Tiga bulan berlalu dan kondisi Diego serta Anna pun berangsur normal. Mereka masih menjaga aktivitas mereka, berdiam diri di rumah lebih lama untuk mencegah infeksi dari luar, dan mereka begitu menikmati kebersamaan mereka. Hesti dan anaknya sudah pulang ke kampung. Joyce dan keluarganya juga sudah mulai beraktivitas biasa, jauh dari Diego dan Anna, tapi Retha memutuskan tinggal bersama Diego untuk membantu mengurus Anna dan Diego yang sama-sama masih dalam tahap pemulihan. Diego dan Jovan sendiri juga makin gencar untuk membangun usaha baru, tapi kali ini ada Anna yang juga membantu, seorang wanita karir yang luar biasa pintar, cakap, dan sudah tidak diragukan lagi kompetensinya. Dengan bantuan Anna dan relasinya, Diego lebih mudah memulai semuanya kembali. Anna dan Diego saling memperkenalkan partner bisnis mereka dan mereka benar-benar bekerja dengan giat. "Kau lelah, Sayang?" tanya Diego malam itu saat melihat Anna duduk bersandar di sofanya. Anna baru saja selesai menidurkan
"Dah, Sayang!" Anna melambaikan tangannya pada Darren yang berangkat ke sekolah pagi itu. Seperti biasa, Jovan yang mengantar jemput Darren ditemani oleh Bik Nim, sebelum Jovan kembali pulang ke rumah untuk bekerja bersama Diego. Anna pun masih tersenyum menatap mobil Jovan yang sudah berlalu dan salah satu tetangga pun menyapanya.Kompleks rumah mereka adalah kompleks perumahan menengah. Banyak tetangga yang sering keluar rumah di sore hari untuk berjalan-jalan atau bersepeda memutari kompleks. Ada juga taman bermain kecil yang cukup ramai di sore hari dan membuat Darren betah tinggal di sini karena ia punya banyak teman. "Selamat pagi, Bu Anna!" "Selamat pagi, Bu!" Anna tersenyum ramah, walau ia tetap memakai maskernya sesuai dengan prokes yang ketat dari dokter. "Bagaimana kondisinya? Sehat, Bu Anna?" Para tetangga sudah berkenalan dengan keluarga Anna dan mereka tahu Anna adalah seorang mantan pasien yang sembuh dari sirosis hati. "Sehat, Bu. Terima kasih atas perhatiannya
"Bagaimana kabar Jeremy, Pak Rusli?" Setelah hampir satu minggu Anna merasa diikuti, akhirnya Anna pun mencoba bertanya pada Pak Rusli tentang Jeremy. Tentu saja mantan suaminya itu menjadi satu-satunya kemungkinan orang jahat yang mengincar Anna. Memikirkannya saja membuat Anna merinding sampai Anna menjadi super protektif pada Darren. Anna terus ikut mengantar dan menjemput Darren ke sekolah lalu tidak mengijinkan Darren bermain di taman kompleks beberapa hari ini. "Pak Jeremy sudah dipenjara. Tidak ada beritanya lagi. Setelah vonis dijatuhkan waktu itu, Pak Jeremy sempat melakukan banding bahkan menuntut Anda balik dengan tuduhan Pak Wijaya membawa uangnya pergi, tapi semuanya ditolak." "Urusan Pak Jeremy dengan Pak Wijaya adalah urusan mereka sendiri karena Pak Wijaya pun masih buron dan tidak ada hubungannya dengan Anda." "Semuanya aman-aman saja, Bu Anna. Tidak perlu takut," imbuh Pak Rusli menenangkan. Namun, entah mengapa, semakin tenang, justru Anna semakin takut.
