“Monic berbeda dengan Kavita, dia agresif dan selalu menunjukkan apa yang dia mau.”Mendadak ada sesuatu yang memercik di belakang Ezra disusul teriakan Siska.“Vit, kamu mau ke mana?”Ezra dan Pasha seketika menoleh.“Apa yang terjadi? Kavita mana?” Pasha langsung melontarkan pertanyaan.“Dia tiba-tiba lari begitu saja saat kamu masih ngobrol sama Pak Ezra!”“Jangan-jangan dia dengar nama Monic disebut ....”“Cepat kamu kejar, Zra!”“Kalian pulangnya bagaimana?”“Gampang, kami bisa naik taksi. Cepat kejar Kavita sebelum dia terlalu jauh!”Ezra mengangguk dan buru-buru pergi meninggalkan Pasha bersama istrinya. Dia tahu bahwa Kavita sama tidak sukanya ketika mendengar nama perempuan lain disebut-sebut, seperti Ezra yang tidak suka jika istrinya menyebut nama Adya.Sembari berjalan cepat, Ezra menempelkan ponselnya ke telinga untuk menghubungi Kavita. Dia lega karena nomor istrinya masih aktif, meskipun panggilan darinya tidak mendapatkan respons sama sekali.Jangan-jangan
Kavita menarik lepas tangannya dan tidak menjawab. “Saya tidak mau mengganggu kamu yang sedang nostalgia tentang Monic.” “Sependek itukah pikiran kamu? Tidak malu sama Pasha dan Siska?” tanya Ezra pedas dan tepat sasaran. “Seharusnya kamu tanya dulu baik-baik sebelum menilai sesuatu,” sambung Ezra lagi. “Memangnya apa yang kamu lakukan saat kamu lihat saya membahas nama Adya atau bahkan berinteraksi wajar sama dia?” balas Kavita dingin. “Kamu juga langsung menuduh saya yang tidak-tidak kan?” Kali ini giliran Ezra yang terdiam. Enggan berdebat lebih lama, Kavita keluar dari kamar Ezra untuk mandi ke kamar sebelah. Usai mengguyur sekujur tubuhnya dengan air, Kavita merasakan kepala dan pikiran yang jauh lebih segar. Dia perlu mendinginkan hati, berusaha untuk meredam emosi supaya kelanjutan rumah tangganya bersama Ezra menjadi jelas arahnya. Jika pisah adalah pilihan yang terbaik, maka Kavita ingin mereka berdua pisah secara baik-baik. Sudah hubungan hambar, komunikasi memburuk,
Kavita masih terisak dan tidak menjawab, perasaannya masih tak keruan. Emosi juga masih bersemayam meskipun tidak sedahsyat sebelumnya. “Aku ... aku cinta kamu.” Beberapa tahun yang lalu .... “Zra, aku cinta sama kamu. Aku tidak mau dikhianati, kamu harus janji akan setia sama aku selamanya!” Perempuan energik itu mengalungkan kedua lengannya di leher Ezra dan menatap matanya dengan penuh gelora. “Berjanjilah padaku, Zra! Aku cuma mau menikah sama kamu dan menghabiskan sisa umur kita sama-sama, ayo janji!” Ezra mengembangkan senyumnya sebentar. “Baiklah ... aku janji, Monic.” Ezra membuka mata perlahan, yang berada di hadapannya kini adalah Kavita. Istri sahnya. Sesaat ketika pikirannya menerawang tadi, pelukan Ezra sempat mengendur dan hampir saja Kavita melepaskan diri lagi, tapi dia dengan segera mengeratkan dekapannya. “Lepas!” ucap Kavita lirih. “Tidak, jangan ke mana-mana.” “Aku capek, aku mau tidur ... Semalam aku ada di toko.” Ezra langsung memahami kenapa rumah p
