“Beres,” kata Ezra singkat saat melangkah masuk ke dalam rumah.“Pak, saya bukannya tidak tahu terima kasih. Tapi kelihatannya mereka akan semakin beringas di jalan nanti seandainya bertemu saya.”“Kita lihat apakah suamimu masih bisa fokus pada utang-utangnya setelah tahu kalau kamu menggugat cerai dia.”Kavita terdiam.“Kenapa? Kamu berubah pikiran?’“Tidak, saya ....”Ezra menarik napas, lalu memandang Kavita dari balik rambut hitamnya yang menutupi sebagian dahi.“Susah ya kalau perempuan itu sudah bucin dengan pasangannya. Mau diduakan seperti apa pun pasti nurut-nurut saja ....”“Saya tidak nurut,” bantah Kavita sembari menggeleng. “Saya menunjukkan perlawanan, meskipun tidak terang-terangan karena saya tidak memiliki keluarga yang bisa mendukung saya.”“Jadi ... kamu merasa berdiri sendirian?”“Begitulah, saya memang berjuang sendiri. Mungkin itu yang menjadi pertimbangan suami saya untuk menikah lagi diam-diam karena dia pikir saya tidak memiliki pilihan lain kecuali
Deryl sontak melongo setelah mendengar ucapan Kavita. “Aku mau kita bercerai secepatnya, Deryl.” “Apa yang kamu bicarakan? Kamu tidak sungguh-sungguh kan?” Deryl memegang kedua bahu Kavita seolah hendak menyadarkannya dari halusinasi yang mendadak menyerang. “Aku tahu kamu tidak sungguh-sungguh mengatakannya, kamu tidak akan bisa pisah dari aku!” racau Deryl lagi. Cih, apaan sih Deryl. Yura membatin geram. “Tidak bisa pisah dari kamu?” ulang Kavita. “Kamu pikir selama ini aku ngapain, membelah diri? Satu tahun aku tinggal berjauhan sama kamu, demi siapa?” Deryl gelagapan saat sorot mata Kavita tajam menusuknya. “Aku ... aku tahu kamu melakukannya demi masa depan kita, Vita ....” “Sudah tahu begitu kenapa kamu malah nikah lagi diam-diam? Sedangkan aku di sana berusaha keras menjaga kesetiaan aku buat kamu, tidak sadarkah kamu?” Bahu Kavita naik-turun menahan amarah yang berminggu-minggu ini dia pendam. Sejak mengetahui suaminya telah menikah lagi, rasa ingin berbakti seketika
Deryl diam saja, hanya hidungnya kembang kempis dan bahunya naik-turun menahan perasaan rendah diri yang bergejolak. “Jangan-jangan kamu malah mendukungku untuk melanggar komitmen kita demi uang? Maaf saja, aku tidak serendah itu meskipun aku bisa melakukannya.” “Cukup, Vit. Berhenti memojokkan aku terus ....” “Itu karena kamu menahan kepergian aku dari rumah ini, Deryl. Jangan egois lah, kamu cinta sama Yura kan?” Deryl mengangguk, bahkan tanpa berpikir lebih dulu. “Kalau begitu aku kasih kamu jalan untuk bisa bersama Yura ....” “Tapi aku juga cinta sama kamu, aku tidak mau kita bercerai.” “Itu sudah keputusan aku, sama seperti keputusan kamu yang memilih untuk menikah diam-diam di belakang aku.” Deryl menarik napas panjang. Dia tidak menduga kalau istrinya bisa berubah sedrastis ini. Kavita yang dulu rela melakukan apa saja demi keluarga mereka bisa tetap makan dengan utang yang menumpuk setinggi gunung, kini seolah menunjukkan taringnya yang perkasa. Rayuan semanis apa pun
