Gerak Kavita jadi terhambat dalam beraktivitas karena memar dan rasa nyeri yang begitu kuat saking kerasnya dia terjatuh saat Deryl terjerembab karena dikejar-kejar orang.“Jadi suami kamu yang bikin perkara lagi?” tanya Ezra saat kesigapan Kavita sedikit berkurang ketika menyiapkan segala kebutuhannya.“Iya, Pak ....”“Dia sudah mengusir kamu kan? Dan dia juga yang cari-cari kamu lagi?”“Begitulah, saya juga heran. Maaf ya, Pak ... Saya tidak bisa kerja cepat, nyeri masih terasa.”Ezra diam sebagai tanggapan, yang justru diartikan Kavita sebagai ungkapan tidak senang.“Nafkah bulanan saya dipotong juga tidak apa-apa, namanya juga musibah.”“Saya potong sampai lima puluh persen, mau?”“Jangan lah kalau lima puluh persen, Pak ... Saya masih bisa gerak kok ini, lihat.” Kavita menarik satu setel piyama tidur Ezra dan meletakkannya di tepi tempat tidur, lalu dia menarik keluar keranjang cucian kotor untuk dia bawa turun ke tempat cuci.“Masak nasi goreng masih bisa?” cetus Ezra k
Sejak gagal membujuk Kavita dan nyaris menjadi bulan-bulanan massa, Deryl tidak memiliki pilihan lain kecuali pulang ke rumahnya dengan tangan kosong.“Kok lesu begitu, Ryl?” sambut ibu heran. “Dari mana kamu? Melamar kerja lagi?”“Iya, Bu.” Deryl terpaksa berbohong.“Daripada kamu sudah payah begitu, lebih baik kamu kelola toko saja.”“Masalahnya stok barang sudah banyak yang berkurang, seperti yang Ibu bilang kalau agen tidak lagi rutin menyetor barang.”“Tidak apa, kamu bisa mulai semuanya dari nol lagi.”Deryl tertunduk lesu. Dia tidak terbiasa memulai segala sesuatunya dari awal, selama ini Kavita yang merintis semua hal dan dia tinggal menunggu hasilnya dengan santai.“Ibu dan Karin akan bantu kamu, sayang sekali kalau bisnis toko itu tidak kamu lanjutkan ....”Deryl akhirnya mengangguk karena tanpa adanya Kavita, seluruh jalan keluar seolah sudah tertutup kabut yang sangat tebal.Dan sekarang inilah yang Deryl lakukan. Menuruti saran ibunya, dia membuka lagi toko serba
“Dikasih jepit rambut saja,” usul Ezra sembari meraih sebagian kecil rambut Kavita yang ada di sisi kanan dan kiri lalu menyatukannya. “Seperti ini ....”“Waaahh, Anda jago jadi penata rambut juga!” Kavita memuji, seraya menatap Ezra dari pantulan mereka di cermin. “Masih ada beberapa jam, saya beli tas yang cocok dulu dengan baju ini.”Ezra menarik tangannya dan berpendapat hal yang sama, neneknya mungkin telah melupakan sesuatu yang penting.“Masih keburu kan, Pak?”“Iya.”“Kalau begitu saya ajak Adya, boleh?”Ezra tidak perlu berpikir lama untuk segera menjawab. “Memangnya di sini siapa yang jadi suami kontrak kamu, saya atau Adya?”Namun, dia mengatakannya dalam hati saja.“Bagaimana, Pak?”“Adya bukannya harus bersiap-siap untuk mengantar kita nanti?”Kavita mengangguk paham.“Kalau begitu saya mau ajak Siska saja, Pak.”“Terserah, yang penting jangan lama-lama.”Setelah mengantongi izin dari Ezra, Kavita pergi ke kamar tamu untuk berganti pakaian.“Aduh Vit, lain k
