Ezra memegang pelipisnya, dia semakin yakin dengan nalurinya bahwa Shadan memiliki peran di balik kejadian-kejadian yang dia alami sampai detik ini.“Bagaimana kalau Kavita ternyata ada di situ?”“Sepemikiran, tapi aku harus menyelidikinya lebih jauh lagi.” Pasha mengangguk.“Kenapa tadi kamu tidak langsung mendobrak pintunya saja?” kata Ezra seolah menyesalkan keputusan Pasha yang setengah-setengah.“Bisa apa aku, Zra? Mana mungkin aku langsung mendobrak pintu tanpa alasan yang jelas?” balas Pasha. “Iya kalau Kavita benar-benar ada di sana, kalau tidak?”Ezra diam saja.“Dugaan kita saat ini baru lima puluh persen kan? Sisanya keberuntungan, karena kita tidak memiliki bukti tentang keberadaan Kavita di kantor Shadan.”“Aku tahu, tapi ... kalau aku jadi kamu, aku mungkin sudah tidak sabar.” Ezra mengangkat bahu. “Aku tidak peduli apakah Kavita ada di sana atau tidak, yang jelas aku merasa puas kalau bisa mengobrak-abrik kantor Shadan.”Pasha geleng-geleng kepala.“Kamu sama g
“Iya, mau sampai kapan kamu menyembunyikan dia di sana?” tanya Monic ingin tahu. “Masalahnya akan runyam kalau sampai keberadaan ruangan kamu itu diketahui ayah atau mungkin OB yang setiap hari bersih-bersih.” Shadan berpikir sebentar, dia teringat dengan Pasha yang beberapa hari lalu mengetahui keberadaan pintu itu dan sempat bertanya macam-macam kepadanya. “Tidak perlu bingung, karena mereka tidak akan mungkin berani masuk tanpa izin dariku.” “Tapi tidak ada salahnya kalau kamu waspada!” decak Monic tidak sabar. “Apalagi cuma kamu yang tahu rencana apa yang saat ini sedang kamu susun, payah.” “Jangan sebut aku payah, enak saja!” dengus Shadan tidak terima. “Aku tetap akan mempertimbangkan pendapat kamu tadi, tidak ada salahnya jaga-jaga. Daripada keberadaan dia diketahui orang, aku harus melakukan sesuatu.” “Bagus, habisi saja dia kalau perlu.” “Aku tidak sekejam itu, Mon.” Setelah selesai mengobrol, Shadan mengakhiri sambungannya dengan Monic. Aku harus bertindak lebih cepat
Aku akan lebih leluasa mencari Kavita, pikir Pasha.“Monic bagaimana kabarnya?” tanya Pasha basa-basi.“Dia rewel sekali,” jawab Shadan sambil terkekeh. “Suka marah-marah dan tambah sentimen sejak hamil, kadang-kadang aku kasihan sama suaminya ....”“Paling tidak Dicky jauh lebih sabar daripada kamu,” timpal Pasha.Shadan mengangguk membenarkan, dia meraih ponsel dan segera menghubungi Monic. Pasha dengan tenang berusaha menunggu supaya tidak terlihat mencurigakan.Dia harus bisa menunjukkan kepada Shadan kalau dirinya terdesak dan terpaksa melakukan cara yang sangat dihindarinya ini.“Kenapa wajahmu begitu?” tanya Shadan heran setelah dia selesai menelepon. “Masih kepikiran?”Pasha mengangguk dengan wajah muram. “Atau ... aku batalkan saja, aku akan mengajukan pinjaman ke bank ....”Kening Shadan berkerut. “Kalau cara kamu seperti itu, sama saja artinya dengan kamu mempermalukan orang tua kamu. Memangnya mereka tidak bisa bantu?”Pasha mengangkat bahu. “Aku sudah dewasa, aku
