Endrawan menatap Ezra tak berdaya. “Menyesal aku bicara sama anak kamu itu, tidak ada gunanya!” gerutu Mervia dengan suara keras. “Tidak jauh beda dia sama ibunya.” “Sudahlah, kamu tidak perlu lagi menjelekkan siapa pun.” “Nah kan, kamu masih saja membelanya.” Endrawan geram. “Masih tidak cukupkah dengan aku tetap berada di samping kamu dan anak-anak kita? Aku bahkan rela menjauhkan Ezra dari keluarga besar kita ....” “Anak itu memang dari awal tidak pantas bersanding dengan keluarga besar kita,” potong Mervia dengan nada enggan. “Jadi kamu tidak perlu merasa telah melakukan pengorbanan besar terhadap keluarga, karena itu memang kewajiban kamu untuk menyingkirkan Ezra dan ibunya.” “Cukup,” tegur Endrawan tegas karena mereka tengah bersama sopir pribadi yang mengemudikan mobil mereka. “Tidak perlu diperpanjang, lebih baik kamu pikirkan anak kamu yang satu itu. Bisa-bisanya dia membuat masalah sampai melibatkan pihak berwajib, ini benar-benar memalukan.” Mervia menatap garang pada
“Pokoknya aku tetap tidak rela kalau Shadan masuk penjara,” cetus Mervia egois. “Kalau begitu berbaik-baiklah pada Ezra, turunkan egomu sedikit saja. Lagipula aku perhatian sama anakku, bukan ibunya.” “Kamu ...!” “Sudahlah, hentikan kebiasaan kamu untuk mendebatku. Aku ini suami kamu, tunjukkan rasa hormat kamu.” Mervia mendengus, semua ini gara-gara Ezra. Kalau tidak dia, pasti ibunya. Selalu saja di antara mereka berdua yang menjadi penyebab keributan dirinya dengan Endrawan. Waktu terus bergulir dan Ezra tetap memantau kasus penusukan Kavita yang masih berlangsung, tidak dia pedulikan beberapa kunjungan dari utusan ayahnya supaya datang ke rumah mereka. “Sepertinya keluarga besar kamu berusaha nego,” komentar Kavita ketika Ezra memberi tahunya soal undangan makan bersama. “Mungkin mereka berharap kalau kamu menutup kasus itu, makanya mereka berusaha keras membujuk kamu dengan cara apa pun.” Ezra menghela napas. “Saya tidak bisa, Shadan harus tetap mendapatkan balasannya. Sebe
“Tidak perlu pura-pura, Sha. Kalau memang kamu merasa curiga sama ayahku, aku saja merasa curiga karena terakhir yang aku dengar adalah Shadan delapan puluh persen akan naik status jadi pelaku.” “Kamu serius?” “Tricya dan timnya yang bilang begitu, berdasarkan bukti kamera pengawas yang memantau jalan TKP, terlihat jelas kalau Shadan mendorong Kavita sampai dia jatuh dan keguguran. Masalahnya adalah, Shadan berani berkelit kalau dia sengaja mendorong Kavita.” “Dia masih bisa berkelit meskipun sudah ada bukti kamera pengawas?” “Ya, dan dia mengaku mendorong Kavita karena merasa terancam.” “Alasan tidak masuk akal apa ini?” “Shadan bilang Kavita memaksa untuk mengantarnya pergi ke suatu tempat dan dia menolak karena seolah tidak ingin pergi sama wanita bersuami.” Pasha geleng-geleng kepala mendengar penjelasan Ezra. “Aku yakin akan terjadi perang saudara tidak lama lagi.” Ezra mengangguk. “Dari awal aku tidak pernah minta kamu untuk memihak salah satu dari kami karena aku sudah