“Tidak! Apa-apaan ini?”Siang yang terik itu semakin panas saat teriakan Deryl membelah angkasa, Karin yang baru saja tiba di rumah sampai terlonjak kaget dan nyaris melompat dari lantai.“Sudah lah, Ryl ... Ikhlaskan, hadapi.”“Tidak, Vita ...! Aku pikir dia tidak akan serius dengan ucapannya!”“Dan ternyata dia serius kan? Itu bagus,” sahut Yura tenang sambil menepuk bahu suaminya.Karin mendatangi mereka berdua dengan tampang ingin tahu.“Lihat apa yang dilakukan kakak ipar kamu ...” kata Deryl tidak bertenaga sembari melambaikan surat yang dikirim dari kantor pengadilan.“Kiamat sudah dekat ...” gumam Karin pucat pasi. Dengan adanya surat dari pengadilan, dia tahu bahwa kakak iparnya sungguh-sungguh menggugat cerai kakak kandungnya.Semua ini gara-gara Yura, tentu saja!“Puas sekarang, Kak?”Yura berjengit ketika Karin menusukkan tatapannya yang setajam pedang.“Tentu saja, dengan begini aku dah kakakmu bisa fokus membangun rumah tangga.”“Oh ya, dengan cara menghancurkan rumah ta
Kavita gugup setengah mati saat Ezra membungkukkan badan untuk menyejajarkan wajahnya dengan wajah Kavita. “M—maksudnya ...? Anda mungkin mau saya ... traktir makan?” Ezra pura-pura berpikir. “Tidak ada yang spesial dari sebuah tawaran makan.” “Lalu apa? Anda bilang saja terus terang, Pak.” “Yakin kalau kamu tidak akan menyesal?” Kavita menggeleng. “Kalau saya menyesal, saya tidak mungkin memperpanjang kontrak pernikahan kita.” Ezra menatap Kavita selama beberapa saat, yang dibalas senyum lemah dari bibirnya yang merah alami. “Saya mau sesuatu yang berbeda,” kata Ezra sembari mengangkat dagu Kavita. “Maaf, Pak! Tapi menurut kontrak, kita tidak diperkenankan untuk sentuhan fisik sama sekali!” Ezra tersenyum singkat ketika Kavita mundur menjauh untuk menciptakan jarak. “Memangnya saya minta kamu untuk kontak fisik sama saya?” “Terus tadi itu ... Anda pegang-pegang saya ....” Ezra menegakkan dirinya. “Kamu tidak perlu sepanik itu, saya cuma mau satu hal saja.” “Apa, Pak?”
Ezra diam membisu, perasaan muak mulai menjangkiti hatinya yang sejak awal tidak terkesan dengan sosok suami Kavita yang resmi.Karena menurutnya, suami yang normal tidak akan mengizinkan istrinya menikah kontrak dengan pria lain apa pun alasannya.Terlebih lagi sampai membebankan tanggung jawab mencari nafkah ke pundak istri, Deryl benar-benar telah mencoreng citra seorang pria sejati yang sesungguhnya.“Bagaimana, Pak? Bisa?” tanya Deryl tanpa malu-malu.“Apa yang membuat kamu merasa berhak atas gaji Kavita?” balas Ezra datar, masih dengan posisinya duduk membelakangi Deryl.“Karena saya ini suaminya, Pak. Dia pernah bilang kalau gajinya belum ditransfer padahal kontrak pernikahan kalian sudah berakhir.”Ezra mengepalkan tangannya, dia ingin sekali rasanya mempermalukan Deryl sampai puas.“Buktinya apa kalau Anda ini adalah suaminya Kavita?” Deryl sontak diam. Bayangan setumpuk uang mulai menari-nari di kepalanya, jadi dengan alasan apa pun dia tidak boleh mundur kali ini.