“Jangan gegabah, Zra!” cegah Pasha. “Kita sudah sepakat untuk menyelidiki Shadan pelan-pelan, jadi jangan berubah arah seperti ini!” “Aku berubah arah juga karena Kavita tidak ada di ruangan privasi Shadan kan?” tukas Ezra tidak sabar. “Kalau begitu biar aku yang akan memaksanya buka mulut.” “Tapi, Zra ...!” Ezra lantas menutup sambungan teleponnya sebelum Pasha selesai bicara. Dia tentu sudah tidak bisa bersabar lagi, bahkan ketika pihak kepolisian mengaku masih berusaha mencari keberadaan orang-orang yang terlibat dalam menghilangnya Kavita. “Saya ada urusan penting akhir-akhir ini, jadi saya minta kamu dan Reni saling bantu untuk mengambil alih pekerjaan saya.” Ezra berpesan kepada Tantri. “Baik, Pak.” “Kalau Pasha datang ke sini, kamu bisa minta tolong dia untuk menggunakan ruangan saya.” Ezra menambahkan, dan Tantri menganggukkan kepalanya tanpa banyak pertanyaan. Setelah memastikan bahwa sekretarisnya sudah memahami seluruh instruksi, Ezra pergi meninggalkan kantor untuk m
Kavita belum sempat menjawab karena Monic menoyor keningnya dengan keras.“Kamu malah menikah sama Ezra! Di mana otak kamu, ha? Di mana, sialan!”Monic tiba-tiba marah dan menyerang Kavita dengan membabi buta.“Saya tidak tahu apa salah saya!” Kavita terduduk lunglai setelah Monic terus-menerus menyerangnya, ditambah lagi kondisinya yang sedang berbadan dua. “Mau tahu salahmu di mana?”“Tidak, karena apa pun yang ada pada diri saya, menurutmu pasti salah semua ...” ucap Kavita lirih.“Itu sadar diri!” tunjuk Monic lagi.Kavita sangat tidak suka ditunjuk-tunjuk seperti itu, tapi untuk melawan Monic pun dirinya sudah merasa terlalu lelah. Kondisi kehamilan ini sangat tidak menguntungkan baginya sekarang, berbeda dengan Monic yang jauh lebih berenergi karena umur kehamilan yang sudah lama.“Aku akan usul ke kakakku supaya dia melempar kamu di tengah hutan belantara biar Ezra tidak lagi menemukan kamu,” sambung Monic dengan seringai licik di wajahnya, sangat mirip dengan seringai
“Kembalikan saya ke suami saya, Ezra.”Shadan tiba-tiba menginjak gas dengan gila-gilaan, membuat mobil yang mereka tumpangi melaju kencang di tengah padatnya kendaraan.“Kamu gila? Kamu mau bunuh diri?” Kavita histeris.“Bunuh anak Ezra lebih tepatnya!”“Tidak, stop!”Shadan tidak peduli, dia terus mengemudi tanpa memikirkan kepentingan orang-orang sesama pengguna jalan. Dia tidak segegabah itu ingin menghabisi siapa pun yang menghalangi langkahnya, tapi hanya ingin menggertak Kavita saja supaya tidak membuat keributan.Setelah puas mengemudi gila-gilaan seperti orang kerasukan, Shadan mengurangi kecepatan mobilnya.“Kamu ... membuat saya ... semakin mau ... muntah ...” keluh Kavita lagi, dia paksa dirinya untuk menahan rasa mual karena perutnya yang bergolak hebat.“Apa sih, tidak usah berlebihan!” tukas Shadan. “Ini belum seberapa, jadi jangan manja.”“Ya, terserah ... saya akan muntah ... di sini ....”“Jangan gila kamu!” Shadan meradang dan mengincar pinggiran jalan yan
“Masuk!” bentak Shadan lagi sambil mendorong Kavita hingga perutnya membentur kursi penumpang dengan keras. Dia terbelalak ketika Kavita memekik tertahan, lalu tidak lama setelah itu keluar cairan merah yang membasahi kakinya. Shadan tidak mengira jika tenaganya terlalu berlebihan saat mendorong Kavita tadi, sedangkan dia tidak berniat untuk melenyapkan anak Ezra secepat itu. “Ceroboh!” rutuk Shadan, mau tidak mau dia harus bertindak dengan mengubah arah tujuan mereka. Kavita bersandar lemas di bodi mobil, dia bisa merasakan sesuatu yang basah itu masih merembes. Wajahnya semakin pucat di tengah rasa sakit yang mendera, hingga dia tidak mampu lagi mempertahankan kesadaran dirinya. “Merepotkan!” Shadan terus mengumpat saat dia harus putar arah untuk menuju rumah sakit terdekat. Seandainya Kavita bukanlah senjata untuk menghancurkan Ezra, tentu dia lebih memilih membayar orang untuk mengurus Kavita. Namun, rencana sudah telanjur berantakan. Mau tak mau Shadan harus tetap membawa Ka