Wajah Endrawan memucat. Bagaimana ini? Orang-orang dan relasi penting lainnya tahu bahwa Shadan adalah putra pertamanya, sehingga tidak mungkin jika kasus ini dibiarkan berlanjut sampai tahap akhir. “Jangan egois kamu, Ezra. Ayah mohon ....” “Aku egois karena meminta keadilan untuk istriku? Kalau begitu apa yang Ayah lakukan terhadap ibu juga bukan egois? Demi istri pertama Ayah, aku dan ibu dikesampingkan begitu saja kan?” “Itu sudah risiko ibumu sendiri yang bersedia jadi istri kedua ayah ....” “Karena itulah aku benci kalian,” tukas Ezra sembari berdiri dari duduknya. “Aku benci Ayah karena tidak puas hanya dengan satu istri, aku juga benci sama ibu karena berani masuk ke dalam rumah tangga orang lain.” Endrawan terpaku, sadar jika dirinya telah salah bicara. “Maksud Ayah ....” Sebelum ucapan Endrawan selesai, tiba-tiba pelayan muncul mengantarkan pesanan mereka. “Permisi, Pak ....” “Punya saya yang ini dan yang ini tolong dibungkus saja,” perintah Ezra kepada pelayan resto
“Mbak, ada yang nunggu di bawah!” Emi membuat mulutnya ketika bertemu Kavita di depan kamar tamu. “Siapa, Bu?” “Mertua kamu.” Kavita tertegun sebentar.“Bu Emi yakin kalau dia mertua saya?” “Yakin, dia memperkenalkan diri seperti itu. Katanya suruh cepat-cepat bertemu, soalnya tidak punya banyak waktu ....”“Ya sudah, saya turun sebentar lagi. Tolong buatkan minum dulu untuk ibu mertua,” pinta Kavita, dia segera merapikan diri di depan cermin setelah Emi berlalu pergi.Ibunya Ezra akhirnya muncul, pikir Kavita seraya menyisir rambut. Kenapa aku jadi gugup begini?Setelah penampilannya terlihat enak dipandang, Kavita segera turun untuk menemui ibu mertuanya. Namun, begitu dia tiba di ruang tamu, yang dilihatnya duduk di sofa ternyata adalah seorang wanita yang tampak asing di matanya.“Maaf karena membuat Ibu menunggu lama,” ucap Kavita formal, dia gugup sekali saat wanita itu menatapnya dari atas ke bawah seakan sedang menaksir nilai sebuah barang.“Kamu istirnya Ezra?
Ezra tersenyum tipis. “Sampai bertemu di pengadilan, Tante.” “Kasus ini tidak akan pernah sampai di meja pengadilan, kalian lihat saja nanti!” Mervia berdiri dengan angkuh dan pergi meninggalkan kediaman Ezra. Terjadi kesunyian yang cukup panjang ketika Mervia sudah pergi, Kavita dan Ezra larut dalam pikiran masing-masing seolah merasakan kelelahan yang sama.“Kita pergi liburan saja,” cetus Ezra tiba-tiba.“Ke mana?”“Puncak.”Kavita berpikir sebentar.“Lebih seru ke pantai, saya bisa sambil berenang.”“Di puncak ada vila yang dekat sama air terjun, kamu bisa berenang sampai puas.”“Berenang di bawah air terjun? Tidak seekstrim itu juga ....”Ezra diam sembari berpikir keras. Dia sebetulnya tidak terlalu senang berada di alam terbuka yang didatangi banyak pengunjung, Kavita juga tahu itu.“Kalau ragu-ragu, tidak usah saja. Nanti pekerjaan di kantor tidak ada yang urus.”“Saya Cuma sedikit jenuh.”“Jenuh?” Kavita mengerjabkan matanya. “Jenuh sama pernikahan kita?”“Buk
Matahari masih mengintip dari balik cakrawala ketika mereka berdua keluar dari penginapan. Kavita hampir saja meraih tangan Ezra, tapi dia terlambat karena suaminya itu keburu jalan lebih cepat beberapa detik daripada perkiraan.Ya ampun, tidak ada romantis-romantisnya sama sekali. Kavita mengeluh dalam hati, tapi dia berusaha mengesampingkan hal itu dan jalan-jalan sendiri dengan santai. Tidak dipedulikannya Ezra yang sudah jauh beberapa langkah di depannya.“Anak itu belum juga memberi keputusan?”Sementara di kediaman keluarga besar Danadyaksa, Endrawan mondar-mandir di ruang kerjanya. Mervia ikut menunggu dengan tampang keruh, dia teringat kembali dengan sambutan Kavita dan Ezra ketika dia mendatanginya di rumah mereka.“Bagaimana?” tanya Mervia setelah Endrawan selesai menelepon.“Sekretarisnya bilang ke orangku kalau dia sedang liburan.”“Liburan, dia bilang?”“Ya, aku tidak tahu kapan Ezra kembali.”Wajah Mervia merah padam. “Keterlaluan sekali anak kamu itu, bisa-bisan
