"Dimana Mama?" tanya Alexander dengan wajah yang beringas mendatangi rumah kedua orang tuanya. "Nyonya Besar... saat ini masih di ruangan Gym, Tuan Muda," jawab sang asisten rumah tangga yang sudah bekerja puluhan tahun di kediaman keluarga E-Manuel. Wajahnya tampak respek dan penuh pengabdian kepada keluarga tersebut.Alexander tak berkata apapun dengan langkahnya yang panjang dan tegas segera menuju ruang Gym keluarganya yang berada di lantai tiga kediaman mewahnya. Langkah kakinya terdengar berdentum-dentum menggema di koridor-koridor indah rumah besar itu.Brak!!! Suara pintu ruang Gym terbuka keras ketika Alexander memasukinya dengan ekspresi emosi dan kekecewaan yang mendalam. Ia melihat ibunya sedang sibuk melakukan latihan yoga bersama instruktur pribadinya."Alex, kau kenapa Nak?" tanya Nyonya Selma tersentak tapi tetap tenang dalam gerakan yoganya. Matanya menatap putranya dengan penuh perhatian meskipun tubuhnya tetap fokus pada setiap gerakan yoga yang dilakukan.Alexande
Di ruang rapat yang mewah, Alexander E-Manuel duduk di ujung meja, wajahnya terpahat dengan ekspresi yang tegang. Para stafnya duduk di sekitarnya dengan ketegangan yang jelas terbaca di wajah mereka."Tolong jelaskan mengapa proyek ini mengalami keterlambatan lagi," desak Alexander, suaranya menusuk tajam di antara suara-suara yang terdengar di ruangan.Seorang staf, berdiri di hadapannya, mencoba menjelaskan, "Maaf, Tuan Emanuel, kami menghadapi beberapa masalah teknis yang memperlambat kemajuan kami—""Teknis? Teknis adalah alasan yang lemah!" potong Alexander dengan suara yang meninggi, "Saya tidak peduli dengan alasan Anda! Saya membutuhkan solusi, bukan alasan!"Suasana di ruangan menjadi semakin tegang dengan setiap kata yang diucapkan Alexander. Tatapan-tatapan khawatir dan gemetaran mulai terpancar dari karyawan-karyawan yang berada di sekelilingnya."Saya minta ma
"Sejak tadi Rilla sudah menghubungi Pedro, tapi tak ada jawaban darinya," dengus Rilla kesal dengan sikap orang tuanya yang acuh dengan kecemasannya. Hatinya berdebar-debar, khawatir akan terjadi sesuatu pada Pedro."Tadi sepertinya dia datang, kenapa tiba-tiba menghilang ya?" ujar Abigail yang sempat melihat kedatangan Pedro. Matanya mencari-cari sosok Pedro di antara kerumunan tamu undangan yang hadir."Iya, dia datang tapi tak lama dia bilang akan ke kamarnya untuk berganti baju yang sesuai dengan gaun Rilla. Namun, sampai detik ini dia tak datang-datang," ujar Rilla semakin cemas. Pikirannya melayang-layang memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja menimpa Pedro."Baiklah, ayo coba kita cari di kamarnya," ajak Abigail mengajak ke kamar hotel tempat mereka melangsungkan pesta pertunangan putrinya. Mereka berdua segera menuju ke arah kamar tempat Pedro seharusnya berada.Tanpa membuang waktu lagi, Rilla dan kedua orang tuanya memutuskan untuk mencari keberadaan Pedro k