Logikanya jika Shadan kecelakaan, pasti Monic sudah heboh sejak awal Ezra datang. “Kemungkinan masih ditangani di IGD, Pak. Lurus saja,” imbau petugas itu. Ezra langsung bergegas pergi menuju IGD. Selang beberapa detik setelahnya, Shadan muncul dari arah berlawanan. “Cari siapa, Pak?” Salah seorang petugas medis menanyai Ezra yang tampak kebingungan. “Saya ... saya sedang mencari korban ibu hamil yang mengalami pendarahan,” jawab Ezra terus terang. “Saya dengar di depan sana tadi kalau ada pasien hamil yang sedang ditangani.” “Anda siapanya pasien, Pak?” “Saya suaminya, jadi di mana pasien itu?” tanya Ezra tidak sabar. “Saya mau melihatnya langsung untuk memastikan ....” “Tenang, Pak. Untuk kasus ibu hamil sudah mendapatkan perawatan intensif, Anda tidak perlu khawatir.” “Kalau begitu di mana ruangannya? Saya harus memastikan pasien itu istri saya atau bukan!” Ezra nyaris frustrasi, dia merasa ada yang aneh dengan mobil Shadan. Dia nyaris oleng karena staminanya sedang tidak
Sebagai ayah pun dia sudah berusaha untuk tidak menghujat takdir yang menimpa putri mereka. “Divta sayang, kamu melamun?”Kavita menunduk dan mendaratkan kecupan di atas kening putrinya yang berbaring di sampingnya.Kepada Divtara sedikit miring ke kanan meskipun Kavita sudah sering membetulkannya dengan perlahan.Setiap kali melihat paras cantik putrinya itu, hati Kavita teriris perih. Dia memiliki kekhawatiran tersendiri tentang masa depan Divtara, terlebih jika sang anak tampil di depan umum.“Ibu sayang kamu, kita hadapi sama-sama ya?” bisik Kavita dengan penuh cinta. Tangan kecil Divtara bergerak-gerak, dan Kavita lantas menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi di pipinya yang menggemaskan.“Anaknya Siska sudah sebesar apa, ya?” gumam Kavita setelah dia selesai menyusui anaknya.“Sebenarnya kapan hari itu Pasha menelepon, dia bilang kalau Siska ingin datang berkunjung.” Ezra memberi tahu. “Tapi aku bilang kalau kamu masih baby blues, jadi belum bisa menerima kunjungan u
“Bisa jadi penyebabnya karena belum bisa menerima kehadiran si kecil sepenuhnya ....” “Tidak, Dok. Kemarin-kemarin istri saya masih bersikap normal dan tetap memperlakukan putri kami dengan baik.” Dokter Amel berpikir sebentar. “Meskipun tidak semua ibu yang baru saja melahirkan mengalaminya, tapi kemungkinan baby blues bisa terjadi, Pak.” “Lalu bagaimana cara mengatasinya, Dok?” “Peran Bapak sangat penting untuk menjaga kestabilan mental Bu Kavita yang baru saja melahirkan, jangan biarkan istri Bapak merasa bersalah terkait dengan kondisi putrinya ....” Ezra mendengarkan penjelasan Dokter Amel dengan saksama. Kavita berubah menjadi pendiam sejak keributan yang terjadi di rumah sakit, Ezra sempat khawatir jika dia akan bersikap tak acuh terhadap putri mereka. Namun, ternyata dugaan buruk Ezra sama sekali tidak terbukti. Kavita tetap memperhatikan bayi mereka dengan penuh kasih sayang, sama sekali tidak terlihat mencurigakan. “Istirahatlah sebentar, kita gantian.” Ezra mengusap
