"Alice," ucap Oliv lembut sambil terus mengusap punggungku.Terasa nyaman, tapi tidak cukup mengobati sakit hatiku."Kamu bisa cerita apapun ke aku," bujuk Oliv lagi. "Aku cuma pengen sendiri Liv, maafkan aku," aku menjawab tanpa melihat wajahnya. "Baiklah, kalau butuh sesuatu aku ada di halaman belakang," ujar Oliv sambil berlalu. Setelah memastikan Oliv pergi, aku pun berbaring di ranjang empuk milik Oliv. Di kontrakanku hanya kasur busa merk bola dunia yang sudah lepek. Salah satu alasan aku memilih pulang ke rumah Oliv. Setidaknya, aku bisa tidur dengan nyaman.Aku memeluk diriku sendiri dari dalam selimut. Bahkan aku belum mengganti gaunku. Gaun pinjaman dari Cici. Aku yakin dia akan marah melihat Gaun kesayangannya kusut masai.Tapi aku tidak peduli, aku hanya ingin bermuram durja. Menangisi hatiku yang perih karena luka yang belum pernah aku rasakan. Aku belum pernah jatuh cinta sebelumnya. Meski pacar pertamaku adalah Bobi, tapi aku menerimanya hanya atas dasar mencoba hal
Matahari telah menghilang dibalik cakrawala yang menguning. Angin senja begitu dingin menusuk tulang-tulang ku yang kering. Tidak ada tanda-tanda orang yang aku cintai akan hadir.Tuhan! Jika aku bisa menukar nyawaku untuk bertemu dengannya, maka ambil saja nyawaku. Tapi sebelum itu, pertemukan aku dengannya!Otakku seolah menjerit kan doa yang sangat putus asa. Berharap keajaiban tuhan berpihak padaku kali ini. Ini pertama kalinya aku jatuh cinta, tapi kami harus berpisah. Aku masih duduk bersembunyi di sebelah pohon bonsai pucuk merah. Memeluk diriku sendiri dengan tubuh kedinginan dan bibir bergetar. Entah berapa lama lagi aku harus menunggu. Harapanku hampir pergi, tapi ku kuatkan jiwaku untuk tetap terjaga. Kewarasanku hampir hilang bersama ketiadaan kabar darinya. Oh James! Kau sungguh membuat aku gila!Oliv memanggilku dengan cemas. Sementara Jody hadir berusaha memberikan aku penjelasan. Yang intinya, James sudah pergi dan tidak akan kembali. Aku harus segera pulang. Begitu
Aku menatap kosong sudut kamarku yang suram. Tidak bersemangat melakukan apapun. Menyendiri adalah hal terbaik yang bisa ku lakukan saat ini. Meskipun lubang besar dihatiku terus meneteskan darah. Menunggu seseorang untuk melengkapi bagian dari hatiku yang telah pergi. Tapi itu hal yang mustahil. Karena bagian itu telah pergi bersama pria brengsek pengecut yang tidak bertanggung jawab. Baru saja mengucap janji, tapi dia malah pergi hanya karena ayahku tidak merestui.Ponselku terus berdering sejak tadi. Aku mengabaikannya untuk alasan menyelamatkan diriku dari menangis. Aku kelelahan, dan akhirnya aku tertidur lagi.Sebenarnya, aku tidak selalu sendiri. Pintu ku biarkan tidak terkunci agar aku tidak perlu bolak balik membukanya. Teman-temanku khawatir, jadi mereka bolak balik ke rumahku untuk memeriksa.Bahkan bu Siti, pemilik rumah kontrakan ini. Setiap satu jam sekali dia akan memanggilku entah apa saja yang dia tanyakan. Bu Siti memang orang yang baik. Dia menganggap ku seperti
