“Kamu menyalahkan saya?” “Maaf, saya lupa kalau Anda ini tidak pernah salah.” Kavita membuang muka dan langsung merebahkan diri untuk tidur, meninggalkan Ezra yang masih sibuk mengancingkan piyama tidurnya. “Ini undangan pernikahan kamu yang baru.” Keesokan harinya Pasha menyerahkan setumpuk surat undangan eksklusif kepada Ezra. “Aku jamin kalau setelah ini kantor akan heboh.” “Panggil Siska ke sini,” perintah Ezra. “Mau ngapain? Kalau kamu mengintimidasi dia seperti kemarin, aku tidak akan tinggal diam.” Pasha mendadak mengubah ekspresi wajahnya menjadi sangat serius. “Kamu ini bicara apa sih?” “Aku serius, Zra. Jangan menekan Siska seperti tempo hari, biarpun kamu sangat ingin tahu ke mana Kavita pergi.” Ezra menegakkan punggungnya dan menatap Pasha. “Memangnya kenapa?” “Karena ... Siska itu calon istri aku.” Ezra sontak mengernyit. “Apa?” “Ya, Siska calon istriku. Kenapa?” Ezra menatap Pasha yang tampak serius dengan ucapannya. “Tidak kenapa-kenapa, tapi pastikan kam
“Yakin kamu pisah dari saya?” “Lihat saja nanti.” Ezra membelah batas antara dirinya dan Kavita, keduanya bersatu untuk mereguk manisnya madu di malam pengantin mereka. Kavita sedikit kewalahan karena Ezra tidak sehati-hati biasanya, kali ini sang suami tidak melewatkan satu inci pun bagian dari dirinya. Hampir setiap sentuhan yang dia tinggalkan akan berjejak meski hanya samar-samar saja .... Keesokan paginya, Kavita terbangun sebentar—berniat untuk beraktivitas seperti biasa, tapi baru menggerakkan kakinya saja rasanya begitu berat. Aku harus tetap bangun dan menyiapkan sarapan, pikir Kavita. Jangan sampai aku jadi malas hanya karena berstatus istri resmi Pak Ezra. Baru saja Kavita bangun dari posisinya, tiba-tiba Ezra menggenggam pergelangan tangan sang istri. “Mau ke mana?” Kavita menoleh dan mendapati Ezra yang masih berbaring membelakanginya dengan tangan terulur. Orang ini! Seperti kamera pengawas saja, batin Kavita dalam hati. “Saya harus bersih-bersih ....” “Nanti s
“Kamu bertengkar sama istri?” “Tidak Pak, saya ... justru kepikiran mantan istri saya yang menikah lagi.” Shadan yang duduk di belakang, lantas terdiam sambil berpikir keras. “Kalau begitu impas kan, kamu sendiri juga sudah punya istri baru.” Dia berkomentar. “Selain itu, setidaknya Ezra tidak lagi nempel sama mantan istri kamu itu ....” “Justru itu masalahnya, Pak.” Deryl menyahut dari kursi sopir. “Mantan istri saya justru menikah sama bosnya sendiri di kantor.” Shadan langsung terduduk tegak di tempatnya. “Apa katamu? Dia menikah sama bosnya?” “Betul, seingat saya orangnya yang kemarin saya lihat di gedung.” Shadan memegang dagunya sambil berpikir keras. Ezra menikah dengan asisten pribadinya? Shadan hampir tidak percaya ini, apalagi Ezra tidak mengirim selembar undangan pun ke rumah keluarga besar Danadyaksa. “Ayah sudah tahu?” tanya Shadan begitu dia tiba di kantor dan menemui Endrawan di ruangannya. “Soal apa?” Endrawan mengangkat wajahnya dengan wajah lelah. “Ezra te
