“Kenapa kamu sangat yakin kalau Deryl terlibat dalam kejadian penusukan itu?” “Karena dia memiliki motif, dendam misalnya. Dan sialnya, dia pernah bekerja jadi sopir Shadan, orang yang memiliki motif dendam terhadap saya. Sedangkan di sisi lain, kamu adalah istri saya.” Ezra menjelaskan. “Mereka memiliki motif untuk melakukan hal itu, meskipun belum seratus persen terbukti.” Kavita terdiam cukup lama mendengar penjelasan Ezra, dia ingat betul bagaimana ekspresi wajah Shadan saat mendengar nama suaminya disebut. “Apa yang kamu pikirkan?” tanya Ezra. “Saya ... menurut saya, tidak heran kalau Shadan terlibat juga, atau merekrut Deryl untuk sesuatu seperti ini. Karena saya menyaksikan sendiri sebenci apa Shadan terhadap kamu, saya bisa lihat dari sorot matanya.” Kavita menjelaskan. “Begitulah, dia memang membenci saya. Tidak Cuma dia, hampir seluruh anggota keluarga Danadyaksa berpendapat kalau saya pantas mendapatkan kebencian sebesar itu.” “Tapi kamu tidak bersalah sama sekali!” sa
“Kamu kirim saja lokasi terbaru kamu ke ponsel saya, setelah itu nonaktifkan nomor itu dan hapus riwayat percakapannya.” Shadan memerintah. “Aku akan kirimkan uang dan juga orang untuk terus mengawal posisi kalian sampai titik teraman.” “Terima kasih, Pak. Saya tunggu ....” “Ingat, langsung nonaktifkan nomor ini sekarang juga!” “Siap, Pak!” Shadan nyaris membanting ponselnya di atas meja. “Merepotkan saja, aku kira kasus ini mulai terkubur dalam-dalam ....” Shadan mengacak rambutnya. Tidak, dia tidak boleh kalah. Ini baru permulaan, sebelum nantinya dia dan Ezra akan berhadapan satu lawan satu jika waktunya tiba. Ketika tiba di rumah, Shadan heran karena mendapati ibunya sedang terduduk lesu di sofa ruang keluarga. “Bu, ayah mana?” “Keluar lagi, entahlah ....” Shadan duduk dan menatap ibunya lebih jelas. “Kenapa Ibu tidak kelihatan senang? Memangnya Ayah keluar sama siapa? Bukan rekan kerja perempuan kan?” Mervia menggeleng, lalu menceritakan percakapannya dengan Endrawan sa
“Siska ...” desis Kavita lemah, mulai tidak enak dengan sebagian pengunjung kafe yang memperhatikan keributan mereka.“Apa Kakak bilang?”“Itu fakta, Karin. Bisa saja Deryl dendam sama Vita, makanya dia terlibat. Kasusnya tidak main-main lho, penusukan sampai Vita terbaring kritis!”Karin ternganga.“Kak Vita kritis?”“Ya, dan kamu tidak tahu kan bagaimana Vita bertahan hingga berhasil melewati masa kritisnya?”Karin terdiam.“Kalau Deryl memang tidak bersalah, seharusnya dia tidak perlu bersembunyi seperti ini.” Kavita menambahkan.“Kak Deryl tidak bersembunyi, dia sedang bekerja.”“Di mana kerjanya? Kenapa telepon dan aku media sosialnya sampai tidak aktif?” tanya Kavita ingin tahu.“Namanya orang kerja, Kak. Mana sempat main media sosial?”“Oke, kalau begitu nomor kontaknya masa iya dinonaktifkan juga?”“Aku juga bingung, makanya ibu nangis terus karena Kak Deryl tidak bisa dihubungi ...” keluh Karin putus asa. “Masalahnya Kak Deryl itu nggak nentu kalau telepon, kadang