“Dasar istri tidak berguna, ibu yang melahirkan anak cacat sama sekali tidak pantas untuk menyentuh kulitku!” Wajah Kavita terasa perih, tapi itu belum apa-apa jika dibandingkan dengan pedihnya hati akibat kata-kata kejam Yura. “Masih saja kamu mengusik hidupku, apa mau kamu sebenarnya?” bisik Kavita supaya putri kecilnya tidak terbangun karena suara pertengkaran yang tidak semestinya. “Mauku? Aku mau membuat hidup kamu hancur, seperti kamu menghancurkan hidup aku sama Deryl!” Kavita terperangah. “Lihat saja, kamu pasti akan diceraikan suami kamu. Atau ... setidaknya kamu pasti akan diduakan karena anak cacat kalian tidak akan bisa jadi kebanggaan orang tua.” “Tutup mulutmu!” desis Kavita dengan tangan terkepal. “Kamu pikir Pak Ezra akan tahan melihat keturunannya yang cacat?” “Jangan sebut anakku cacat!” “Lalu apa? Tak sempurna?” ejek Yura sinis. “Persiapkan saja diri kamu, Vit. Aku akan menjadi wanita kedua suami kamu dan memberikan keturunan berkualitas untuknya, aku akan m
Kavita meremas kedua tangannya ketika Ezra berlalu pergi dari hadapannya. Seorang perawat masuk sambil mendorong kereta bayi diikuti Ezra yang berjalan di belakangnya. Kavita bangun dan dengan susah payah duduk di tepi ranjang saat perawat itu semakin dekat. “Ini bayinya, Bu. Perempuan,” kata perawat itu sembari mengangkat seorang bayi yang dibungkus rapat dengan selimut dan memberikannya kepada Kavita. “Perempuan ya, Sus?” “Betul Bu, perempuan.” Kavita dan Ezra saling pandang, sementara perawat itu membantu membetulkan letak perlekatan antara ibu dan bayinya. “Coba disusui bayinya dulu, Bu.” “Baik, Sus.” Sampai di titik ini, Kavita tidak melihat ada yang aneh dengan putrinya. Bayi itu menyesap air susunya dengan perlahan, sementara matanya terpejam rapat. “Sebenarnya ... keistimewaan apa yang kamu maksud?” tanya Kavita ingin tahu selagi putri mereka masih menyusu, sementara perawat tadi sudah pergi. “Dokter bilang kalau keistimewaan yang tentunya berbeda dengan bayi kebanya
“Tidak apa-apa, Ad. Cepat sedikit,” pinta Kavita dengan wajah pias. Rasa sakit di perutnya berangsur reda, sehingga dia bisa duduk dengan tenang sementara mobil yang dikemudikan Adya melaju ke kantor Ezra. Bos pemilik Dyaksa Company itu nyaris berlari dan melompat ke dalam mobil ketika Tantri memberi tahu bahwa Adya akan mengantar Kavita ke rumah sakit. “Kamu kenapa? Sudah mau melahirkan sekarang?” tanya Ezra buru-buru sambil mengusap kening Kavita yang berkeringat. “Tidak tahu, tapi ... perut ini sudah sakit ....” “Adya, bisa kamu ngebut sedikit?” Ezra menoleh ke arah Adya yang sedang fokus mengemudi. “Bisa Pak, saya usahakan!” Ezra kembali menoleh ke arah Kavita yang memejamkan mata karena menahan rasa sakit yang sesekali timbul. Tangan Ezra diremas dengan kuat setiap kali Kavita merasakan sakit yang teramat sangat. “Kamu bertahan dulu ....” “Ini sakit sekali, aku ... mau cepat melahirkan ....” “Tunggu sebentar, kita akan sampai rumah sakit.” Ezra mengusap-usap perut buncit
Kavita mengangguk paham. “Tidak apa-apa Dok, yang penting sehat dan tidak berisiko seperti kemarin.” “Kita akan memantau bersama-sama, jangan lupa untuk tetap mengonsumsi makanan bergizi dan vitamin yang saya resepkan.” Ezra tidak berkata apa-apa dan hanya menyimak percakapan yang berlangsung antara dokter dengan Kavita. “Mau mampir ke mana?” tanya Ezra sambil melirik Kavita yang sedang mengunyah roti. “Ke rumah Pak Pasha, aku mau bertemu Siska. Sudah terlalu malam belum?” “Aku akan telepon Pasha sebentar,” sahut Ezra sementara Kavita menunggu dengan antusias. Itu karena dia sudah lama tidak bertemu Siska yang sama-sama sedang mengandung buah hati. “Pasha bilang kalau Siska belum tidur, jadi kita masih bisa mampir sebentar.” Ezra memberi tahu. “Kalau begitu, ayo.” Kavita menyimpan kembali rotinya dan meraih sebotol air mineral untuk melicinkan tenggorokannya. Setibanya di rumah Pasha, Siska menyambut kedatangan Kavita dengan senyum merekah di bibirnya. Mereka berdua berpelukan
