"Selamat pagi, Pak Rusli. Ada kiriman dari Bu Anna." Pak Rusli baru saja tiba di kantornya pagi itu saat sang sekretaris menyerahkan amplop coklat titipan Anna yang diantarkan sendiri oleh Anna. "Kiriman dari Bu Anna? Kiriman apa?" "Ini!" Pak Rusli menerimanya. "Bu Anna sendiri yang mengirimkannya? Mengapa kau tidak meneleponku?" "Bu Anna buru-buru tadi, Pak. Dan juga, katanya tidak usah bertemu, hanya tolong sampaikan ini saja." "Ah, baiklah!" Pak Rusli pun membawa amplop coklat itu ke ruang kerjanya dan buru-buru membukanya. Tidak ada barang berharga di dalamnya, selain beberapa amplop berlogo rumah sakit yang membuat Pak Rusli mengernyit. "Apa ini? Amplop rumah sakit? Rumah sakit Bu Martha waktu itu? Ada apa ini?" Sambil mengernyit, Pak Rusli pun membuka amplop itu dan membacanya dengan seksama. Ada nama Anna di sana dengan hasil pemeriksaaan darah yang semuanya tidak normal. Pak Rusli sampai memeriksa namanya sekali lagi dan benar itu nama Anna, tanggal lahir, dan semua
Diego masih mematung setelah membaca surat yang Anna tinggalkan. Tangannya gemetar, tapi untuk sesaat, ia benar-benar tidak percaya apa yang terjadi. Diego menatap semua orang di sekelilingnya dan ia mendapati Bik Nim yang menangis sambil memegang lembaran uang di tangannya. Anna memberikan uang di amplopnya untuk Bik Nim sambil menulis surat perpisahan yang membuat Bik Nim sesak. Diego menggeleng melihatnya. Diego tidak mau percaya Anna pergi, tapi uang yang diberikan Anna pada Bik Nim dan pelayan menegaskan itu. "Ini pasti bercanda kan? Dia tidak benar-benar pergi kan? Semalam aku masih melakukan video call dengannya. Semalam kami berjanji ke dokter bersama hari ini." "Dia pasti akan kembali nanti! Dia tidak punya alasan untuk pergi meninggalkan kita! Bajunya masih ada kan? Bajunya masih ada kan?" Napas Diego tersengal dan air matanya masih terburai, tapi Diego langsung menoleh ke arah tangga dan berlari ke atas, untuk memeriksa baju Anna langsung. Bik Nim dan Joyce mengikut
"Kondisi Bu Anna sudah sangat buruk saat terakhir kali Bu Anna ke sini. Kami sudah membujuk dan memaksa Bu Anna untuk rawat inap, tapi Bu Anna menolak." Diego langsung pergi ke rumah sakit bersama Joyce dan Pak Rusli setelah mengetahui penyakit Anna. Logo rumah sakit menunjukkan rumah sakit tempat Martha dirawat dulu dan nama dokter yang merujuk untuk pemeriksaan laboratorium adalah nama dokter yang menangani Martha. Tidak sulit bagi mereka menemukan dokter itu. Hanya saja, mereka harus menunggu di sana sampai akhirnya dokter datang dan apa yang dokter ceritakan tentang pertemuannya dengan Anna malah membuat Diego emosi. "Jadi Anna sudah tahu dia sakit, tapi menolak berobat? Lalu kau hanya pasrah saja dan membiarkan pasienmu meninggal perlahan, hah?" Diego menggebrak meja dan menyambar jubah sang dokter. Pak Rusli dan Joyce sampai langsung menarik Diego dan menghentikannya. "Diego, sabar, Diego! Jangan bersikap kasar!" "Aku tidak bisa! Katakan di mana Anna, apa yang sebenarnya
