Kubuka mata dengan malas saat merasakan kecupan lembut di ubun-ubun. Menggeliat sejenak hingga aku merasa nyeri di seluruh tubuh. Aku bangkit untuk duduk, kemudian mendapati tubuh telah polos tanpa pakaian. Sementara Celoz beranjak menuju pintu keluar kamar dengan pakaian lengkap di badan. Aku memanggil dengan lembut, tapi akhirnya meringis karena merasa perih di sudut bibir. Celoz berbalik. “Kau sudah bangun?” Ia bertanya basa-basi. “Maaf aku tidak bisa menahan nafsu ketika kau pingsan karena mabuk tadi malam.” Ia berucap dengan wajah menyesal. Lagi? Ya Tuhan, sampai kapan aku mendapati tubuh penuh luka begini?! “Aku sudah mengobati, nanti akan pulih sendiri.” Celoz berucap tanpa kutanya. Ia usap pipiku dengan lembut. Aku hanya diam, menyingkirkan tangannya dari pipi. Aku merasa begitu perih di bagian intim. “Kau pakai alat bantu lagi?” Aku protes dengan kesal. Celoz hanya diam. Namun, tanpa ia jawab pun aku sudah bisa menerka. Kurasa bagian dada juga perih, setelah membu
Reviana mengirim foto dan video sebagai bentuk konfirmasi bahwa terapi Mas Irsan telah dilakukan. Aku merasa jauh lebih tenang sekarang, sebab satu per satu beban di pundak terasa sudah diangkat. Satu panggilan video masuk dari Mas Irsan. Aku hanya mendiamkan hingga panggilan itu berhenti dengan sendirinya. Sebab, lagi-lagi tadi malam aku kembali mendapatkan siksaan dari Celoz. Entah sudah kesekian kali ia melakukan hal yang sama. Aku tidak ingat, sebab sepanjang saat tubuh tidak pernah sembuh dari luka. [Kamu sibuk?] Mas Irsan mengirim pesan. Pesannya juga sengaja aku abaikan. Alasan terpeleset di kamar mandi tidak mungkin bisa kembali menjadi alasan untuk wajah yang penuh luka lebam. Tidak mungkin Mas Irsan akan percaya jika aku memberikan jawaban yang sama saat ia melihat mukaku di layar ponsel nanti. Sudah lebih dari seminggu memang tidak ada komunikasi sejak terakhir kali kami berbicara lewat video call waktu itu. Ia pasti sudah sangat rindu ... aku juga. [Jangan lupa istira
“Aku bisa sendiri.” Aku menolak saat Celoz hendak membantu menuju kamar mandi. Aku sudah jauh lebih baik sekarang. Kaki telah bisa diajak untuk berjalan dan menopang berat badan. Celoz tetap memapah. Tidak membiarkan aku berjalan sendirian. “Lepas ...!” Aku meminta dengan lemah, menyingkirkan tangannya dari tubuhku. “Aku hanya ingin membantu.” Ia protes karena tangannya kuenyahkan. “Sudah kukatakan, aku bisa sendiri!” Aku berucap dengan nada tidak bersahabat. “Kau masih marah padaku?” Ia bertanya memastikan. “Bagaimana aku bisa marah padamu, bukankah kau telah membayarku untuk menjadi boneka seksmu?” Aku menatap dengan tajam, menegaskan bahwa aku benar-benar marah sesuai dengan apa yang ia pikirkan. “Aku sudah minta maaf berulang kali setelah aku melakukan itu. Aku merawatmu hingga kau sembuh, aku membayarmu untuk semua yang telah aku lakukan padamu. Kurang apa aku?!” Ia balik bertanya dengan nada yang mulai terdengar kesal. Aku menarik napas kasar. “Harusnya tanpa aku beritah
“Seminggu ini kamu ke mana saja? Tidak ada kabar sama sekali. Aku butuh makan, stock makanan di kulkas sudah mulai habis.” Aku langsung protes saat Celoz kembali lagi ke apartemen setelah ia pergi waktu itu. Ia benar-benar tidak ada kabar sama sekali. Menghilang bak ditelan bumi. Aku hubungi tidak pernah dijawab, kukirim pesan juga tidak ada balasan. “Bukannya kamu senang aku tidak ada di sini?” Ia berjalan dengan santai, lalu mengempaskan tubuhnya dengan kasar ke sofa. Aku terdiam. Dia memang benar, harusnya aku senang jika ia tidak ada. Namun entahlah. Aku ikut mengempaskan tubuh di sampingnya. Duduk dengan begitu dekat, sedikit merapatkan tubuh. “Jangan dekat-dekat.” Ia berkomentar seraya mengambil jarak, menjauh. Aku mengerutkan kening, biasanya ia yang tidak ingin jauh-jauh, tapi mengapa berbeda kali ini? “Kau marah padaku karena aku menolak ajakanmu waktu itu?” Aku bertanya memastikan. Memasang wajah bingung, sebab benar-benar tidak tahu apa alasan di balik sikapnya itu.