“Aku tidak jijik,” katanya sambil memeluk Kavita erat. Pada awalnya Kavita enggan menanggapi, tapi pelukan Ezra yang hangat dan nyaman tak urung membuatnya bahagia sehingga dia balas memeluk dengan erat. “Besok aku akan kerja lagi untuk kalian ....” “Kalian?” “Kamu dan calon anak kita.” Kavita melepaskan diri dari pelukan Ezra. “Kaki kamu bagaimana?” “Kamu lihat kan kalau aku sudah bisa berjalan? Tinggal masa pemulihan saja sambil beraktivitas normal seperti biasa, jadi aku akan secepatnya kerja. Kasihan juga Pasha karena harus membagi fokusnya di dua tempat,” ujar Ezra panjang lebar. Dua bulan kemudian .... “Bagaimana hasilnya, Dokter?” “Istri Anda positif hamil, Pak. Saya ucapkan selamat!” Sepasang suami istri itu saling tatap. “Dugaan aku benar kan, Mon? Kamu itu hamil, aku lega sekali.” Monic berdecak, dia sendiri tidak mengerti kenapa dirinya justru merasakan enggan berbahagia dengan kabar gembira ini. “Aku sempat takut kamu tidak bisa hamil lagi setelah
Mata Ezra mengintip sedikit. “Itu pakai urine?” “Iya ....” “Jorok sekali, singkirkan sana.” Kavita memukul bahu Ezra karena tidak terima dengan komentarnya. “Perkembangan kaki kamu bagaimana, Zra?” tanya Miranti ketika Ezra muncul di kamarnya. “Sudah jauh lebih baik, Nek. Meskipun aku belum bisa berlari, setidaknya sudah bisa berjalan dan tidak perlu kursi roda lagi.” “Syukurlah ... Oh ya, kapan itu kamu teriak-teriak kenapa? Nenek sudah tanya Rita, katanya Kavita pingsan karena kelelahan ....” Ezra mengangguk pelan, dia ingat bahwa dirinya belum memberi tahu kabar kehamilan Kavita kepada Miranti. Baru juga dia akan bercerita, dari sudut matanya Ezra melihat Kavita yang keluar dari kamar dan berjalan menuruni tangga. “Kavita sepertinya mau pergi, Nek. Nanti saja aku cerita!” pamit Ezra sambil berlalu meninggalkan kamar Miranti untuk menyusul kepergian istrinya. Ketika menuruni tangga, Ezra tidak ingin bertindak ceroboh dengan memaksakan kakinya untuk melangkah terburu-buru.
“Rita, aku seperti mendengar sesuatu.” Miranti menatap wanita yang sudah merawatnya bertahun-tahun itu. “Saya tidak dengar apa-apa, Nyonya.” “Rita, cepat ke sini!” Miranti langsung menggoyang lengan Rita. “Itu suara Ezra!” Atas desakan Miranti yang begitu khawatir terhadap cucunya, Rita cepat-cepat berlari menuju kamar Ezra. “Maaf, Pak Ezra ... Ada apa?” “Kavita pingsan, saya tidak tahu apa yang terjadi ....” Rita buru-buru mendekati Kavita yang tergeletak di lantai kamar Ezra, dia berusaha membangunkannya dengan mengguncang bahu dan pipi Kavita bergantian. “Vita, bangun. Vita?” Ezra hanya menyaksikan bagaimana Rita masih berjuang untuk membangunkan Kavita. “Apa dia masih bernapas?” tanya Ezra ragu. Rita mendongak. “Tentu saja, Pak. Mungkin Vita kelelahan atau kurang istirahat ....” Ezra menyipitkan mata, sikap abainya sedikit terbentuk gara-gara melihat Kavita bersama Adya di dapur tadi. Egois? Memang. Rita meminta izin Ezra untuk mencari botol minyak kay