Ayah dan ibuku menginap di rumah James selama satu minggu penuh. Aku berharap bisa ikut mereka pulang ke kampung halaman, tapi masalah disini belum selesai. Saat malam terakhir, kami mengadakan pesta piyama. Konyol bukan? dan lebih konyol lagi karena itu merupakan ide James. James terus tersenyum sok manis saat kami semua berkumpul di kamarnya, ada kasur tambahan dilantai.Aku heran, apakah dia tidak merasa giginya itu kering karena terus nyengir?"Bagus sekali kita semua memakai piyama yang seragam. Bisa kita berfoto dan meng-uploadnya di instagram ku?" tanya James dengan ide cemerlangnya. Aku menggeleng kuat, sementara ayah memasang wajah berpikir."Ide bagus," jawabnya kemudian.Aku melongo tak percaya, bagaimana dengan ibuku? oh tentu saja dia istri yang sangat penurut. Kami berfoto ria dengan berbagai gaya. Ini lucu, tapi juga membuatku curiga.Adakah dukun amerika yang bisa ilmu pelet atau guna-guna? kalau ada, kurasa James sudah melakukannya terhadap orang tuaku. "Ayah ke
" Mereka benar-benar kelelahan," " Aku juga mengantuk," sahutku jengah "kau belum menjawabku, Alice," sergah James sedikit kesal Aku menghela nafas panjang. Entahlah, rasanya aku belum siap menjawabnya. " Bolehkah aku mempertimbangkannya lebih dulu?" pintaku jujur. Mata James menyiratkan keterkejutan, tapi dia tetap mengangguk. Malam itu, Setelah membenahi posisi tidur ayah dan ibu, aku pergi kekamar lain. Berusaha menjauhi James agar dapat berpikir jernih. Bukan tanpa alasan aku mengindarinya. Dia memiliki daya tarik yang kuat bagiku. Butuh waktu untuk berpikir waras saat didekatnya. Entah berapa lama termenung sambil memeluk lutut, sampai aku ketiduran. Kilasan penolakan James, bandara, air mata, peluhku, semuanya tergambar jelas dalam mimpi yang tak beraturan. Hari-hari hampa yang ku jalani saat itu, menyisakan ruang kosong tepat disudut hatiku yang paling dalam. Luka-luka itu tersimpan disana. Tidak, bukan tersimpan. Aku sengaja membuatnya menjadi poj
James benar-benar membuatku gila dengan perbuatannya. mengambil kesempatan setelah menyuruh adiknya menemani orang tuaku berbelanja. "apakah ini rencana licikmu?" tanyaku menyipit curiga, "apa?" James sedang bersikap seolah-olah dia adalah pria muda yang polos tanpa dosa. Padahal dia sedang bermain-main dengan libidoku. "James," aku melenguh saat dia sedang menarik-narik putingku yang mengeras. "Iya sayang? kau menyukainya?" tanya James berbisik ditelingaku, itu terdengar sangat erotis. "hmmmmm" "Mau lagi?" "hmmmmm" Suara air shower menenggelamkan suaraku. Nafas James semakin memburu saat tubuh kami terus bergesekan. "Bagaimana kau bisa tahan dengan ini, James?" keluhku tak tahan. James memelukku dari belakang, hidungnya terus menciumi leher hingga punggung ku. Dia menikmati setiap getaran yang aku rasakan. "Tahan dengan apa sayang?" "Sudah berapa banyak wanita yang bermain denganmu?" "tidak banyak, aku sangat pemilih," "Apa Clarissa merupakan tipemu?" Gerak
pukul 14.35 Kami sampai di bandara internasional, Logan, Boston. Hanya menunggu setengah jam dari keberangkatan pesawat yang akan di tumpangi orang tuaku. Aku menggunakan setengah jam tersisa itu untuk terus memeluk mereka. Banyak sekali wejangan yang mereka sampaikan padaku. "Ayah tidak akan memaksa kehendak kami sebagai orang tua nak, kau tetap putri kecil bagi ayah," Aku tak kuasa menahan tangis saat mereka akan bersiap-siap. Memeluk mereka lama sekali. Ayah dan ibu juga menciumi aku berkali-kali. Tampaknya mereka tidak terlalu puas, dan tetap melambai padaku sampai masuk kedalam pesawat. Scott hanya berdiri diam mendampingi tanpa bersuara. Dia sangat mengerti bagaimana memperlakukan wanita dengan benar. Setidaknya, kekhawatiranku terhadap nasib Betty tidak diperlukan lagi dengan adanya Scott disampingnya. Tapi, yang membuatku lebih sedih, karena James tidak ada disisiku saat ini. Aku berpikir, dia mengadakan meeting mendadak untuk menghindari aku sama seperti dulu.
