ia sudah bisa meraba maksud cerita Nina. Nina menghela napas, lalu mengangguk. “Apa kamu tahu mengenai Villa nya itu?” tanya Nina menatap Nathan. “Tahu sedikit,” jawab Nathan. “Kalau tidak salah, itu villa yang diberikan kakeknya, nilainya hampir 2 juta.” “Wah, kakak ipar untung 2 kali lipat nih,” seloroh Mike. Nathan pun menanyakan surat perjanjian dari transaksi itu, Nina segera meminta Emi memberikannya, setelah memeriksa Nathan menyerahkan pada Mike. “Ini cukup valid, jika dalam seminggu ke depan dia tidak membayarkan pinjamannya, kakak ipar berhak menyita barang jaminannya.” Mike mengomentari keabsahan surat hutang piutang antara Sonya dan Nina. “Aku rasa dia tidak akan melepaskan Villa itu,” ujar Nathan. “Bagaimana kamu yakin?” Mike menatap Nathan. “Pert
“Mike, siapa yang menelpon?” tanya Nathan mempertegas, ia melihat Mike yang seperti orang linglung. “Sonya,” jawab Mike. “Pasti dia akan bertanya tentang kartunya yang kamu blokir, aku harus bilang apa?” “Bilang aja nggak tahu, segitu kok repot,” sahut Nathan santai. “Iya kamu bisa bilang begitu, kayak nggak tahu aja si nenek sihir itu,” gerutu Mike, “dia pasti bakal ngejar aku sampai dapat yang dia mau.” “Terserah kamu jawab apa aja, lawyer kan biasa mengecoh orang dengan kata-kata, masa kamu nggak bisa ngadepin dia.” Nathan kembali mengingatkan, “sebab kalau kamu hindari dia bakal semakin terus mengejar.” “Iya kalau sekedar pembicaraan gak masalah, kalau dia membuntuti aku supaya bisa ketemu kamu gimana?” Mike berpikir panjang, bagaimana pun ia tahu apa yang bakal dilakukan perempuan itu. “Ya udah kamu angkat saja dulu, yang lain nanti kita diskusikan lagi,” ujar Nathan. Mike menghela napas, baru saja ia akan mengangkat panggilan itu, namun sudah keburu berhenti. Mike bisa bern
“Halo Laura, kamu kenapa, Ra?” tanya Nina bingung, sementara di seberang telepon terdengar isakan Laura sangat sedih. “Nina ... hiks ...hiks,” sahut Laura, ia seakan tak bisa bicara apa-apa. “Iya Ra, ada apa?” tanya Nina lembut, “apa yang terjadi?” Nathan yang melihat wajah Nina dipenuhi kekhawatiran menghentikan makannya, ia memperhtikan kekasihnya yang sedang berbicara dengan sahabatnya. Sedangkan Mike, ia seolah tidak mendengar apa-apa, tak ada hal apa pun yang bisa mengalihkannya dari makanan enak. “Nin, Benny ... hiks ...hiks.” Laura kembali menangis, ia hanya bisa menyebutkan nama lelaki yang Nina tahu sebagai pacarnya. “Kenapa dengan Benny?” potong Nina cepat, namun Laura tidak bisa menjawab, tangisnya semakin memilukan. “Oke-oke, kamu di mana? aku akan ke sana,” ucap Nina pada akhirnya, sepertinya Laura menghadapi masalah yang sangat berat sehingga tidak mungkin untuk cerita via telepon. “Wind Bar,” sahut Laura singkat disela isaknya. “Ok, aku segera ke sana, kamu tunggu