Satu minggu benar-benar terasa seperti satu tahun bagi Diego. Setiap hari ia mencari Anna walaupun ia tidak kunjung menemukannya. Diego sampai hanya menjenguk Darren sesekali, tapi Diego menelepon Darren setiap hari untuk melihat wajah Anna di wajah anaknya itu. Jiwa Diego benar-benar seolah hilang separuh. Diego kehilangan fokusnya dalam bekerja, kehilangan fokus dalam melakukan apa pun, jambang mulai memenuhi dagunya, dan rambutnya pun tidak terawat. Sampai akhirnya Diego sadar ia tidak bisa begini terus. Mimpinya malam itu membuatnya bangkit. Anna muncul di mimpi Diego dan mengingatkan dirinya akan tanggung jawabnya. Di dalam mimpinya, Anna terlihat begitu cantik dan terus tertawa sumringah. Anna menggandeng Diego dan Darren bersamanya, lalu mereka duduk bertiga di hamparan rumput yang luas. Diego berbaring dengan kepala ada di pangkuan Anna dan Darren duduk di perut Diego. Bertiga mereka sangat bahagia. "Papa sayang tidak sama Mama sama Darren?" tanya Anna sambil membelai say
"Aku sudah mengecek di semua rumah sakit di kota ini sampai kota terdekat, tapi tidak ada nama Anna Wijaya di sana. Di bandara pun tidak ada nama Anna Wijaya yang melakukan penerbangan selama satu bulan terakhir." Jovan melaporkan hasil pencariannya pagi itu. Sudah satu bulan sejak Anna pergi meninggalkan surat untuk semua orang dan sampai detik ini sama sekali tidak ada petunjuk tentang Anna. Diego pun sudah sampai depresi mencari Anna, tapi Diego tidak menyerah dan ia masih yakin Anna baik-baik saja di suatu tempat. "Baiklah, Jovan! Baiklah! Cari lagi! Tetap cari dia dan jangan menyerah!" Jovan menatap Diego sedikit lebih lama dan mengangguk. "Aku mengerti, Pak." Jovan pun keluar dari ruang kerja itu dan Diego yang ditinggalkan langsung menyisir rambutnya frustasi. Perasaannya tidak bisa diungkapkan lagi. Diego sangat merindukan Anna-nya. "Kau tidak tahu seberapa sulit aku bertahan seperti ini, Anna! Sulit sekali sampai aku hampir gila." "Kau harus baik-baik saja, Anna! Berj
Diego sempat berpikir bahwa pada akhirnya ia dan Bella bisa menjadi teman dan rekan kerja yang baik. Namun, saat Bella mulai agresif kembali setelah Anna pergi, Diego pun kembali menjaga jarak dengan wanita itu. Diego tidak pernah suka Bella datang ke apartemennya kalau itu hanya modus untuk mendekatinya lagi. Diego pun tahu Bella tidak pernah begitu telaten pada anak kecil. Namun, Diego tidak pernah menyangka Bella bisa bersikap begitu kasar pada Darren, anaknya. "Apa yang kau lakukan pada anakku, Bella?" bentak Diego yang akhirnya masuk ke apartemennya dan melihat jelas bagaimana Bella memarahi dan mendorong Darren. Diego tadinya lembur, tapi ia memutuskan pulang lebih awal agar ia bisa menghabiskan waktu bersama Darren dan saat bertemu Bik Nim di depan apartemen, Diego akhirnya tahu Bella ada di sana. Bella sendiri begitu kaget mendengar suara Diego dan ia langsung membelalak saat melihat tatapan tajam Diego padanya. Sungguh, Bella tidak tahu kapan Diego masuk ke sana. "D-Die
"Darren tidak mau ada Mami, Darren mau Mama saja, Papa!"Tangisan Darren belum juga berhenti bahkan sampai saat ia dan Diego sudah berbaring di ranjang mereka. Untungnya, lengan Darren yang kena panas tidak menimbulkan banyak bekas. Hanya memerah cukup lama, tapi setelahnya membaik. Untung saja supnya bukan sup yang mendidih. Luka Darren yang terkena beling pun tidak parah dan sudah dibalut plester. Namun, sakit di hati Darren yang tidak kunjung usai sampai Diego memeluknya begitu erat. "Maafkan Papa, Darren! Maafkan Papa! Papa janji tidak akan ada Mami! Papa janji, Sayang." "Darren tidak mau Aunty Bella ke sini lagi, Darren tidak suka! Aunty Bella jahat!" "Maafkan Papa lagi, Darren! Papa janji Aunty Bella tidak akan ke sini lagi, Papa janji, Sayang." "Darren mau Mama ... Darren mau dipeluk Mama ...." Tangisan Darren kembali meledak saking ia merindukan Anna. Diego sendiri ikut menangis karena ia juga merindukan Anna begitu besar. "Papa juga mau sama Mama, Darren. Papa juga s