“Ada apa meneleponku?” Pasha balas bertanya. “Sekretarismu bilang kalau tidak ada pekerjaan buat aku, jadi ya aku cari angin saja di luar.”“Mentang-mentang banyak uang, tapi itu bukan urusanku.” Shadan berdecak. “Kamu kan sedang di luar, belikan nomor baru untukku. Nanti aku ganti uangnya.”Pasha dan Ezra saling pandang sejenak, Ezra bahkan memberi kode kepadanya untuk melanjutkan bicara.“Wah, wah, mau ganti nomor nih! Nanti banyak relasi yang kebingungan cari kamu, lho.”“Siapa yang bilang kalau aku ganti nomor?” tukas Shadan mengelak.“Itu tadi, kenapa kamu minta aku untuk mencarikan nomor baru?”“Sudah, kamu belikan saja. Jangan banyak tanya, aku tunggu sekarang juga.”“Eh, sekarang?”“Memangnya kenapa? Kamu ini aneh, Sha. Kerja ikut aku, tapi malah seringnya pergi ke kantor Ezra.”“Namanya juga demi uang, Dan!” Pasha berkilah. “Ya sudah, aku belikan nomor barunya sekarang!”Tanpa bicara apa-apa lagi, Shadan langsung memutus sambungan mereka.“Untuk apa Shadan minta di
“Makanya aku mau mempercepat rencana eksekusi itu, bagaimana menurutmu? Ingat untuk jangan menggunakan perasaanmu terhadap Ezra.” “Tidak! Aku sudah mendapatkan suami, tidak—aku sudah tidak peduli sama Ezra, lakukan apa yang menurutmu baik. Eksekusi dia dengan cepat dan tidak terlihat ....” “Aku tahu, jangan kaget kalau suatu saat dia tinggal nama. Oke?” “Tapi ... apa kamu yakin? Jangan sampai perbuatan kamu membuat keluarga besar kita dalam kesulitan!” seru Monic ragu-ragu. “Tidak, aku akan melakukannya dengan rapi asalkan kamu tutup mulut.” “Oke, kamu tahu apa yang kamu lakukan. Jangan sampai ketahuan dan malah mempersulit aku juga.” Shadan lantas menutup telepon, dia tidak membutuhkan ceramah Monic. Awas saja kalau adiknya itu berani berkhianat di belakangnya. “Ini nomor pesanan kamu,” kata Pasha ketika dia berkunjung ke rumah Endrawan untuk menemui Shadan. “Eh, kenapa wajahmu begitu?” Shadan melirik Pasha dengan tatapan membunuh. “Pasti soal perempuan?” “Jangan sok tahu, a
“Wah, perempuan itu benar-benar ... mana nomornya?” “Mau ngapain kamu?” “Mau saya kasih peringatan, suami hilang bukannya bantu mencari malah cari kesempatan sama suami orang.” Kavita menggerutu seraya mengulurkan tangannya ke arah Ezra. “Ini penting untuk mengungkap kasus kamu, jadi tidak masalah kalau ....” “Saya tetap tidak setuju, Yura itu ...” Kavita sampai kesulitan menjabarkan seperti apa sosok Yura yang sesungguhnya. “Saya tidak masalah kalau kasus penusukan itu tidak terungkap, toh sudah lama berlalu kan?” Gantian Ezra yang menyipitkan matanya, tanda tidak setuju. “Gampang saja kamu bicara begitu. Saya dan Pasha yang sudah pontang-panting mencari bukti tambahan di saat pihak berwajib tidak ada kemajuan.” “Pontang-panting? Bukankah kamu dan Pak Pasha tinggal suruh orang saja, anak buah kalian kan banyak?” “Tidak semudah itu juga, kamu tidak akan mengerti.” Kavita membuang napas keras. “Saya yakin kalau Yura punya tujuan terselubung di balik ajakannya untuk bertemu kam
Ezra menatap Kavita dengan ekspresi sangat serius di wajahnya, setelah itu dia menjelaskan rencananya dengan detail kepada sang istri. Di tempat lain, Yura sedang bersenandung riang seraya menunggu pesan balasan dari Ezra. Rasanya dia sudah tidak sabar untuk segera bertemu dengan pengusaha yang sedang naik daun itu. Ting! Bunyi notifikasi pada layar ponsel Yura sukses mengalihkan perhatiannya, cepat-cepat dia membuka pesan baru yang masuk. [Oke, di mana kita akan bertemu?] Nyaris saja Yura terlonjak saking senangnya, dia pikir apa yang direncanakannya telah berjalan sesuai dengan harapan. Ezra Danadyaksa bahkan setuju untuk bertemu di tempat yang akan Yura tentukan. Sempurna! [Di hotel, supaya lebih nyaman] Yura mengirim balasan pesan itu sembari tersenyum tidak sabar dengan reaksi Ezra di ujung sana. “Hotel?” Kavita menatap Ezra dengan garang. “Betul kan dugaan saya? Yura itu pelakor ulung! Kamu salah besar dengan mau menerima ajakan dia untuk bertemu—tidak, lebih tepatnya d
