Pagi itu, Emily tidak melihat William begitu bangun tidur.
Rasanya makin aneh saja hubungan mereka, tapi Emily rasa yang bisa dilakukannya sekarang adalah bersabar. “Sudahlah... Lebih baik aku pergi belanja saja dengan Azura,” ucapnya lirih. Tidak ingin membuang waktu karena merasa kesepian, Emily pun memutuskan untuk segera bangkit. Menuju ke kamar mandi, dan akan segera bersiap setelahnya. Emily langsung keluar dari kamar, berniat menghampiri Azura. Namun, hal itu gagal dilakukannya. “Nyonya,” ucap seorang pelayan yang datang bertepatan dengan Emily keluar dari kamar. “Ada apa?” tanya Emily. “Ada Nyonya besar di ruang tamu, beliau sudah menunggu anda. Katanya, ada hal penting yang ingin beliau bicarakan dengan anda,” ucap pelayan itu lagi. Emily menganggukkan kepalanya. “Baiklah.” Emily duduk dengan tegak, berusaha menjaga ketenangannya di hadapanUcapan Nyonya besar benar-benar tidak bisa dilupakan barang sedetikpun. Karena itu, Emily jadi kehilangan minat untuk pergi berbelanja. Azura menghela napasnya. Saat ini dia dan Emily berada di taman samping rumah. Azura hanya bisa menemani sahabatnya itu yang kini tengah menangis. “Emily, aku mengerti bagaimana perasaan mu. Tapi, aku harap kau jangan terlalu larut dalam kesedihan ini. Bagaimanapun, akan lebih baik kalau kau membicarakan ini dengan William nanti,” ucap Azura. Mendengar saran itu, Emily segera menggelengkan kepalanya. Diusapnya air mata yang masih berjatuhan di wajahnya. “Aku tentu saja sudah tahu seperti apa jawaban yang akan Wiliam berikan. Selain marah, William pasti akan memaksaku untuk terus berada di sisinya.” Azura terdiam. Dia tidak terlalu paham hati manusia lain, tapi anehnya dia seperti merasakan benar emosi yang Emily rasakan saat ini.
Sebastian membuka matanya. Ia terkejut melihat Hendrick dirantai dengan posisi berdiri. Kejam sekali! Namun, nyatanya dia juga dalam posisi yang sama. “Akhh!” pekik Sebastian, merasai tubuhnya sakit semua. “Apa yang terjadi padaku? Kenapa aku juga dirantai?” Sebastian kembali mengingat saat terakhir dia sedang berusaha untuk datang ke rumah kedua orang tuanya untuk meminta bantuan. Tapi, di tengah perjalanan dia diserang oleh beberapa preman dan jatuh pingsan karena pukulan keras di punggungnya. ”Siapa yang melakukan ini padaku?!” teriak Sebastian emosi. Seketika itu matanya melihat ke sekeliling ruangan. Adanya Kelly membuat Hendrick kesal. “Sialan! Dasar kau brengsek, Kelly!” teriak Sebastian. “Kau pasti yang menyuruh orang untuk melakukan itu padaku, kan?” Hendrick menggelengkan kepala. Padahal, jelas-jelas Sebastian melihat Kelly sedang dalam kondisi tidak
Sebastian mencoba untuk bangkit. Untungnya yang dirantai hanya kedua tangannya saja, kakinya tidak. Dia berjalan sempoyongan. Kakinya yang terasa sakit karena ditekuk berjam-jam di dalam lemari, ototnya tegang. Hendrick yang masih gemetaran menatap Sebastian dengan tatapan memohon. “Ayah, aku mohon... bantu aku. Aku takut sekali. Bantu aku, Ayah...” Sebastian tidak terlalu mendengar hal itu, dia fokus mencari kunci dari gembok rantai yang mengikat kedua tangannya. “Ah, itu dia!” ucap Sebastian kala melihat beberapa kunci terikat di dekat jendela. Dengan tergopoh-gopoh pria itu menuju ke sana. Satu persatu kunci dia gunakan untuk membuka gembong di tangannya, akhirnya bisa! Hendrick tersenyum lega. “Ayah, buka gembok ini, sekarang. Tolong, Ayah!” Sebastian menghela napas. Yah... walaupun memang benar dia merasa kesal kepada Hendrick, tetap saja dia tidak bisa t
