Setelah hari itu, aku tidak pernah datang lagi ke tempat kebugaran. Terlalu malu jika sampai Freya tau kalau aku pernah punya hubungan khusus dengan mantan calon suami jodohannya.Frans sempat bertanya dan aku beralasan karena tidak tahan dan badanku sakit semua. Dia tertawa terbahak-bahak mendengar alasanku yang terdengar payah. Tapi tidak memaksaku lebih lanjut. Sebaliknya, Frans malah mengembalikan uang member yang sudah aku bayar tempo hari. Aku bersikeras menolaknya karena itu bukan salah tempat kebugaran itu. Tapi Frans bilang, temannya juga bersikeras mengembalikan uangku. Frans memberitahuku cara lain agar bisa mendapat tubuh ideal meski hanya latihan dirumah. Tapi aku lebih malas lagi melakukannya.Aku memutuskan akan melanjutkan s2 ke amerika. Entah bagian mana aku bisa diterima. Mencoba mendaftar beasiswa penuh. Karena tabunganku hanya cukup untuk biaya hidup disana.Aku yakin bisa mendapatkan kerja paruh waktu jika bisa kesana. Jadi untuk memenuhi semua persyaratan. Aku
"Frans?" aku memanggilnya ketika sudah dekat. "Hai," Katanya tersenyum sumringah. Lalu aku melihat ketiga orang dibelakangnya, aku juga ikut sumringah. Oliv, Sinta dan Cici, mereka sedang duduk berjejalan di kursi belakang sambil nyengir.Aku masuk ke dalam mobil, duduk di sebelah Frans. Tanpa berpamitan lagi dengan orang tuaku yang berdiri di pintu. Hari itu kami berwisata ke pantai. Menghabiskan waktu bersama sebelum Oliv pergi lagi ke singapura. Dia berencana akan kembali lagi saat wisuda nanti.Aku cukup terhibur meski sepanjang hari pikiranku kemana-mana. Untungnya, mereka tidak bertanya banyak bagaimana rencanaku, apa kegiatanku selama ini, dan apa yang aku rasakan saat ini.Meski aku tau mereka sesekali memeriksa raut wajahku yang mungkin, sedih. Aku diantar pulang ke kontrakan setelah lewat jam sepuluh malam. Terlalu malas menginap di rumah Oliv. Seharian ponsel ku dalam mode hening. Dan saat memeriksanya, ada banyak panggilan tidak terjawab. Salah satunya dari ayah. Lalu
"Sudah ayah transfer nak, untuk tambahan biaya kuliahmu nanti," Pesan dari ayah yang baru saja ku baca.M-bankingku menunjukkan laporan uang masuk. Ini bahkan lebih banyak dari yang biasanya ayah kirim untukku. Tapi biarlah, jika aku protes, ayah malah akan sakit hati.Dia bilang akan menebus kesalahannya yang membuat hatiku hancur."Ayah melihat kau jadi berbeda. Seandainya ayah tau cintamu sedalam itu. Ayah tidak akan mengatakan apapun yang membuatnya meninggalkanmu nak," kata Ayah dengan suara bergetar saat aku mengantarnya pulang setelah acara wisuda. Entah pekerjaan apa lagi yang ayah lakoni sehingga bisa mengirim uang cukup banyak untukku. Pikiran itu membuatku menangis lagi. Berat badanku turun dua kilo dalam satu minggu terakhir. Padahal minggu lalu sudah turun hampir tiga kilo. Aku tidak tau ada apa dengan tubuhku ini.Hari ini, rencananya aku akan dibawa Frans menemui ibunya untuk sesi pemotretan. Aku belum tau untuk apa. Tapi yang jelas, ini akan menentukan karirku di mas