“Aku tidak bisa, sudah kukatakan aku mencintai suamiku. Cintaku untuknya melebihi apa pun.” Aku berucap dengan perasaan entah. Ada rasa aneh saat menatap sorot mata yang tampak kian meredup itu.Celoz tersenyum tipis. Genggamannya pada tanganku ia lepas. Ia hela napas dengan kasar. “Bersiaplah. Kita akan berbelanja. Aku ingin mengajakmu ke acara penting besok malam.” Ia berucap dengan lembut. Ditatapnya jam mewah yang melingkar di pergelangan tangannya. “Aku akan menjemputmu setengah jam lagi.” Ia berlalu setelah berucap demikian. “Ke mana?” Aku bertanya memastikan. Sebab, tidak ingin kejadian di club itu terulang lagi. Ia mencekokiku dengan alkohol secara paksa hanya sebagai alasan agar ia bisa pulang lebih awal.“Kau akan tahu besok.” Ia tidak ingin menjawab ke mana tujuan kami. Aku menurut. Beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian. Setelah mencari yang paling tertutup, hanya ada dress merah tanpa lengan dengan panjang sejengkal di bawah pangkal paha. Itu sudah yang paling no
“Ma ... ini tidak seperti yang Mama bayangkan.” Aku berusaha untuk menjelaskan dengan suara bergetar. Tidak peduli terhadap rasa panas di pipi akibat tamparan yang ia berikan. Jantung semakin berdetak dengan sangat kencang. “Berhenti memanggilku mama dengan mulut busukmu itu!” Ia mengacungkan jari telunjuk. Menatap begitu tajam, tampak di manik mata itu bahwa kebenciannya terhadapku semakin besar. Lebih besar dari sebelumnya. “Mama salah paham.” Aku berusaha mendekat, tapi langsung didorong olehnya. “Salah paham gimana? Jelas-jelas kau jalan dengan lelaki lain, bersenang-senang di sini. Sementara putraku jadi cacat karenamu.” Ia berucap dengan begitu kasar. Seolah kondisi yang menimpa Mas Irsan adalah murni kesalahanku. “Ma ....” Aku terus berusaha mendekat setelah ia dorong berulang kali hingga hampir terjengkang jika Celoz tidak menahanku dari belakang. “Sudah kukatakan, berhenti memanggilku dengan sebutan itu!” Lagi, ia kembali mendaratkan satu tamparan di pipi kiri. Kali in
“Aku mau ini.” Aku memilih sebuah dress panjang dengan lengan yang menutup hingga pergelangan. Bagian lengan membentuk balon. Sementara di bagian pinggang dipasang karet agar sedikit membentuk badan. “Ambil.” Celoz berucap seraya mengitari pajangan baju yang lain. Ia tampak begitu fokus dalam memilah gaun di sana. “Kau suka ini?” Celoz mengangkat gaun hitam polos dengan tali yang tidak sampai sebesar jari kelingking. Gaun pilihannya tampak sederhana, tapi begitu elegan. “Ini cocok dengan kulitmu.” Ia menambahkan. “Ambil jika kau suka.” Aku membalas ucapannya. Kami beranjak menuju meja kasir. Membayar dua potong gaun itu. Yang satu untuk kukenakan nanti, sementara pilihannya untuk dikenakan ketika bertemu dengan orang penting yang pernah ia katakan sebelumnya. “Aku bingung harus membeli apa untuk Mas Irsan.” Aku berucap seolah meminta saran darinya. “Beli sepatu saja.” Ia menyarankan. Aku berhenti melangkah. Menoleh dan menatap ia dengan sorot entah. Menit berikutnya aku tersen