Bella benar-benar berharap, semua miliknya bisa membuat Diego tertarik dan bertahan bersamanya, walaupun ia harus kembali menelan kekecewaan kali ini. Diego sendiri kembali mematung di tempatnya karena ia tidak menyangka Bella bisa memberinya pilihan seperti itu. Global Jaya adalah anak perusahaan milik keluarga Bella yang kaya raya. Diego dipercaya menjadi CEO dan pemegang saham di sana, jabatan yang membuatnya karirnya melesat dengan cepat. Dan kehilangan semuanya tentu akan membuat Diego menjadi bukan siapa-siapa lagi. Hati dan otak Diego bergelut untuk sesaat, tapi tidak sedikit pun ia berpikir untuk melanjutkan hubungan apa pun bersama Bella, wanita yang sama sekali tidak dicintainya. "Sebuah pernikahan tidak sepantasnya dibeli dengan uang, Bella.""Aku memang berterima kasih padamu dan keluargamu. Tanpa kalian, aku hanya mantan napi yang tidak berharga. Hanya sampah masyarakat. Hutang budiku ini sampai mati akan tetap kubawa, Bella." "Tapi anakku, sampai mati juga adalah ta
"Apa kata suster, Diego? Tidak ada berita tentang Anna?" Sambil melangkah keluar lobby, Retha memeluk tangan Diego dan bertanya tentang hasil pencariannya. "Belum ada, Ibu. Anna tidak pernah ke rumah sakit ini lagi. Hatiku rasanya berat sekali." Ekspresi Diego begitu sendu sampai Retha pun membelai sayang lengan anaknya itu. "Bersabarlah! Nanti kita cari lagi! Ibu percaya Tuhan akan menunjukkan jalan." Diego mengangguk dan melangkah bersama Retha keluar dari lobby rumah sakit. Di saat yang sama, Bu Hesti pun masih begitu panik melihat Anna yang dinaikkan ke brankar lalu didorong ke UGD. Bu Hesti tidak berani mendekat, tapi saat para petugas sudah mendorong brankarnya, Bu Hesti pun berlari menyusul ke UGD. "Bertahanlah, Bu Anna! Bertahanlah!" Hesti terus menangis sambil menyebut nama Anna. Hesti sama sekali tidak melihat Diego di sana, pria yang sempat dilihatnya tadi di sekolah Darren. Hesti melewatinya begitu saja dan masuk ke UGD, tapi Diego yang mendengar nama Anna disebut
"Uhuk ... uhuk ...." "Hati-hati, Bu Anna!" Hesti dan Anna akhirnya tiba di kota yang sangat dirindukan oleh Anna. Menantu Hesti harus bekerja dan ia menurunkan Anna dan Hesti di dekat sekolah Darren, tempat yang Anna minta. "Terima kasih, Bu Hesti. Kita tunggu di warung sana saja. Aku bisa melihat anakku dari sana." "Ah, baiklah." Hesti menuntun Anna duduk di warung dan Anna pun terus menatap ke pintu gerbang sekolah Darren. Mendadak kenangan lama itu pun berputar di otaknya dan membuat Anna begitu merindukan semuanya. Air mata Anna menetes sampai Hesti terus menenangkan Anna. Hesti juga tidak tega dan ingin Anna berkumpul kembali dengan keluarganya, tapi Hesti menghormati keputusan Anna karena Hesti juga tidak keberatan Anna tinggal bersamanya. Anna pun terus menatap sampai tidak lama kemudian, sebuah mobil muncul di sana, mobil dengan plat nomor yang membuat debar jantung Anna memacu kencang. Itu mobil Diego. Tidak lama kemudian, Diego keluar dari mobil. Bukan hanya Diego,