“Tidak, tidak, Ibu minta lagi saja sama Deryl. Ini saja masih kurang banyak dari yang awalnya dia janjikan dulu sama aku.”Ibu Deryl menarik napas dengan sabar.“Semoga kamu maklum ya, suami kamu sedang berada di situasi susah. Jadi mungkin apa pun yang pernah Deryl janjikan ke kamu bisa terwujud suatu saat nanti.”Yura tidak menjawab, ibu Deryl menganggap bahwa diamnya Yura merupakan tanda penolakan terhadap permintaannya.Setelah mendapatkan jatah bulanan, seperti biasa Yura langsung belanjakan kebutuhan pribadi seperti skincare rutin dan makanan enak-enak untuk dia konsumsi sendiri. Deryl menyipit heran ketika ada kurir yang mengantar paket atau makanan meskipun dia tidak merasa pesan.“Pasti Yura langsung belanja,” batin Deryl dalam hatinya, tapi dia tidak sempat untuk memastikan sendiri karena masih sibuk di toko. Dipikirnya Yura pesan makanan juga untuk sekeluarga.“Bu, masak apa?” Karin muncul di dapur. “Lapar berat aku ....”“Kamu duduk dulu, ibu buatkan teh hangat ya
Ezra menyipitkan matanya saat mendengar Kavita lagi-lagi menyebut nama Adya. “Kamu ini tidak peka sama sekali, ya?” “Peka? Bagaimana maksudnya ...?” “Kalau saya bilang akan mengantar kamu, itu artinya cuma akan ada saya dan kamu saja.” Kavita tertegun mendengar ada ketegasan dalam nada suara Ezra. “Tapi, Pak ... Bukankah nanti kalau kita pergi berdua saja, Adya dan yang lain akan berpikir yang tidak-tidak?” Ezra mengangkat bahu. “Biarkan saja mereka bertanya-tanya, saya akan jawab kalau mereka berani bertanya sama saya.” Kavita meringis tertahan, tentu saja dia sangat yakin seratus persen jika mereka lebih memilih untuk tutup mulut daripada bertanya tentang sesuatu yang bukan urusan mereka. “Ya sudah, Pak. Saya tidur duluan ya?” “Kamu sudah mengantuk?” “Iya, lihat Pak ... Mata saya sudah tinggal segaris, saya harus bangun pagi besok.” Ezra mengangguk setuju karena dia sendiri juga sudah cukup penat dengan padatnya pekerjaan di hari itu. Setelah mendapatkan persetujuan, Kav
Sebagai ayah pun dia sudah berusaha untuk tidak menghujat takdir yang menimpa putri mereka. “Divta sayang, kamu melamun?”Kavita menunduk dan mendaratkan kecupan di atas kening putrinya yang berbaring di sampingnya.Kepada Divtara sedikit miring ke kanan meskipun Kavita sudah sering membetulkannya dengan perlahan.Setiap kali melihat paras cantik putrinya itu, hati Kavita teriris perih. Dia memiliki kekhawatiran tersendiri tentang masa depan Divtara, terlebih jika sang anak tampil di depan umum.“Ibu sayang kamu, kita hadapi sama-sama ya?” bisik Kavita dengan penuh cinta. Tangan kecil Divtara bergerak-gerak, dan Kavita lantas menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi di pipinya yang menggemaskan.“Anaknya Siska sudah sebesar apa, ya?” gumam Kavita setelah dia selesai menyusui anaknya.“Sebenarnya kapan hari itu Pasha menelepon, dia bilang kalau Siska ingin datang berkunjung.” Ezra memberi tahu. “Tapi aku bilang kalau kamu masih baby blues, jadi belum bisa menerima kunjungan u
“Bisa jadi penyebabnya karena belum bisa menerima kehadiran si kecil sepenuhnya ....” “Tidak, Dok. Kemarin-kemarin istri saya masih bersikap normal dan tetap memperlakukan putri kami dengan baik.” Dokter Amel berpikir sebentar. “Meskipun tidak semua ibu yang baru saja melahirkan mengalaminya, tapi kemungkinan baby blues bisa terjadi, Pak.” “Lalu bagaimana cara mengatasinya, Dok?” “Peran Bapak sangat penting untuk menjaga kestabilan mental Bu Kavita yang baru saja melahirkan, jangan biarkan istri Bapak merasa bersalah terkait dengan kondisi putrinya ....” Ezra mendengarkan penjelasan Dokter Amel dengan saksama. Kavita berubah menjadi pendiam sejak keributan yang terjadi di rumah sakit, Ezra sempat khawatir jika dia akan bersikap tak acuh terhadap putri mereka. Namun, ternyata dugaan buruk Ezra sama sekali tidak terbukti. Kavita tetap memperhatikan bayi mereka dengan penuh kasih sayang, sama sekali tidak terlihat mencurigakan. “Istirahatlah sebentar, kita gantian.” Ezra mengusap