" Nyonya, kami mendapat tugas dari suami anda untuk membawa anda ke suatu tempat," ujar seorang wanita bersama dua teman prianya. Keningku berkerut bingung, nyonya? Suami? Lalu aku ingat pesan Scott agar tak percaya siapapun. Tapi kami sedang di paris bukan Boston!Sementara aku menimbang untuk ikut atau tidak, ponselku berdering. Bergegas aku mengambilnya karena itu pasti James. "Sudah ada yang menjemputmu, sayang?" tanya James diseberang telepon."Sudah, apakah mereka seorang wanita dan dua pria?" " Benar sayang, mereka akan membantumu bersiap,""Untuk apa?" sekarang aku jadi tidak nyaman. Selain karena James meninggalkanku sendirian, wanita itu juga tidak bisa berbahasa Inggris. Sementara bahasa Perancis ku payah sekali. "Kita akan menghadiri jamuan makan malam""Bisakah aku dikamar kita saja?" rengekku mencoba bernegosiasi."Seharusnya aku pergi dengan sekretaris ku, jadi kau harus menggantikan nya untuk mendampingiku," " Lalu kenapa kau tidak mengajak sekretarismu saja kal
Pagelaran busana. Begitulah penjelasan singkat yang diberikan oleh James."Jangan jauh-jauh dariku," bisik James, dia terlihat begitu tegang. Saat kami akan masuk, seorang pria berlari dan langsung menabrak tubuhku. James langsung menarik kerah bajunya, hampir saja wajahnya lebam jika aku tidak menahan James. "Maaf, aku sedang terburu-buru," ujarnya cemas."Tidak masalah, aku baik-baik saja," jawabku seraya membantunya berdiri. Dia menoleh padaku, karna sejak tadi dia ketakutan melihat James yang marah. Seketika air mukanya berubah. "Alice!" Aku jadi bingung, siapa dia? Kenapa mengenalku? James juga melihatku dengan tatapan bertanya. Aku hanya menggeleng."Alice, tolong bantu aku. Please" dia berkata sambil menciumi tanganku. Aku membawanya ketempat sepi, karena kami menghalangi jalan masuk. Lalu bertanya meminta penjelasan kenapa dia bisa kenal aku. "Maaf, aku lupa memperkenalkan diri. Felix," "oke?"" Kita pernah bertemu saat aku masih di Boston. Tapi aku pulang ke paris set
Aldrick ternyata masih duduk ditempat yang sama, juga terus melambaikan tangannya padaku dengan sikap norak. Aku melihat beberapa wanita menghindarinya, mata mereka terlihat jengkel pada Aldrick yang sekarang malah berdiri. Dia pria yang nyentrik, tidak peduli dengan pendapat orang lain terhadapnya. Orang seperti dia sangat sulit dipengaruhi. Tiba-tiba saja aku mendapat ide agar dapat membantu James. Meskipun ini ide yang buruk dan sangat berbahaya. James pasti akan mengamuk. Tapi biarlah aku akan melakukannya lebih dulu.Saat pergantian pakaian ke empat kali, aku sengaja berkedip pada Aldrick yang terlihat takjub. Entah apa yang sedang ia amati dari tempat duduknya. Banyak sekali tamu yang memakai baju-baju seksi. Aldrick bersiul melihat kedipan mataku. Tampak bersemangat hingga ia pergi dari kursinya. Sudah memancingnya aku malah jadi gemetar. "Halo cantik," Aldrick membungkuk dengan sopan. Meski tampangnya serampangan tapi dia tau cara menghargai wanita. Aku tersenyum, memaka