“Saya tidak akan bicara apa-apa kalau Anda tidak mau mengikuti permintaan saya.”“Permintaan apa lagi? Saya sudah menuruti syarat kamu untuk bicara di hotel kan? Jangan coba-coba menipu saya.”“Tentu saja saya tidak berani menipu Anda! Kebetulan juga Deryl tadi baru saja menelepon saya.”Ezra menyipitkan mata, dari tatapannya itulah yang menyadarkan Yura jika kata-katanya tidak akan semudah itu membuat sang pengusaha percaya.“Deryl telepon kamu?” tanya Ezra sangsi.“Betul Pak, saya juga kaget! Tapi ... saya cuma sempat bilang sama Deryl untuk segera pulang, soalnya kalau saya tanya-tanya posisi dia ada di mana, dia bisa curiga.”Ezra mengangguk saja.“Mana nomor yang digunakan Deryl untuk menghubungi kamu?” Sampai di titik ini, Yura merasa mendapatkan peluang untuk semakin mendekatkan diri kepada Ezra.“Saya bisa tunjukkan, tapi tentu saja ini tidak gratis.”Ezra menghela napas. “Lagi-lagi masalah uang, kamu mau berapa?”“Seratus juta!” sebut Yura tanpa malu-malu.“Apa?
Sebagai ayah pun dia sudah berusaha untuk tidak menghujat takdir yang menimpa putri mereka. “Divta sayang, kamu melamun?”Kavita menunduk dan mendaratkan kecupan di atas kening putrinya yang berbaring di sampingnya.Kepada Divtara sedikit miring ke kanan meskipun Kavita sudah sering membetulkannya dengan perlahan.Setiap kali melihat paras cantik putrinya itu, hati Kavita teriris perih. Dia memiliki kekhawatiran tersendiri tentang masa depan Divtara, terlebih jika sang anak tampil di depan umum.“Ibu sayang kamu, kita hadapi sama-sama ya?” bisik Kavita dengan penuh cinta. Tangan kecil Divtara bergerak-gerak, dan Kavita lantas menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi di pipinya yang menggemaskan.“Anaknya Siska sudah sebesar apa, ya?” gumam Kavita setelah dia selesai menyusui anaknya.“Sebenarnya kapan hari itu Pasha menelepon, dia bilang kalau Siska ingin datang berkunjung.” Ezra memberi tahu. “Tapi aku bilang kalau kamu masih baby blues, jadi belum bisa menerima kunjungan u
“Bisa jadi penyebabnya karena belum bisa menerima kehadiran si kecil sepenuhnya ....” “Tidak, Dok. Kemarin-kemarin istri saya masih bersikap normal dan tetap memperlakukan putri kami dengan baik.” Dokter Amel berpikir sebentar. “Meskipun tidak semua ibu yang baru saja melahirkan mengalaminya, tapi kemungkinan baby blues bisa terjadi, Pak.” “Lalu bagaimana cara mengatasinya, Dok?” “Peran Bapak sangat penting untuk menjaga kestabilan mental Bu Kavita yang baru saja melahirkan, jangan biarkan istri Bapak merasa bersalah terkait dengan kondisi putrinya ....” Ezra mendengarkan penjelasan Dokter Amel dengan saksama. Kavita berubah menjadi pendiam sejak keributan yang terjadi di rumah sakit, Ezra sempat khawatir jika dia akan bersikap tak acuh terhadap putri mereka. Namun, ternyata dugaan buruk Ezra sama sekali tidak terbukti. Kavita tetap memperhatikan bayi mereka dengan penuh kasih sayang, sama sekali tidak terlihat mencurigakan. “Istirahatlah sebentar, kita gantian.” Ezra mengusap