Laura bertanya dengan penasaran, ia melihat sahabatnya menjadi sangat serius. Nina tak juga menjawab, kedua sahabat itu saling bertatapan. “Apa kamu nggak percaya sama aku, Nina?” tanya Laura, suaranya pun terdengar sangat serius. “Kita bersahabat sudah sangat lama, di ingatanku ini banyak terkubur rahasia-rahasia kita. Meskipun aku ini bawel dan suka nyerocos, tapi lidahku ini selalu punya rem untuk hal-hal yang menjadi rahasia.” Nina menghela napas dalam, “aku percaya sama kamu Ra, itu sebabnya aku mau cerita. Selama ini aku memang belum sempat cerita karena aku benar-benar nggak punya waktu dan benar-benar fokus ingin menyelesaikan project di Wils.” “Yah, projectmu di Wils benar-benar ngebut, seperti lagi ngejar sesuatu. Sebenarnya kalau standart aja baru akan selesai 2 bulan lagi, kamu memang sangat luar biasa Nin.” “Project itu juga berkaitan dengan rahasiaku, Ra.” “Apa? maksudnya bagaimana, Nin?” Laura benar-benar bingung, apa kaitannya project itu dengan rahasia Nina. “Kal
Nina tergopoh-gopoh menghampiri Laura, sahabatnya itu terdengar sangat ketakutan. “Ada apa, Ra?”Wajah Laura memucat, ia segera bersembunyi di belakang tubuh Nina. Nina melihat ke arah sosok pria di hadapannya yang juga sama bingungnya dengan Nina.“Ya ampun Nathany, apa yang kamu lakukan sampai Laura ketakutan begini,” tanya Nina bingung, ia memapah Laura untuk duduk di sofa.“Loh, aku cuma menyapa selamat malam, kenapa temanmu ini begitu ketakutan seperti melihat monster,” sahut Nathan sambil mengedikkan bahu, ia pun menghempaskan diri di sofa.“Hahaha, kamu kalau di kantor terlalu angker sih Tan, makanya karyawan-karyawan kamu pada ketakutan kalau liat kamu.” Mike datang dari balkon sambil terkekeh.“Ck, tutup mulut baumu,” timpal Nathan sambil melempar bantal sofa ke arah Mike. Nina bergegas ke dapur mengambil minum lalu memberikannya pada Laura.“Kamu kenapa ketakutan begitu sih, Ra?” tanya Nina sambil menghela napas.“I-iya, aku kaget. Kenapa Pak Nathan ada di sini?” ucap Laura
Nina terdiam, ia memperhatikan Laura yang tiba-tiba bergumam sendiri. “Wanita? siapa yang kamu maksud, Ra?” “Aku juga nggak tahu itu siapa, tapi kalau mendengar ceritamu sepertinya wanita itu istri kontraknya Pak Nathan.” “Maksudmu Sonya?” tanya Nina memastikan, Laura mengangguk. “Sonya datang ke kantor? kapan?” “Aku nggak ingat pastinya kapan, tapi udah lama sekali mungkin 5 atau 6 bulan lalu.” Laura berujar sambil mencoba mengingat-ingat. “Waktu itu sudah hampir jam makan siang ketika perempuan itu datang, gayanya sangat modis, dari pakaian hingga semua aksesoriesnya adalah barang-barang mahal dan berkelas.” Laura pun mulai bercerita, “perempuan itu berjalan dengan sangat agung layaknya seorang nyonya besar, ia dikawal dua orang bodyguard, dan langsung ke ruang pak Nathan. Tapi tidak lama, sepertinya pak Nathan tidak mau menemuinya, karena Miss Emi berusaha menggiringnya.” Laura kembali terdiam, berusaha mengumpulkan ingatan. “Melihat nyonya atau bosnya diperlakukan kurang baik,
“Laura ...” Nina kembali memanggil Laura, yang dipanggil menjawab sambil menggeliat malas.“Hmmh, kenapa sih, Nin? Masih pagi, kan?”“Apanya yang masih pagi, coba kamu lihat jam meja yang ada di nakas samping kamu,” ucap Nina sambil menujuk ke salah satu nakas yang ada di sisi sebelah Laura berbaring.“Ooh, Nina. Kamu hidupin alarm di sebelas sini juga ya, pantas suaranya seperti di deket kepalaku.” Laura menggerutu sambil cemberut.“Siapa yang hidupin?” elak Nina, “aku sudah setting off, dan biasanya yang berbunyi cuma yang disebelah sini, tapi kenapa sekarang dua-duanya berdering.”Ada dua nakas cantik di sisi kanan dan kiri tempat tidur Nina, dan masing-masing diletakan jam meja unik. Namun biasanya Nina hanya mensetting alarm yang ada di satu sisi saja.“Hah Nina, beneran bukan kamu yang setting?” tanya Laura bingung. Nina menggeleng, “terus siapa?” desak Laura, Nina hanya mengedikkan bahu.“Ih Nina, aneh sekali. Jangan-jangan ...” Laura mengedarkan matanya ke seluruh kamar, “han