“Apa yang Ayah katakan?!” Hendrick melotot tajam. Sebastian berdecih. “Lantas? Kau mau membopong dia ke manapun kau pergi? Ah, terserah kau saja.” Hendrick mengepalkan tangannya. Dia memang tidak mungkin membopong Kelly sepanjang waktu. Bahkan, dia juga merasa kelaparan sekali sekarang, manalah dia memiliki tenaga untuk membopong Ibunya terus. Namun, jelas saja tidak mungkin untuk dia menjadikan Ibunya umpan singa. Hendrick membuang napas kasarnya. “Ayah, sebenarnya kenapa Ayah sangat membenci Ibu sekarang? Ibu adalah orang yang selalu mendampingi dan membantu Ayah selama ini.” Mendengar itu, Sebastian pun tersenyum kesal. “Ibumu melakukan banyak hal jahat. Bahkan, kecelakaan Ibunya William juga dia yang rencanakan. Kalau saja aku tidak ingat sudah mengambil langkah sejauh ini, aku juga tidak mau bertahan dengan wanita gila itu!” Hendrick membuang napasnya. Entah apa yang Ayahnya katak
“Aku berangkat, ya?” ucap William, lalu mengecup kening Emily. Emily tersenyum, menganggukkan kepalanya. Sebelum William melangkah, Emily menahan pergelangan tangan Pria itu, menahannya sebentar. “William,” katanya pelan. “Hati-hati di jalan. Jaga diri baik-baik. Aku akan sangat merindukan mu.” Emily mengakhiri ucapannya dengan senyuman. Mendengar itu, William tersenyum. Dia membawa Emily ke dalam pelukannya. “Tentu saja. Kau juga jaga diri, jangan lewatkan jam makan. Aku juga akan merindukanmu. Aku akan menghubungimu kalau sudah sampai nanti.” Emily memejamkan matanya, menikmati pelukan itu dibarengi jatuh air matanya. Sebelum William melepaskan pelukannya, Emily segera menyeka air matanya. Pria itu pun meninggalkan kamar. Emily terdiam sambil menatap punggung pria itu hingga makin menjauh, tak lagi terlihat. Bruk! Emily jatuh duduk di lantai. Air matanya sudah tak lagi bisa i
Azura berlarian ke sana ke mari. Mencari keberadaan Emily yang tak kunjung ia temukan keberadaannya. Gedung lima lantai itu telah satu persatu Azura telusuri, kakinya bahkan sampai gemetar hebat, namun Emily masih belum diketemukan. “Emily!” panggil Azura frustrasi. Padahal, Azura juga sudah meminta bantuan penjaga pusat belanja. Hasilnya tetap nihil. Tidak ada pilihan lain, Azura harus siap menerima resiko dari kelalaiannya. Ia menghubungi William. Namun, panggilan telepon darinya juga tak dapat terhubung. Mungkin William masih di pesawat. “Ya ampun!” Azura menangis. Akhirnya, dia berlari keluar gedung, kembali mencari keberadaan Emily. Wanita itu benar-benar tidak ingin menyerah, terus berteriak memanggil Emily. Berharap sahabatnya itu diketemukan. Sudah satu jam, Azura hampir menyerah. Dia memutuskan mendatang