"Sayang, tolong aku. Dialah yang mencoba merayuku, dia bahkan menjebakku untuk datang ke kamar ini," ujar Pedro mencari pembelaan dari Rilla agar Tuan William melepaskannya."Tidak. Ayah, hajar Dia! Dia hampir saja melecehkanku," sela Clara mencoba untuk membela diri dengan suara gemetar.Namun Abigail, semakin membuat suasana panas di dalam kamar itu. "Diam kau gadis munafik! Kau iri bukan, melihat Rilla hendak bertunagan dengan mantan kekasihmu yang lebih memilih adikmu ini, kau pikir dengan jalan licik itu kau bisa merebut kembali Pedro Rilla!" seru Abigail menatap Clara dengan tajam.Pedro segera melepaskan diri dari cengkraman tuan William ketika dia merasa cengkraman tersebut mengendur. Tuan William masih tidak percaya jika wanita itu adalah Clara. Dia tidak pernah menyangka bahwa situasi akan menjadi begitu rumit dan membingungkan seperti ini. Suasana tegang itu pecah ketika Rilla tiba-tiba menampar keras wajah Clara tanpa ampun. Suara tamparan itu bergema di seluruh ruangan
"Tuan William! Putri kesayangan Anda sudah berlaku sangat kasar terhadap wanita yang saya cintai, Saya putuskan untuk mengakhiri semua kerjasama kita!" seru Alexander berdiri di samping Clara dengan tatapan tegas. Tuan William, yang sebelumnya merasa yakin dan kuat, kini merasa gemetar di hadapan kekuatan dan otoritas Alexander. Dia menundukkan kepalanya dengan penuh penyesalan. Pedro sendiri terkulai dilantai tak mau ikut campur dengan urusan bisnis keluarga William, karena bisnisnya sendiri saat ini tengah terancam. "Hal ini juga berlaku untuk perusahaan Anda, Tuan Schultz." Alexander mengangkat kaki dari dada bidang Pedro, bibirnya terangkat dengan sudut tertarik kesamping. Wajahnya masih terlihat tegas dan sorot mata yang kejam. Clara terkejut dengan tindakan tegas bosnya, tetapi Dia juga merasa terharu dengan kebaikan hati Alexander. Dia menggenggam erat jas yang menutupi tubuhnya, merasakan kehangatan yang menenangkan dari kain mewah itu. "Clara! Ayo pergi dari sini!" ajak
"Puas kalian semua! Gara-gara tingkahmu, Rilla. Keluarga kita terancam bangkrut!" seru Tuan William penuh dengan emosi."Papa! Jangan salahkan Rilla atas semua ini, jika saja putri kandungmu itu tidak berulah, tentu saja masalah ini tidak akan terjadi," bela Abigail tidak terima jika Tuan William menyalahkan putrinya.Tuan William tampak kesal dan penuh emosi memilih untuk pergi dari sana. Sementara Pedro, dengan wajah tanpa berdosa dia meninggalkan calon tunangannya dan Abigail pergi begitu saja."Pedro! Kau mau kemana? Bagiamana dengan pesta pertunangan kita?" tanya Rilla kepada Pedro yang tampak acuh kepadanya."Pesta sudah gagal dan lupakan pertunangan itu!" jawab Pedro dengan senyum liciknya.Rilla semakin kesal dengan situasi saat itu, dengan menghentakkan kakinya gusar, dia menekuk wajahnya sambil menggerutu, "Sial! Clara harus bertanggungjawab atas semua ini!"Abigail menatap putrinya dengan penuh kasih sayang, "Rilla sayang, sudahlah. Ayo kita pergi dari sini. Kita pikirkan n
"Kau pasti sengaja bukan menggugurkan kandungan Clara?" tanya Alexander."Ada masalah serius pada kehamilan Clara, sehingga kami melakukan operasi pengambilan janin." Bertha mencoba menjelaskan alasannya melakukan tindakan operasi pada janin Clara.Alexander terus menatap tajam Bertha, tidak percaya dengan penjelasan yang diberikan oleh wanita itu. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Bertha dan dia bertekad untuk mengungkapkannya. Namun, Clara yang berdiri di sampingnya mencoba menenangkan situasi tersebut dengan tatapan yang meneduhkan."Alexander. Aku hanya ingin menyelamatkan nyawa Clara," ujar Bertha dengan suara gemetar. Dia bisa merasakan tekanan dari tatapan tajam Alexander yang membuatnya semakin gugup."Lihat saja Bertha! Besok adlah hari terakhirmu dengan gelar doktermu itu!" ancam Alexander."Tolong, jangan lakukan hal itu," pinta Bertha sambil menundukkan kepala. Dia tidak ingin gelar dokter yang selama ini menjadi kebanggaannya di cabut begitu saja."Tuan