"Katakan saja," aku berusaha memberinya dukungan.Frans tersenyum lega melihat ekspresiku, "aku rasa kau cocok menjadi model, Alice," Aku menutup buku yang baru saja ku buka. Menatap Frans tak percaya. Aku sedang terpuruk dan dia sibuk menawari aku menjadi model? Berjalan cantik saja aku tidak bisa. Frans seperti mengerti melihat wajahku, seketika dia gugup."Alice, begini. Menurutku, jika ingin melupakan seseorang kau harus melakukan sesuatu yang baru. Setidaknya kau bisa sibuk menata karirmu dari pada bermuram durja. Kau terlalu berharga untuk terpuruk Alice," kata Frans menasehati.Aku diam, menatap mata Frans yang tulus. Dia cukup baik menurut pandanganku. Dan Oliv juga dekat dengannya. Jadi aku yakin dia murni hanya ingin membantuku. "Kau tidak perlu menjawabnya sekarang. Pikirkan saja baik-baik. Aku tidak memaksa," timpal Frans sambil tersenyum hangat.Aku mengangguk membalas senyumnya. Lalu dia pamit pulang.Setelah percakapan yang sangat menyenangkan itu, aku tidak konsentr
Alice!Alice!Alice!Pekik seseorang dari depan sana. Aku sedang menikmati makan siangku yang sangat terlambat. "Kamu kenapa lagi? Ayo dong cerita ke kita biar kamu lega!" pinta Cici yang baru saja masuk.Tanpa meminta persetujuan ku, dia langsung mengambil sendok dan ikut makan bersamaku. Dia memang sangat luar biasa. "Kalian tau, dia baru saja pergi keluar dengan wajah datar itu. Tapi saat kembali, dia sudah tersenyum seperti orang gila!" ujar Oliv dengan wajah ngeri.Aku tertawa mendengarnya. Seburuk itukah aku? Tapi jangankan mereka. Aku juga sangat heran dengan suasana hatiku saat ini. Cici, Sinta dan Oliv menatapku tak percaya,"Kau tertawa?" tanya Sinta heran.Aku mengangguk saja. Mengingat kejadian mengagumkan saat Clarisa terjerembab dengan pantat nunggingnya. Aku rasa dia memakai celana penambah volume bokong. Mengingat itu, aku semakin terpingkal. Tapi hal yang paling membuatku bahagia adalah, mengetahui fakta bahwa James dan Clarisa tidak bercinta. Aku tidak tau apa
Frans mengajak kami ke sebuah pusat perbelanjaan yang cukup mentereng. Dan berjanji akan membelikan apapun yang kami butuhkan untuk menghadiri pesta malam nanti. Sinta dan Cici sudah membayangkan jenis gaun apa yang akan mereka pakai. Sementara aku dan Oliv hanya pasrah saja.Sebelum berkeliling, kami sempat makan lebih dulu. Tentu saja Frans yang membayar semua tagihannya. Dia sangat ramah dan pandai bergaul. Temannya mungkin ada dimana-mana. Karena sepanjang bersamanya, dia tidak berhenti menyapa orang.Kami masuk di sebuah butik mahal yang berisi gaun-gaun indah. Butik impianku suatu hari nanti. Frans memilihkan aku dua gaun sekaligus dan memintaku mencobanya. Dia langsung menyukai keduanya."Kau harus terlihat sangat menawan," gumam Frans pada dirinya sendiri sambil tersenyum pada gaun yang ditentengnya. "Dia sudah gila," bisikku pada Oliv. Oliv mengangguk, "kau benar," timpalnya setuju.Frans membelikan kami masing-masing satu paket skin care seharga 15 juta rupiah. Aku mengan
"Oh, ini orangnya? Luar biasa Gita!" seorang pria bersetelan mahal memandangku takjub.Aku merasa risih dan hendak pergi, tapi ditahan oleh tante Gita. Dia hanya tersenyum mendengar pujian dari koleganya itu. Lalu membawaku ke sepasang suami istri yang sudah sepuh tapi berpakaian mewah. Frans menyelamatkanku di detik terakhir aku ingin menyerah. Dengan kesopanan yang dibuat-buat, dia memintaku dari ibunya yang terkesan sedang memamerkan aku."Bagaimana perasaanmu?" tanya Frans penasaran saat kami sudah berhasil duduk di pojokan."Bosan," jawabku muram. Frans tergelak, "kau harus terbiasa dengan ini, Alice. Kau harus kuat dan memulai hidup baru," "Tapi untuk apa?" tanyaku frustasi. Aku hanya ingin pulang dan menikmati mie selera pedas dengan cabai rawit hijau. Membayangkannya membuatku lapar."Untuk mengimbangi James," kata Frans serius.Aku tertegun. Mendengar nama itu disebut membuat hatiku bergetar. Lalu aku tersenyum sinis sambil menggeleng kuat."Dia bahkan tidak menginginkan ak