Nathan tertegun, “Maaf, maksudnya bagaimana?” “Begini, Sir. Saya adalah president direktur di salah satu perusahaan di Belfast, jadi saya bisa dengan mudah memberikan Anda jabatan di perusahaan saya, sehingga Anda tidak menganggur di sini.” Pria itu berkata dengan bangga, ia adalah suami dari salah satu sepupu Nina yang tidak memiliki peranan di Kastil O’Meisceall, ia bisa hadir di acara itu karena sang istri mendapat undangan, sebab ayahnya adalah salah satu sepupu Lord Arthur. “Oh, terima kasih atas penawaran dan kebaikan Anda.” Nathan menjawab sambil tersenyum, meskipun jauh di hatinya ia kesal, karena secara tidak langsung mereka menuduh Nathan menumpang hidup pada keluarga istrinya. Secara kebetulan Aran mendengar pembicaraan lelaki itu, ia merasa berkewajiban meluruskan semuanya. “Haha, apa yang kau tawarkan pada Sir Nathan Wilson tadi?” Aran tertawa sambil mendekati Nathan dan pria tadi, tentu saja tawa Aran itu mengundang perhatian yang lain, sehingga mereka semua menoleh
“Tan, kamu harus segera kembali ke Philly.” Kakek Wilson meminta Nathan kembali. Nathan tertegun, mengapa kakeknya memintanya kembali. Sang kakek pun menjelaskan kalau ia sudah berunding dengan paman dan tante Nathan akan mengadakan perayaan atas kehamilan Nina. Karena ini adalah cicit pertamanya dan cucu pertama mereka. “Ya ampun aku kira ada apa, Kek.” Nathan tertawa mendengar penjelasan kakeknya. “Tapi maaf kek, aku dan istriku belum bisa kembali dalam waktu dekat ini, karena saat-saat ini adalah saat-saat rawan untuk kehamilan istriku, ia akan kelelahan melakukan penerbangan jauh.” Terdengar helaan napas kakek Wilson. “Apa kondisi Nina kurang bagus?” “Oh, semuanya bagus, kek. Di sini aku tidak perlu khawatir, karena di Kastil ini ada dokter dan perawat keluarga yang mengawasi dengan ketat, termasuk makanan untuk istriku pun dibuat khusus dengan nutrisi yang tepat untuk usia kehamilan istriku. Selain itu, di sini juga aku tidak perlu khawatir ada orang-orang yang berniat tidak b
“Hal penting, hal penting apa Nathany?” tanya Nina bingung.“Sayang, sebulanan ini kita full bercinta, tidak ada libur semalam pun.”“Kamu bosan, Nathany? Atau lelah?” potong Nina cepat, keduanya adalah pasangan muda yang masih sangat bergairah dalam berhubungan intim.Nathan terkekeh mendengar komentar istrinya. “Bagaimana mungkin aku bosan, sayang. Kamu tahu sendiri kan, aku sering minta nambah.”“Hm, terus?” Nina bingung dengan sikap suaminya.“Aku hanya heran untuk bulan ini, buan-bulan sebelumnya aku biasa libur seminggu di awal bulan, menunggu tamu bulananmu selesai, tapi bulan ini ...”“Nathany.” Nina tersentak mendengar suaminya menyinggung soal tamu bulanan, ia segera bangun dan mengambil ponselnya untuk melihat kalender bulanannya.“Ya Tuhan! Nathany!” Nina terpekik seraya menutup mulutnya.“Kenapa, sayang?” Nathan bangun dan ikut tegang.“My Hubby Baby, aku sudah telat 6 hari,” ujar Nina gembira.“Oh, benarkah?” Nathan terkejut, Nina mengangguk sambil menunjukan jadwal kale