“Tidak usah pura-pura polos, selama ini kamu kurang perhatian saya kan?” “Tidak juga, saya tahu kamu kerja keras cari uang. Saya suka uang, ya—sebatas itu ....” Jantung Kavita melemah ketika Ezra menatapnya intens. “Uang, ya?”“Begitulah, uang.”Ezra membidik wajah Kavita, membuat tubuhnya perlahan mengerut gugup.“Jangan tersinggung ya, bukankah kita saling memanfaatkan?” Kavita buru-buru mengingatkan karena Ezra masih menatapnya tanpa berkedip.“Saling memanfaatkan? Kalau begitu berapa banyak uang yang kamu inginkan untuk menemani saya liburan di sini seminggu?”“Seminggu?” Mata Kavita membulat mengingat Ezra biasanya hanya liburan paling lama tiga hari saja.“Ya, satu minggu. Berapa tarifnya?”Kavita memajukan bibirnya, kemudian memalingkan wajah. Cara Ezra bertanya benar-benar seperti sedang menawar harga kepada seorang wanita penyedia jasa untuk para tunaasmara.“Katanya jangan tersinggung?” sindir Ezra, dia membenamkan wajahnya di lekuk leher Kavita dan menghujam k
Sebagai ayah pun dia sudah berusaha untuk tidak menghujat takdir yang menimpa putri mereka. “Divta sayang, kamu melamun?”Kavita menunduk dan mendaratkan kecupan di atas kening putrinya yang berbaring di sampingnya.Kepada Divtara sedikit miring ke kanan meskipun Kavita sudah sering membetulkannya dengan perlahan.Setiap kali melihat paras cantik putrinya itu, hati Kavita teriris perih. Dia memiliki kekhawatiran tersendiri tentang masa depan Divtara, terlebih jika sang anak tampil di depan umum.“Ibu sayang kamu, kita hadapi sama-sama ya?” bisik Kavita dengan penuh cinta. Tangan kecil Divtara bergerak-gerak, dan Kavita lantas menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi di pipinya yang menggemaskan.“Anaknya Siska sudah sebesar apa, ya?” gumam Kavita setelah dia selesai menyusui anaknya.“Sebenarnya kapan hari itu Pasha menelepon, dia bilang kalau Siska ingin datang berkunjung.” Ezra memberi tahu. “Tapi aku bilang kalau kamu masih baby blues, jadi belum bisa menerima kunjungan u
“Bisa jadi penyebabnya karena belum bisa menerima kehadiran si kecil sepenuhnya ....” “Tidak, Dok. Kemarin-kemarin istri saya masih bersikap normal dan tetap memperlakukan putri kami dengan baik.” Dokter Amel berpikir sebentar. “Meskipun tidak semua ibu yang baru saja melahirkan mengalaminya, tapi kemungkinan baby blues bisa terjadi, Pak.” “Lalu bagaimana cara mengatasinya, Dok?” “Peran Bapak sangat penting untuk menjaga kestabilan mental Bu Kavita yang baru saja melahirkan, jangan biarkan istri Bapak merasa bersalah terkait dengan kondisi putrinya ....” Ezra mendengarkan penjelasan Dokter Amel dengan saksama. Kavita berubah menjadi pendiam sejak keributan yang terjadi di rumah sakit, Ezra sempat khawatir jika dia akan bersikap tak acuh terhadap putri mereka. Namun, ternyata dugaan buruk Ezra sama sekali tidak terbukti. Kavita tetap memperhatikan bayi mereka dengan penuh kasih sayang, sama sekali tidak terlihat mencurigakan. “Istirahatlah sebentar, kita gantian.” Ezra mengusap
