Di kantor, pikiran Kavita sudah tidak fokus lagi. Berulang kali dia memeriksa hasil pekerjaan di komputer, berusaha mencari-cari kesalahan yang tadi disebutkan Ezra di depan Deryl. “Vita, itu kamu ngapain sih cek-cek file lama?” tegur salah seorang rekan Kavita, Siska. “Aku takut ada yang salah tanpa disengaja,” jawab Kavita gelisah dengan mata lelah. “Salah dari mana, itu kan file lama yang print-nya saja mungkin sudah disobek-sobek.” “Jangan bercanda, Sis.” “Aku tidak bercanda, memang itu kebiasaan Pak Ezra. Dia tidak mau kalau arsip-arsipnya cuma dibuang ke tempat sampah, harus dibakar atau disobek kecil-kecil.” Kavita diam saja, tapi tetap ucapan Siska tidak membuat hatinya merasa tenang. Kalau Ezra menyatakan seseorang bersalah, maka sudah dipastikan kalau orang itu memang telah melakukan kesalahan. “Daripada kamu cek laporan yang sudah tidak digunakan, lebih baik kamu mulai nyicil laporan untuk bulan ini.” Siska menyarankan. Kavita hanya mengangguk saja, dia tidak akan b
Setelah obrolan dengan Karin berakhir, Kavita mencuci wajahnya dengan pembersih dari serangkaian paket skincare mahal yang dia beli sebagai bentuk penghargaan terhadap diri sendiri setelah sekian lama hidup irit demi suami dan keluarganya.Tiba-tiba pintu kamar Kavita diketuk beberapa kali dan tanpa pikir panjang dia membukanya.“Pak Ezra?” Dia terperanjat. “Apa ada sesuatu yang Anda butuhkan?”“Kamu tidur di kamar saya.”Sontak saja Kavita terbelalak kaget.“Apa, Pak?”“Kamu tidak dengar apa yang saya bilang tadi?” Kavita menelan ludah, dia tentu saja mendengarnya dengan sangat baik. Namun ....“Tapi kita kan tidak ... tidak seharusnya kita ...” Kavita semakin terbata-bata berbicara di bawah tatapan mata Ezra. “Bukankah kita sudah sepakat, Pak? Kewajiban apa pun bisa kita lakukan di dalam pernikahan kontrak ini, kecuali tidur di kamar yang sama.”Dan juga melakukan hubungan suami istri, sambung Kavita dalam hati.Ezra menarik napas. “Itu artinya kamu benar-benar tidak memb
“Aku tidak bisa, Ryl. Kenapa harus perhiasan aku? Pakai saja perhiasan Vita,” sahut Yura keberatan. Deryl tertegun, dia ingat kalau Kavita sudah merelakan seluruh perhiasannya untuk mencicil utang. “Yura, jangan seperti ini. Aku itu sedang susah,” keluh Deryl memelas. “Terus? Kamu kan janjinya tidak akan menyusahkan aku, Ryl. Kamu bilang kalau aku mau jadi istri kedua kamu, aku akan hidup bahagia dan berkecukupan. Masa belum punya anak saja, aku sudah disuruh berkorban.” Ibu Deryl yang mendengar jawaban Yura dari luar, tak urung hanya bisa mengelus dadanya dengan masygul. “Istri macam apa itu?” “Biarlah, Bu. Aku mencintai Yura ....” “Bagaimana sama Vita? Kamu tidak mencintai dia lagi?” Deryl diam sejenak. “Aku juga cinta sama dia, tapi ... keuangan dia sedang tidak bisa diharapkan.” Ibu Deryl memandang putranya. “Kamu yakin? Bukan karena Vita menyesalkan perbuatan kamu yang menikah diam-diam di belakangnya?” Deryl menggeleng perlahan. “Aku yakin, Bu. Vita tidak mempermasalah