Mata Deryl membulat penuh gairah, begitu juga dengan Yura. Keduanya sama-sama membayangkan betapa besar nominal uang yang sengaja disembunyikan Kavita.“Apa-apaan!”Sesaat berikutnya Deryl menatap tajam ke arah Kavita.“Kenapa, Ryl? Ada berapa ratus juta uang kamu di rekening Vita?”“Ini ... ini tidak bisa dipercaya!”“Ada apa sih, Ryl? Ngomong yang jelas!” Kavita asyik menjadi penonton pada pertunjukan yang sedang berlangsung di depannya.“Jujur sama aku, kenapa uangnya cuma tinggal segini?” tuntut Deryl seraya memandang Kavita.“Maksudnya?”“Jangan pura-pura bodoh, Vit!”“Aku bukan pura-pura bodoh, tapi aku sedang bertanya sama kamu.”Yura tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, dengan penuh rasa keingintahuannya yang tinggi dia segera menarik lengan Deryl dan mengintip layar ponsel Kavita.“Berapa ratus jut—apa ini?” Kavita tersenyum remeh ketika melihat perubahan drastis di wajah pasangan suami istri itu.“Saldonya kurang dari seratus ribu?”“Iya, memang segit
“Kalau bisa, saya ingin satu kali sidang langsung selesai saja, Bu. Bisa tidak, ya?” tanya Kavita yang sudah tidak sabar ingin segera berpisah dari Deryl. “Saya akan coba upayakan, Bu.” Tricya berjanji. “Apalagi posisi Anda lebih kuat di sini, terdapat bukti yang menunjukkan kalau Pak Deryl adalah suami yang tidak bertanggung jawab, termasuk pernikahan keduanya yang dia lakukan secara diam-diam.” Kavita menarik napas lega, dia tahu bahwa Ezra tidak mungkin sembarangan merekomendasikan orang kepadanya. “Kita sarapan apa ini?” Pagi itu di rumah Deryl, para penghuni sudah duduk di meja dapur yang masih bersih. “Ibu dan Yura tidak memasak ya?” “Ibu masuk angin, Kak.” “Terus Yura?” Deryl mengalihkan pandangan kepada istri keduanya. “Kulkas kosong, sudah sejak kapan itu kamu tidak isi juga dengan bahan makanan sehari-hari.” Yura beralasan. “Di toko cuma ada sarden, mi instan, telur, bisa saja sih aku ambil—nanti takutnya ada yang lapor.” Karin terbelalak mendengar sindiran Yura yang
“Enak juga masakan kamu ya, Vit?” “Masa? Itu masakan ala kadarnya, masa enak?” “Kalau tidak enak, aku tidak akan makan.” “Bisa saja kamu takut kalau aku tersinggung.” “Serius, Vit. Ini enak sekali!” Melihat interaksi antara Kavita dan Adya yang begitu akrab penuh canda, akhirnya Ezra mengurungkan niatnya dan memilih untuk pergi. Malam itu tidur Kavita berlangsung damai, sampai akhirnya terdengar suara tegas yang memanggilnya dengan nada mendominasi. “Kavita, bangun.” Rasa kantuk dan pikiran yang teramat lelah membuat Kavita sulit untuk membuka kedua matanya. “Kavita, bangun sebentar.” “Iya ....” Tetap tidak ada pergerakan yang berarti. “Kavita, ini gawat! Bos kamu ....” Strategi yang lumayan berhasil. “Bos ...? Kenapa dengan Pak Ezra? Apa yang terjadi sama dia?” “Bangun dulu, cepat!” Kavita tergeragap dan menoleh ke sana kemari seakan baru saja mengalami mimpi buruk, di saat yang sama Ezra juga balas menatapnya. “Pak Ezra ... Ada apa?” tanya Kavita sambil buru-buru ban
Seperti perintah Ezra sebelumnya, dia baru turun setelah sang bos masuk ke dalam gedung perkantoran. Itupun Adya harus menjauhkan mobil supaya tidak terlihat oleh pegawai lain. “Sepertinya tidak masalah kalau aku turun sekarang,” ujar Kavita. “Memangnya kenapa sih kamu harus nunggu Pak Ezra masuk kantor dulu? Kan memang dia sudah kasih kamu tumpangan.” “Aku merasa tidak enak saja dengan karyawan lainnya, Adya.” “Bilang saja kalau kamu memang kerja di rumah Pak Ezra juga.” Kavita menarik napas. “Tidak sesederhana itu, pendapat tiap orang kan beda-beda.” Adya tidak lagi berkomentar, sampai akhirnya Kavita turun dari mobil Ezra. Sebelum mencapai halaman, Kavita merasakan ada yang menarik bahunya dengan gerakan kuat. “Vit, aku mau bicara!” Kavita menoleh dan terkesiap saat melihat keberadaan Deryl di dekatnya. “Mau bicara apa lagi kamu? Bukankah kamu tidak mau melihat wajahku?” Deryl terlihat berusaha keras untuk tidak terpancing emosi. “Aku sadar terakhir kali kita bicara, si