William berdiri di ruang tamu megah milik Nyonya Besar, matanya menyala penuh amarah yang seolah memuncak. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, berusaha menahan diri agar tidak menghancurkan sesuatu. Tapi kesabarannya sudah benar-benar habis. “Di mana Emily? Katakan!” suaranya menggema di ruangan yang hening, penuh dengan kemarahan yang tertahan sejak tadi. Nyonya Besar duduk di kursinya dengan anggun, tatapannya tetap tenang meski William jelas-jelas tengah berada di ambang ledakan. Dengan suara dingin, ia berkata, “Emily pergi karena keinginannya sendiri, William. Sudah seharusnya kau menerima keputusan wanita itu.” Brak! William menggebrak meja kayu di depannya, membuat gelas teh yang belum tersentuh bergetar. “Jangan bicara seolah Nenek tidak ada hubungannya dengan ini! Aku tahu Nenek lah yang membuat Emily pergi!” Nyonya Besar menghela napas panjang sebelum mengangkat tongkatnya dan mengh
William terus mengendarai mobilnya, berharap akan dapat menemukan Emily. Pencarian sudah dilakukan selama 24 jam lebih. Hasilnya masih nihil. Brak! William memukul setir kemudinya. Perasaannya tidak pernah sefrustrasi ini. “Emily, beraninya kau melakukan ini padaku?!” teriak William. “Padahal, aku rela menekan diriku untuk tidak menyakiti keluarga mu, tapi kau malah tidak tahu diri!” teriaknya. Bukk bukk bukk. William terus memukuli setir kemudi. “Ahh!!!! Bajingan!” teriaknya lagi. Tapi, beberapa detik setelahnya William terisak. “Maafkan aku, Emily. Harusnya aku lebih jujur dengan apa yang aku rasakan belakangan ini. Aku memang ingin sekali menyakiti kedua orang tuamu, tapi setiap kali melihatmu, aku takut kau akan membenciku. Maaf... sekarang aku benar-benar sudah merelakan perbuatan orang tuamu terutama Ibumu. Jadi, kumohon kembali padaku, aku mohon...” Namun, suaranya dan kalimat yan
Setelah memastikan Elle tertidur lelap, Emily dan William akhirnya berbaring di tempat tidur mereka. Ruangan terasa sunyi, hanya ada suara napas mereka yang terdengar samar. Emily menggigit bibirnya, ragu-ragu sebelum akhirnya bertanya, “William... apa tidak apa-apa memperlakukan Anastasia seperti itu?”William yang tengah berbaring dengan mata terpejam menghela napas panjang. Dia membuka matanya perlahan lalu menoleh ke arah Emily. Tanpa berkata-kata, ia mengulurkan tangannya dan menyentil dahi wanita itu. “Aduh!” Emily meringis kesal, memegangi dahinya yang baru saja disentil. “Kenapa menyentil ku?” tanyanya dengan nada merajuk. William menatapnya tajam, lalu berkata dengan suara yang datar, “Kalau saja kau tidak kabur 4 tahun lebih yang lalu... kalau saja kau tidak berkata bahwa aku sebaiknya mencari wanita lain yang lebih pantas mendampingiku... mana mungkin aku membiarkan Anastasia tetap berada di sisiku?”Emily terdiam. Kata-kata
Anastasia mencengkram setir kemudi mobilnya erat-erat. Tangannya gemetar, begitu pula tubuhnya yang terasa lemah seolah tidak ada lagi tenaga. Matanya memanas, dan tidak butuh waktu lama hingga air mata mulai berjatuhan tanpa bisa ia kendalikan lagi. Pada akhirnya, Anastasia menangis sejadi-jadinya, menumpahkan segala rasa sakit yang menghantam hatinya. Ia memukuli setir mobil dengan frustrasi, dadanya terasa sesak seakan udara enggan masuk ke dalam paru-parunya. Kata-kata William terus terngiang di kepalanya, kalimat yang menusuknya lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan. “Istriku sudah kembali. Aku akan menjalani hidupku seperti sebelumnya.”Itu bukan sekedar pernyataan. Itu adalah penegasan, pengakuan yang membuat semua harapan Anastasia runtuh dalam sekejap. Bertahun-tahun ia menunggu, bertahun-tahun ia berharap, rela menghabiskan waktunya hanya untuk mengemis cinta dari pria itu. Dan kini, semua itu terasa sia-sia.