Memalukan sekali, kami mirip sepasang suami istri yang bertengkar di gereja. Seorang biarawati paruh baya menatap bingung karena sama sekali tidak mengerti bahasa tumbuh-tumbuhan yang kami gunakan. Akhirnya, aku menarik tangan James agar kami bisa pulang ke hotel. Dia masih merajuk karena aku tetap pada kemauanku. Apakah sampai di hotel kami lantas berpelukan dan berbaikan? Oh tentu tidak. James tipe pria yang tidak pernah bisa ditolak. Semua yang terjadi harus berdasarkan kemauannya. Dia ingin aku tetap aman. Sementara di keningku sudah di cap harga yang tertera. "Kepalang basah James, siapa tau aku bisa dapat informasi untukmu," "Apanya yang basah?" mata James langsung berharap."Dasar otak mesum!" dengan geram ku getok kepalanya dengan botol air mineral. "Aku bertanya apa yang basah? Apakah itu bisa disebut mesum?" "Jangan nyolot! Dan jangan alihkan pembicaraan. Aku harus jadi mata-mata untukmu," " Alice,,," James mulai merengek, dia lebih tau aku lebih keras kepala darinya
Semua hal di dalam dunia menjadi indah jika kita mensyukuri apa yang sudah dimiliki. Namun Aldrick hanya memiliki sebagian sebagian besar yang diinginkan kebanyakan orang. Uang bukan sesuatu yang benar-benar menggiurkan jika kau memiliki seisi Bank. Tapi Aldrick bersyukur dia memiliki Nut. Meskipun sebelum ini Aldrick tidak pernah bertanya siapa ibunya, tapi dia juga tidak menampik akan rasa penasaran terhadap sosok ibunya. Meski begitu, selera Aldrick tentang perempuan juga tidak main-main. Mungkin karena itu dipengaruhi oleh pengasuh nya sejak bayi, yaitu Bibi Sally. "Kau tau! tidak ada seorang ibu yang ingin melihat anaknya menderita. Semua ibu itu memiliki cinta yang paling besar untuk anak-anak mereka. Anak adalah hidupnya, dan dia rela menukar hidupnya untuk kebahagiaan anaknya," Dulu, Aldrick tidak mengerti ucapan yang selalu di ulang-ulang oleh Bibi Sally. Namun belakangan, Aldrick sudah mengetahui maknanya. Hingga ia memutuskan untuk
Nut terheran-heran. Sejak tadi Aldrick terus memandang ke jendela dan tersenyum seperti orang gila. Bahkan dia tidak memberi tahu Nut, siapa yang dia kunjungi di Brick Lane tadi. Namun Nut tidak ingin mengganggu apapun yang membuat tuannya tampak bahagia. Dia bersimpati pada gadis yang membuat Aldrick tampak berbeda. Binar matanya yang kelam menunjukkan cahaya meski sedikit. Mobil berhenti didepan rumah yang berdempetan rapi. Setiap rumah di cat dengan warna-warna cerah , menambah keindahan kawasan di Notting Hill itu.Aldrick membeli rumah di Chepstow Villas ini sejak tahun lalu, saat perjumpaannya dengan Alice. Dia memiliki harapan yang cerah begitu mengunjungi kawasan yang selalu ramai wisatawan itu. Rumah dengan warna cat biru pastel. Disebelah rumah berwarna pink. Dia mengira rumah itu kosong dan akan manis sekali jika yang menempatinya itu seorang gadis. Selain lingkungannya yang bagus, Chepstow dekat dengan Westbourne Grove, y
" Menurutmu, apa yang membuat Thomas datang kemari?" tanya Aldrick pada Nut"Aku fikir, kita harus membiarkannya masuk untuk dapat tahu tujuannya tuan," Nut menyarankan."Benar juga, tapi bukankah sangat beresiko untuk kita?" Aldrick merasa cemas, jari-jarinya tak berhenti mengetuk-ngetuk sofa Nut mengangguk setuju, "tapi anda sudah punya bukti-bukti siapa korban sesungguhnya tuan. Anda bisa saja mati jika aku tidak ada disana saat itu," Aldrick mau tak mau harus mengambil resiko jika ingin namanya kembali bersih. Meskipun dia sendiri tidak keberatan sama sekali jika namanya tercoreng. Itu hanya masalah seorang gadis, bajingan manapun pernah mengalami hal yang lebih parah. Mengingat kembali bagaimana pertemuannya dengan Bella saat kunjungannya ke amerika, Aldrick menemukan Bella belia yang manis dan lugu. Saat itu, Bella masih menjadi salah seorang mahasiswi di Washington University, Seattle. Dia memang memiliki perawakan yang nyaris sempurna. Bella memiliki potensi yang bagus se