Sambil bertelanjang dada, dia ikut terjun ke laut dan berenang mencari keberadaan istrinya. Di saat yang sama, kepala Kavita menyembul di permukaan laut dan celingukan ke sana kemari saat melihat Ezra sudah tidak ada di tempatnya semula. “Kok hilang? Wah, jangan-jangan aku ditinggal ...” gerutu Kavita sambil mengusap wajahnya. “Suami macam apa sih dia, ya ampun!” Kesal dengan sikap Ezra, Kavita melanjutkan kegiatan berenangnya. Di saat itulah dia merasa ada yang menarik salah satu dari kakinya dan Kavita memekik. “Sudah dibilang jangan jauh-jauh!” Ezra muncul dengan rambut basah kuyup sembari mengomel. “Kalau tenggelam bagaimana?” “Saya kan cuma berenang,” ucap Kavita membela diri. “Naik ke darat sekarang, kita kembali ke hotel.” Ezra berenang menuju ke tepian pantai, sementara Kavita membuntuti dengan wajah suram. Setibanya di hotel, mereka berdua segera mandi bergantian lalu mengenakan pakaian bersih supaya tidak masuk angin. Ezra segera berbaring nyaman dan menyalakan televis
Pada awalnya, Deryl terlihat ragu-ragu dengan penawaran yang diberikan Shadan untuknya. Namun, setelah melihat beberapa gepok uang warna merah yang diletakkan Shadan di depan mata, Deryl seketika goyah.“Anu ... kapan kita pulang?”Masih di pulau, Kavita menanyai Ezra yang bersiap untuk tidur malam. Dia tidak tahu menahu tentang rencana lamanya bulan madu mereka karena segala hal sudah diurus sang suami.“Kenapa sih?”“Mau ketemuan sama Siska, saya harus dengar sendiri soal kabar pernikahannya sama Pak Pasha.” Kavita menjelaskan.“Jadi kamu tidak percaya dengan apa yang saya ucapkan kemarin?”“Bukan begitu, tapi kan saya sudah jelaskan kalau saya baru merasa puas kalau sudah bertemu Siska.” Ezra tidak menanggapi.“Kerjaan Anda di kantor nanti menumpuk banyak kalau terlalu lama libur, Pak.” Kavita membujuk. “Sudah saya bilang, jangan panggil saya bapak. Liburan juga baru mau tiga hari sudah rewel,” ketus Ezra sembari berbaring dengan kedua tangan terlipat di dada.“Siapa ya
“Ada apa, Pasha?” Ezra menjawab telepon itu. “Zra, aku tidak bermaksud mengganggu acara bulan madu kamu ... tapi sepertinya kamu harus segera pulang—ini gawat!” “Gawat kenapa?” tanya Ezra dengan ponsel menempel di telinganya. “Pekerjaan di kantor tidak ada masalah kan?” Pasha terdengar menarik napas panjang. “Kerjaan di kantor sih tidak ada masalah, tapi yang bahaya itu adalah kehidupan pribadi kamu —imbasnya ke perusahaan ini juga! Makanya kamu harus secepatnya pulang, Zra!” “Bisa kamu jelaskan apa persisnya yang sedang terjadi di sana?” tanya Ezra, mulai tidak tenang. “Jadi begini, Zra ...” Pasha lantas menceritakan tentang situasi terkini yang tengah dihadapinya. Beberapa saat kemudian .... “Kavita, siap-siap! Kita akan pulang sekarang,” suruh Ezra setelah perbincangannya dengan Pasha berakhir. “Kok mendadak, tadi katanya agak sorean baru kita pulang?” “Sudah tidak ada waktu lagi, kata Pasha ada masalah gawat yang harus segera diselesaikan.” “Masalah gawat ...?” “Nanti s
Karena biar bagaimana pun juga Deryl tidak memiliki bukti tertulis bahwa Ezra dan Kavita pernah menikah kontrak di masa lalu."Apa? Konferensi pers?"Ezra mengangguk ketika dia memberi tahu Kavita tentang situasi yang sedang terjadi saat ini."Harus, ya?""Untuk saya sih harus, kalau kamu tidak muncul juga tidak apa-apa. Saya cuma mau mengingatkan, kamu jangan kaget kalau seandainya ada orang yang tiba-tiba meliput kamu atau apa ... Lebih baik kamu menghindar saja."Kavita mengangguk dengan wajah resah."Saya penasaran, apa motif Deryl menyebarkan kabar itu? Saya sama dia sudah bercerai dan tidak ada urusan apa-apa lagi ....""Yakin tidak ada urusan apa-apa?" Ezra menatap Kavita. "Mungkin ada hal yang belum kalian selesaikan?"Kavita menggeleng tegas. "Tidak ada, saya bahkan sudah mengikhlaskan sebagian uang yang belum dia kembalikan sampai detik ini. Kurang bersyukur sekali dia, sampai harus menarik perhatian saya dengan cara seperti ini."Ezra mengangkat bahu, dia sendiri belum paham