Gerak Kavita jadi terhambat dalam beraktivitas karena memar dan rasa nyeri yang begitu kuat saking kerasnya dia terjatuh saat Deryl terjerembab karena dikejar-kejar orang.“Jadi suami kamu yang bikin perkara lagi?” tanya Ezra saat kesigapan Kavita sedikit berkurang ketika menyiapkan segala kebutuhannya.“Iya, Pak ....”“Dia sudah mengusir kamu kan? Dan dia juga yang cari-cari kamu lagi?”“Begitulah, saya juga heran. Maaf ya, Pak ... Saya tidak bisa kerja cepat, nyeri masih terasa.”Ezra diam sebagai tanggapan, yang justru diartikan Kavita sebagai ungkapan tidak senang.“Nafkah bulanan saya dipotong juga tidak apa-apa, namanya juga musibah.”“Saya potong sampai lima puluh persen, mau?”“Jangan lah kalau lima puluh persen, Pak ... Saya masih bisa gerak kok ini, lihat.” Kavita menarik satu setel piyama tidur Ezra dan meletakkannya di tepi tempat tidur, lalu dia menarik keluar keranjang cucian kotor untuk dia bawa turun ke tempat cuci.“Masak nasi goreng masih bisa?” cetus Ezra k
Sebagai ayah pun dia sudah berusaha untuk tidak menghujat takdir yang menimpa putri mereka. “Divta sayang, kamu melamun?”Kavita menunduk dan mendaratkan kecupan di atas kening putrinya yang berbaring di sampingnya.Kepada Divtara sedikit miring ke kanan meskipun Kavita sudah sering membetulkannya dengan perlahan.Setiap kali melihat paras cantik putrinya itu, hati Kavita teriris perih. Dia memiliki kekhawatiran tersendiri tentang masa depan Divtara, terlebih jika sang anak tampil di depan umum.“Ibu sayang kamu, kita hadapi sama-sama ya?” bisik Kavita dengan penuh cinta. Tangan kecil Divtara bergerak-gerak, dan Kavita lantas menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi di pipinya yang menggemaskan.“Anaknya Siska sudah sebesar apa, ya?” gumam Kavita setelah dia selesai menyusui anaknya.“Sebenarnya kapan hari itu Pasha menelepon, dia bilang kalau Siska ingin datang berkunjung.” Ezra memberi tahu. “Tapi aku bilang kalau kamu masih baby blues, jadi belum bisa menerima kunjungan u
“Bisa jadi penyebabnya karena belum bisa menerima kehadiran si kecil sepenuhnya ....” “Tidak, Dok. Kemarin-kemarin istri saya masih bersikap normal dan tetap memperlakukan putri kami dengan baik.” Dokter Amel berpikir sebentar. “Meskipun tidak semua ibu yang baru saja melahirkan mengalaminya, tapi kemungkinan baby blues bisa terjadi, Pak.” “Lalu bagaimana cara mengatasinya, Dok?” “Peran Bapak sangat penting untuk menjaga kestabilan mental Bu Kavita yang baru saja melahirkan, jangan biarkan istri Bapak merasa bersalah terkait dengan kondisi putrinya ....” Ezra mendengarkan penjelasan Dokter Amel dengan saksama. Kavita berubah menjadi pendiam sejak keributan yang terjadi di rumah sakit, Ezra sempat khawatir jika dia akan bersikap tak acuh terhadap putri mereka. Namun, ternyata dugaan buruk Ezra sama sekali tidak terbukti. Kavita tetap memperhatikan bayi mereka dengan penuh kasih sayang, sama sekali tidak terlihat mencurigakan. “Istirahatlah sebentar, kita gantian.” Ezra mengusap
