"Apa, Pak? Pak Wijaya akhirnya kembali?" Pak Rusli begitu kaget saat menerima telepon dari Diego malam itu yang mengatakan bahwa Wijaya akhirnya muncul setelah sekian lama menghilang. "Benar, Pak. Anna mengatakan bahwa sebelumnya dia sudah merasa diikuti oleh seseorang sekitar satu minggu, sebelum akhirnya Pak Wijaya muncul di depan rumah." Diego menceritakan apa yang Anna alami dan Pak Rusli hanya bisa terus membelalak tidak percaya. "Apa ... apa yang Pak Wijaya lakukan lagi, Pak?" "Belum ada, Pak. Terakhir kami meninggalkannya di rumah sakit tadi siang dan saat Jovan memeriksa ke sana, dia sudah pergi." "Ah, tapi Bu Anna baik-baik saja kan? Aku sungguh terkejut, aku tidak bisa memikirkan apa yang Pak Wijaya inginkan dengan kembali seperti ini, padahal dia masih berada dalam daftar buron." "Itulah yang ingin aku bicarakan, Pak. Aku mau membuat laporan tentang kemunculan Wijaya. Aku juga mau meminta polisi membantu menjaga Anna. Hanya saja, aku tidak punya bukti yang kuat bahwa
Anna mematung di tempatnya menatap Wijaya. Ucapan pria itu benar-benar membuat Anna tidak percaya sampai perlahan tawa frustasi muncul di wajahnya. "Apa? Kesepakatan? Kau berani meminta membuat kesepakatan denganku? Apa kau lupa apa yang sudah kau lakukan padaku dan ibuku, hah?" "Ayah tahu yang Ayah lakukan salah! Ayah tahu, Anna! Tapi tidak ada waktu membahasnya lagi! Setelah ini, Ayah janji Ayah tidak akan mengganggu hidup kalian! Ayah akan menghilang selamanya!" Lagi-lagi Anna tertawa kesal. "Atas dasar apa kau berpikir aku mau membuat kesepakatan denganmu? Jangan terlalu percaya diri, Wijaya!" "Hanya kau yang bisa membantu Ayah, Anna! Dan kalau kau tidak membantu Ayah sekarang, keselamatanmu juga bisa terancam!" Anna membelalak dan tatapannya goyah. Mendengar kata keselamatan terancam membuatnya bergidik. Semua yang berhubungan dengan kematian akan membuatnya takut karena seseorang tidak akan terus beruntung. Lolos satu kali dari kematian, tidak menjamin kita akan lolos dari
"Para polisi sudah datang, Bu," lapor Bik Nim saat mencari Anna di kamarnya. "Kupikir Diego akan tiba di rumah duluan, tapi ternyata para polisinya lebih cepat," sahut Anna. "Iya, Bu." "Baiklah, aku akan menemui mereka." Anna segera merapikan dirinya, sebelum ia menemui para polisi yang entah mengapa, wajahnya membuat jantung Anna memacu kencang. Para polisi itu berbadan tegap dan berwajah bengis. Tentu saja biasanya wajah para polisi memang tegas, tapi wajah kedua pria ini membuat Anna bergidik sendiri. "Selamat siang, Pak!" Anna menjabat tangan kedua polisi gadungan itu. "Selamat siang, Bu Anna! Kami dari kepolisian, kami ingin menginfokan bahwa ada kecelakaan yang terjadi dan melibatkan Pak Wijaya." Anna langsung mengernyit mendengarnya. Begitu juga dengan Bik Nim dan Jovan yang merasa aneh. "Apa ... apa maksudnya, Pak? Kecelakaan?" ulang Anna. "Benar, Pak Wijaya mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat. Kami butuh Bu Anna untuk mengidentifikasi jasadnya." "Ya Tuhan!