William meraih tangan Emily, sementara resletingnya sudah ia buka. Emily benar-benar kesal, tapi juga tidak bisa melakukan apapun. Kegilaan William hanya bisa dia tahan saja. “William, malam itu kau membawa Rose pergi di depan banyak pegawai JB fashion, kau sudah menciptakan kesalahpahaman,” ujar Anastasia. Mendengar itu, William pun hanya bisa memaksakan senyumnya. Sejatinya, dia sedang merasa kesal kepada Emily karena masih saja diam. Apa wanita itu tidak paham apa yang harus dilakukan padahal William jelas saja sudah membuka resletingnya. “Kau tidak ingin memberikan tanggapan apapun karena itu, William?” tanya lagi Anastasia yang masih belum mendapatkan tanggapan apapun dari William.. William menghela napasnya. “Yah... mau bagaimana lagi? Aku cukup bergairah melihat wanita itu.” Jawaban dari William barusan membuat Anastasia mengerutkan keningnya. “Sebenarnya, kenapa kau jadi seperti ini,
Mendengar itu, Sebastian pun tersenyum sinis. “Kau pikir apa yang akan dilakukan jika sudah sampai di pesisir pantai, hah? Tidak ada kapal yang melintas melewati Pulau ini. Usaha itu hanya akan sia-sia saja.” Kelly tertunduk lesu. Entah Bagaimana caranya dia bisa sedikit berguna untuk Hendrick. Hendrick membuang napas kasarnya. Dia benar-benar sudah pasrah. Bahkan entah sudah berapa kali saja dia mencoba untuk bunuh diri meski gagal karena dia tidak sanggup dengan rasa sakitnya. ****Sore itu, setelah menyelesaikan pekerjaannya di JB fashion, Emily langsung menuju kantor William. Kedatangannya sudah dikabarkan oleh salah satu pegawai, sehingga ia tidak menemui hambatan apapun.Saat tiba di depan pintu kantor William, Emily mengetuk pintu sekali sebelum langsung masuk. William sudah memperbolehkannya sebelumnya. namun begitu ia masuk, hal pertama yang dicari adalah Elle. “Hari ini kau pulang lebih cepat, ya?”
Pertanyaan dari Robert barusan membuat William tersenyum. “Apa yang berani dia lakukan kalau Elle tidak mau berpisah dariku?” Mendengar itu, Robert pun menganggukkan kepalanya. “Saya berharap, anda tidak akan merasakan yang sama lagi.” William menganggukkan kepalanya. “Kali ini, Aku cukup yakin bisa membuat wanita itu terus menempel padaku.” “Baiklah, Saya berharap seperti itu,” ujar Robert. William mengarahkan tatapan matanya kepada Robert, memperhatikan pria itu dengan apa yang sedang dipikirkannya saat ini. Pada akhirnya, Ia pun menyampaikan apa yang ingin dikatakannya. “Robert, ini sudah cukup. Apa kau masih harus bersikap sinis kepada Azura?” Ada perasaan aneh yang sulit untuk diungkapkan Robert saat ini. Tapi, dia juga tidak ingin William berpikir terlalu jauh. “Sebenarnya, aku sendiri tidak memperlakukan Nona Azura dengan sinis. Tapi, dia yang melakukan sebaiknya. Saya sudah mencoba untuk lunak
Di ruangan kerja Anastasia, wanita itu dan Emily duduk berhadapan, beseberangan meja. Emily terdiam, menunggu Anastasia memulai pembicaraan. Sejak tadi, wanita itu terus saja mengarahkan tatapan tajamnya kepada Emily. ”Kenapa kau tidak datang ke kantor kemarin?” tanya Anastasia. Jangan tanya apakah tatapan tajamnya sudah mereda, sama sekali tidak. “... Maaf. Ada beberapa hal yang terjadi, namun saya tidak bisa menyampaikannya kepada anda,” jawab Emily. Mendengar jawaban itu, Anastasia pun tersenyum kesal. Ia menggigit bibir, sementara ia sendiri juga tengah mengatur emosinya agar tidak meledak-ledak. “Dengarkan aku baik-baik, Rose. William itu adalah kekasihku. Kenapa kau bisa melakukan semua itu bahkan di hadapanku?” tanya Anastasia. Suaranya memang terdengar datar, tapi jelas penuh tekanan. Emily menunduk sejenak sebelum dia menjawab pertanyaan itu. “Nona Anastasia, Anda juga melihat sendiri dengan sep