"Kalian mau kemana?" tanya Nyonya Selma. Dia memicingkan matanya, menatap Clara dan Alexander bergantian. "Kami akan pergi ke gereja untuk pemberkatan, dan sekalian men-sahkan pernikahan kami secara negara," jawab Alexander dengan wajah tanpa ekspresi sama sekali."Bagus! Kalian menikah tanpa restu dari kami?" sindir Nyonya Selma. Clara merasa dadanya sesak saat mendengar sindiran tersebut.Nyonya Selma melipat tangannya ke dadanya dan menatap tajam ke arah Clara yang tertunduk. Ia terlihat kesal dengan keputusan Putranya untuk menikah tanpa seizin keluarga besar mereka.Clara merasa napasnya semakin sesak saat melihat ekspresi wajah tajam Nyonya Selma yang penuh dengan kekesalan. Dia benar-benar tidak ingin menyakiti hati siapapun, terutama keluarga Alexander. Tetapi situasi ini membuatnya semakin cemas akan masa depan pernikahannya."Maafkan saya, Nyonya Selma. Kami tidak bermaksud menyakiti hati Anda," ujar Clara pelan sambil mencoba menekan ketegangan di ruangan itu.Pikiran-piki
Clara merasa risih ketika lelaki tua itu terus memandang ke arahnya. "Kakek, apakah ada yang salah dengan saya?" tanya Clara segera menutupi bagian dadanya dengan sweater yang dia pakai.Kakek Mia memaksakan senyum, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang melanda hatinya. "Tidak. Boleh Kakek melihat kalungmu lebih dekat?"Clara mengangguk sambil mencopot kalungnya dan menyodorkan kalungnya. "Ini, Kek. Ini adalah kalung peninggalan ibu. Ibu selalu bilang ini sangat berharga."Kakek Mia memegang liontin itu dengan tangan gemetar, matanya berkaca-kaca. "Di mana ibumu mendapatkannya?"Clara mengerutkan kening, merasa aneh dengan reaksi Kakek Mia. "Katanya ini pemberian dari nenekku. Aku tidak pernah bertemu nenek, dia meninggal sebelum aku lahir. Ibu juga sudah meninggal beberapa tahun yang lalu."Kakek Mia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang berdebar. "Clara,
"Tentu saja, Clara. Kau merasa keberatan ketika ada wanita lain yang melihat tubuhku," jawab Alexander dengan wajahnya yang tenang."Tapi jangan lakukan hal sekejam itu, Tuan. Kasihan dengan Mia," jawab Clara terlihat sedih."Clara, dia sangat kejam. Dia bahkan akan mencelakai dirimu dan anak kita dengan memberimu racun yang langka. Dia juga menjebakku dan membuatmu bersedih. Kau masih bisa mengasihinya?" protes Alexander heran melihat reaksi istrinya."Aku tidak akan membiarkan Mia menghancurkan hidupku dan membuatmu bersedih, jika aku tidak memberinya hukuman," lanjut Alexander dengan tegas.Clara hanya bisa diam, dia tidak bisa lagi mencegah suaminya. Beberapa hari kemudian, Alexander berdiri di luar gedung tempat Mia disekap. Dia memasuki gedung tersebut dan memastikan jika Markus melakukan tugasnya dengan baik. Benar saja, di sana dia melihat Mia sudah kehilangan penglihatannya."Mia. Ini cukup untuk membuatmu menyesal sudah bermain api denganku, Mia," ujar Alexander dengan nada