"Selamat siang! Kami sudah masuk ke kompleks perumahan Anda, Pak." Salah satu polisi yang ditugaskan untuk menjaga rumah benar-benar muncul siang itu dan langsung menelepon Diego. "Aku juga sudah dalam perjalanan, Pak. Kalau Anda sudah tiba, tolong tunggu sebentar." "Baik, Pak." Diego pun baru saja menutup telepon dari polisi saat telepon Jovan masuk. Diego langsung mengangkatnya. "Halo, Jovan!" "Pak ...," rintih Jovan di teleponnya yang membuat Diego mengernyit. "Jovan? Ada apa?" "Penculik ...." Tatapan Diego goyah. "Apa maksudmu, Jovan? Kau kenapa? Mengapa suaramu seperti itu?" Jantung Diego mendadak berdebar kencang mendengar suara Jovan, apalagi saat akhirnya Jovan melanjutkan ucapannya. "Bu Anna diculik, Pak," lanjut Jovan sambil menahan rasa sakit yang tidak terkira di bahunya yang sudah berlumuran darah. Diego pun membelalak lebar dengan tangan yang mencengkeram erat setirnya. "Apa maksudmu? Apa maksudmu, Jovan? Bicara yang jelas! Siapa yang diculik dan bagaimana b
Anna menahan napasnya sejenak saat ia melihat seorang pria yang tidak pernah ia sangka. Jeremy. Ya, pria di hadapannya adalah Jeremy. Entah bagaimana Jeremy bisa di sini padahal Jeremy seharusnya dipenjara. Bukan hanya Jeremy, bahkan Bram yang juga seharusnya dipenjara, kini sudah berdiri di samping Jeremy seperti biasanya. "J-Jeremy? Bram?" Jeremy tersenyum menatap Anna dengan wajah bengisnya, bahkan rasanya ekspresinya yang sekarang lebih bengis dibanding Jeremy yang dulu. "Ya, kami di sini. Apa kau senang melihatku lagi, Anna? Tidakkah kau merindukan aku?" Anna masih membelalak tanpa menjawab apa pun. Namun, Anna menggeleng. "Bukankah kalian dipenjara? Kalian dipenjara, bagaimana kalian bisa ada di sini? Apa kalian kabur dari penjara, hah? Bagaimana bisa?" teriak Anna histeris. Jeremy membungkuk sambil meletakkan satu jari di depan bibirnya. "Ssstt, Anna Sayang! Jangan sepanik itu, aku dengar kau baru sembuh dari sakit kan? Jangan sampai sakit lagi! Apalagi penyakitmu san
"Apa yang akan terjadi pada Anna? Ya Tuhan, Anna ...." Joyce sudah menangis sedih di rumah sakit.Setelah semua kekacauan yang terjadi, Diego langsung membawa Jovan dan Bik Nim ke rumah sakit dibantu oleh para polisi. Darren pun dititipkan sementara bersama orang tua Joyce, sedangkan Jovan dan Bik Nim dititipkan pada Joyce di rumah sakit karena Diego sudah sibuk mencari Anna bersama Pak Rusli. Kondisi Bik Nim sendiri tidak parah, begitu juga dengan Jovan yang untungnya, tusukan di bahunya tidak mengenai bagian yang fatal. Hanya saja, Jovan masih harus dirawat di rumah sakit."Maafkan aku yang tidak bisa menjaga Bu Anna. Ini kesalahanku. Aku yang mengijinkan para polisi gadungan itu masuk ke dalam rumah," seru Bik Nim yang masih duduk di ruang perawatan. Bik Nim masih merasakan sedikit pusing karena benturannya cukup dekat dengan matanya, tapi tidak ada yang berbahaya. "Ini bukan sepenuhnya salah Bibik. Kita berdoa saja semoga Diego bisa segera menemukannya. Om Wijaya benar-benar b
Saat kau melakukan kejahatan, jangan pernah berharap kebaikan akan datang padamu. Ya, bodohnya Wijaya yang berpikir bahwa semuanya akan berjalan mulus baginya, padahal selama ini tidak ada satu hal baik pun yang ia lakukan. Wijaya sadar seberapa brengsek dirinya, tapi Wijaya tidak menyangka pada akhirnya ia akan dikhianati juga oleh mantan menantu brengseknya.Sungguh, saat ini, mendadak Wijaya merasa Diego lebih baik, jauh lebih baik daripada Jeremy. Wijaya mengepalkan tangannya geram, rahangnya mengeras, dan giginya gemerutuk saking marahnya. "Sialan kau, Jeremy! Sialan!" desis Wijaya. Wijaya pun baru saja akan menerobos masuk ke dalam kamar, tapi ia mengurungkan niatnya. Wijaya hanya seorang diri, sedangkan Jeremy punya banyak anak buah. Mustahil Wijaya bisa menang. Yang ada, Wijaya malah akan dieksekusi lebih cepat. Mendadak Wijaya tegang sendiri memikirkan semuanya. Napasnya berat. Ia sudah salah langkah kali ini, tapi sialnya, lagi-lagi tidak ada jalan kembali. Di kamar s