“Dasar istri tidak berguna, ibu yang melahirkan anak cacat sama sekali tidak pantas untuk menyentuh kulitku!” Wajah Kavita terasa perih, tapi itu belum apa-apa jika dibandingkan dengan pedihnya hati akibat kata-kata kejam Yura. “Masih saja kamu mengusik hidupku, apa mau kamu sebenarnya?” bisik Kavita supaya putri kecilnya tidak terbangun karena suara pertengkaran yang tidak semestinya. “Mauku? Aku mau membuat hidup kamu hancur, seperti kamu menghancurkan hidup aku sama Deryl!” Kavita terperangah. “Lihat saja, kamu pasti akan diceraikan suami kamu. Atau ... setidaknya kamu pasti akan diduakan karena anak cacat kalian tidak akan bisa jadi kebanggaan orang tua.” “Tutup mulutmu!” desis Kavita dengan tangan terkepal. “Kamu pikir Pak Ezra akan tahan melihat keturunannya yang cacat?” “Jangan sebut anakku cacat!” “Lalu apa? Tak sempurna?” ejek Yura sinis. “Persiapkan saja diri kamu, Vit. Aku akan menjadi wanita kedua suami kamu dan memberikan keturunan berkualitas untuknya, aku akan m
Kavita meremas kedua tangannya ketika Ezra berlalu pergi dari hadapannya. Seorang perawat masuk sambil mendorong kereta bayi diikuti Ezra yang berjalan di belakangnya. Kavita bangun dan dengan susah payah duduk di tepi ranjang saat perawat itu semakin dekat. “Ini bayinya, Bu. Perempuan,” kata perawat itu sembari mengangkat seorang bayi yang dibungkus rapat dengan selimut dan memberikannya kepada Kavita. “Perempuan ya, Sus?” “Betul Bu, perempuan.” Kavita dan Ezra saling pandang, sementara perawat itu membantu membetulkan letak perlekatan antara ibu dan bayinya. “Coba disusui bayinya dulu, Bu.” “Baik, Sus.” Sampai di titik ini, Kavita tidak melihat ada yang aneh dengan putrinya. Bayi itu menyesap air susunya dengan perlahan, sementara matanya terpejam rapat. “Sebenarnya ... keistimewaan apa yang kamu maksud?” tanya Kavita ingin tahu selagi putri mereka masih menyusu, sementara perawat tadi sudah pergi. “Dokter bilang kalau keistimewaan yang tentunya berbeda dengan bayi kebanya
“Tidak apa-apa, Ad. Cepat sedikit,” pinta Kavita dengan wajah pias. Rasa sakit di perutnya berangsur reda, sehingga dia bisa duduk dengan tenang sementara mobil yang dikemudikan Adya melaju ke kantor Ezra. Bos pemilik Dyaksa Company itu nyaris berlari dan melompat ke dalam mobil ketika Tantri memberi tahu bahwa Adya akan mengantar Kavita ke rumah sakit. “Kamu kenapa? Sudah mau melahirkan sekarang?” tanya Ezra buru-buru sambil mengusap kening Kavita yang berkeringat. “Tidak tahu, tapi ... perut ini sudah sakit ....” “Adya, bisa kamu ngebut sedikit?” Ezra menoleh ke arah Adya yang sedang fokus mengemudi. “Bisa Pak, saya usahakan!” Ezra kembali menoleh ke arah Kavita yang memejamkan mata karena menahan rasa sakit yang sesekali timbul. Tangan Ezra diremas dengan kuat setiap kali Kavita merasakan sakit yang teramat sangat. “Kamu bertahan dulu ....” “Ini sakit sekali, aku ... mau cepat melahirkan ....” “Tunggu sebentar, kita akan sampai rumah sakit.” Ezra mengusap-usap perut buncit
Kavita mengangguk paham. “Tidak apa-apa Dok, yang penting sehat dan tidak berisiko seperti kemarin.” “Kita akan memantau bersama-sama, jangan lupa untuk tetap mengonsumsi makanan bergizi dan vitamin yang saya resepkan.” Ezra tidak berkata apa-apa dan hanya menyimak percakapan yang berlangsung antara dokter dengan Kavita. “Mau mampir ke mana?” tanya Ezra sambil melirik Kavita yang sedang mengunyah roti. “Ke rumah Pak Pasha, aku mau bertemu Siska. Sudah terlalu malam belum?” “Aku akan telepon Pasha sebentar,” sahut Ezra sementara Kavita menunggu dengan antusias. Itu karena dia sudah lama tidak bertemu Siska yang sama-sama sedang mengandung buah hati. “Pasha bilang kalau Siska belum tidur, jadi kita masih bisa mampir sebentar.” Ezra memberi tahu. “Kalau begitu, ayo.” Kavita menyimpan kembali rotinya dan meraih sebotol air mineral untuk melicinkan tenggorokannya. Setibanya di rumah Pasha, Siska menyambut kedatangan Kavita dengan senyum merekah di bibirnya. Mereka berdua berpelukan