“Dasar istri tidak berguna, ibu yang melahirkan anak cacat sama sekali tidak pantas untuk menyentuh kulitku!” Wajah Kavita terasa perih, tapi itu belum apa-apa jika dibandingkan dengan pedihnya hati akibat kata-kata kejam Yura. “Masih saja kamu mengusik hidupku, apa mau kamu sebenarnya?” bisik Kavita supaya putri kecilnya tidak terbangun karena suara pertengkaran yang tidak semestinya. “Mauku? Aku mau membuat hidup kamu hancur, seperti kamu menghancurkan hidup aku sama Deryl!” Kavita terperangah. “Lihat saja, kamu pasti akan diceraikan suami kamu. Atau ... setidaknya kamu pasti akan diduakan karena anak cacat kalian tidak akan bisa jadi kebanggaan orang tua.” “Tutup mulutmu!” desis Kavita dengan tangan terkepal. “Kamu pikir Pak Ezra akan tahan melihat keturunannya yang cacat?” “Jangan sebut anakku cacat!” “Lalu apa? Tak sempurna?” ejek Yura sinis. “Persiapkan saja diri kamu, Vit. Aku akan menjadi wanita kedua suami kamu dan memberikan keturunan berkualitas untuknya, aku akan m
Kavita meremas kedua tangannya ketika Ezra berlalu pergi dari hadapannya. Seorang perawat masuk sambil mendorong kereta bayi diikuti Ezra yang berjalan di belakangnya. Kavita bangun dan dengan susah payah duduk di tepi ranjang saat perawat itu semakin dekat. “Ini bayinya, Bu. Perempuan,” kata perawat itu sembari mengangkat seorang bayi yang dibungkus rapat dengan selimut dan memberikannya kepada Kavita. “Perempuan ya, Sus?” “Betul Bu, perempuan.” Kavita dan Ezra saling pandang, sementara perawat itu membantu membetulkan letak perlekatan antara ibu dan bayinya. “Coba disusui bayinya dulu, Bu.” “Baik, Sus.” Sampai di titik ini, Kavita tidak melihat ada yang aneh dengan putrinya. Bayi itu menyesap air susunya dengan perlahan, sementara matanya terpejam rapat. “Sebenarnya ... keistimewaan apa yang kamu maksud?” tanya Kavita ingin tahu selagi putri mereka masih menyusu, sementara perawat tadi sudah pergi. “Dokter bilang kalau keistimewaan yang tentunya berbeda dengan bayi kebanya
“Tidak apa-apa, Ad. Cepat sedikit,” pinta Kavita dengan wajah pias. Rasa sakit di perutnya berangsur reda, sehingga dia bisa duduk dengan tenang sementara mobil yang dikemudikan Adya melaju ke kantor Ezra. Bos pemilik Dyaksa Company itu nyaris berlari dan melompat ke dalam mobil ketika Tantri memberi tahu bahwa Adya akan mengantar Kavita ke rumah sakit. “Kamu kenapa? Sudah mau melahirkan sekarang?” tanya Ezra buru-buru sambil mengusap kening Kavita yang berkeringat. “Tidak tahu, tapi ... perut ini sudah sakit ....” “Adya, bisa kamu ngebut sedikit?” Ezra menoleh ke arah Adya yang sedang fokus mengemudi. “Bisa Pak, saya usahakan!” Ezra kembali menoleh ke arah Kavita yang memejamkan mata karena menahan rasa sakit yang sesekali timbul. Tangan Ezra diremas dengan kuat setiap kali Kavita merasakan sakit yang teramat sangat. “Kamu bertahan dulu ....” “Ini sakit sekali, aku ... mau cepat melahirkan ....” “Tunggu sebentar, kita akan sampai rumah sakit.” Ezra mengusap-usap perut buncit
Kavita mengangguk paham. “Tidak apa-apa Dok, yang penting sehat dan tidak berisiko seperti kemarin.” “Kita akan memantau bersama-sama, jangan lupa untuk tetap mengonsumsi makanan bergizi dan vitamin yang saya resepkan.” Ezra tidak berkata apa-apa dan hanya menyimak percakapan yang berlangsung antara dokter dengan Kavita. “Mau mampir ke mana?” tanya Ezra sambil melirik Kavita yang sedang mengunyah roti. “Ke rumah Pak Pasha, aku mau bertemu Siska. Sudah terlalu malam belum?” “Aku akan telepon Pasha sebentar,” sahut Ezra sementara Kavita menunggu dengan antusias. Itu karena dia sudah lama tidak bertemu Siska yang sama-sama sedang mengandung buah hati. “Pasha bilang kalau Siska belum tidur, jadi kita masih bisa mampir sebentar.” Ezra memberi tahu. “Kalau begitu, ayo.” Kavita menyimpan kembali rotinya dan meraih sebotol air mineral untuk melicinkan tenggorokannya. Setibanya di rumah Pasha, Siska menyambut kedatangan Kavita dengan senyum merekah di bibirnya. Mereka berdua berpelukan