“Yura, cepat bereskan kamar utama!” suruh Deryl.“Kenapa aku?”“Karena aku harus memberikan Vita haknya!”“Maksud kamu? Malam ini kamu dan dia mau bercampur?”“Memangnya kenapa? Kalau Vita tidak di rumah kan aku setiap hari sudah sama kamu, aku harus memenuhi janjiku untuk bisa adil.”Bukannya senang dengan komitmen Deryl, Yura justru merasa tidak suka mendengarnya.“Cepat, Yura!”“Iyaaa ....”Deryl buru-buru membuntuti Kavita yang sudah sampai di depan pintu ruang kerja.“Sini, biar aku saja yang bawakan tas kamu.”“Tidak usah, ini cuma tas bukan koper.”Kavita dengan tegas menolak uluran tangan Deryl karena dia tahu bahwa suaminya ingin mencari-cari kartu ATM, juga dompet untuk mengambil uang tunai berapapun jumlah yang ada. Kavita sudah sangat hapal dengan tabiat Deryl, tapi kali ini dia tidak akan sepolos itu memberikan kebebasan pada suaminya untuk menggeledah tas.“Aku tahu ini bukan koper, aku cuma berniat baik untuk bantu kamu saja ....”“Tidak usah repot-repot
Fokus Deryl terpecah. Di satu sisi, ada istri pertama yang tidak boleh dia lepaskan begitu saja. Namun, di sisi lain ada istri kedua yang siap sedia melayaninya kapan pun dia butuhkan.Kavita cepat-cepat berlari menuju ruang kerjanya. Kepala terasa pening dan dia harus sesegera mungkin masuk ke dalam sebelum Deryl memangsa.“Aku harus pulang ...” gumam Kavita sambil memegangi kepalanya, dia meraih ponsel dan mengirim pesan kepada Adya untuk datang menjemput.Sambil menunggu, Kavita berusaha keras memaksa dirinya untuk tetap dalam kondisi sadar.Beberapa saat kemudian ....“Kak Vita? Ada yang datang tuh, katanya cari Kakak.”Sayup-sayup telinga Kavita mendengar suara Karin dari kejauhan.“Ya?”“Ada yang cari Kakak, mobilnya bagus.” Kavita meringis, kemudian mengucek matanya. Butuh paksaan yang kuat untuk bisa bangkit dari posisinya semula.“Kalau memang capek, kenapa nggak tidur di sini saja sih Kak?” tanya Karin saat Kavita menyandang tasnya di bahu.“Cari uang sekarang su
Uang sekolahku dipertaruhkan di sini, kata Karin dalam hati.Kavita baru saja memasukkan ponselnya ke saku sebelum dia menyeberang jalan depan kantor.“Permisi, dengan Bu Kavita? Betul kan?” Kavita menoleh ketika melihat seorang pengemudi ojek online menyapanya dengan suara berat.“Ya, ada apa?”“Saya dapat orderan untuk mengirim sekotak martabak disertai pesan kalau suami Bu Kavita sakit.”Kavita tertegun, seingatnya tadi Ezra sehat-sehat saja tanpa kurang suatu apa pun.“Maaf, suami saya ....”“Namanya pak Deryl, dia sakit dan mengigau terus. Manggil-manggil nama istrinya.”Kavita berpikir selama beberapa saat. “Oh ya?”Dia sudah merasa aneh sejak awal, karena istri Deryl kan bukan dirinya saja.Atau jangan-jangan Deryl sakit karena menunggu-nunggu kepastian uang darinya?“Apa sakitnya parah?” tanya Kavita ingin tahu.“Parah sekali, Kak—eh, Bu! Hidup mati Kak Deryl ada di tangan Ibu!”Kavita tersenyum samar, dia membuka tasnya dan mengeluarkan satu lembar uang kertas
“Beres,” kata Ezra singkat saat melangkah masuk ke dalam rumah.“Pak, saya bukannya tidak tahu terima kasih. Tapi kelihatannya mereka akan semakin beringas di jalan nanti seandainya bertemu saya.”“Kita lihat apakah suamimu masih bisa fokus pada utang-utangnya setelah tahu kalau kamu menggugat cerai dia.”Kavita terdiam.“Kenapa? Kamu berubah pikiran?’“Tidak, saya ....”Ezra menarik napas, lalu memandang Kavita dari balik rambut hitamnya yang menutupi sebagian dahi.“Susah ya kalau perempuan itu sudah bucin dengan pasangannya. Mau diduakan seperti apa pun pasti nurut-nurut saja ....”“Saya tidak nurut,” bantah Kavita sembari menggeleng. “Saya menunjukkan perlawanan, meskipun tidak terang-terangan karena saya tidak memiliki keluarga yang bisa mendukung saya.”“Jadi ... kamu merasa berdiri sendirian?”“Begitulah, saya memang berjuang sendiri. Mungkin itu yang menjadi pertimbangan suami saya untuk menikah lagi diam-diam karena dia pikir saya tidak memiliki pilihan lain kecuali