“Dasar istri tidak berguna, ibu yang melahirkan anak cacat sama sekali tidak pantas untuk menyentuh kulitku!” Wajah Kavita terasa perih, tapi itu belum apa-apa jika dibandingkan dengan pedihnya hati akibat kata-kata kejam Yura. “Masih saja kamu mengusik hidupku, apa mau kamu sebenarnya?” bisik Kavita supaya putri kecilnya tidak terbangun karena suara pertengkaran yang tidak semestinya. “Mauku? Aku mau membuat hidup kamu hancur, seperti kamu menghancurkan hidup aku sama Deryl!” Kavita terperangah. “Lihat saja, kamu pasti akan diceraikan suami kamu. Atau ... setidaknya kamu pasti akan diduakan karena anak cacat kalian tidak akan bisa jadi kebanggaan orang tua.” “Tutup mulutmu!” desis Kavita dengan tangan terkepal. “Kamu pikir Pak Ezra akan tahan melihat keturunannya yang cacat?” “Jangan sebut anakku cacat!” “Lalu apa? Tak sempurna?” ejek Yura sinis. “Persiapkan saja diri kamu, Vit. Aku akan menjadi wanita kedua suami kamu dan memberikan keturunan berkualitas untuknya, aku akan m
Kavita meremas kedua tangannya ketika Ezra berlalu pergi dari hadapannya. Seorang perawat masuk sambil mendorong kereta bayi diikuti Ezra yang berjalan di belakangnya. Kavita bangun dan dengan susah payah duduk di tepi ranjang saat perawat itu semakin dekat. “Ini bayinya, Bu. Perempuan,” kata perawat itu sembari mengangkat seorang bayi yang dibungkus rapat dengan selimut dan memberikannya kepada Kavita. “Perempuan ya, Sus?” “Betul Bu, perempuan.” Kavita dan Ezra saling pandang, sementara perawat itu membantu membetulkan letak perlekatan antara ibu dan bayinya. “Coba disusui bayinya dulu, Bu.” “Baik, Sus.” Sampai di titik ini, Kavita tidak melihat ada yang aneh dengan putrinya. Bayi itu menyesap air susunya dengan perlahan, sementara matanya terpejam rapat. “Sebenarnya ... keistimewaan apa yang kamu maksud?” tanya Kavita ingin tahu selagi putri mereka masih menyusu, sementara perawat tadi sudah pergi. “Dokter bilang kalau keistimewaan yang tentunya berbeda dengan bayi kebanya
“Tidak apa-apa, Ad. Cepat sedikit,” pinta Kavita dengan wajah pias. Rasa sakit di perutnya berangsur reda, sehingga dia bisa duduk dengan tenang sementara mobil yang dikemudikan Adya melaju ke kantor Ezra. Bos pemilik Dyaksa Company itu nyaris berlari dan melompat ke dalam mobil ketika Tantri memberi tahu bahwa Adya akan mengantar Kavita ke rumah sakit. “Kamu kenapa? Sudah mau melahirkan sekarang?” tanya Ezra buru-buru sambil mengusap kening Kavita yang berkeringat. “Tidak tahu, tapi ... perut ini sudah sakit ....” “Adya, bisa kamu ngebut sedikit?” Ezra menoleh ke arah Adya yang sedang fokus mengemudi. “Bisa Pak, saya usahakan!” Ezra kembali menoleh ke arah Kavita yang memejamkan mata karena menahan rasa sakit yang sesekali timbul. Tangan Ezra diremas dengan kuat setiap kali Kavita merasakan sakit yang teramat sangat. “Kamu bertahan dulu ....” “Ini sakit sekali, aku ... mau cepat melahirkan ....” “Tunggu sebentar, kita akan sampai rumah sakit.” Ezra mengusap-usap perut buncit
Kavita mengangguk paham. “Tidak apa-apa Dok, yang penting sehat dan tidak berisiko seperti kemarin.” “Kita akan memantau bersama-sama, jangan lupa untuk tetap mengonsumsi makanan bergizi dan vitamin yang saya resepkan.” Ezra tidak berkata apa-apa dan hanya menyimak percakapan yang berlangsung antara dokter dengan Kavita. “Mau mampir ke mana?” tanya Ezra sambil melirik Kavita yang sedang mengunyah roti. “Ke rumah Pak Pasha, aku mau bertemu Siska. Sudah terlalu malam belum?” “Aku akan telepon Pasha sebentar,” sahut Ezra sementara Kavita menunggu dengan antusias. Itu karena dia sudah lama tidak bertemu Siska yang sama-sama sedang mengandung buah hati. “Pasha bilang kalau Siska belum tidur, jadi kita masih bisa mampir sebentar.” Ezra memberi tahu. “Kalau begitu, ayo.” Kavita menyimpan kembali rotinya dan meraih sebotol air mineral untuk melicinkan tenggorokannya. Setibanya di rumah Pasha, Siska menyambut kedatangan Kavita dengan senyum merekah di bibirnya. Mereka berdua berpelukan