"Jam berapa ini? Mengapa Darren belum pulang?" Anna melirik jamnya dan ini sudah terlalu sore. Anna pun melangkah keluar untuk mencari Darren, tanpa sadar bahwa anaknya itu sedang berhadapan dengan seseorang. "Itu ... Grandpa Jahat!" Suara Darren sudah bergetar sampai Bik Nim memeluk Darren makin erat. "Itu ... P-P-Pak Wijaya?" sapa Bik Nim juga dengan suara yang bergetar. Sungguh, setelah lama tidak bertemu dan sejak Wijaya dinyatakan buron, Bik Nim tidak berharap bertemu dengannya lagi. "Bik Nim dan Darren, cucu Grandpa ... bagaimana kabar kalian?" Suara tua itu akhirnya terdengar dan itu benar-benar suara Wijaya. Wijaya butuh waktu yang tidak sebentar untuk mencari tahu semua tentang anak dan istrinya. Wijaya akhirnya tahu bahwa Martha sudah meninggal dan Anna sempat sakit, sebelum akhirnya Anna sembuh dan kembali bersama Diego yang sudah kaya. Wijaya tahu semuanya. Butuh keberanian besar bagi Wijaya untuk menunjukkan dirinya pada keluarganya lagi, apalagi setelah apa yang
Perasaan Anna tidak pernah baik setelah bertemu Wijaya. Sekalipun Anna langsung masuk dan mengunci pintu rumahnya, tapi Anna tidak bisa menahan diri untuk mengintip. Wijaya masih di sana dengan wajah memelasnya yang membuat tubuh Anna bergetar hebat. Entah apa yang sudah terjadi pada ayahnya selama ini. Sungguh, Anna membenci ayahnya yang tidak bertanggung jawab, tapi perasaan seorang anak bergejolak tanpa bisa dicegah. Anna pun akhirnya memilih mengurung diri di kamarnya dan tidak mengintip lagi. Hingga akhirnya Diego pulang sore itu bersama Jovan. Saat itu, Wijaya sudah tidak ada di depan rumah. "Papa!" Darren langsung menyambut dan berlari ke pelukan Diego. Anna yang lelah luar biasa memilih tidur, bahkan Anna tertidur begitu lama sampai saat Diego pulang, Anna masih belum bangun. "Halo, Sayang! Mana Mama? Biasanya Mama juga menyambut Papa." "Mama tidur, Pa." "Tidur? Tidak biasanya Mama tidur jam segini." "Mama tadi nangis, Pa," bisik Darren. Diego sampai mengernyit mende
"Apa yang terjadi padanya, Dokter?" Anna mendadak panik saat melihat Wijaya pingsan di depan rumahnya. Anna yang memang mengintip dari jendela akhirnya keluar dari rumahnya dan melihat Wijaya yang tampak lemas. Anna tidak ingin peduli, tapi tidak mungkin ia membiarkan Wijaya pingsan di depan rumahnya. Ia pun akhirnya menelepon ambulans dan baru menelepon Diego saat mereka berada di perjalanan ke rumah sakit. "Sepertinya hanya kurang nutrisi, Bu. Dan tekanan darahnya saja yang agak tinggi. Karena itu, dia pingsan, Bu." "Tapi tadi dia menyebutkan sesuatu seperti pertemuan terakhir, Dokter. Dia juga memegangi dadanya," sahut Bik Nim yang ikut cemas."Benarkah? Dada berarti jantung, tapi irama jantungnya masih normal, Bu. Secara pemeriksaan fisik, tidak ada masalah yang berarti, tidak ada luka di tubuhnya juga. Tapi untuk memastikan, biasanya kami akan melakukan pengecekan darah dan pengecekan menyeluruh." Baru saja dokter selesai berbicara, Diego dan Jovan sudah datang ke rumah saki