“Aku tidak jijik,” katanya sambil memeluk Kavita erat. Pada awalnya Kavita enggan menanggapi, tapi pelukan Ezra yang hangat dan nyaman tak urung membuatnya bahagia sehingga dia balas memeluk dengan erat. “Besok aku akan kerja lagi untuk kalian ....” “Kalian?” “Kamu dan calon anak kita.” Kavita melepaskan diri dari pelukan Ezra. “Kaki kamu bagaimana?” “Kamu lihat kan kalau aku sudah bisa berjalan? Tinggal masa pemulihan saja sambil beraktivitas normal seperti biasa, jadi aku akan secepatnya kerja. Kasihan juga Pasha karena harus membagi fokusnya di dua tempat,” ujar Ezra panjang lebar. Dua bulan kemudian .... “Bagaimana hasilnya, Dokter?” “Istri Anda positif hamil, Pak. Saya ucapkan selamat!” Sepasang suami istri itu saling tatap. “Dugaan aku benar kan, Mon? Kamu itu hamil, aku lega sekali.” Monic berdecak, dia sendiri tidak mengerti kenapa dirinya justru merasakan enggan berbahagia dengan kabar gembira ini. “Aku sempat takut kamu tidak bisa hamil lagi setelah
Mata Ezra mengintip sedikit. “Itu pakai urine?” “Iya ....” “Jorok sekali, singkirkan sana.” Kavita memukul bahu Ezra karena tidak terima dengan komentarnya. “Perkembangan kaki kamu bagaimana, Zra?” tanya Miranti ketika Ezra muncul di kamarnya. “Sudah jauh lebih baik, Nek. Meskipun aku belum bisa berlari, setidaknya sudah bisa berjalan dan tidak perlu kursi roda lagi.” “Syukurlah ... Oh ya, kapan itu kamu teriak-teriak kenapa? Nenek sudah tanya Rita, katanya Kavita pingsan karena kelelahan ....” Ezra mengangguk pelan, dia ingat bahwa dirinya belum memberi tahu kabar kehamilan Kavita kepada Miranti. Baru juga dia akan bercerita, dari sudut matanya Ezra melihat Kavita yang keluar dari kamar dan berjalan menuruni tangga. “Kavita sepertinya mau pergi, Nek. Nanti saja aku cerita!” pamit Ezra sambil berlalu meninggalkan kamar Miranti untuk menyusul kepergian istrinya. Ketika menuruni tangga, Ezra tidak ingin bertindak ceroboh dengan memaksakan kakinya untuk melangkah terburu-buru.
“Rita, aku seperti mendengar sesuatu.” Miranti menatap wanita yang sudah merawatnya bertahun-tahun itu. “Saya tidak dengar apa-apa, Nyonya.” “Rita, cepat ke sini!” Miranti langsung menggoyang lengan Rita. “Itu suara Ezra!” Atas desakan Miranti yang begitu khawatir terhadap cucunya, Rita cepat-cepat berlari menuju kamar Ezra. “Maaf, Pak Ezra ... Ada apa?” “Kavita pingsan, saya tidak tahu apa yang terjadi ....” Rita buru-buru mendekati Kavita yang tergeletak di lantai kamar Ezra, dia berusaha membangunkannya dengan mengguncang bahu dan pipi Kavita bergantian. “Vita, bangun. Vita?” Ezra hanya menyaksikan bagaimana Rita masih berjuang untuk membangunkan Kavita. “Apa dia masih bernapas?” tanya Ezra ragu. Rita mendongak. “Tentu saja, Pak. Mungkin Vita kelelahan atau kurang istirahat ....” Ezra menyipitkan mata, sikap abainya sedikit terbentuk gara-gara melihat Kavita bersama Adya di dapur tadi. Egois? Memang. Rita meminta izin Ezra untuk mencari botol minyak kay