Aku turun dari mobil setelah Frans mengeluh pegal dan mematahkan opiniku barusan. Kegugupan menjalari seluruh bagian tubuhku. Entah apa yang akan kami temukan disana. Tapi muncul secercah harapan besar dihatiku.Berjalan perlahan sambil terus berdoa dalam hati bahwa harapanku terkabul. Aku akui sangat merindukannya. Dia sudah menjadi candu bagiku. Frans membuka pintu besar putih itu. Tidak terkunci. Kami masuk kedalam rumah James, tempat pertama kali dia menemukan aku dalam keadaan pingsan dan mabuk. Sungguh hal memalukan untuk diingat.Kami menyusuri setiap bagian rumah. Yang ternyata kosong. Membawa hatiku kedalam kehampaan kedua. Tsunami kekecewaan menerjang jiwaku yang mulai kering dan layu.Frans memapahku ke dalam kamar utama. Kamar dimana aku terbangun tanpa pakaian. "Mungkin kau ingin tau isinya," Frans membuka pintu kamar itu.Aku menarik nafas panjang. Berharap dapat menjadi lebih tegar. Perlahan, ku langkahkan kakiku ke kamar kenangan itu. "Bagaimana? Apa kau masih berpi
Semua hal di dalam dunia menjadi indah jika kita mensyukuri apa yang sudah dimiliki. Namun Aldrick hanya memiliki sebagian sebagian besar yang diinginkan kebanyakan orang. Uang bukan sesuatu yang benar-benar menggiurkan jika kau memiliki seisi Bank. Tapi Aldrick bersyukur dia memiliki Nut. Meskipun sebelum ini Aldrick tidak pernah bertanya siapa ibunya, tapi dia juga tidak menampik akan rasa penasaran terhadap sosok ibunya. Meski begitu, selera Aldrick tentang perempuan juga tidak main-main. Mungkin karena itu dipengaruhi oleh pengasuh nya sejak bayi, yaitu Bibi Sally. "Kau tau! tidak ada seorang ibu yang ingin melihat anaknya menderita. Semua ibu itu memiliki cinta yang paling besar untuk anak-anak mereka. Anak adalah hidupnya, dan dia rela menukar hidupnya untuk kebahagiaan anaknya," Dulu, Aldrick tidak mengerti ucapan yang selalu di ulang-ulang oleh Bibi Sally. Namun belakangan, Aldrick sudah mengetahui maknanya. Hingga ia memutuskan untuk
Nut terheran-heran. Sejak tadi Aldrick terus memandang ke jendela dan tersenyum seperti orang gila. Bahkan dia tidak memberi tahu Nut, siapa yang dia kunjungi di Brick Lane tadi. Namun Nut tidak ingin mengganggu apapun yang membuat tuannya tampak bahagia. Dia bersimpati pada gadis yang membuat Aldrick tampak berbeda. Binar matanya yang kelam menunjukkan cahaya meski sedikit. Mobil berhenti didepan rumah yang berdempetan rapi. Setiap rumah di cat dengan warna-warna cerah , menambah keindahan kawasan di Notting Hill itu.Aldrick membeli rumah di Chepstow Villas ini sejak tahun lalu, saat perjumpaannya dengan Alice. Dia memiliki harapan yang cerah begitu mengunjungi kawasan yang selalu ramai wisatawan itu. Rumah dengan warna cat biru pastel. Disebelah rumah berwarna pink. Dia mengira rumah itu kosong dan akan manis sekali jika yang menempatinya itu seorang gadis. Selain lingkungannya yang bagus, Chepstow dekat dengan Westbourne Grove, y