Dua bulan setelah mendaftarkan diri, aku lolos kualifikasi penerimaan beasiswa penuh di Harvard. Luar biasa bagiku karena aku merasa otakku tidak terlalu pintar. Frans menjadi orang yang paling bahagia saat mendengar kabar baik itu. Bahkan tante Gita, sangat heboh sampai dia mengipasi wajahnya yang memerah. Aku tidak mengerti kenapa mereka berdua lebih bahagia ketimbang aku. "Kau baru saja mendapat tiket sukses sayang, selamat!" ujar tante Gita begitu heboh sampai semua orang di kantornya bertepuk tangan.Aku merasa gugup tapi mencoba percaya diri karena aku masih belajar jadi model profesional. Bahkan saat aku berdiri di kantor tante Gita karena aku sedang dalam pengawasan pelatih profesional."Maaf tante, aku harus pergi saat tante sudah repot cari pelatih untukku," kataku merasa bersalah.Dia mengacungkan jari telunjuknya tidak suka, "justru disana akan lebih mudah mencarikanmu pelatih yang lebih profesional, Alice," "Apa? Tapi apa aku bisa membagi waktuku tante?" "Jangan terb
"Apa ini?" tanyaku pada Frans saat membuka hadiah dari mamanya. Frans mengambil hadiah yang merupakan sebuah kunci. Aku yakin itu kunci sebuah pintu. Frans mengajakku ke bawah tangga yang aku kira sebuah gudang. Frans memasukkan anak kunci itu di lubangnya dan berhasil dibuka. Apa maksud hadiah tante Gita itu membuatku mengerenyitkan dahi. Lampu dihidupkan. Membuat mulutku menganga lebar karena terkejut dengan isi gudang bawah tangga ini. Walk in Closet!Aku tidak percaya ternyata rumah ini sudah disiapkan begitu rupa sehingga isinya sangat lengkap. Bahkan walk ini Closet ini benar-benar diluar imajinasi.Sekelilingnya merupakan lemari kabinet yang berisi berbagai jenis pakaian yang dibedakan sesuai jenis. Gaun dan kemeja di lemari gantung yang terpisah, kaos di lipat, berbagai jenis celana, tas, alas kaki dan bahkan seperangkat perlengkapan make up!Aku yakin hanya tante Gita yang memiliki ide hadiah anti mainstream seperti ini. koleksi pakaian berbagai musim sangat lengkap di le
Plak.. Oh...Plak ... AhhhPlease sir, ... Emmpphh... James semakin bergairah melihat Clarisa terlonjak-lonjak dalam keadaan tergantung di langit-langit ranjangnya. Pergelangan tangannya memerah dengan seringnya dia menggeliat.James memasukkan bola kembar kedalam Clarisa, lalu menampar Pantat Clarisa secara bergantian hingga memerah. Karena tamparan itu, bola kembar didalam dirinya membuat Clarisa mengerang. Nafasnya terengah-engah dan kepalanya mendongak.James menarik bola kembar itu yang keluar dengan suara plop dan bersamaan dnegan cairan putih lengket. James menyeringai puas. Clarisa tampak lemas dan tergantung tidak berdaya. Dengan cepat James melepaskan ikatan Clarisa dan menjatuhkannya di kasur yang empuk. "Giliranmu memuaskan aku," titah James tidak sabar.Clarisa langsung duduk, membuka kancing celana James. Senjatanya tengah berdiri tegak tidak sabar. Membuat Clarisa menjadi kalap melihatnya.Dia duduk seperti kodok. Mengangkat pantatnya tinggi-tinggi dengan cara yang
"Alice!" panggil seorang pria gagah berani yang menggodaku setiap hari sejak kami bertemu.Aku dengan malas menghentikan langkah, melihat arlojiku dengan tidak sabar menunggunya yang masih berlari menghampiri."Kau terlihat gelisah?" tanya Ethan menatapku."Aku sudah terlambat masuk kelas," gerutuku sambil melangkah cepat. Ethan terus saja mengikutiku sampai kelas, "kau ada acara sore ini?""Ada,""Benarkah? Padahal aku ingin mengajakmu keluar," ujar Ethan dengan kecewa.Aku berbalik menghadap nya dengan serius, "aku bukan anak orang kaya yang bisa pergi jalan-jalan sementara uang jajanku terus bertambah, Ethan," "Oke, aku tau kau sangat sibuk," "Bagus, sekarang enyahlah dari hadapanku," usirku kesal. Ethan mengerling nakal lalu berlari ke kelasnya. Dia benar-benar tidak bisa diusir. Untung saja hari ini kami hanya ada kelas teori. Jadi aku punya banyak waktu untuk persiapan sore nanti.Jujur saja, aku cukup kewalahan disini. Frans sudah pulang sementara aku masih beradaptasi mesk