“Dasar istri tidak berguna, ibu yang melahirkan anak cacat sama sekali tidak pantas untuk menyentuh kulitku!” Wajah Kavita terasa perih, tapi itu belum apa-apa jika dibandingkan dengan pedihnya hati akibat kata-kata kejam Yura. “Masih saja kamu mengusik hidupku, apa mau kamu sebenarnya?” bisik Kavita supaya putri kecilnya tidak terbangun karena suara pertengkaran yang tidak semestinya. “Mauku? Aku mau membuat hidup kamu hancur, seperti kamu menghancurkan hidup aku sama Deryl!” Kavita terperangah. “Lihat saja, kamu pasti akan diceraikan suami kamu. Atau ... setidaknya kamu pasti akan diduakan karena anak cacat kalian tidak akan bisa jadi kebanggaan orang tua.” “Tutup mulutmu!” desis Kavita dengan tangan terkepal. “Kamu pikir Pak Ezra akan tahan melihat keturunannya yang cacat?” “Jangan sebut anakku cacat!” “Lalu apa? Tak sempurna?” ejek Yura sinis. “Persiapkan saja diri kamu, Vit. Aku akan menjadi wanita kedua suami kamu dan memberikan keturunan berkualitas untuknya, aku akan m
Kavita meremas kedua tangannya ketika Ezra berlalu pergi dari hadapannya. Seorang perawat masuk sambil mendorong kereta bayi diikuti Ezra yang berjalan di belakangnya. Kavita bangun dan dengan susah payah duduk di tepi ranjang saat perawat itu semakin dekat. “Ini bayinya, Bu. Perempuan,” kata perawat itu sembari mengangkat seorang bayi yang dibungkus rapat dengan selimut dan memberikannya kepada Kavita. “Perempuan ya, Sus?” “Betul Bu, perempuan.” Kavita dan Ezra saling pandang, sementara perawat itu membantu membetulkan letak perlekatan antara ibu dan bayinya. “Coba disusui bayinya dulu, Bu.” “Baik, Sus.” Sampai di titik ini, Kavita tidak melihat ada yang aneh dengan putrinya. Bayi itu menyesap air susunya dengan perlahan, sementara matanya terpejam rapat. “Sebenarnya ... keistimewaan apa yang kamu maksud?” tanya Kavita ingin tahu selagi putri mereka masih menyusu, sementara perawat tadi sudah pergi. “Dokter bilang kalau keistimewaan yang tentunya berbeda dengan bayi kebanya
“Tidak apa-apa, Ad. Cepat sedikit,” pinta Kavita dengan wajah pias. Rasa sakit di perutnya berangsur reda, sehingga dia bisa duduk dengan tenang sementara mobil yang dikemudikan Adya melaju ke kantor Ezra. Bos pemilik Dyaksa Company itu nyaris berlari dan melompat ke dalam mobil ketika Tantri memberi tahu bahwa Adya akan mengantar Kavita ke rumah sakit. “Kamu kenapa? Sudah mau melahirkan sekarang?” tanya Ezra buru-buru sambil mengusap kening Kavita yang berkeringat. “Tidak tahu, tapi ... perut ini sudah sakit ....” “Adya, bisa kamu ngebut sedikit?” Ezra menoleh ke arah Adya yang sedang fokus mengemudi. “Bisa Pak, saya usahakan!” Ezra kembali menoleh ke arah Kavita yang memejamkan mata karena menahan rasa sakit yang sesekali timbul. Tangan Ezra diremas dengan kuat setiap kali Kavita merasakan sakit yang teramat sangat. “Kamu bertahan dulu ....” “Ini sakit sekali, aku ... mau cepat melahirkan ....” “Tunggu sebentar, kita akan sampai rumah sakit.” Ezra mengusap-usap perut buncit