“Aku tidak jijik,” katanya sambil memeluk Kavita erat. Pada awalnya Kavita enggan menanggapi, tapi pelukan Ezra yang hangat dan nyaman tak urung membuatnya bahagia sehingga dia balas memeluk dengan erat. “Besok aku akan kerja lagi untuk kalian ....” “Kalian?” “Kamu dan calon anak kita.” Kavita melepaskan diri dari pelukan Ezra. “Kaki kamu bagaimana?” “Kamu lihat kan kalau aku sudah bisa berjalan? Tinggal masa pemulihan saja sambil beraktivitas normal seperti biasa, jadi aku akan secepatnya kerja. Kasihan juga Pasha karena harus membagi fokusnya di dua tempat,” ujar Ezra panjang lebar. Dua bulan kemudian .... “Bagaimana hasilnya, Dokter?” “Istri Anda positif hamil, Pak. Saya ucapkan selamat!” Sepasang suami istri itu saling tatap. “Dugaan aku benar kan, Mon? Kamu itu hamil, aku lega sekali.” Monic berdecak, dia sendiri tidak mengerti kenapa dirinya justru merasakan enggan berbahagia dengan kabar gembira ini. “Aku sempat takut kamu tidak bisa hamil lagi setelah
Mata Ezra mengintip sedikit. “Itu pakai urine?” “Iya ....” “Jorok sekali, singkirkan sana.” Kavita memukul bahu Ezra karena tidak terima dengan komentarnya. “Perkembangan kaki kamu bagaimana, Zra?” tanya Miranti ketika Ezra muncul di kamarnya. “Sudah jauh lebih baik, Nek. Meskipun aku belum bisa berlari, setidaknya sudah bisa berjalan dan tidak perlu kursi roda lagi.” “Syukurlah ... Oh ya, kapan itu kamu teriak-teriak kenapa? Nenek sudah tanya Rita, katanya Kavita pingsan karena kelelahan ....” Ezra mengangguk pelan, dia ingat bahwa dirinya belum memberi tahu kabar kehamilan Kavita kepada Miranti. Baru juga dia akan bercerita, dari sudut matanya Ezra melihat Kavita yang keluar dari kamar dan berjalan menuruni tangga. “Kavita sepertinya mau pergi, Nek. Nanti saja aku cerita!” pamit Ezra sambil berlalu meninggalkan kamar Miranti untuk menyusul kepergian istrinya. Ketika menuruni tangga, Ezra tidak ingin bertindak ceroboh dengan memaksakan kakinya untuk melangkah terburu-buru.
“Rita, aku seperti mendengar sesuatu.” Miranti menatap wanita yang sudah merawatnya bertahun-tahun itu. “Saya tidak dengar apa-apa, Nyonya.” “Rita, cepat ke sini!” Miranti langsung menggoyang lengan Rita. “Itu suara Ezra!” Atas desakan Miranti yang begitu khawatir terhadap cucunya, Rita cepat-cepat berlari menuju kamar Ezra. “Maaf, Pak Ezra ... Ada apa?” “Kavita pingsan, saya tidak tahu apa yang terjadi ....” Rita buru-buru mendekati Kavita yang tergeletak di lantai kamar Ezra, dia berusaha membangunkannya dengan mengguncang bahu dan pipi Kavita bergantian. “Vita, bangun. Vita?” Ezra hanya menyaksikan bagaimana Rita masih berjuang untuk membangunkan Kavita. “Apa dia masih bernapas?” tanya Ezra ragu. Rita mendongak. “Tentu saja, Pak. Mungkin Vita kelelahan atau kurang istirahat ....” Ezra menyipitkan mata, sikap abainya sedikit terbentuk gara-gara melihat Kavita bersama Adya di dapur tadi. Egois? Memang. Rita meminta izin Ezra untuk mencari botol minyak kay