"Anna ...." "Aku baik-baik saja, Diego. Aku baik-baik saja." Anna dan Diego sudah berada di mobilnya bersama Jovan dan Bik Nim. Anna pun terus diam sepanjang perjalanan sampai Diego begitu mencemaskannya. "Dia tidak peduli saat aku dan ibuku berjuang, atas dasar apa aku harus peduli padanya? Dia bilang dia sudah tidak punya apa-apa kan? Aku juga sampai menjual semuanya demi bertahan hidup. Itu juga yang harus dia lakukan." "Dan dia bilang dia akan menyerahkan diri ke polisi kan? Itu lebih baik lagi, toh dia juga buron. Daripada dia hidup jadi gelandangan, lebih baik dia hidup di penjara saja!" imbuh Anna dengan suara yang bergetar, jelas terlihat sakit hati yang masih membekas di sana. Sungguh, Anna tidak pernah menyangka hari ini akan datang, hari di mana ia terus menerus bertemu dengan Wijaya. Anna pikir satu kali saja sudah cukup, tapi mengapa Wijaya mencarinya lagi dan terus membuatnya goyah. Diego sendiri mengembuskan napas panjangnya menatap Anna, lalu ia membelai sayang
"Apa, Pak? Pak Wijaya akhirnya kembali?" Pak Rusli begitu kaget saat menerima telepon dari Diego malam itu yang mengatakan bahwa Wijaya akhirnya muncul setelah sekian lama menghilang. "Benar, Pak. Anna mengatakan bahwa sebelumnya dia sudah merasa diikuti oleh seseorang sekitar satu minggu, sebelum akhirnya Pak Wijaya muncul di depan rumah." Diego menceritakan apa yang Anna alami dan Pak Rusli hanya bisa terus membelalak tidak percaya. "Apa ... apa yang Pak Wijaya lakukan lagi, Pak?" "Belum ada, Pak. Terakhir kami meninggalkannya di rumah sakit tadi siang dan saat Jovan memeriksa ke sana, dia sudah pergi." "Ah, tapi Bu Anna baik-baik saja kan? Aku sungguh terkejut, aku tidak bisa memikirkan apa yang Pak Wijaya inginkan dengan kembali seperti ini, padahal dia masih berada dalam daftar buron." "Itulah yang ingin aku bicarakan, Pak. Aku mau membuat laporan tentang kemunculan Wijaya. Aku juga mau meminta polisi membantu menjaga Anna. Hanya saja, aku tidak punya bukti yang kuat bahwa
Hidup ini bukan sekedar tentang memiliki, tapi tentang memberi dan menerima. Memberi semampu yang bisa kita berikan dengan tulus tanpa mengharap balasan, dan menerima dengan ikhlas tiga hal yang pasti dalam hidup kita. Yang pertama adalah rejeki. Tidak peduli seberapa keras kita berusaha atau sejauh mana kita melangkah, rejeki akan datang sesuai takarannya. Kadang lebih cepat, kadang lebih lambat, tapi selalu cukup sesuai kebutuhan.Yang kedua adalah takdir. Tidak peduli jalan mana yang kita pilih, takdir akan menemukan jalannya sendiri. Ada hal-hal yang bisa kita upayakan, tapi ada pula yang sudah digariskan dan harus diterima dengan kebesaran hati.Dan yang terakhir adalah kematian. Tidak peduli siap atau tidak, kematian akan datang menjemput pada waktunya. Itu adalah kepastian yang mengajarkan kita untuk lebih menghargai setiap detik kehidupan.Dan Anna sudah merasakan semua itu begitu jelas, bahkan juga begitu dekat dengan kematian itu. Saat Anna kehilangan Martha yang tidak
Delapan bulan kehamilan Anna adalah delapan bulan yang paling luar biasa. Berbagai perasaan campur aduk saat ia hamil anak kembar. Ada rasa berlebihan saat ia mulai sensitif, ada rasa mual parah dan tidak nafsu makan, ada rasa pegal luar biasa sampai kesulitan bernapas karena perutnya terlalu sesak, ada rasa sakit juga saat bayinya menendang, sulit berjalan karena perutnya terlalu berat, dan semua masalah lain dalam kehamilan. Namun, di atas semua itu, ada rasa haru, ada rasa bahagia saat ia diperhatikan dan dimanjakan, ada rasa bangga pada suami dan anaknya, dan terlebih ada rasa syukur yang tidak terkira. Tuhan baik dan mengijinkan Anna melewati delapan bulan kehamilan ini tanpa halangan yang berarti. Bahkan, Anna sempat berdebar dan berpikir mungkin kehamilan ini tidak akan sama bagi orang yang pernah melakukan transplantasi hati. Namun, seolah Tuhan berkata dengan restu-Nya, semua hal buruk itu tidak akan berarti apa pun. Dan di sinilah Anna, menantikan saat melahirkan yang s