“Bagus,” kata Shadan puas. “Sana, kerja lagi sampai seluruh negeri mengetahui skandal ini.” Pria itu membawa pergi seluruh uang tadi dengan ekspresi yang lebih gila. “Menghancurkan hidup orang adalah salah satu cara instan untuk mendapatkan uang, terima kasih Bos!” Hampir saja pria itu menabrak seorang wanita yang tiba-tiba muncul di hadapannya. “Shadan!” Monic memekik, membuat pria itu terlonjak kaget. Shadan mendongak dan melihat sang adik yang berjalan gagah ke ruangannya. “Mon, jangan teriak-teriak di kantor Ayah!” “Suka-suka aku, justru karena ini adalah kantor ayah!” Shadan mengamati wajah Monic yang memancarkan kemarahan besar. “Ada apa?” “Jangan pura-pura tidak tahu, soal perjodohan itu!” dengus Monic sembari menjatuhkan diri di sofa. “Kamu pasti sudah tahu kan? Kenapa kamu tidak bilang sebelumnya sama aku?” Shadan berpikir sejenak. “Oh, soal itu? Memangnya kenapa sih, kan ayah berniat baik supaya kamu juga bisa melupakan anak haram itu ... Jujur sebagai kakak, aku
Sebagai ayah pun dia sudah berusaha untuk tidak menghujat takdir yang menimpa putri mereka. “Divta sayang, kamu melamun?”Kavita menunduk dan mendaratkan kecupan di atas kening putrinya yang berbaring di sampingnya.Kepada Divtara sedikit miring ke kanan meskipun Kavita sudah sering membetulkannya dengan perlahan.Setiap kali melihat paras cantik putrinya itu, hati Kavita teriris perih. Dia memiliki kekhawatiran tersendiri tentang masa depan Divtara, terlebih jika sang anak tampil di depan umum.“Ibu sayang kamu, kita hadapi sama-sama ya?” bisik Kavita dengan penuh cinta. Tangan kecil Divtara bergerak-gerak, dan Kavita lantas menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi di pipinya yang menggemaskan.“Anaknya Siska sudah sebesar apa, ya?” gumam Kavita setelah dia selesai menyusui anaknya.“Sebenarnya kapan hari itu Pasha menelepon, dia bilang kalau Siska ingin datang berkunjung.” Ezra memberi tahu. “Tapi aku bilang kalau kamu masih baby blues, jadi belum bisa menerima kunjungan u
“Bisa jadi penyebabnya karena belum bisa menerima kehadiran si kecil sepenuhnya ....” “Tidak, Dok. Kemarin-kemarin istri saya masih bersikap normal dan tetap memperlakukan putri kami dengan baik.” Dokter Amel berpikir sebentar. “Meskipun tidak semua ibu yang baru saja melahirkan mengalaminya, tapi kemungkinan baby blues bisa terjadi, Pak.” “Lalu bagaimana cara mengatasinya, Dok?” “Peran Bapak sangat penting untuk menjaga kestabilan mental Bu Kavita yang baru saja melahirkan, jangan biarkan istri Bapak merasa bersalah terkait dengan kondisi putrinya ....” Ezra mendengarkan penjelasan Dokter Amel dengan saksama. Kavita berubah menjadi pendiam sejak keributan yang terjadi di rumah sakit, Ezra sempat khawatir jika dia akan bersikap tak acuh terhadap putri mereka. Namun, ternyata dugaan buruk Ezra sama sekali tidak terbukti. Kavita tetap memperhatikan bayi mereka dengan penuh kasih sayang, sama sekali tidak terlihat mencurigakan. “Istirahatlah sebentar, kita gantian.” Ezra mengusap