Saat kita melakukan kebaikan, mungkin Tuhan tidak akan langsung membalasnya saat itu juga, tapi tanpa kita sadari, kita sudah dijauhkan dari kejahatan. Percayalah, bahwa semua yang kita lakukan tidak akan sia-sia. Saat kita sudah merasa tidak ada jalan lagi untuk melangkah, berserahlah dan Tuhan akan menunjukkan kuasa-Nya. Itulah yang Anna percaya dan itulah yang terjadi dalam hidupnya. Anna pernah berpikir seumur hidup ia berbuat baik pada orang lain, tapi mengapa Tuhan memberinya cobaan yang begitu berat. Bahkan, saat Anna harus pergi dari keluarganya, Anna tidak benar-benar tahu ia harus ke mana. Anna pergi ke kota kecil yang paling dekat dengan kota asal mereka dan Anna duduk sendirian di kursi sebuah rumah sakit kecil, berharap bisa menumpang tidur di sana. Bukan karena tidak punya uang untuk menyewa kamar hotel. Anna masih membawa sedikit uang, Anna hanya takut ia mendadak meninggal di hotel dan tidak ada yang mengetahuinya. Namun, syukurlah, kebaikan yang sudah Anna tanam
"Ibu!" Diego membawa Darren dan Bik Nim pulang ke rumah ibunya di luar kota hari itu. Diego masih mempunyai seorang ibu, satu-satunya keluarga yang ia punya setelah ayahnya meninggal. Diego yang merupakan anak tunggal itu pun sudah meminta ibunya tinggal bersamanya di kota, tapi wanita tua itu menolak. Retha, ibu Diego memilih tetap tinggal di kota kecil, kampung halamannya bersama para tetangganya, tapi Diego sudah merenovasi rumah itu menjadi begitu bagus dan nyaman. Bahkan, Diego membantu renovasi rumah beberapa tetangga mereka sampai semua orang begitu berterima kasih pada Diego dan membantu Diego menjaga Retha. "Diego, anak Ibu!" Retha langsung memeluk Diego begitu erat dan menciuminya, sebelum Retha menatap Darren yang masih berdiri di belakang Diego. Retha menatapnya lama dan air matanya berlinang melihat cetakan mini Diego itu. Diego sudah menceritakan semuanya pada Retha, tidak ada yang Diego sembunyikan dari ibunya yang selalu menemaninya dalam suka dan duka itu. Diego
"Papa kok sekarang kerjanya di rumah terus?"Darren bertanya dengan polosnya hari itu setelah lebih dari satu minggu Diego tidak pernah ke kantor lagi. "Papa tidak ingin jauh dari Darren lagi, Sayang." "Yeay, jadi Papa tiap hari di rumah?" Diego berpikir sejenak, sebelum ia mengangguk. "Untuk sementara iya, tapi nantinya Papa akan kembali bekerja di kantor, walau Papa masih tidak tahu kapan." Ya, Diego akan kembali bekerja di perusahaan, perusahaannya sendiri nanti. Itu rencana Diego. Setelah satu minggu lebih menjadi pengangguran, Diego yang terbiasa bekerja tentu saja tidak betah. Diego melakukan semua yang ia bisa untuk kembali membangun bisnisnya walau sama sekali tidak mudah karena kali ini benar-benar dari nol dan dari apa yang ia punya. Diego kehilangan banyak setelah memilih meninggalkan Bella. Sangat banyak. Bahkan, Diego harus menjual dua properti yang ia punya, hasil kerja kerasnya selama ini demi menutup ganti rugi yang diminta Bella. Tentu saja Diego tidak langsung
Bella benar-benar berharap, semua miliknya bisa membuat Diego tertarik dan bertahan bersamanya, walaupun ia harus kembali menelan kekecewaan kali ini. Diego sendiri kembali mematung di tempatnya karena ia tidak menyangka Bella bisa memberinya pilihan seperti itu. Global Jaya adalah anak perusahaan milik keluarga Bella yang kaya raya. Diego dipercaya menjadi CEO dan pemegang saham di sana, jabatan yang membuatnya karirnya melesat dengan cepat. Dan kehilangan semuanya tentu akan membuat Diego menjadi bukan siapa-siapa lagi. Hati dan otak Diego bergelut untuk sesaat, tapi tidak sedikit pun ia berpikir untuk melanjutkan hubungan apa pun bersama Bella, wanita yang sama sekali tidak dicintainya. "Sebuah pernikahan tidak sepantasnya dibeli dengan uang, Bella.""Aku memang berterima kasih padamu dan keluargamu. Tanpa kalian, aku hanya mantan napi yang tidak berharga. Hanya sampah masyarakat. Hutang budiku ini sampai mati akan tetap kubawa, Bella." "Tapi anakku, sampai mati juga adalah ta