"Kembar? Ibu akan punya cucu kembar?"Retha memekik senang saat Diego memberitahunya tentang kehamilan Anna. "Benar, cucu Ibu akan bertambah dua sekaligus!" "Ya Tuhan, bagaimana ini? Ibu senang sekali! Oh, Anna, kau hamil anak kembar? Tapi kalian sudah memastikan semuanya baik-baik saja kalau Anna hamil sekarang kan?" "Tenang saja, Ibu, kami sudah memberitahu dokter yang merawat Anna dan tidak ada masalah. Kondisi Anna sendiri juga sangat stabil untuk melanjutkan kehamilan. Tentu saja kami akan melakukan kontrol rutin nantinya." "Oh, syukurlah! Selamat, Sayang! Selamat!" Retha memeluk Diego dan Anna bersamaan. Bukan hanya Retha yang bahagia luar biasa, tapi Joyce dan keluarganya langsung melonjak kegirangan saat Anna meneleponnya dan memberitahu tentang kehamilan ini. Dan yang paling bahagia tentu saja Darren yang baru diberitahu saat anak itu pulang sekolah. "Adiknya dua, Mama? Darren mau punya
Diego pulang keesokan harinya dengan rasa rindu yang luar biasa pada keluarganya. Setiap hari, Diego selalu melakukan video call dengan Anna dan Anna selalu menunjukkan dirinya yang segar, walaupun sebenarnya lemas. Namun, sejak Anna mengetahui hasil tespeknya, Anna benar-benar merasa segar. Bahkan, rasa mual yang ia alami sudah terasa tidak mengganggu lagi. "Yeay, Papa pulang!" seru Darren yang langsung naik ke gendongan Diego. "Halo, Anak Papa! Papa membawa banyak oleh-oleh untukmu!" Diego menciumi anaknya itu. "Yeay, Darren mau oleh-oleh. Mana, Papa?" "Haha, sebentar! Bik, tolong ambilkan yang tas besar itu, itu untuk Darren." Bik Nim langsung mengambilkan tas besar yang dibawa oleh Diego, isinya mainan dan baju baru untuk Darren sampai Darren memekik kegirangan. "Yeay, ada mainan robot! Yeay!" Darren pun heboh sendiri dengan mainan barunya. "Kau pulang, Diego!" sapa Retha juga. "Iya, Ibu! Aku membawakan oleh-oleh untuk Ibu juga. Di sana ada untuk Bik Nim dan untuk Anna
Beberapa waktu berlalu setelah bulan madu dan liburan yang menyenangkan, Diego dan Anna kembali pada aktivitasnya. Darren sendiri akhirnya naik kelas dan anak itu tidak jadi pindah sekolah karena Diego bertekad tetap menyekolahkan anaknya di sekolah yang terbaik. "Aku tidak apa kalau Darren harus pindah ke sekolah yang lebih ringan biayanya, Diego. Bukan karena aku tidak percaya padamu, tapi biaya sekolah Darren yang sekarang benar-benar mahal," kata Anna waktu mereka mendaftarkan Darren ke SD. "Aku paham apa yang kau pikirkan, Sayang, tapi Darren sudah nyaman di sekolah yang sekarang, semua temannya melanjutkan di sekolah yang sama, dan aku juga mau anakku sekolah di sana. Percayalah padaku, aku siap menanggung anakku dan keluarga kita. Jangan pikirkan yang lain karena aku yakin Tuhan akan selalu membuka jalannya untuk kita!" Dan benar saja, sejak Diego dan Anna menikah, rejeki yang berlimpah ruah tidak berhenti memenuhi hidup mereka, mengalir seperti mata air yang tidak pernah h
"Mama, ayo foto!" Dua minggu setelah pernikahan, Diego dan Anna pun lanjut berbulan madu. Tidak lupa mereka membawa Darren dan Bik Nim. Sebenarnya Retha sudah menawarkan diri untuk menjaga cucunya itu agar Diego dan Anna bisa menikmati bulan madu, tapi mereka tidak mau meninggalkan putranya itu. Retha sendiri sudah diajak, tapi ia menolak dan lebih memilih liburan di kampung halamannya saja. Dan di sinilah mereka, bulan madu sekaligus liburan di Bali, pulau yang begitu eksotis dan sangat cocok untuk berlibur. Diego sendiri sebenarnya ingin mengajak Anna ke luar negeri, tapi mati-matian Anna menolak. "Kita sedang merintis karir lagi, untuk apa membuang uang hanya demi liburan? Kemarin pesta nikah saja sudah menghabiskan uang!" omel Anna waktu itu. "Tapi bisnis baru kita sudah mulai jalan, Sayang! Rejeki pengantin itu tidak akan ada habisnya, jadi tidak usah dipikirkan tentang uangnya, kita bisa mencarinya lagi!" "Tetap tidak, Diego! Jangan boros! Kita harus berhemat! Liburan di