“Dasar istri tidak berguna, ibu yang melahirkan anak cacat sama sekali tidak pantas untuk menyentuh kulitku!” Wajah Kavita terasa perih, tapi itu belum apa-apa jika dibandingkan dengan pedihnya hati akibat kata-kata kejam Yura. “Masih saja kamu mengusik hidupku, apa mau kamu sebenarnya?” bisik Kavita supaya putri kecilnya tidak terbangun karena suara pertengkaran yang tidak semestinya. “Mauku? Aku mau membuat hidup kamu hancur, seperti kamu menghancurkan hidup aku sama Deryl!” Kavita terperangah. “Lihat saja, kamu pasti akan diceraikan suami kamu. Atau ... setidaknya kamu pasti akan diduakan karena anak cacat kalian tidak akan bisa jadi kebanggaan orang tua.” “Tutup mulutmu!” desis Kavita dengan tangan terkepal. “Kamu pikir Pak Ezra akan tahan melihat keturunannya yang cacat?” “Jangan sebut anakku cacat!” “Lalu apa? Tak sempurna?” ejek Yura sinis. “Persiapkan saja diri kamu, Vit. Aku akan menjadi wanita kedua suami kamu dan memberikan keturunan berkualitas untuknya, aku akan m
Kavita meremas kedua tangannya ketika Ezra berlalu pergi dari hadapannya. Seorang perawat masuk sambil mendorong kereta bayi diikuti Ezra yang berjalan di belakangnya. Kavita bangun dan dengan susah payah duduk di tepi ranjang saat perawat itu semakin dekat. “Ini bayinya, Bu. Perempuan,” kata perawat itu sembari mengangkat seorang bayi yang dibungkus rapat dengan selimut dan memberikannya kepada Kavita. “Perempuan ya, Sus?” “Betul Bu, perempuan.” Kavita dan Ezra saling pandang, sementara perawat itu membantu membetulkan letak perlekatan antara ibu dan bayinya. “Coba disusui bayinya dulu, Bu.” “Baik, Sus.” Sampai di titik ini, Kavita tidak melihat ada yang aneh dengan putrinya. Bayi itu menyesap air susunya dengan perlahan, sementara matanya terpejam rapat. “Sebenarnya ... keistimewaan apa yang kamu maksud?” tanya Kavita ingin tahu selagi putri mereka masih menyusu, sementara perawat tadi sudah pergi. “Dokter bilang kalau keistimewaan yang tentunya berbeda dengan bayi kebanya
“Tidak apa-apa, Ad. Cepat sedikit,” pinta Kavita dengan wajah pias. Rasa sakit di perutnya berangsur reda, sehingga dia bisa duduk dengan tenang sementara mobil yang dikemudikan Adya melaju ke kantor Ezra. Bos pemilik Dyaksa Company itu nyaris berlari dan melompat ke dalam mobil ketika Tantri memberi tahu bahwa Adya akan mengantar Kavita ke rumah sakit. “Kamu kenapa? Sudah mau melahirkan sekarang?” tanya Ezra buru-buru sambil mengusap kening Kavita yang berkeringat. “Tidak tahu, tapi ... perut ini sudah sakit ....” “Adya, bisa kamu ngebut sedikit?” Ezra menoleh ke arah Adya yang sedang fokus mengemudi. “Bisa Pak, saya usahakan!” Ezra kembali menoleh ke arah Kavita yang memejamkan mata karena menahan rasa sakit yang sesekali timbul. Tangan Ezra diremas dengan kuat setiap kali Kavita merasakan sakit yang teramat sangat. “Kamu bertahan dulu ....” “Ini sakit sekali, aku ... mau cepat melahirkan ....” “Tunggu sebentar, kita akan sampai rumah sakit.” Ezra mengusap-usap perut buncit
Kavita mengangguk paham. “Tidak apa-apa Dok, yang penting sehat dan tidak berisiko seperti kemarin.” “Kita akan memantau bersama-sama, jangan lupa untuk tetap mengonsumsi makanan bergizi dan vitamin yang saya resepkan.” Ezra tidak berkata apa-apa dan hanya menyimak percakapan yang berlangsung antara dokter dengan Kavita. “Mau mampir ke mana?” tanya Ezra sambil melirik Kavita yang sedang mengunyah roti. “Ke rumah Pak Pasha, aku mau bertemu Siska. Sudah terlalu malam belum?” “Aku akan telepon Pasha sebentar,” sahut Ezra sementara Kavita menunggu dengan antusias. Itu karena dia sudah lama tidak bertemu Siska yang sama-sama sedang mengandung buah hati. “Pasha bilang kalau Siska belum tidur, jadi kita masih bisa mampir sebentar.” Ezra memberi tahu. “Kalau begitu, ayo.” Kavita menyimpan kembali rotinya dan meraih sebotol air mineral untuk melicinkan tenggorokannya. Setibanya di rumah Pasha, Siska menyambut kedatangan Kavita dengan senyum merekah di bibirnya. Mereka berdua berpelukan