Mas Irsan terdiam cukup lama. Matanya fokus menatap sepatu dalam kotak yang tengah ia pegang. Aku mulai was-was, takut jika ini kembali memancing pertengkaran di antara kami. Bahkan mungkin lebih parah dari yang aku bayangkan. “Mas.” Kupanggil ia seraya meremas punggung tangannya dengan lembut. Sebab, ia sudah cukup lama terdiam tanpa ada kata sedikit pun. Mas Irsan mendongak. Ia tatap aku dengan sorot entah. Aku tidak tahu apa arti dari sorot yang ia berikan itu. Sebab, belum pernah menangkap tatapan itu dari manik matanya sebelumnya. Mas Irsan menarik napas kasar. “Kau lupa suamimu cacat, Nina?” Nada bicaranya terdengar kian asing. Mataku mulai terasa memanas setelah mendengar kalimat itu. Dada terasa sesak saat menatap sorot matanya yang kian asing dalam menatapku. Ia tutup kembali kotak itu, lalu meletakkannya dengan sedikit kasar di atas ranjang. “Mas ....” Kutahan tangannya saat ia mencoba untuk menjauh dariku. Namun, tanganku langsung ia empaskan dari sana. Tidak ingin k
“Kau melahirkan di sini?” Celoz menatap karpet yang tampak kotor. Aku mengangguk dengan lembut, mendongak agar bisa menatapnya. Ia hanya menghela napas kasar. Lalu terdiam. Mau bagaimana lagi, aku sudah tidak sanggup berjalan. Persalinan juga tidak bisa kutunda lebih lama, sebab Dokter Weni melarang aku menahannya. Lelaki berjas hitam itu berlutut, mengambil alih bayi mungil yang ada dalam gendonganku. Sorot matanya tampak tulus dalam menatap. Ia tidak berkedip untuk beberapa saat. Hanya hitungan menit ia menggendong, bayi itu kembali menangis.Ia kembali menyerahkan padaku setelah ia kecup kening bayi itu. “Dia pasti haus.” Aku berucap.“Beri ASI kalau begitu.”“ASI-ku belum lancar. Bisa kau buatkan susu untuknya?” Aku menatap, menunggu jawaban. Ia hanya diam dengan helaan napas kasar, tatapannya masih fokus menatap bayi mungil yang belum diberi nama itu.“Di mana Dokter Weni?” Ia mengalihkan pandang dengan menatap sekitar.“Belum kembali dari mengurus ari-ari.” Lagi, ia menari
Handphone yang sudah mati total karena tidak pernah disentuh selama kurang lebih tiga bulan ini, kembali kuisi dayanya selama sejam. Kemudian mengaktifkan kembali untuk mengecek pesan yang masuk selama aku tidak menggenggam ponsel itu.Banyak pesan bermunculan setelah ponsel kembali kuaktifkan. Rata-rata pesannya masuk sebelum ponsel benar-benar kehabisan daya untuk menyala.Terutama pesan dari Mas Irsan.[Kau sibuk sampai gak ada waktu buat datang ke persidangan?][Kupikir kau akan datang, mengingat kau menolak buat pisah.]Hanya dua pesan itu saja yang masuk darinya, tidak ada lagi pesan-pesan yang ia kirim untukku. Aku menarik napas dengan kasar. Menghapus semua riwayat pesan darinya. Tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan yang membuatku semakin enggan untuk melanjutkan kehidupan.“Jika dia bisa hidup tanpamu, mengapa kau tidak bisa hidup tanpa dia?” Pertanyaan sederhana yang Celoz ucapkan ketika aku mencoba untuk mengakhiri hidup beberapa saat yang lalu, terngiang-ngiang di ke