" Menurutmu, apa yang membuat Thomas datang kemari?" tanya Aldrick pada Nut"Aku fikir, kita harus membiarkannya masuk untuk dapat tahu tujuannya tuan," Nut menyarankan."Benar juga, tapi bukankah sangat beresiko untuk kita?" Aldrick merasa cemas, jari-jarinya tak berhenti mengetuk-ngetuk sofa Nut mengangguk setuju, "tapi anda sudah punya bukti-bukti siapa korban sesungguhnya tuan. Anda bisa saja mati jika aku tidak ada disana saat itu," Aldrick mau tak mau harus mengambil resiko jika ingin namanya kembali bersih. Meskipun dia sendiri tidak keberatan sama sekali jika namanya tercoreng. Itu hanya masalah seorang gadis, bajingan manapun pernah mengalami hal yang lebih parah. Mengingat kembali bagaimana pertemuannya dengan Bella saat kunjungannya ke amerika, Aldrick menemukan Bella belia yang manis dan lugu. Saat itu, Bella masih menjadi salah seorang mahasiswi di Washington University, Seattle. Dia memang memiliki perawakan yang nyaris sempurna. Bella memiliki potensi yang bagus se
"eehhh tuan?" Nut melirik Aldrick yang terlihat gugup. Tangannya menggenggam tangan Nut sangat erat. "Ada apa Nut?" tanya Aldrick kesal, "Apakah tuan gugup?" Nut masih memandangi tangan bosnya itu. Aldrick menyadari posisi itu dan langsung melepasnya. Seraya merapikan jasnya yang sudah licin, Aldrick berjalan menuruni tangga dengan sikap pongah seperti biasa. Nut mendengar Clint sedang bergosip mengenai sikap bos mereka akhir-akhir ini. Dia hanya dapat melempar pandangan mematikan pada mereka. "Bagus sekali Clint, kau bisa mengurusi pacarmu selama bos sedang sibuk hari ini," Nut berkata dengan sinis. Membuat senyum konyol Clint menghilang dari wajahnya yang bulat. Nut merasa puas dapat membungkam mulut Clint yang mirip perempuan. Bagaimana pun, Nut sangat menghormati Aldrick dan akan membelanya mati -matian. "Selamat datang Tuan Beufort!" Seru salah seorang pria berjas abu-abu dengan dasi hitam putih, perutnya tampak memberontak dalam Jas yang kesempitan itu. Al
"tuan, pesawat sudah siap" ujar seorang pria bertubuh tinggi berkulit hitam. Dia memasang wajah datar seperti biasa. "Oke, Nut?" Aldrick melirik ajudannya yang berambut ungu. "Segera tuan," jawab Nut langsung bergerak mundur. Mereka masuk kedalam pesawat jet pribadi milik Aldrick yang berinterior mewah dengan segala fasilitasnya. Dua wanita muda jangkung, mengenakan dress seksi langsung berdiri begitu melihat kedatangan Aldrick. Mereka menyambutnya dengan senyuman merekah, dihiasi bibir ungu tua , yang satunya merah cerah. Selera fashion mereka juga tampak aneh. Aldrick hanya melenggang duduk di sofa empuk, mengabaikan dua wanita aneh yang sedari tadi minta perhatiannya. "Aku heran, apa tidak ada wanita lain dengan selera yang lebih berkelas?" gerutunya dalam hati. Tapi Aldrick tidak suka mengoceh. Dia yakin, para pegawainya sudah berusaha melakukan yang terbaik. Lagi pula, dua wanita itu tidaklah jelek. Dengan perawakan montok depan belakang, kulit putih mulus, rambut tergerai
"kita akan mulai dari Aldrick," kataku muram, membuat James mendesah tak senang. Wajah James berpaling dariku saat aku mencoba meminta penjelasan desahannya itu. Dia mencoba menarik nafas berat beberapa kali hingga akhirnya memusatkan perhatian ke tengah percakapan. " Kau tau aku bukan sedang minta pendapat," kataku menambahkan dengan nada mendesak. "Aku tau," jawab James tak kalah suram. " Oke, lalu apa rencanamu?" Scott tampak ingin menengahi ketegangan antara aku dan James. Tanpa pikir panjang, aku menjelaskan semua rencana yang sudah ada di kepalaku sejak beberapa minggu terakhir. Entah bagaimana tiba-tiba saja pikiranku semakin jernih, dan rencana-rencana yang semula tampak berkabut kini terlihat titik terangnya. James hanya mendengarkan dengan diam. Biasanya dia akan mengomentari dengan decakan atau gumaman tak senang, tapi kali ini dia hanya membisu. "James?" Thomas menepuk bahu James yang kelihatan sedang melamun. "Ya?""Bagaimana?" "Rencananya cukup bagus, dan untun