Kavita mengangguk paham. “Tidak apa-apa Dok, yang penting sehat dan tidak berisiko seperti kemarin.” “Kita akan memantau bersama-sama, jangan lupa untuk tetap mengonsumsi makanan bergizi dan vitamin yang saya resepkan.” Ezra tidak berkata apa-apa dan hanya menyimak percakapan yang berlangsung antara dokter dengan Kavita. “Mau mampir ke mana?” tanya Ezra sambil melirik Kavita yang sedang mengunyah roti. “Ke rumah Pak Pasha, aku mau bertemu Siska. Sudah terlalu malam belum?” “Aku akan telepon Pasha sebentar,” sahut Ezra sementara Kavita menunggu dengan antusias. Itu karena dia sudah lama tidak bertemu Siska yang sama-sama sedang mengandung buah hati. “Pasha bilang kalau Siska belum tidur, jadi kita masih bisa mampir sebentar.” Ezra memberi tahu. “Kalau begitu, ayo.” Kavita menyimpan kembali rotinya dan meraih sebotol air mineral untuk melicinkan tenggorokannya. Setibanya di rumah Pasha, Siska menyambut kedatangan Kavita dengan senyum merekah di bibirnya. Mereka berdua berpelukan
“Aku tidak jijik,” katanya sambil memeluk Kavita erat. Pada awalnya Kavita enggan menanggapi, tapi pelukan Ezra yang hangat dan nyaman tak urung membuatnya bahagia sehingga dia balas memeluk dengan erat. “Besok aku akan kerja lagi untuk kalian ....” “Kalian?” “Kamu dan calon anak kita.” Kavita melepaskan diri dari pelukan Ezra. “Kaki kamu bagaimana?” “Kamu lihat kan kalau aku sudah bisa berjalan? Tinggal masa pemulihan saja sambil beraktivitas normal seperti biasa, jadi aku akan secepatnya kerja. Kasihan juga Pasha karena harus membagi fokusnya di dua tempat,” ujar Ezra panjang lebar. Dua bulan kemudian .... “Bagaimana hasilnya, Dokter?” “Istri Anda positif hamil, Pak. Saya ucapkan selamat!” Sepasang suami istri itu saling tatap. “Dugaan aku benar kan, Mon? Kamu itu hamil, aku lega sekali.” Monic berdecak, dia sendiri tidak mengerti kenapa dirinya justru merasakan enggan berbahagia dengan kabar gembira ini. “Aku sempat takut kamu tidak bisa hamil lagi setelah
Mata Ezra mengintip sedikit. “Itu pakai urine?” “Iya ....” “Jorok sekali, singkirkan sana.” Kavita memukul bahu Ezra karena tidak terima dengan komentarnya. “Perkembangan kaki kamu bagaimana, Zra?” tanya Miranti ketika Ezra muncul di kamarnya. “Sudah jauh lebih baik, Nek. Meskipun aku belum bisa berlari, setidaknya sudah bisa berjalan dan tidak perlu kursi roda lagi.” “Syukurlah ... Oh ya, kapan itu kamu teriak-teriak kenapa? Nenek sudah tanya Rita, katanya Kavita pingsan karena kelelahan ....” Ezra mengangguk pelan, dia ingat bahwa dirinya belum memberi tahu kabar kehamilan Kavita kepada Miranti. Baru juga dia akan bercerita, dari sudut matanya Ezra melihat Kavita yang keluar dari kamar dan berjalan menuruni tangga. “Kavita sepertinya mau pergi, Nek. Nanti saja aku cerita!” pamit Ezra sambil berlalu meninggalkan kamar Miranti untuk menyusul kepergian istrinya. Ketika menuruni tangga, Ezra tidak ingin bertindak ceroboh dengan memaksakan kakinya untuk melangkah terburu-buru.
“Rita, aku seperti mendengar sesuatu.” Miranti menatap wanita yang sudah merawatnya bertahun-tahun itu. “Saya tidak dengar apa-apa, Nyonya.” “Rita, cepat ke sini!” Miranti langsung menggoyang lengan Rita. “Itu suara Ezra!” Atas desakan Miranti yang begitu khawatir terhadap cucunya, Rita cepat-cepat berlari menuju kamar Ezra. “Maaf, Pak Ezra ... Ada apa?” “Kavita pingsan, saya tidak tahu apa yang terjadi ....” Rita buru-buru mendekati Kavita yang tergeletak di lantai kamar Ezra, dia berusaha membangunkannya dengan mengguncang bahu dan pipi Kavita bergantian. “Vita, bangun. Vita?” Ezra hanya menyaksikan bagaimana Rita masih berjuang untuk membangunkan Kavita. “Apa dia masih bernapas?” tanya Ezra ragu. Rita mendongak. “Tentu saja, Pak. Mungkin Vita kelelahan atau kurang istirahat ....” Ezra menyipitkan mata, sikap abainya sedikit terbentuk gara-gara melihat Kavita bersama Adya di dapur tadi. Egois? Memang. Rita meminta izin Ezra untuk mencari botol minyak kay