Aku benar-benar tidak bisa ke mana-mana. Seperti seorang tahanan yang hanya bisa menghabiskan waktu di dalam apartemen. Tidak ada kesempatan sedikit pun untuk keluar, sebab pintu selalu terkunci dengan rapat. Terlebih ada dua penjaga di depan sana. Juga bu dokter yang dua puluh empat jam selalu bersama denganku. Aku sungguh tidak punya privasi sekarang. Makan, mandi, tidur selalu ditemani oleh dokter itu. Sebab takut terjadi sesuatu terhadapku. Celoz selalu rutin mengunjungi sekali dalam sehari. Tidak ada kalimat sama sekali yang terlontar dari mulutnya. Ia datang hanya mengantar makanan, menatapku sekilas, lalu pergi lagi. Aku mulai bosan dengan rutinitas yang kujalani setiap hari. Seolah dejavu, hal sama yang terjadi berulang kali. Bangun, makan, nonton televisi, olah raga ringan bersama dokter itu, lalu tidur. Seperti itu setiap hari. Aku mulai rindu menginjak tanah. Menghirup polusi di jalanan yang biasanya selalu kubenci. Mendengar klakson yang bising saat terjadi macet. Juga
Mobil berbelok menuju arah lain ketika kami hampir tiba di tempat tujuan. Celoz memutar arah laju kendaraan. Aku mengerutkan dahi, bingung. Menoleh ke luar jendela dengan kaca yang masih tertutup rapat. Menatap hotel yang berdiri di depan sana. Kami berjalan menjauh dari bangunan itu. “Kenapa putar balik?” Akhirnya aku mengutarakan pertanyaan yang mengukung dada. Menatap Celoz yang tampak fokus dalam menyetir. Ia tidak menjawab sama sekali. Terus menancap laju mobil. Aku berusaha untuk membuka pintu, tapi terkunci. Tidak bisa dibuka sama sekali. “Kita mau ke mana?” Aku mulai panik. Sebab ini tengah malam, jalanan sudah mulai sepi meskipun masih ada beberapa kendaraan yang lalu lalang. “Pulang.” Celoz menjawab dengan santai. “Aku mau bertemu suamiku.” “Aku juga suamimu.” Ia mengingatkan. Aku berdecak kesal. Pusing memikirkan cara untuk menghentikan laju mobil. Aku ingin bertemu dengan Mas Irsan sekarang. Tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Sebab, semakin lama aku menunggu den
“Gila kamu! Kenapa Nina sampai begini?!” Suya marah besar saat Celoz akhirnya datang juga ke rumah sakit setelah ia coba hubungi berkali-kali. Aku hanya bisa menatap dari brankar tempatku berbaring dengan lemah. Andai Suya tidak datang ke rumah, tidak akan ada yang membawaku ke rumah sakit untuk dirawat. Celoz tidak menjawab, ia hanya diam saat Suya melampiaskan amarah dengan memaki dan memukul dadanya berkali-kali. “Dia itu lagi hamil, yang ada di kandungannya itu anak kamu! Tega kamu mukul dia?” Suya tampak benar-benar peduli. Ada luapan amarah saat ia menatap sosok Celoz. Mungkin juga merasa bersalah, sebab ia yang menjadi jembatan atas pertemuan dan perkenalan kami. Celoz menoleh padaku saat Suya tidak juga kunjung berhenti memarahi. Aku membuang muka, tidak ingin membalas tatapan itu. Yang kuinginkan sekarang hanyalah Mas Irsan. “Aku masih ada urusan, dia tampak baik-baik saja. Tagihan rumah sakit biar aku yang melunasi. Kalian menghubungiku karena menginginkan itu bukan?”