"eh hai Thomas!" aku menyapa dengan wajah yang dibuat seceria mungkin karena bertemu dengannya lagi. "Alice, you good?" tanya Thomas dengan suara lembutnya. "Yah, aku baik saja. Sebenarnya, aku yang ngotot mau langsung pulang, bukan James," Wajah Thomas datar, sementara James menunggu reaksinya. Aku sampai keringat dingin, memikirkan rencanaku yang hancur berantakan jika sampai mereka berdua tidak bisa berbaikan. "Yeah, aku tau kau akan membelanya," jawab Thomas pahit. Aku jadi salah tingkah dan menundukkan pandangan. Tiba-tiba saja kursi rodaku bergetar. Suara cekikikan juga tercekat dari orang yang menahan geli. Benar saja, Thomas dan James sedang menertawai aku. Tentu saja gantian aku yang cemberut. Meski dalam hati senang bukan main melihat mereka berbaikan. Akhirnya, kami berada dalam satu mobil yang sama. Thomas sebagai sopir, dan James duduk disebelahnya. Aku menikmati pemandangan malam yang mulai dingin. Sebenarnya, ingin sekali aku bertanya tentang kejadian mengerika
AliceAliceAliceAku mendengar namaku dipanggil. Dalam kegelapan dan kehampaan aku mencoba menarik diriku dari dalam jurang itu. Rasanya sulit sekali, bernafas pun terasa berat. Seandainya saja, "Sayang, bangunlah. Aku disini," suara James yang lembut dan penuh kekhawatiran memanggil.Entah bagaimana, setiap sel di dalam tubuhku merespon suaranya. Seketika ada energi baru yang membantuku bangkit. "Hei" sentuhan lembut tangannya yang dingin memaksaku membuka mata. Aku mengerjap perlahan. Rasanya mataku lengket dan berat. Apakah itu sembab? Hingga kelopak mata pun terasa berat.Melihat senyuman indah itu, aku langsung menangis. Mencoba bangkit dari tidur yang melelahkan. Aku memeluk James teramat erat hingga aku mendengarnya mengerang. "Apa yang sakit?" tanyaku spontan saat teringat dia baru saja ditembak. James kembali memelukku, erat dan hangat. Tempat ternyaman setelah bahu ayah. Kembali aku menangis tersedu-sedu, melihat sekelilingku yang ramai. Tapi aku terlalu kalut untuk
"jangan, tolong jangan Jamesku" raunganku semakin lemah, lebih berupa bisikan putus asa. Sementara James sedang melakukan pertukaran dengan Roran, tim medis datang untuk menjemput wanita hamil itu. Tapi Roran tidak punya belas kasih, bukannya memberikan wanita hamil itu, dia malah menembak James. Dia berteriak kesakitan, membuatku mati rasa. Pandanganku jadi kabur . Setengah mati aku menahan diri agar tetap terjaga, tapi pikiranku tak mampu menahan rasa sakit yang bergejolak. James yang tertembak, tapi aku yang lumpuh. Ingin rasanya aku berlari, tapi aku hanya dapat merangkak. Mencoba menggapai cintaku yang sedang kesakitan.***Hening dan gelap. Rasanya dingin sekali. Aku berdiri di persimpangan jalan yang suram dan dipenuhi daun berguguran. Terkejut saat sekelebatan orang-orang mulai berlarian. Aku dimana? Entahlah, pikirku lelah. James! Dimana James?Aku dengan panik berlarian kesana kemari mencari jejaknya. Berteriak sekuat tenaga memanggil namanya, tapi aku menjadi bisu.