“Aku tidak jijik,” katanya sambil memeluk Kavita erat. Pada awalnya Kavita enggan menanggapi, tapi pelukan Ezra yang hangat dan nyaman tak urung membuatnya bahagia sehingga dia balas memeluk dengan erat. “Besok aku akan kerja lagi untuk kalian ....” “Kalian?” “Kamu dan calon anak kita.” Kavita melepaskan diri dari pelukan Ezra. “Kaki kamu bagaimana?” “Kamu lihat kan kalau aku sudah bisa berjalan? Tinggal masa pemulihan saja sambil beraktivitas normal seperti biasa, jadi aku akan secepatnya kerja. Kasihan juga Pasha karena harus membagi fokusnya di dua tempat,” ujar Ezra panjang lebar. Dua bulan kemudian .... “Bagaimana hasilnya, Dokter?” “Istri Anda positif hamil, Pak. Saya ucapkan selamat!” Sepasang suami istri itu saling tatap. “Dugaan aku benar kan, Mon? Kamu itu hamil, aku lega sekali.” Monic berdecak, dia sendiri tidak mengerti kenapa dirinya justru merasakan enggan berbahagia dengan kabar gembira ini. “Aku sempat takut kamu tidak bisa hamil lagi setelah
Mata Ezra mengintip sedikit. “Itu pakai urine?” “Iya ....” “Jorok sekali, singkirkan sana.” Kavita memukul bahu Ezra karena tidak terima dengan komentarnya. “Perkembangan kaki kamu bagaimana, Zra?” tanya Miranti ketika Ezra muncul di kamarnya. “Sudah jauh lebih baik, Nek. Meskipun aku belum bisa berlari, setidaknya sudah bisa berjalan dan tidak perlu kursi roda lagi.” “Syukurlah ... Oh ya, kapan itu kamu teriak-teriak kenapa? Nenek sudah tanya Rita, katanya Kavita pingsan karena kelelahan ....” Ezra mengangguk pelan, dia ingat bahwa dirinya belum memberi tahu kabar kehamilan Kavita kepada Miranti. Baru juga dia akan bercerita, dari sudut matanya Ezra melihat Kavita yang keluar dari kamar dan berjalan menuruni tangga. “Kavita sepertinya mau pergi, Nek. Nanti saja aku cerita!” pamit Ezra sambil berlalu meninggalkan kamar Miranti untuk menyusul kepergian istrinya. Ketika menuruni tangga, Ezra tidak ingin bertindak ceroboh dengan memaksakan kakinya untuk melangkah terburu-buru.
“Rita, aku seperti mendengar sesuatu.” Miranti menatap wanita yang sudah merawatnya bertahun-tahun itu. “Saya tidak dengar apa-apa, Nyonya.” “Rita, cepat ke sini!” Miranti langsung menggoyang lengan Rita. “Itu suara Ezra!” Atas desakan Miranti yang begitu khawatir terhadap cucunya, Rita cepat-cepat berlari menuju kamar Ezra. “Maaf, Pak Ezra ... Ada apa?” “Kavita pingsan, saya tidak tahu apa yang terjadi ....” Rita buru-buru mendekati Kavita yang tergeletak di lantai kamar Ezra, dia berusaha membangunkannya dengan mengguncang bahu dan pipi Kavita bergantian. “Vita, bangun. Vita?” Ezra hanya menyaksikan bagaimana Rita masih berjuang untuk membangunkan Kavita. “Apa dia masih bernapas?” tanya Ezra ragu. Rita mendongak. “Tentu saja, Pak. Mungkin Vita kelelahan atau kurang istirahat ....” Ezra menyipitkan mata, sikap abainya sedikit terbentuk gara-gara melihat Kavita bersama Adya di dapur tadi. Egois? Memang. Rita meminta izin Ezra untuk mencari botol minyak kay