Aku kembali mengaktifkan ponsel yang telah kumatikan beberapa saat lalu. Ingin menghubungi Suya untuk meminta bantuan darinya. Sebab, aku tidak tahu harus ke mana sekarang. Terlebih sudah tidak ada pegangan. Setiap uang yang kudapat dari transferan Celoz, selalu kuteruskan ke rekening Mas Irsan untuk tambahan biaya pengobatan. Hanya tersisa beberapa lembar berwarna merah di dalam tas. Ada banyak pesan masuk dari Celoz setelah ponsel kembali aktif. Ia sangat marah saat tahu aku tidak ada di apartemen ketika ia kembali lagi. Berkata akan menghajarku jika kami bertemu nanti. Kuabaikan rentetan pesan itu. Mencari nomor Suya untuk lekas menghubungi. Panggilan langsung diterima sejenak setelah terdengar nada sambung. “Ada masalah?” Pertanyaan itu langsung menyambut, sebab aku hanya diam dengan isakan setelah panggilan tersambung. “Dia mau cerai.” Aku menjawab dengan tangisan yang menyertai. Tidak sanggup untuk menjelaskan lebih detail lagi, sebab lidah terasa berat untuk berucap. “Di
Aku menoleh sekitar seraya menarik koper berwarna biru terang. Was-was jika Celoz sampai tahu. Berlari cepat saat taksi online yang kupesan telah tiba di depan gerbang sana. Mas Irsan setuju ketika rencana yang harusnya minggu depan, dimajukan pagi ini. Kuminta sang supir untuk lekas menancap gas menuju tempat tujuan sebelum Celoz datang lagi. Ia memang baru beberapa saat yang lalu pergi meninggalkan tempat ini, tapi siapa yang tahu jika ia tiba-tiba kembali karena ketinggalan sesuatu?[Aku udah berangkat.] Kukirim pesan pada Mas Irsan dan Suya. Jantung berdegup dengan sangat cepat. Berdebar, bukan karena akhirnya bisa bertemu kembali dengan lelaki yang aku cintai. Namun, karena khawatir ia menolak kehadiranku dengan kondisi perut membuncit seperti ini. [Oke. Kabari aku kalau terjadi sesuatu.] Suya mengirim balasan. Sementara dari Mas Irsan tidak ada balasan sama sekali. Perjalanan yang tidak terlalu jauh, terasa begitu lama. Sebab jantung yang enggan untuk berdetak seperti biasa
“Kau mencari sesuatu?” Aku bertanya saat Celoz tampak tengah sibuk menggeledah pakaian yang tengah ia kenakan, juga bolak-balik mengitari seluruh sudut yang ada di apartemen. “Kau melihat kartuku?” “ATM?” “Bukan.”“Kartu kredit?” Ia berdesis pelan. “Kartu akses untuk keluar masuk apartemen.”Aku berbohong dengan mengatakan tidak melihat sama sekali. Sementara kartu itu telah kusimpan di tempat yang aman tadi malam. Saat ia meminta dimasakkan makanan enak. Aku ikut serta untuk mencari agar ia tidak curiga. Ikut sibuk membolak-balik apa yang bisa dibalik. Mulai dari sofa hingga ke ranjang sana. Ponsel yang ada di saku celananya berdering, membuat dirinya semakin terlihat begitu gelisah. Panggilan itu ia tolak seraya terus berusaha mencari kartu. “Coba ingat semalam kau letakkan di mana?” Aku menunjukkan simpati. “Setelah membuka pintu, sengaja tidak kumasukkan kembali ke dompet. Karena berpikir akan lekas keluar.” Ia menjawab tanpa menoleh sama sekali. Aku tersenyum melihat ia
Dering ponsel membuatku terbangun dari tidur. Aku menggeliat pelan, menyingkirkan lengan Celoz yang masih melingkar di perutku. Kami menghabiskan waktu sepanjang hari hingga malam hanya dengan bercinta. Memberikan jeda untuk istirahat mengumpulkan tenaga, juga mengisi perut dengan makanan. Kemudian kembali melanjutkan apa yang ia inginkan.Ia bisa bermain dengan cukup lembut sekarang. Hanya saja dadaku terasa nyeri karena bekas gigitan darinya. Kebiasaannya untuk menggigit bagian tubuh pasangan pada saat melakukan pelepasan belum berubah juga hingga sekarang.Aku mengernyitkan mata berkali-kali demi menyesuaikan cahaya ponsel saat menatap nama di layar. Mas Irsan.Lekas aku bangkit untuk duduk dengan cepat. Menoleh pada Celoz sekilas. Ia tampak masih terlelap dalam tidurnya. Semua emosi ia tumpahkan saat kami bercinta. Ia tampak begitu lelah.Aku turun dari ranjang dengan tubuh polos tanpa pakaian. Terasa sedikit nyeri pada selangkangan di saat kaki dibawa berjalan. Kedua lutut gemeta