"Ini tidak mungkin! Alexander?!" desis Clara dengan suara bergetar.Clara masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Alexander, pria yang selama ini dianggapnya sebagai sosok baik dan setia, kini terlihat tidur dengan Mia, wanita yang selama ini membuat Clara gelisah. Dia mencoba menolak kenyataan yang ada di hadapannya.Selma, merasa harus segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan masalah ini. "Ini tidak mungkin! Alexander?!" desis Clara dengan suara bergetar, mencoba untuk menampik apa yang dia lihat.Selma terdiam sejenak, lalu dengan tegas berkata, "Clara, tetap tenang. Aku akan mengurus ini."Selma bergegas meninggalkan Clara seornagbdiri di rumah sakit, dan segera pergi menuju Penthouse putranya.Ketika Selma tiba di penthouse tersebut dengan wajah tegang dan langkah cepatnya, ia segera masuk tanpa permisi. Dan disanalah dia melihat pemandangan yang membuat hatinya hampir copot dari tempatnya: Alexander tertidur hanya dengan memakai bocer pendek dan Mia baru saja selesa
Clara duduk di meja makan, memegang perutnya yang terasa kram hebat. Wajahnya pucat dan keringat dingin mulai membasahi dahinya. "Aku merasa sangat tidak enak badan," katanya lemah kepada Selma, ibu mertuanya, yang duduk di seberang meja.Selma memandang Clara dengan khawatir. "Kamu kenapa, Clara? Kamu terlihat sangat pucat," ujarnya sambil bangkit dan mendekati Clara. "Sepertinya kamu harus dibawa ke dokter."Saat itu, Mia memberikan segelas air kepada Clara. "Clara, minumlah ini. Mungkin kamu akan merasa lebih baik," katanya dengan senyum simpul.Namun Alexander menampik tangan Mia dan segera menggendong tubuh Clara ke luar untuk diperiksakan oleh dokter. "Aku akan membawanya ke rumah sakit sekarang juga," katanya dengan suara tegas. Mia berusaha membantu mengangkat Clara, namun Selma menolak bantuannya. "Jangan sentuh dia, Mia. Aku sudah mencurigaimu sejak awal." Mia terkejut. "Apa maksud Tante Selma? Kenapa Tante mencurigai aku?" Sepeninggal Clara dan Alexander, Selma menatap Mia
Siang itu, Selma, melangkah keluar dari lift menuju penthouse mewah Alexander. Pintu terbuka, memperlihatkan pemandangan indah kota dari jendela besar di ruang tamu. Namun, yang menarik perhatian Selma adalah suara tawa dari dapur. Dia berjalan mendekat, dan alangkah terkejutnya dia ketika melihat Mia, dengan apron terikat di pinggangnya, sedang memasak di dapur Alexander."Mia? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Selma dengan nada tegas, matanya menyipit curiga.Mia menoleh dengan senyum ramah yang biasa ia tunjukkan. "Oh, Selamat sore, Tante Selma. Saya hanya memasak makan siang. Ada yang bisa saya bantu?"Selma melangkah masuk, menatap Mia dengan sorotan tajam. "Kenapa kamu tinggal di sini bersama Alexander? Di mana Clara?"Mia tersenyum lebih lebar, tetapi matanya tetap dingin. "Clara sedang di kamarnya, apakah Tante tidak tau, jika Clara itu pemalas? Selama satu Minggu Saya disini, Sayalah yang mengurus rumah sementara dia bermalas-malasan."Selma merasa ada yang tidak beres. D
Pada hari pertama Mia tinggal di rumah Alexander, suasana di rumah itu terasa sedikit berbeda. Clara menjadi lebih protektif terhadap Alexander. Dia merasa perlu melindungi saudara laki-lakinya dari segala hal yang mungkin bisa membuatnya tidak nyaman.Pagi itu, Mia bangun lebih awal dan memutuskan untuk membuat sarapan spesial untuk Alexander. Dia merasa senang bisa memberikan sesuatu yang istimewa untuk orang yang baru saja dia kenal ini. Dengan langkah ringan, Mia bergegas ke dapur dan mulai mencari-cari resep pancake favoritnya yang pernah dia lihat di internet.Sementara itu, Alexander turun dari lantai atas dengan langkah malas. Matanya masih setengah tertutup karena kantuk namun senyum tipis tetap menghiasi wajah tampannya ketika aroma harum pancake menyambut hidungnya begitu masuk ke dapur. Dia melihat Mia dengan tatapan penuh tanda tanya saat gadis itu sibuk mengaduk adonan pancake dengan penuh semangat."Selamat pagi!" sapu Mia riang sambil tersenyum lebar, adonan tepung sed