“Aku tidak jijik,” katanya sambil memeluk Kavita erat. Pada awalnya Kavita enggan menanggapi, tapi pelukan Ezra yang hangat dan nyaman tak urung membuatnya bahagia sehingga dia balas memeluk dengan erat. “Besok aku akan kerja lagi untuk kalian ....” “Kalian?” “Kamu dan calon anak kita.” Kavita melepaskan diri dari pelukan Ezra. “Kaki kamu bagaimana?” “Kamu lihat kan kalau aku sudah bisa berjalan? Tinggal masa pemulihan saja sambil beraktivitas normal seperti biasa, jadi aku akan secepatnya kerja. Kasihan juga Pasha karena harus membagi fokusnya di dua tempat,” ujar Ezra panjang lebar. Dua bulan kemudian .... “Bagaimana hasilnya, Dokter?” “Istri Anda positif hamil, Pak. Saya ucapkan selamat!” Sepasang suami istri itu saling tatap. “Dugaan aku benar kan, Mon? Kamu itu hamil, aku lega sekali.” Monic berdecak, dia sendiri tidak mengerti kenapa dirinya justru merasakan enggan berbahagia dengan kabar gembira ini. “Aku sempat takut kamu tidak bisa hamil lagi setelah
Mata Ezra mengintip sedikit. “Itu pakai urine?” “Iya ....” “Jorok sekali, singkirkan sana.” Kavita memukul bahu Ezra karena tidak terima dengan komentarnya. “Perkembangan kaki kamu bagaimana, Zra?” tanya Miranti ketika Ezra muncul di kamarnya. “Sudah jauh lebih baik, Nek. Meskipun aku belum bisa berlari, setidaknya sudah bisa berjalan dan tidak perlu kursi roda lagi.” “Syukurlah ... Oh ya, kapan itu kamu teriak-teriak kenapa? Nenek sudah tanya Rita, katanya Kavita pingsan karena kelelahan ....” Ezra mengangguk pelan, dia ingat bahwa dirinya belum memberi tahu kabar kehamilan Kavita kepada Miranti. Baru juga dia akan bercerita, dari sudut matanya Ezra melihat Kavita yang keluar dari kamar dan berjalan menuruni tangga. “Kavita sepertinya mau pergi, Nek. Nanti saja aku cerita!” pamit Ezra sambil berlalu meninggalkan kamar Miranti untuk menyusul kepergian istrinya. Ketika menuruni tangga, Ezra tidak ingin bertindak ceroboh dengan memaksakan kakinya untuk melangkah terburu-buru.
“Rita, aku seperti mendengar sesuatu.” Miranti menatap wanita yang sudah merawatnya bertahun-tahun itu. “Saya tidak dengar apa-apa, Nyonya.” “Rita, cepat ke sini!” Miranti langsung menggoyang lengan Rita. “Itu suara Ezra!” Atas desakan Miranti yang begitu khawatir terhadap cucunya, Rita cepat-cepat berlari menuju kamar Ezra. “Maaf, Pak Ezra ... Ada apa?” “Kavita pingsan, saya tidak tahu apa yang terjadi ....” Rita buru-buru mendekati Kavita yang tergeletak di lantai kamar Ezra, dia berusaha membangunkannya dengan mengguncang bahu dan pipi Kavita bergantian. “Vita, bangun. Vita?” Ezra hanya menyaksikan bagaimana Rita masih berjuang untuk membangunkan Kavita. “Apa dia masih bernapas?” tanya Ezra ragu. Rita mendongak. “Tentu saja, Pak. Mungkin Vita kelelahan atau kurang istirahat ....” Ezra menyipitkan mata, sikap abainya sedikit terbentuk gara-gara melihat Kavita bersama Adya di dapur tadi. Egois? Memang. Rita meminta izin Ezra untuk mencari botol minyak kay