Setelah percakapan panjang dan melelahkan itu, akhirnya William pun mengalah. Ia membiarkan Emily menyelesaikan proyeknya di perusahaan JB fashion. Namun, tentu saja, William tidak akan menyerah begitu saja tanpa mendapatkan sesuatu sebagai imbalan. “Karena aku sudah memberikan persetujuan yang harganya sangat mahal, maka kau harus membayarnya kembali,” kata William dengan tatapan penuh maksud. “Kau harus melayaniku sampai aku tidak bisa bangun besok pagi.”Emily menelan ludah, merasa wajahnya mulai memanas. Ia ingin menolak, tapi ia tahu William tidak akan menerima penolakan apapun. Namun, rencana William gagal total. Elle tiba-tiba masuk ke kamar dengan mata mengantuk, menyeret boneka yang ada di kamarnya tadi. “Ayah...” panggilnya pelan sebelum langsung naik ke tempat tidur dan memeluk William erat-erat. William membeku. Ia menatap bocah kecil itu yang dengan nyaman menempel padanya, lalu melirik Emily yang justru terseny
“William, maaf... Aku tidak pernah berpikir sampai sejauh itu. Aku salah, maafkan aku,” ucap Emily, suaranya gemetar. Benar, dia sama sekali tidak pernah memikirkan soal apa yang dikatakan oleh William barusan. Mendengar itu, William pun membuang napas kasarnya yang terasa begitu berat. “Aku tidak bohong bahwa aku membenci keputusanmu, kau yang begitu sembrono. Apakah yang aku lakukan dan pengorbananku masih belum cukup untuk membuat hatimu teguh berada di sisiku? Kenapa kau mudah sekali terpengaruh oleh ucapan Nenek ku, tapi tidak terpengaruh oleh semua yang aku lakukan?”Emily menggigit bibir bawahnya, merasa semakin bersalah. Kepergiannya bukan hanya menyiksa dirinya sendiri, tapi menyiksa William dan juga, Elle. “Emily, aku tidak bohong bahwa aku bahagia dengan kenyataan kau baik-baik saja. Bahkan, kau juga memberikan putri yang cantik dan cerdas untukku. Tapi, kenapa aku harus menunggu selama ini? Bahkan, kau juga masih ingin kab
William membawa Emily dan Elle pulang ke rumah mereka. Sesampainya di sana, Elle nampak bersemangat karena rumah William besar dan mewah, halamannya luas, ada taman samping juga. “Ini rumah kita, Yah?” tanya Elle, matanya berbinar bahagia. William tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Tentu saja. Bagaimana? Kau suka?” Elle mengangguk cepat, nampak begitu bahagia. “Iya, suka!” Emily tersenyum. Dia tidak menyangka kalau pada akhirnya dia akan kembali ke rumah itu, bertambah anggota keluarga juga. Rasanya, bertahun-tahun meninggalkan William tidak ada perubahan apapun di dalam hidupnya secara signifikan. William menurunkan Elle dari gendongan, membiarkan putri kecilnya itu mengeksplor ruangan. Pelayan yang ada di rumah langsung sigap menemani Elle. Mereka sempat merasa terkejut. Padahal, kembalinya Emily cukup membuat mereka kaget, sek