“Dad...” Aran bergumam, matanya berkaca-kaca melihat sang ayah terlihat gagah dan sehat. Sungguh suatu keajaiban. Sebelumnya, sang ayah terlihat tak berdaya, jangankan untuk bisa berjalan seperti itu, untuk bangun saja harus dipapah.Lord Arthur tersenyum pada Aran dan Nathan hangat, ia pun menuju kursi tempat duduknya di tengah-tengah, sedangkan Nina duduk di sebelah kanan di dekatnya, Nathan duduk di samping Nina. Aran duduk berseberangan dengan Nina, ia berada di sebelah kiri ayahnya.“Maaf ya kalau kalian lama menunggu, tadi babby Aliceku tertidur,” ucap Lord Arthur tersenyum sambil melihat Nina yang juga tersenyum malu.“Tidak apa-apa, Dad. Aku sangat bahagia melihat kondisi Daddy sekarang, sungguh suatu keajaiban.” Aran berkata dengan antusias.“Itu benar, Aran. Kita akan merayakan kedatangan Lady Maxwell, sekaligus pengukuhan gelarnya dan pencatatan namanya di daftar keluarga Maxwell.”Lord Arthur berkata dengan penuh semangat, ia memerintahkan Fred untuk mempersiapkan segala s
“Masalahnya, aku curiga dengan istriku, kak.” Nathan berujar sambil menatap kakak iparnya, wajah tampannya terlihat serius. Wajah Aran pun tak kalah serius melihat adik iparnya seperti itu, curiga? Curiga apa?“Maksudnya bagaimana? Curiga sama Alice? Curiga dalam hal apa?”Rentetan pertanyaan meluncur dari mulut bangsawan muda itu. Nathan menghela napas, ia menjelaskan kalau Nina masih muda, energik dan bukan tipikal wanita manja yang suka mengeluh. Sejak kecil, ibunya telah melatihnya untuk bisa mandiri. Ia selalu tahan menghadapi kesulitan apa pun tanpa pernah mengeluh. Kalau hanya naik turun tangga, itu bukan hal yang bisa membuatnya mengeluh.Dari semenjak Nathan mengenal Nina, tidak pernah wanita itu mengeluh hal apa pun padanya, mereka memang suka mendiskusikan berbagai hal, namun bukan sebagai keluhan. Namun, Nathan ingat, Nina pernah mengeluh sering lelah, gampang merasa capek dan inginnya bermalas-malasan di kamar. Dan itu terjadi beberapa hari sebelum insiden penabrakan terj
Nina dan Nathan tertegun, berita penting? Berita penting apa? Bukankah jamuan makan malam masih akan berlangsung satu jam lagi? Nina dan Nathan segera menemui tuan Fred, lelaki itu diutus secara pribadi oleh Lord Arthur untuk menjemput Nina ke ruangan pribadinya. Nina tertegun, jantungnya berdetak tak menentu, hal yang telah lama ia nanti-nantikan, bertemu langsung dengan sang ayah sebagai anak dan ayah. Nathan bisa merasakan kegelisahan sang istri, ia menepuk bahu Nina dengan lembut, lalu menggenggam erat tangan Nina yang mulai terasa dingin. Nathan mengangguk sambil tersenyum untuk memberikan dukungan. “Ayo sayang, ini waktu yang sekian lama kamu tunggu-tunggu. Aku akan menggendongmu sampai ke bawah.” Nathan mengelus sang istri dengan lembut, Nina mengangguk, support dari sang suami telah membuatnya tenang. Nathan menggendong Nina menuruni anak tangga, meskipun Nina menolak namun Nathan langsung membopong sang istri. “Silahkan sayang, aku akan menungggumu di depan paviliun ini s