Baru juga dia akan mengetik pesan balasan untuknya, Ezra sudah mengirim pesan baru lagi.[Kamu di mana?][Aku pulang sekarang!]Tanpa menunggu waktu lama, Kavita langsung menghubungi kontak Ezra.Beberapa kali terdengar nada sambung, tapi tidak diangkat juga oleh suaminya.“Masa dia benar-benar pulang?” gumam Kavita sangsi. “Jangan-jangan dia Cuma bercanda?”Namun, seketika itu juga Kavita ingat jika Ezra bukanlah orang yang suka bercanda.[Aku tidak ke mana-mana, lanjut kerja saja]Dengan terburu-buru, Kavita mengetik pesan itu dan mengirimkannya. Setelah itu dia sibuk menghitung setoran toko yang diberikan Adya kepadanya tadi pagi.Tentu saja Kavita sangat senang dengan penghasilan tambahannya ini, setidaknya dia tidak harus kebingungan ketika Ezra sedang mengalami penurunan finansial seperti sekarang ini. Bahkan dia tidak keberatan berbagi penghasilannya jika Ezra benar-benar membutuhkannya.Bukan karena bucin atau cinta mati, tapi sejak dulu prinsip Kavita dalam berumah
Sayang sekali janji itu belum sempat Ezra respons karena kedatangan salah satu teman Monic yang mengajaknya masuk kelas. Kini, semua telah berubah. Di depan menara tinggi yang menjadi ikon Paris, Ezra menatap puncak kepala Kavita yang mendongak penuh kekaguman. “Kamu suka tempat ini?” “Iya ...” Kavita mengangguk kuat-kuat, bohong besar jika dia bilang bahwa dia merasa biasa-biasa saja berada di tempat yang menakjubkan seperti ini. “Bagus, tidak sia-sia.” Ezra ikut mendongak dan menatap menara Eiffel yang menjulang indah itu. Bukan tanpa alasan dia mengajak Kavita liburan ke Paris. Selain karena ingin melepas masa lalu, Ezra juga memiliki tujuan lainnya. “Sebelum sama aku, kamu pernah ke sini sama siapa?” tanya Kavita ingin tahu. “Kenapa kamu malah mengajukan pertanyaan yang berpotensi memancing keributan seperti ini?” “Aku cuma bertanya, penasaran saja.” Ezra menarik napas. Di saat dia tidak ingin membahas masa lalu, Kavita justru malah mengingatkannya. “Nanti kamu tersinggu
“Tapi aku ....” Kavita belum sempat menyelesaikan ucapannya, tapi Ezra sudah merengkuhnya dalam hangat pelukan. Tidak sejengkal pun Ezra ingin melepasnya. Ribuan kilometer dari tempat itu .... “Lihat ini.” Shadan mendongak ketika Monic menerobos masuk ke kamarnya sambil menyerahkan sebuah amplop kepadanya. “Kalau urusan kerjaan, besok saja kamu serahkan ke sekretaris aku.” Shadan hanya menoleh sekilas, lalu melanjutkan kegiatannya membaca buku. “Ini sama sekali bukan urusan kerjaan, Dan!” “Terus apa?” “Ya makanya kamu lihat dulu!” sentak Monic tidak sabar. Shadan berdecak. “Sudah jadi istri orang kok kelakuannya masih sama.” “Sudahlah, jangan banyak bicara. Buka saja amplop itu.” Shadan terpaksa meletakkan bukunya dan meraih amplop pemberian Monic, dia membuka isinya dan tercengang. “Apa ini?” Tangan Shadan meletakkan beberapa lembar foto di atas meja. “Ezra sama istrinya ... yah, tidak ada yang aneh. Mereka pasti sedang liburan,” komentar Shadan biasa-bia
Gerakan tangan Kavita langsung terhenti setelah mendengar jawaban lugas Ezra. “Begitu ya?” “Memang begitu, apa masalahnya?” Ezra menyahut pertanyaan Kavita dengan pandangan mata terarah ke layar televisi yang menyala. “Enteng sekali kamu bicara, laki-laki kalau sudah sukses ternyata sama saja ya?” komentar Kavita tidak senang, dia merapikan kembali perlengkapan make up itu ke dalam kotaknya. “Aku salah apa lagi?” tanya Ezra bingung. Namun, Kavita tidak menjawab dan menyimpan kotak make up pemberiannya dengan wajah masam. Ezra yang tidak begitu memperhatikan, memilih berbaring sembari memejamkan matanya. “Ceria sekali kalian sehabis liburan,” sambut Miranti pagi itu saat mereka bertiga bertemu di dapur. “Nenek, ayo sarapan sama-sama!” ajak Kavita seraya meraih lengan Miranti yang tersenyum lebar kepadanya. “Kamu bisa istirahat dulu, Rita.” “Baik, Nyonya.” Kavita menarik satu kursi untuk Miranti, Ezra senang dengan sikap istrinya yang terlihat menyayangi sang nenek. “Makan y