Deryl sontak melongo setelah mendengar ucapan Kavita. “Aku mau kita bercerai secepatnya, Deryl.” “Apa yang kamu bicarakan? Kamu tidak sungguh-sungguh kan?” Deryl memegang kedua bahu Kavita seolah hendak menyadarkannya dari halusinasi yang mendadak menyerang. “Aku tahu kamu tidak sungguh-sungguh mengatakannya, kamu tidak akan bisa pisah dari aku!” racau Deryl lagi. Cih, apaan sih Deryl. Yura membatin geram. “Tidak bisa pisah dari kamu?” ulang Kavita. “Kamu pikir selama ini aku ngapain, membelah diri? Satu tahun aku tinggal berjauhan sama kamu, demi siapa?” Deryl gelagapan saat sorot mata Kavita tajam menusuknya. “Aku ... aku tahu kamu melakukannya demi masa depan kita, Vita ....” “Sudah tahu begitu kenapa kamu malah nikah lagi diam-diam? Sedangkan aku di sana berusaha keras menjaga kesetiaan aku buat kamu, tidak sadarkah kamu?” Bahu Kavita naik-turun menahan amarah yang berminggu-minggu ini dia pendam. Sejak mengetahui suaminya telah menikah lagi, rasa ingin berbakti seketika
Sebagai ayah pun dia sudah berusaha untuk tidak menghujat takdir yang menimpa putri mereka. “Divta sayang, kamu melamun?”Kavita menunduk dan mendaratkan kecupan di atas kening putrinya yang berbaring di sampingnya.Kepada Divtara sedikit miring ke kanan meskipun Kavita sudah sering membetulkannya dengan perlahan.Setiap kali melihat paras cantik putrinya itu, hati Kavita teriris perih. Dia memiliki kekhawatiran tersendiri tentang masa depan Divtara, terlebih jika sang anak tampil di depan umum.“Ibu sayang kamu, kita hadapi sama-sama ya?” bisik Kavita dengan penuh cinta. Tangan kecil Divtara bergerak-gerak, dan Kavita lantas menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi di pipinya yang menggemaskan.“Anaknya Siska sudah sebesar apa, ya?” gumam Kavita setelah dia selesai menyusui anaknya.“Sebenarnya kapan hari itu Pasha menelepon, dia bilang kalau Siska ingin datang berkunjung.” Ezra memberi tahu. “Tapi aku bilang kalau kamu masih baby blues, jadi belum bisa menerima kunjungan u
“Bisa jadi penyebabnya karena belum bisa menerima kehadiran si kecil sepenuhnya ....” “Tidak, Dok. Kemarin-kemarin istri saya masih bersikap normal dan tetap memperlakukan putri kami dengan baik.” Dokter Amel berpikir sebentar. “Meskipun tidak semua ibu yang baru saja melahirkan mengalaminya, tapi kemungkinan baby blues bisa terjadi, Pak.” “Lalu bagaimana cara mengatasinya, Dok?” “Peran Bapak sangat penting untuk menjaga kestabilan mental Bu Kavita yang baru saja melahirkan, jangan biarkan istri Bapak merasa bersalah terkait dengan kondisi putrinya ....” Ezra mendengarkan penjelasan Dokter Amel dengan saksama. Kavita berubah menjadi pendiam sejak keributan yang terjadi di rumah sakit, Ezra sempat khawatir jika dia akan bersikap tak acuh terhadap putri mereka. Namun, ternyata dugaan buruk Ezra sama sekali tidak terbukti. Kavita tetap memperhatikan bayi mereka dengan penuh kasih sayang, sama sekali tidak terlihat mencurigakan. “Istirahatlah sebentar, kita gantian.” Ezra mengusap