"eehhh tuan?" Nut melirik Aldrick yang terlihat gugup. Tangannya menggenggam tangan Nut sangat erat. "Ada apa Nut?" tanya Aldrick kesal, "Apakah tuan gugup?" Nut masih memandangi tangan bosnya itu. Aldrick menyadari posisi itu dan langsung melepasnya. Seraya merapikan jasnya yang sudah licin, Aldrick berjalan menuruni tangga dengan sikap pongah seperti biasa. Nut mendengar Clint sedang bergosip mengenai sikap bos mereka akhir-akhir ini. Dia hanya dapat melempar pandangan mematikan pada mereka. "Bagus sekali Clint, kau bisa mengurusi pacarmu selama bos sedang sibuk hari ini," Nut berkata dengan sinis. Membuat senyum konyol Clint menghilang dari wajahnya yang bulat. Nut merasa puas dapat membungkam mulut Clint yang mirip perempuan. Bagaimana pun, Nut sangat menghormati Aldrick dan akan membelanya mati -matian. "Selamat datang Tuan Beufort!" Seru salah seorang pria berjas abu-abu dengan dasi hitam putih, perutnya tampak memberontak dalam Jas yang kesempitan itu. Al
"tuan, pesawat sudah siap" ujar seorang pria bertubuh tinggi berkulit hitam. Dia memasang wajah datar seperti biasa. "Oke, Nut?" Aldrick melirik ajudannya yang berambut ungu. "Segera tuan," jawab Nut langsung bergerak mundur. Mereka masuk kedalam pesawat jet pribadi milik Aldrick yang berinterior mewah dengan segala fasilitasnya. Dua wanita muda jangkung, mengenakan dress seksi langsung berdiri begitu melihat kedatangan Aldrick. Mereka menyambutnya dengan senyuman merekah, dihiasi bibir ungu tua , yang satunya merah cerah. Selera fashion mereka juga tampak aneh. Aldrick hanya melenggang duduk di sofa empuk, mengabaikan dua wanita aneh yang sedari tadi minta perhatiannya. "Aku heran, apa tidak ada wanita lain dengan selera yang lebih berkelas?" gerutunya dalam hati. Tapi Aldrick tidak suka mengoceh. Dia yakin, para pegawainya sudah berusaha melakukan yang terbaik. Lagi pula, dua wanita itu tidaklah jelek. Dengan perawakan montok depan belakang, kulit putih mulus, rambut tergerai
"kita akan mulai dari Aldrick," kataku muram, membuat James mendesah tak senang. Wajah James berpaling dariku saat aku mencoba meminta penjelasan desahannya itu. Dia mencoba menarik nafas berat beberapa kali hingga akhirnya memusatkan perhatian ke tengah percakapan. " Kau tau aku bukan sedang minta pendapat," kataku menambahkan dengan nada mendesak. "Aku tau," jawab James tak kalah suram. " Oke, lalu apa rencanamu?" Scott tampak ingin menengahi ketegangan antara aku dan James. Tanpa pikir panjang, aku menjelaskan semua rencana yang sudah ada di kepalaku sejak beberapa minggu terakhir. Entah bagaimana tiba-tiba saja pikiranku semakin jernih, dan rencana-rencana yang semula tampak berkabut kini terlihat titik terangnya. James hanya mendengarkan dengan diam. Biasanya dia akan mengomentari dengan decakan atau gumaman tak senang, tapi kali ini dia hanya membisu. "James?" Thomas menepuk bahu James yang kelihatan sedang melamun. "Ya?""Bagaimana?" "Rencananya cukup bagus, dan untun