Setelah masuk hotel dan duduk di kursi, Siska dan Kavita duduk bersanding dengan diapit suami masing-masing. Sementara itu Roni dan Ririn duduk di tempat yang agak jauh. “Lega sekali rasanya karena kita tidak perlu dekat-dekat suami istri toksik itu,” bisik Siska di telinga Kavita. “Mana kalau bicara sama kamu, dia tidak ada sopan santun sama sekali.” “Dia belum pernah jadi istri pengusaha, jadi mungkin seperti itu kelakuannya.” Kavita balas berbisik. Suara riuh rendah para tamu perlahan teredam ketika beberapa orang muncul di depan panggung. Di kursi masing-masing, Siska dan Kavita tidak kalah tegang menunggu pengumuman pemenang kontrak. “Ezra atau Pak Pasha?” Kavita menoleh ke arah Siska. “Pak Ezra atau Pasha, bebas!” Kavita mengangguk, sebelah tangannya meremas jemari Siska untuk menyalurkan ketegangan yang terasa. “... akan ada dua perusahaan yang mendapatkan kontrak kerja ini, sehingga kolaborasi keduanya diharapkan bisa meningkatkan daya beli konsumen dan menjaga persaing
Sebagai ayah pun dia sudah berusaha untuk tidak menghujat takdir yang menimpa putri mereka. “Divta sayang, kamu melamun?”Kavita menunduk dan mendaratkan kecupan di atas kening putrinya yang berbaring di sampingnya.Kepada Divtara sedikit miring ke kanan meskipun Kavita sudah sering membetulkannya dengan perlahan.Setiap kali melihat paras cantik putrinya itu, hati Kavita teriris perih. Dia memiliki kekhawatiran tersendiri tentang masa depan Divtara, terlebih jika sang anak tampil di depan umum.“Ibu sayang kamu, kita hadapi sama-sama ya?” bisik Kavita dengan penuh cinta. Tangan kecil Divtara bergerak-gerak, dan Kavita lantas menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi di pipinya yang menggemaskan.“Anaknya Siska sudah sebesar apa, ya?” gumam Kavita setelah dia selesai menyusui anaknya.“Sebenarnya kapan hari itu Pasha menelepon, dia bilang kalau Siska ingin datang berkunjung.” Ezra memberi tahu. “Tapi aku bilang kalau kamu masih baby blues, jadi belum bisa menerima kunjungan u
“Bisa jadi penyebabnya karena belum bisa menerima kehadiran si kecil sepenuhnya ....” “Tidak, Dok. Kemarin-kemarin istri saya masih bersikap normal dan tetap memperlakukan putri kami dengan baik.” Dokter Amel berpikir sebentar. “Meskipun tidak semua ibu yang baru saja melahirkan mengalaminya, tapi kemungkinan baby blues bisa terjadi, Pak.” “Lalu bagaimana cara mengatasinya, Dok?” “Peran Bapak sangat penting untuk menjaga kestabilan mental Bu Kavita yang baru saja melahirkan, jangan biarkan istri Bapak merasa bersalah terkait dengan kondisi putrinya ....” Ezra mendengarkan penjelasan Dokter Amel dengan saksama. Kavita berubah menjadi pendiam sejak keributan yang terjadi di rumah sakit, Ezra sempat khawatir jika dia akan bersikap tak acuh terhadap putri mereka. Namun, ternyata dugaan buruk Ezra sama sekali tidak terbukti. Kavita tetap memperhatikan bayi mereka dengan penuh kasih sayang, sama sekali tidak terlihat mencurigakan. “Istirahatlah sebentar, kita gantian.” Ezra mengusap