“Dasar istri tidak berguna, ibu yang melahirkan anak cacat sama sekali tidak pantas untuk menyentuh kulitku!” Wajah Kavita terasa perih, tapi itu belum apa-apa jika dibandingkan dengan pedihnya hati akibat kata-kata kejam Yura. “Masih saja kamu mengusik hidupku, apa mau kamu sebenarnya?” bisik Kavita supaya putri kecilnya tidak terbangun karena suara pertengkaran yang tidak semestinya. “Mauku? Aku mau membuat hidup kamu hancur, seperti kamu menghancurkan hidup aku sama Deryl!” Kavita terperangah. “Lihat saja, kamu pasti akan diceraikan suami kamu. Atau ... setidaknya kamu pasti akan diduakan karena anak cacat kalian tidak akan bisa jadi kebanggaan orang tua.” “Tutup mulutmu!” desis Kavita dengan tangan terkepal. “Kamu pikir Pak Ezra akan tahan melihat keturunannya yang cacat?” “Jangan sebut anakku cacat!” “Lalu apa? Tak sempurna?” ejek Yura sinis. “Persiapkan saja diri kamu, Vit. Aku akan menjadi wanita kedua suami kamu dan memberikan keturunan berkualitas untuknya, aku akan m
Kavita meremas kedua tangannya ketika Ezra berlalu pergi dari hadapannya. Seorang perawat masuk sambil mendorong kereta bayi diikuti Ezra yang berjalan di belakangnya. Kavita bangun dan dengan susah payah duduk di tepi ranjang saat perawat itu semakin dekat. “Ini bayinya, Bu. Perempuan,” kata perawat itu sembari mengangkat seorang bayi yang dibungkus rapat dengan selimut dan memberikannya kepada Kavita. “Perempuan ya, Sus?” “Betul Bu, perempuan.” Kavita dan Ezra saling pandang, sementara perawat itu membantu membetulkan letak perlekatan antara ibu dan bayinya. “Coba disusui bayinya dulu, Bu.” “Baik, Sus.” Sampai di titik ini, Kavita tidak melihat ada yang aneh dengan putrinya. Bayi itu menyesap air susunya dengan perlahan, sementara matanya terpejam rapat. “Sebenarnya ... keistimewaan apa yang kamu maksud?” tanya Kavita ingin tahu selagi putri mereka masih menyusu, sementara perawat tadi sudah pergi. “Dokter bilang kalau keistimewaan yang tentunya berbeda dengan bayi kebanya
“Tidak apa-apa, Ad. Cepat sedikit,” pinta Kavita dengan wajah pias. Rasa sakit di perutnya berangsur reda, sehingga dia bisa duduk dengan tenang sementara mobil yang dikemudikan Adya melaju ke kantor Ezra. Bos pemilik Dyaksa Company itu nyaris berlari dan melompat ke dalam mobil ketika Tantri memberi tahu bahwa Adya akan mengantar Kavita ke rumah sakit. “Kamu kenapa? Sudah mau melahirkan sekarang?” tanya Ezra buru-buru sambil mengusap kening Kavita yang berkeringat. “Tidak tahu, tapi ... perut ini sudah sakit ....” “Adya, bisa kamu ngebut sedikit?” Ezra menoleh ke arah Adya yang sedang fokus mengemudi. “Bisa Pak, saya usahakan!” Ezra kembali menoleh ke arah Kavita yang memejamkan mata karena menahan rasa sakit yang sesekali timbul. Tangan Ezra diremas dengan kuat setiap kali Kavita merasakan sakit yang teramat sangat. “Kamu bertahan dulu ....” “Ini sakit sekali, aku ... mau cepat melahirkan ....” “Tunggu sebentar, kita akan sampai rumah sakit.” Ezra mengusap-usap perut buncit
Kavita mengangguk paham. “Tidak apa-apa Dok, yang penting sehat dan tidak berisiko seperti kemarin.” “Kita akan memantau bersama-sama, jangan lupa untuk tetap mengonsumsi makanan bergizi dan vitamin yang saya resepkan.” Ezra tidak berkata apa-apa dan hanya menyimak percakapan yang berlangsung antara dokter dengan Kavita. “Mau mampir ke mana?” tanya Ezra sambil melirik Kavita yang sedang mengunyah roti. “Ke rumah Pak Pasha, aku mau bertemu Siska. Sudah terlalu malam belum?” “Aku akan telepon Pasha sebentar,” sahut Ezra sementara Kavita menunggu dengan antusias. Itu karena dia sudah lama tidak bertemu Siska yang sama-sama sedang mengandung buah hati. “Pasha bilang kalau Siska belum tidur, jadi kita masih bisa mampir sebentar.” Ezra memberi tahu. “Kalau begitu, ayo.” Kavita menyimpan kembali rotinya dan meraih sebotol air mineral untuk melicinkan tenggorokannya. Setibanya di rumah Pasha, Siska menyambut kedatangan Kavita dengan senyum merekah di bibirnya. Mereka berdua berpelukan