"eh hai Thomas!" aku menyapa dengan wajah yang dibuat seceria mungkin karena bertemu dengannya lagi. "Alice, you good?" tanya Thomas dengan suara lembutnya. "Yah, aku baik saja. Sebenarnya, aku yang ngotot mau langsung pulang, bukan James," Wajah Thomas datar, sementara James menunggu reaksinya. Aku sampai keringat dingin, memikirkan rencanaku yang hancur berantakan jika sampai mereka berdua tidak bisa berbaikan. "Yeah, aku tau kau akan membelanya," jawab Thomas pahit. Aku jadi salah tingkah dan menundukkan pandangan. Tiba-tiba saja kursi rodaku bergetar. Suara cekikikan juga tercekat dari orang yang menahan geli. Benar saja, Thomas dan James sedang menertawai aku. Tentu saja gantian aku yang cemberut. Meski dalam hati senang bukan main melihat mereka berbaikan. Akhirnya, kami berada dalam satu mobil yang sama. Thomas sebagai sopir, dan James duduk disebelahnya. Aku menikmati pemandangan malam yang mulai dingin. Sebenarnya, ingin sekali aku bertanya tentang kejadian mengerika
AliceAliceAliceAku mendengar namaku dipanggil. Dalam kegelapan dan kehampaan aku mencoba menarik diriku dari dalam jurang itu. Rasanya sulit sekali, bernafas pun terasa berat. Seandainya saja, "Sayang, bangunlah. Aku disini," suara James yang lembut dan penuh kekhawatiran memanggil.Entah bagaimana, setiap sel di dalam tubuhku merespon suaranya. Seketika ada energi baru yang membantuku bangkit. "Hei" sentuhan lembut tangannya yang dingin memaksaku membuka mata. Aku mengerjap perlahan. Rasanya mataku lengket dan berat. Apakah itu sembab? Hingga kelopak mata pun terasa berat.Melihat senyuman indah itu, aku langsung menangis. Mencoba bangkit dari tidur yang melelahkan. Aku memeluk James teramat erat hingga aku mendengarnya mengerang. "Apa yang sakit?" tanyaku spontan saat teringat dia baru saja ditembak. James kembali memelukku, erat dan hangat. Tempat ternyaman setelah bahu ayah. Kembali aku menangis tersedu-sedu, melihat sekelilingku yang ramai. Tapi aku terlalu kalut untuk
"jangan, tolong jangan Jamesku" raunganku semakin lemah, lebih berupa bisikan putus asa. Sementara James sedang melakukan pertukaran dengan Roran, tim medis datang untuk menjemput wanita hamil itu. Tapi Roran tidak punya belas kasih, bukannya memberikan wanita hamil itu, dia malah menembak James. Dia berteriak kesakitan, membuatku mati rasa. Pandanganku jadi kabur . Setengah mati aku menahan diri agar tetap terjaga, tapi pikiranku tak mampu menahan rasa sakit yang bergejolak. James yang tertembak, tapi aku yang lumpuh. Ingin rasanya aku berlari, tapi aku hanya dapat merangkak. Mencoba menggapai cintaku yang sedang kesakitan.***Hening dan gelap. Rasanya dingin sekali. Aku berdiri di persimpangan jalan yang suram dan dipenuhi daun berguguran. Terkejut saat sekelebatan orang-orang mulai berlarian. Aku dimana? Entahlah, pikirku lelah. James! Dimana James?Aku dengan panik berlarian kesana kemari mencari jejaknya. Berteriak sekuat tenaga memanggil namanya, tapi aku menjadi bisu.