"Akhirnya pesta usai juga!" Diego dan Anna akhirnya masuk ke kamar hotel mereka malam itu setelah serangkaian pesta yang panjang. Setelah melakukann pemberkatan nikah di pagi hari dan jamuan makan, mereka kembali menjamu undangan lain di malam hari. Pesta tanpa henti dan kebahagiaan tanpa henti juga. Dan setelah semuanya berakhir, Anna merasa sangat lelah. Anna pun langsung duduk di sofa yang nyaman, sedangkan Diego langsung menghampiri istrinya itu. "Aku akan membuatmu nyaman, Sayang." Dengan cekatan, Diego berjongkok untuk membukakan kedua sepatu Anna, lalu Diego membuka jasnya sendiri, sebelum ia duduk dan mengangkat kaki Anna ke pangkuannya. Diego memijati kaki Anna dengan lembut mulai dari tungkai sampai ke telapak kakinya. "Bagaimana rasanya?" "Hmm, enak sekali." "Bagian mana lagi yang pegal, Sayang? Aku akan memijatinya. Apa punggungmu pegal?" "Hmm, punggungku juga pegal, tapi aku harus melepaskan gaun ini dulu agar lebih nyaman." "Tentu saja, Sayang!" Diego memban
Cinta habis di orang lama. Mungkin ungkapan itu adalah kalimat yang paling tepat menunjukkan apa yang Diego dan Anna rasakan. Saat kehilangan Anna, Diego tidak pernah memikirkan cinta lagi. Di hatinya hanya ada hasrat untuk balas dendam, tapi hanya ada satu nama yang menjadi benci dan cintanya, Anna. Saat Diego kehilangan Anna lagi untuk kedua kalinya, Diego seperti mayat hidup. Cintanya sudah dihabiskan pada Anna dan sisanya hanya melanjutkan hidup. Begitu juga dengan Anna. Setelah kehilangan Diego, tidak ada lagi cinta dan ia hanya hidup untuk Darren. Saat Anna harus meninggalkan Diego untuk kedua kalinya, Anna menyimpan cinta di hatinya tetap untuk satu nama, Diego. Dan sekarang Tuhan mempersatukan mereka kembali. Cinta mereka memang habis di orang lama, tapi mereka saling menemukan dan kembali bersama. Kali ini untuk selamanya. Diego dan Anna bertatapan dengan penuh cinta. Senyum dan air mata bercampur menjadi satu, pancaran kebahagiaan tidak bisa ditutupi dari wajah kedua
"Kau gagah sekali, Diego!" Retha tersenyum sambil merapikan jas yang dipakai Diego pagi itu. Setelah dua bulan mempersiapkan pernikahan, akhirnya hari yang ditunggu pun tiba. Hari ini Diego dan Anna akan menikah lagi. Semua orang begitu antusias menantikan hari ini, termasuk Retha, seorang ibu yang sudah melihat bagaimana anaknya jatuh bangun mencintai wanita yang sama. "Terima kasih, Ibu! Aku bahagia sekali, akhirnya aku mendapatkannya lagi," ucap Diego penuh kesungguhan. Retha mengangguk. "Kau pantas mendapatkannya, Diego. Dan kali ini, Ibu yakin kalian akan bahagia selamanya." "Amin, Ibu!" Diego berpelukan dengan Retha. Hanya dengan restu ibunya itu, Diego bisa berdiri sampai detik ini. Tidak lama kemudian, Diego pun dipanggil memasuki venue acara dan Retha mengantar anaknya itu dengan penuh kebahagiaan. Diego menyapa semua orang yang hadir di acara mereka. Tidak banyak, Diego dan Anna hanya mengundang tidak lebih dari 50 undangan, hanya teman dan klien dekat, termasuk ay