“Aku tidak jijik,” katanya sambil memeluk Kavita erat. Pada awalnya Kavita enggan menanggapi, tapi pelukan Ezra yang hangat dan nyaman tak urung membuatnya bahagia sehingga dia balas memeluk dengan erat. “Besok aku akan kerja lagi untuk kalian ....” “Kalian?” “Kamu dan calon anak kita.” Kavita melepaskan diri dari pelukan Ezra. “Kaki kamu bagaimana?” “Kamu lihat kan kalau aku sudah bisa berjalan? Tinggal masa pemulihan saja sambil beraktivitas normal seperti biasa, jadi aku akan secepatnya kerja. Kasihan juga Pasha karena harus membagi fokusnya di dua tempat,” ujar Ezra panjang lebar. Dua bulan kemudian .... “Bagaimana hasilnya, Dokter?” “Istri Anda positif hamil, Pak. Saya ucapkan selamat!” Sepasang suami istri itu saling tatap. “Dugaan aku benar kan, Mon? Kamu itu hamil, aku lega sekali.” Monic berdecak, dia sendiri tidak mengerti kenapa dirinya justru merasakan enggan berbahagia dengan kabar gembira ini. “Aku sempat takut kamu tidak bisa hamil lagi setelah
Mata Ezra mengintip sedikit. “Itu pakai urine?” “Iya ....” “Jorok sekali, singkirkan sana.” Kavita memukul bahu Ezra karena tidak terima dengan komentarnya. “Perkembangan kaki kamu bagaimana, Zra?” tanya Miranti ketika Ezra muncul di kamarnya. “Sudah jauh lebih baik, Nek. Meskipun aku belum bisa berlari, setidaknya sudah bisa berjalan dan tidak perlu kursi roda lagi.” “Syukurlah ... Oh ya, kapan itu kamu teriak-teriak kenapa? Nenek sudah tanya Rita, katanya Kavita pingsan karena kelelahan ....” Ezra mengangguk pelan, dia ingat bahwa dirinya belum memberi tahu kabar kehamilan Kavita kepada Miranti. Baru juga dia akan bercerita, dari sudut matanya Ezra melihat Kavita yang keluar dari kamar dan berjalan menuruni tangga. “Kavita sepertinya mau pergi, Nek. Nanti saja aku cerita!” pamit Ezra sambil berlalu meninggalkan kamar Miranti untuk menyusul kepergian istrinya. Ketika menuruni tangga, Ezra tidak ingin bertindak ceroboh dengan memaksakan kakinya untuk melangkah terburu-buru.
“Rita, aku seperti mendengar sesuatu.” Miranti menatap wanita yang sudah merawatnya bertahun-tahun itu. “Saya tidak dengar apa-apa, Nyonya.” “Rita, cepat ke sini!” Miranti langsung menggoyang lengan Rita. “Itu suara Ezra!” Atas desakan Miranti yang begitu khawatir terhadap cucunya, Rita cepat-cepat berlari menuju kamar Ezra. “Maaf, Pak Ezra ... Ada apa?” “Kavita pingsan, saya tidak tahu apa yang terjadi ....” Rita buru-buru mendekati Kavita yang tergeletak di lantai kamar Ezra, dia berusaha membangunkannya dengan mengguncang bahu dan pipi Kavita bergantian. “Vita, bangun. Vita?” Ezra hanya menyaksikan bagaimana Rita masih berjuang untuk membangunkan Kavita. “Apa dia masih bernapas?” tanya Ezra ragu. Rita mendongak. “Tentu saja, Pak. Mungkin Vita kelelahan atau kurang istirahat ....” Ezra menyipitkan mata, sikap abainya sedikit terbentuk gara-gara melihat Kavita bersama Adya di dapur tadi. Egois? Memang. Rita meminta izin Ezra untuk mencari botol minyak kay