"Alice! Kau setelah Megan," Aku mengangguk saat koordinator mengatur barisan kami. Aku sudah tidak terlalu gugup karena ini bukan penampilan pertamaku. Runaway dimulai dan kami mulai berjalan keluar backstage. Pandanganku lurus kedepan dengan wajah datar. Mataku menangkap seseorang melambai padaku tapi aku tidak dapat memastikannya. Kami langsung mengganti pakaian secepat kilat, hal yang menjadi alasan seorang model tidak memakai dalaman saat tampil. Kali ini, aku mencoba mencuri pandang dari arah orang yang melambai padaku sebelumnya. Entah kenapa aku sangat penasaran. Aku melihatnya. Dan darah pun surut dari wajahku. Padahal hanya sedetik yang tidak pasti. Apakah aku salah lihat? Atau itu hanya halusinasi? Tapi aku tetap bersikap profesional dan langsung mengganti pakaian ketiga.Kali ini aku berusaha lebih memastikan apa yang aku lihat. Ternyata dia tidak ada disana lagi. Kursinya kosong dan aku merasa lega. Kelegaan itu tak sengaja membuat senyuman sinis lolos dari wajahku.
"jangan, tolong jangan Jamesku" raunganku semakin lemah, lebih berupa bisikan putus asa. Sementara James sedang melakukan pertukaran dengan Roran, tim medis datang untuk menjemput wanita hamil itu. Tapi Roran tidak punya belas kasih, bukannya memberikan wanita hamil itu, dia malah menembak James. Dia berteriak kesakitan, membuatku mati rasa. Pandanganku jadi kabur . Setengah mati aku menahan diri agar tetap terjaga, tapi pikiranku tak mampu menahan rasa sakit yang bergejolak. James yang tertembak, tapi aku yang lumpuh. Ingin rasanya aku berlari, tapi aku hanya dapat merangkak. Mencoba menggapai cintaku yang sedang kesakitan.***Hening dan gelap. Rasanya dingin sekali. Aku berdiri di persimpangan jalan yang suram dan dipenuhi daun berguguran. Terkejut saat sekelebatan orang-orang mulai berlarian. Aku dimana? Entahlah, pikirku lelah. James! Dimana James?Aku dengan panik berlarian kesana kemari mencari jejaknya. Berteriak sekuat tenaga memanggil namanya, tapi aku menjadi bisu.
"sial!" James mengumpat dan berlari kebawah badan pesawat. Sontak semua pembajak keluar dari pesawat sambil membawa senjata mereka. Thomas bergegas masuk kedalam kabin kembali dan mengevakuasi para penumpang. Hatiku mencelos saat James terus dikejar-kejar para pembajak itu. Aku mengerti kenapa Thomas sengaja menyebut nama James, karena hal itu memancing para pembajak mengejarnya dan mengabaikan penumpang lain. Untungnya, tim SWAT yang sudah siap siaga segera berlari mengejar James dan membentuk barikade untuk menghalangi para pembajak itu. Tapi mereta tak gentar, seakan tak takut mati atau mereka tau petugas itu tidak akan langsung menembak mereka.James malah lebih dulu menyelamatkan wanita tua yang sedang bersamanya. Aku ketar-ketir memikirkan siapa gerangan wanita itu. Tiba-tiba saja seseorang berlari menghampiri James, dan kusadari itu adalah Scott. Dia langsung menutupi wanita tua dengan jaket dan memeluknya erat. Sebuah mobil SUV yang tadi menguntitku menghampiri mereka dan