“Dasar istri tidak berguna, ibu yang melahirkan anak cacat sama sekali tidak pantas untuk menyentuh kulitku!” Wajah Kavita terasa perih, tapi itu belum apa-apa jika dibandingkan dengan pedihnya hati akibat kata-kata kejam Yura. “Masih saja kamu mengusik hidupku, apa mau kamu sebenarnya?” bisik Kavita supaya putri kecilnya tidak terbangun karena suara pertengkaran yang tidak semestinya. “Mauku? Aku mau membuat hidup kamu hancur, seperti kamu menghancurkan hidup aku sama Deryl!” Kavita terperangah. “Lihat saja, kamu pasti akan diceraikan suami kamu. Atau ... setidaknya kamu pasti akan diduakan karena anak cacat kalian tidak akan bisa jadi kebanggaan orang tua.” “Tutup mulutmu!” desis Kavita dengan tangan terkepal. “Kamu pikir Pak Ezra akan tahan melihat keturunannya yang cacat?” “Jangan sebut anakku cacat!” “Lalu apa? Tak sempurna?” ejek Yura sinis. “Persiapkan saja diri kamu, Vit. Aku akan menjadi wanita kedua suami kamu dan memberikan keturunan berkualitas untuknya, aku akan m
Kavita meremas kedua tangannya ketika Ezra berlalu pergi dari hadapannya. Seorang perawat masuk sambil mendorong kereta bayi diikuti Ezra yang berjalan di belakangnya. Kavita bangun dan dengan susah payah duduk di tepi ranjang saat perawat itu semakin dekat. “Ini bayinya, Bu. Perempuan,” kata perawat itu sembari mengangkat seorang bayi yang dibungkus rapat dengan selimut dan memberikannya kepada Kavita. “Perempuan ya, Sus?” “Betul Bu, perempuan.” Kavita dan Ezra saling pandang, sementara perawat itu membantu membetulkan letak perlekatan antara ibu dan bayinya. “Coba disusui bayinya dulu, Bu.” “Baik, Sus.” Sampai di titik ini, Kavita tidak melihat ada yang aneh dengan putrinya. Bayi itu menyesap air susunya dengan perlahan, sementara matanya terpejam rapat. “Sebenarnya ... keistimewaan apa yang kamu maksud?” tanya Kavita ingin tahu selagi putri mereka masih menyusu, sementara perawat tadi sudah pergi. “Dokter bilang kalau keistimewaan yang tentunya berbeda dengan bayi kebanya
“Tidak apa-apa, Ad. Cepat sedikit,” pinta Kavita dengan wajah pias. Rasa sakit di perutnya berangsur reda, sehingga dia bisa duduk dengan tenang sementara mobil yang dikemudikan Adya melaju ke kantor Ezra. Bos pemilik Dyaksa Company itu nyaris berlari dan melompat ke dalam mobil ketika Tantri memberi tahu bahwa Adya akan mengantar Kavita ke rumah sakit. “Kamu kenapa? Sudah mau melahirkan sekarang?” tanya Ezra buru-buru sambil mengusap kening Kavita yang berkeringat. “Tidak tahu, tapi ... perut ini sudah sakit ....” “Adya, bisa kamu ngebut sedikit?” Ezra menoleh ke arah Adya yang sedang fokus mengemudi. “Bisa Pak, saya usahakan!” Ezra kembali menoleh ke arah Kavita yang memejamkan mata karena menahan rasa sakit yang sesekali timbul. Tangan Ezra diremas dengan kuat setiap kali Kavita merasakan sakit yang teramat sangat. “Kamu bertahan dulu ....” “Ini sakit sekali, aku ... mau cepat melahirkan ....” “Tunggu sebentar, kita akan sampai rumah sakit.” Ezra mengusap-usap perut buncit
Kavita mengangguk paham. “Tidak apa-apa Dok, yang penting sehat dan tidak berisiko seperti kemarin.” “Kita akan memantau bersama-sama, jangan lupa untuk tetap mengonsumsi makanan bergizi dan vitamin yang saya resepkan.” Ezra tidak berkata apa-apa dan hanya menyimak percakapan yang berlangsung antara dokter dengan Kavita. “Mau mampir ke mana?” tanya Ezra sambil melirik Kavita yang sedang mengunyah roti. “Ke rumah Pak Pasha, aku mau bertemu Siska. Sudah terlalu malam belum?” “Aku akan telepon Pasha sebentar,” sahut Ezra sementara Kavita menunggu dengan antusias. Itu karena dia sudah lama tidak bertemu Siska yang sama-sama sedang mengandung buah hati. “Pasha bilang kalau Siska belum tidur, jadi kita masih bisa mampir sebentar.” Ezra memberi tahu. “Kalau begitu, ayo.” Kavita menyimpan kembali rotinya dan meraih sebotol air mineral untuk melicinkan tenggorokannya. Setibanya di rumah Pasha, Siska menyambut kedatangan Kavita dengan senyum merekah di bibirnya. Mereka berdua berpelukan