Clara sedang duduk di ruang tamu yang elegan, tangannya memegang secangkir teh hangat. Senyum lebar tergambar di wajahnya. Markus, asisten pribadi suaminya, Alexander, baru saja meninggalkan ruangan setelah memberi tahu Clara tentang keberhasilannya."Markus, terima kasih banyak. Kamu benar-benar hebat," kata Clara dengan penuh syukur."Senang bisa membantu, Bu Clara," jawab Markus sambil tersenyum sebelum menunduk hormat dan beranjak pergi.Tak lama kemudian, Alexander masuk ke ruang tamu. Dia melihat senyum lebar di wajah istrinya dan merasa ada sesuatu yang berbeda."Ada apa, Clara? Kamu terlihat sangat bahagia," tanya Alexander dengan nada penasaran.Clara menatap suaminya dan tersenyum lebih lebar lagi. "Aku baru saja mendengar kabar baik dari Markus. Dia berhasil menjauhkan Mia dari kamu."Alexander tersenyum tipis, menahan tawa yang ingin pecah. "Oh, jadi itu alasannya? Kamu begitu cemburu pada Mia, ya?"Clara meletakkan cangkir tehnya di atas meja dan menatap Alexander dengan
Clara duduk di ruang tamu, menggigit bibirnya sambil memandang kalender di dinding. Kandungannya sudah memasuki bulan ketujuh, dan dia merasakan gelombang kecemasan setiap kali memikirkan suaminya, Alexander, di kantor. Terutama sejak Mia, rekan kerja yang licik, semakin gencar menggoda Alexander. Sejak permintaannya menjadi sekretaris pribadi suaminya lima bulan yang lalu ditolak, Clara merasa semakin tertekan dengan situasi tersebut.“Tuan, aku harus bicara denganmu,” kata Clara saat Alexander masuk ke ruang tamu.Alexander menatap Clara dengan penuh perhatian, “Ada apa, Clara? Apa kamu baik-baik saja?”Clara menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Aku ingin kembali menjadi sekretarismu. Aku tahu kamu tidak setuju, tapi aku merasa ini penting.”Dalam benaknya terus terngiang pertemuan singkat antara Alexander dan Mia beberapa hari yang lalu di acara perusahaan. Mereka terlihat begitu akrab dan mesra sehingga membuat hati Clara berbunga-bunga melihatnya. Namun rasa bahagia itu l
Clara duduk di ruang tamu, mengamati suaminya, Alexander, yang sedang membaca laporan keuangan di sofa seberang. Perasaan tidak nyaman menggelayuti hatinya sejak beberapa minggu terakhir. Mia, rekan bisnis perusahaan Alexander, tampak terlalu bersemangat dalam mendekati suaminya.Clara merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan sikap Mia tersebut. Ia pun memutuskan untuk menanyakan langsung kepada suaminya tentang bagaimana hubungan kerja mereka dengan Mia."Tuan, bagaimana rekan bisnis barumu? Mia, kan namanya?" tanya Clara pelan.Alexander menatap Clara sejenak sebelum menjawab dengan tenang, "Ya, Mia. Dia cukup efisien dan profesional dalam bekerja."Namun Clara tetap merasakan ketidaknyamanan dalam dirinya. Ia mencoba untuk bertindak biasa saja meskipun hatinya tak bisa tenang."Tidak ada alasan khusus. Hanya penasaran saja," ucap Clara sambil mencoba tersenyum tipis."Kau jangan berpikir yang bukan-bukan, Clara. Kemarin aku dan dia hanya makan malam biasa untuk membahas proyek ke