Tiba-tiba, Nina merapatkan tubuh pada suaminya. “Nathany, apa aku bermimpi?” bisik Nina. “Kenapa, sayang?” balas Nathan heran. “Bangunan di depan kita ini seperti ilustrasi di cerita-cerita dongeng.” Nina menatap bangunan tinggi yang berdiri di hadapannya, ada beberapa menara menjulang di tiga sisi. Cahaya terpancar dari setiap jendela yang terlihat di keseluruhan bangunan yang terbuat dari batu alam yang kokoh itu. “Namanya kastil-kastil kuno Eropa ya begini, sayang. Para illustrator kan membuat gambar berdasarkan gambaran real yang pernah ada, lalu mereka menambahkan imajinasi untuk memperkaya kreasi mereka.” Nathan menjelaskan sambil ikut menatap bangunan kuno namun megah itu. “Lho kalian kenapa berdiri di sini?” Aran menghampiri mereka yang masih belum beranjak, padahal kendaraan yang mengantar mereka sudah pergi. “Kami takjub dengan pemandangan kastil ini, kak. Benar kan, sayang?” Nathan menjawab yang ditimpali dengan anggukan Nina. “Sepertinya, usia kastil ini sudah cukup t
“Takut? Takut kenapa, my love?” Nathan tertegun, ia menatap sang istri, dan terlihat kegugupan di wajah cantik itu. “Bukankah ini adalah saat-saat yang sudah lama kamu nantikan, bertemu dengan ayah kandungmu.” “Benar Nathany, aku memang sangat merindukan Daddy, tapi aku bingung apa yang harus aku lakukan nanti, apa yang harus aku katakan? Aku takut nanti malah menjadi asing dengan ayahku sendiri.” Nina menghela napas pelan, pertanyaan demi pertanyaan melintas di pikirannya. “Kamu tahu kan, Nathany. Aku tidak pernah merasakan bagaimana rasanya pelukan seorang ayah, aku tidak tahu bagaimana cara menghadapi dan berbakti pada seorang ayah.” Nathan terdiam mendengar ucapan istrinya, bagaimanapun ia lebih beruntung dari Nina karena selama delapan belas tahun Nathan hidup dalam kasih sayang kedua orang tua lengkap, jadi ia bisa merasakan kasih sayang seorang ayah. Sedangkan Nina, ayahnya meninggalkannya saat ia baru berumur 1 tahun, belum ada memory yang tertinggal di ingatannya tentang sa
“Will, lihat itu!” tukas tuan Carter, matanya tak lepas dari sepasang anak muda yang sedang berdansa diantara pasangan-pasangan lainnya. Kakek Wilson pun mengikuti arah tatapan sahabatnya, kakek Nathan itu tertegun.“Christy? Siapa anak muda itu? Apa mungkin teman kuliahnya?” gumam kakek Wilson.“Itu cucu perempuanmu kan, Will?” tanya tuan Carter memastikan, kakek Wilson mengangguk.“Kamu tahu siapa pemuda yang sedang berdansa dengan cucumu?” tanya tuan Carter lagi, ada riak kegembiraan di wajahnya, sedangkan kakek Wilson hanya mengedikkan bahu.“Itu Bob, cucukku,” jawab tuan Carter sambil tersenyum.“Oh, itu yang namanya Bob?”“Yeah, benar Will. Aku memang belum sempat mengenalkan padamu, selama ini dia sibuk belajar di luar negeri, pas kembali langsung aku suruh memegang perusahaan dibawah bimbingan Nathan.”Kakek Wilson manggut-manggut, tapi bagaimana keduanya bisa saling mengenal dan terlihat langsung akrab begitu? Kedua kakek itu pun heran. Dulu mereka susah payah untuk menyatuka