“Aku tidak jijik,” katanya sambil memeluk Kavita erat. Pada awalnya Kavita enggan menanggapi, tapi pelukan Ezra yang hangat dan nyaman tak urung membuatnya bahagia sehingga dia balas memeluk dengan erat. “Besok aku akan kerja lagi untuk kalian ....” “Kalian?” “Kamu dan calon anak kita.” Kavita melepaskan diri dari pelukan Ezra. “Kaki kamu bagaimana?” “Kamu lihat kan kalau aku sudah bisa berjalan? Tinggal masa pemulihan saja sambil beraktivitas normal seperti biasa, jadi aku akan secepatnya kerja. Kasihan juga Pasha karena harus membagi fokusnya di dua tempat,” ujar Ezra panjang lebar. Dua bulan kemudian .... “Bagaimana hasilnya, Dokter?” “Istri Anda positif hamil, Pak. Saya ucapkan selamat!” Sepasang suami istri itu saling tatap. “Dugaan aku benar kan, Mon? Kamu itu hamil, aku lega sekali.” Monic berdecak, dia sendiri tidak mengerti kenapa dirinya justru merasakan enggan berbahagia dengan kabar gembira ini. “Aku sempat takut kamu tidak bisa hamil lagi setelah
Mata Ezra mengintip sedikit. “Itu pakai urine?” “Iya ....” “Jorok sekali, singkirkan sana.” Kavita memukul bahu Ezra karena tidak terima dengan komentarnya. “Perkembangan kaki kamu bagaimana, Zra?” tanya Miranti ketika Ezra muncul di kamarnya. “Sudah jauh lebih baik, Nek. Meskipun aku belum bisa berlari, setidaknya sudah bisa berjalan dan tidak perlu kursi roda lagi.” “Syukurlah ... Oh ya, kapan itu kamu teriak-teriak kenapa? Nenek sudah tanya Rita, katanya Kavita pingsan karena kelelahan ....” Ezra mengangguk pelan, dia ingat bahwa dirinya belum memberi tahu kabar kehamilan Kavita kepada Miranti. Baru juga dia akan bercerita, dari sudut matanya Ezra melihat Kavita yang keluar dari kamar dan berjalan menuruni tangga. “Kavita sepertinya mau pergi, Nek. Nanti saja aku cerita!” pamit Ezra sambil berlalu meninggalkan kamar Miranti untuk menyusul kepergian istrinya. Ketika menuruni tangga, Ezra tidak ingin bertindak ceroboh dengan memaksakan kakinya untuk melangkah terburu-buru.
“Rita, aku seperti mendengar sesuatu.” Miranti menatap wanita yang sudah merawatnya bertahun-tahun itu. “Saya tidak dengar apa-apa, Nyonya.” “Rita, cepat ke sini!” Miranti langsung menggoyang lengan Rita. “Itu suara Ezra!” Atas desakan Miranti yang begitu khawatir terhadap cucunya, Rita cepat-cepat berlari menuju kamar Ezra. “Maaf, Pak Ezra ... Ada apa?” “Kavita pingsan, saya tidak tahu apa yang terjadi ....” Rita buru-buru mendekati Kavita yang tergeletak di lantai kamar Ezra, dia berusaha membangunkannya dengan mengguncang bahu dan pipi Kavita bergantian. “Vita, bangun. Vita?” Ezra hanya menyaksikan bagaimana Rita masih berjuang untuk membangunkan Kavita. “Apa dia masih bernapas?” tanya Ezra ragu. Rita mendongak. “Tentu saja, Pak. Mungkin Vita kelelahan atau kurang istirahat ....” Ezra menyipitkan mata, sikap abainya sedikit terbentuk gara-gara melihat Kavita bersama Adya di dapur tadi. Egois? Memang. Rita meminta izin Ezra untuk mencari botol minyak kay