Scott tidak mau bertutur sapa dengan Thomas. Dia bilang, hal itu akan lebih baik bagiku. Dia hanya ingin bertindak dibelakang layar. Tidak secara terang-terangan mendukung rencanaku. Aku manut saja dengan apa yang dikatakan Scott. Dia lebih berpengalaman soal ini dibanding aku. Setidaknya Scott mau menerima tekadku untuk bekerja sama dengan Thomas. "Kau harus memikirkan cara yang bagus untuk membujuk James. Dia akan pulang sekitar jam sepuluh malam""Oke," Dengan bekal arahan dari Scott, aku mengatur rencana agar James mau menerima pendapatku. Dan dengan beberapa bumbu tambahan berupa bujuk rayuan. Aku tau ini tidak akan mudah. ***Jam sembilan malam, aku berangkat ke bandara internasional untuk menjemput James. Ini akan menjadi kejutan, karena James meminta Scott yang menjemputnya. Keadaan sangat kondusif sampai aku berhenti di lampu merah. Sebuah mobil SUV mencurigakan yang aku tau sejak dari rumah sakit terus mengikutiku. Kepalaku jadi panas memikirkan kemungkinan adanya ora
"Olive" bibirku bergetar, tanpa suara menyebut nama gadis yang sedang terbaring lemah disana. Segera kuhampiri dia, untuk memastikan mungkin aku salah lihat. Tapi kekecewaan mengaliri setiap sel di tubuhku. Itu memang Olive, dia sedang tertidur atau entah kenapa. Matanya terpejam dengan lebam disekitar matanya, juga dibeberapa bagian wajahnya. Aku menoleh kebelakang, tempat Scott sedang diam memperhatikan reaksiku. "Apa yang terjadi?" tanyaku singkat, tak mampu mengucap lebih panjang lagi." Kecelakaan, aku tidak bisa menceritakan detailnya padamu," suara Scott dipenuhi perasaan bersalah. Jadi aku hanya mengangguk. Tak ingin membuatnya semakin sedih. "Olive," kucoba memanggilnya, dan dia membuka mata perlahan. Tersenyum, hal pertama yang dia lakukan ketika sadar aku didepan matanya. "Hai," sapa Olive dengan suara parau. Aku memeluk tubuhnya dan menangis disana. Hampir saja mengutuk keadaan yang sedang kami alami. "Hei, tenanglah. Aku baik-baik saja," Olive mengusap lembut kepa
Karena James masih di Arizona, aku mengajak Thomas kembali kerumah sakit. Dia harus sering-sering menjaga Bella. Apalagi disaat kondisi kejiwaan sangat mengkhawatirkan."Terima kasih," ucap Thomas saat kami sedabg duduk berhadapan disisi Bella. "Jangan sering bilang begitu, nanti tidak ada artinya lagi," jawabku tersenyum. "Tentu, akan ku ingat," "Apakah Bella sudah makan?" "Sudah, dan dia terpaksa diberi obat tidur agar bisa istirahat,"Aku hanya bisa mendesah mendengar hal itu. Kasihan sekali Bella, harus merasakan guncangan mental yang begitu hebat. Aku pernah dengar tentang Babyblues. Dan kurasa, Bella sedang mengalaminya. Bukan hanya bayinya, tapi kondisi Bella lebih mengkhawatirkan lagi. Thomas sempat berpikir untuk memberikan bayi Bella pada orang tua yang siap mengambilnya, tapi dia tidak tega jika suatu saat Bella menginginkan bayinya. "Ini memang pilihan sulit, disatu sisi kita menginginkan kehidupan yang layak untuk bayinya, tapi Bella juga membutuhkan waktu untuk se