"Darren tidak mau ada Mami, Darren mau Mama saja, Papa!"Tangisan Darren belum juga berhenti bahkan sampai saat ia dan Diego sudah berbaring di ranjang mereka. Untungnya, lengan Darren yang kena panas tidak menimbulkan banyak bekas. Hanya memerah cukup lama, tapi setelahnya membaik. Untung saja supnya bukan sup yang mendidih. Luka Darren yang terkena beling pun tidak parah dan sudah dibalut plester. Namun, sakit di hati Darren yang tidak kunjung usai sampai Diego memeluknya begitu erat. "Maafkan Papa, Darren! Maafkan Papa! Papa janji tidak akan ada Mami! Papa janji, Sayang." "Darren tidak mau Aunty Bella ke sini lagi, Darren tidak suka! Aunty Bella jahat!" "Maafkan Papa lagi, Darren! Papa janji Aunty Bella tidak akan ke sini lagi, Papa janji, Sayang." "Darren mau Mama ... Darren mau dipeluk Mama ...." Tangisan Darren kembali meledak saking ia merindukan Anna. Diego sendiri ikut menangis karena ia juga merindukan Anna begitu besar. "Papa juga mau sama Mama, Darren. Papa juga s
Diego sempat berpikir bahwa pada akhirnya ia dan Bella bisa menjadi teman dan rekan kerja yang baik. Namun, saat Bella mulai agresif kembali setelah Anna pergi, Diego pun kembali menjaga jarak dengan wanita itu. Diego tidak pernah suka Bella datang ke apartemennya kalau itu hanya modus untuk mendekatinya lagi. Diego pun tahu Bella tidak pernah begitu telaten pada anak kecil. Namun, Diego tidak pernah menyangka Bella bisa bersikap begitu kasar pada Darren, anaknya. "Apa yang kau lakukan pada anakku, Bella?" bentak Diego yang akhirnya masuk ke apartemennya dan melihat jelas bagaimana Bella memarahi dan mendorong Darren. Diego tadinya lembur, tapi ia memutuskan pulang lebih awal agar ia bisa menghabiskan waktu bersama Darren dan saat bertemu Bik Nim di depan apartemen, Diego akhirnya tahu Bella ada di sana. Bella sendiri begitu kaget mendengar suara Diego dan ia langsung membelalak saat melihat tatapan tajam Diego padanya. Sungguh, Bella tidak tahu kapan Diego masuk ke sana. "D-Die
"Aku sudah mengecek di semua rumah sakit di kota ini sampai kota terdekat, tapi tidak ada nama Anna Wijaya di sana. Di bandara pun tidak ada nama Anna Wijaya yang melakukan penerbangan selama satu bulan terakhir." Jovan melaporkan hasil pencariannya pagi itu. Sudah satu bulan sejak Anna pergi meninggalkan surat untuk semua orang dan sampai detik ini sama sekali tidak ada petunjuk tentang Anna. Diego pun sudah sampai depresi mencari Anna, tapi Diego tidak menyerah dan ia masih yakin Anna baik-baik saja di suatu tempat. "Baiklah, Jovan! Baiklah! Cari lagi! Tetap cari dia dan jangan menyerah!" Jovan menatap Diego sedikit lebih lama dan mengangguk. "Aku mengerti, Pak." Jovan pun keluar dari ruang kerja itu dan Diego yang ditinggalkan langsung menyisir rambutnya frustasi. Perasaannya tidak bisa diungkapkan lagi. Diego sangat merindukan Anna-nya. "Kau tidak tahu seberapa sulit aku bertahan seperti ini, Anna! Sulit sekali sampai aku hampir gila." "Kau harus baik-baik saja, Anna! Berj