"sayang," "Apa? Siapa ini?" tanya James terkejut diseberang telepon. "Kau sudah lupa aku hah?" kataku bersungut-sungut. "Bukan begitu, tapi Alice tidak memanggilku begitu," jawab James mengelak dengan sok bijak. "Baiklah, Apakah kau sedang sibuk?" "Jelas sekali sayangku, aku sangat santai saat ini""Kau dimana?" "Di Arizona," "APA?" aku memekik di telepon. Dan yakin James sedang menjauhkan ponsel dari telinganya."Ya, aku sedang santai di Arizona. Menikmati sengatan matahari dikulitku sambil melihat pemandangan proyek yang indah sekali," jawab James sarkas. "Lucu sekali," gerutuku kesal. "Ada apa sayang?" tanya James melembutkan nada bicaranya. Aku tersenyum. "Tunggu sebentar, pacarku sedang membutuhkanku. Ya, kau urus saja dulu itu," kata James tak sabar pada seseorang yang sedang bersamanya. "Apa kau pulang malam ini?" tanyaku genit,"Oh tentu aku pulang jika upah yang kudapat setimpal, sayangku," "Jangan banyak berharap sayaang, aku punya rencana yang sangat bagus untuk
Aku menyapa kakak Thomas dengan senyuman malu. Matanya menyiratkan keterkejutan, tapi Thomas menggeleng pelan."Oh ku pikir," katanya tertawa kecil. "Hai, aku Alice," kataku mengulurkan tangan. Dia menjabat tanganku lemah. "Bella. Kalian serasi sekali kau tau," Aku tertawa hambar, melirik Thomas yang juga cekikikan. "Dia hanya bisa dijadikan teman, kak," kata Thomas lembut. "Benarkah? Apakah kau sudah menikah ,Alice?" "Belum,""Kalau begitu masih ada kesempatan yang terbuka," "Kau akan mengerti kalau kuberitahu nama kekasihnya, kak," Bella menaikkan satu alisnya. "James Peterson," Satu nama yang membuat air muka Bella berubah. Tapi dia berhasil menguasai dirinya kembali. Menyunggingkan senyuman yang entah artinya apa. "Well, kalau begitu kau harus berhati-hati dik," "Hmmmm... Sedang aku coba lakukan. Tapi gadis ini sulit sekali kutolak," Bella tertawa keras, sambil memegangi dadanya yang terlihat sakit. "Kalian berbicara seolah aku tidak ada disini," kataku memasang waja
Pagi ini berlangsung menyenangkan. Karena si pria megalomaniak itu sudah pergi ke kantor lebih dulu. Aku akhirnya bisa mandi dan sarapan dengan tenang. Beberapa pesan tak penting dari James hanya kubaca sekilas tanpa membalasnya. Aku tak ingin mengganggu pagi yang menyenangkan ini. Hari ini, Scott tidak bisa ikut ke kampus. Dia sedang ada tugas rahasia sejak beberapa hari yang lalu bersama Olive. Aku bahkan tidak dapat menghubungi Olive. Kupikir mereka sedang menyelidiki kapal selam perang milik rusia. Aku memutuskan akan mengendarai mobil sendiri saja. James sudah lama memberiku salah satu mobilnya yang sama sekali belum aku sentuh. Mungkin ini saat yang tepat untuk memanfaatkannya. Setelah membuka garasi yang menghabiskan seperempat bangunan itu, aku mencari -cari kunci mobilku yang tergantung apik dalam kotak kaca. Tak disangka, saat menemukan mobilku, sudah ada kertas yang berisi pesan dari James. "Hati-hati sayang. Aku tau kau akan menggunakannya suatu saat," Begitulah p
Meski gayaku percaya diri, tak urung lutut ku lemas juga. James masuk lebih dulu, sementara aku duduk diruang tunggu. Agensi ini memiliki nama besar. Menaungi banyak artis ternama. Aku merasa bagai semut berjalan dibawah kaki gajah. Tapi jika dipikir, bagus juga jadi semut kan?"Nona Alice?" "Ya?" aku langsung berdiri dengan gugup. Menahan kaki yang semakin gemetar habat. "Silahkan naik kelantai 3," kata seorang resepsionis berambut pirang yang cantik. "Baik," Aku masuk lift, lalu berhenti di lantai 2. Ada seorang pria jangkung, putih dengan garis wajah petak yang tegas. Hidung bagai dipahat dari pualam. Aku berpura-pura memerhatikan ponsel, tidak ingin bicara dengan siapapun. Dia berdehem, dan ikut bersandar disebelahku, "ke lantai tiga?" tanyanya manis sekali. Tentu aku tidak ingin pingsan. "Ya," jawabku singkat. " Apa kau tidak mengenaliku, Alice?" Aku langsung m