"Pak Jeremy benar-benar tidak ada di selnya, Pak," lapor Pak Rusli di telepon. Para polisi berpencar untuk mencari info tentang Jeremy, hingga akhirnya mereka pun bisa memastikan bahwa Jeremy tidak ada di selnya. Pak Rusli dan Diego sendiri ikut berpencar. Pak Rusli bersama polisi, sedangkan Diego menyetir mobilnya berkeliling mencari Anna. "Sial! Ternyata ini benar-benar ulah Jeremy brengsek itu! Bagaimana dia bisa bebas, hah? Bagaimana bisa dia keluar dari penjara?" geram Diego lagi. Pak Rusli pun menjelaskan apa yang ia dengar dari polisi dan Diego makin marah mendengar bagaimana orang tua Jeremy ikut andil menyuap orang dalam. "Buat tuntutan untuk mereka juga, Pak Rusli! Jangan biarkan orang tua Jeremy bebas!""Aku mengerti, Pak. Di sini aku juga sudah meminta tambahan orang untuk mencari Bu Anna." Diego mengangguk dengan air mata yang masih mengalir. "Terima kasih, Pak Rusli! Terima kasih!" Diego menutup teleponnya dan menggenggam setirnya makin erat. "Sial! Jeremy brengs
Hidup ini bukan sekedar tentang memiliki, tapi tentang memberi dan menerima. Memberi semampu yang bisa kita berikan dengan tulus tanpa mengharap balasan, dan menerima dengan ikhlas tiga hal yang pasti dalam hidup kita. Yang pertama adalah rejeki. Tidak peduli seberapa keras kita berusaha atau sejauh mana kita melangkah, rejeki akan datang sesuai takarannya. Kadang lebih cepat, kadang lebih lambat, tapi selalu cukup sesuai kebutuhan.Yang kedua adalah takdir. Tidak peduli jalan mana yang kita pilih, takdir akan menemukan jalannya sendiri. Ada hal-hal yang bisa kita upayakan, tapi ada pula yang sudah digariskan dan harus diterima dengan kebesaran hati.Dan yang terakhir adalah kematian. Tidak peduli siap atau tidak, kematian akan datang menjemput pada waktunya. Itu adalah kepastian yang mengajarkan kita untuk lebih menghargai setiap detik kehidupan.Dan Anna sudah merasakan semua itu begitu jelas, bahkan juga begitu dekat dengan kematian itu. Saat Anna kehilangan Martha yang tidak
Delapan bulan kehamilan Anna adalah delapan bulan yang paling luar biasa. Berbagai perasaan campur aduk saat ia hamil anak kembar. Ada rasa berlebihan saat ia mulai sensitif, ada rasa mual parah dan tidak nafsu makan, ada rasa pegal luar biasa sampai kesulitan bernapas karena perutnya terlalu sesak, ada rasa sakit juga saat bayinya menendang, sulit berjalan karena perutnya terlalu berat, dan semua masalah lain dalam kehamilan. Namun, di atas semua itu, ada rasa haru, ada rasa bahagia saat ia diperhatikan dan dimanjakan, ada rasa bangga pada suami dan anaknya, dan terlebih ada rasa syukur yang tidak terkira. Tuhan baik dan mengijinkan Anna melewati delapan bulan kehamilan ini tanpa halangan yang berarti. Bahkan, Anna sempat berdebar dan berpikir mungkin kehamilan ini tidak akan sama bagi orang yang pernah melakukan transplantasi hati. Namun, seolah Tuhan berkata dengan restu-Nya, semua hal buruk itu tidak akan berarti apa pun. Dan di sinilah Anna, menantikan saat melahirkan yang s
"Kembar? Ibu akan punya cucu kembar?"Retha memekik senang saat Diego memberitahunya tentang kehamilan Anna. "Benar, cucu Ibu akan bertambah dua sekaligus!" "Ya Tuhan, bagaimana ini? Ibu senang sekali! Oh, Anna, kau hamil anak kembar? Tapi kalian sudah memastikan semuanya baik-baik saja kalau Anna hamil sekarang kan?" "Tenang saja, Ibu, kami sudah memberitahu dokter yang merawat Anna dan tidak ada masalah. Kondisi Anna sendiri juga sangat stabil untuk melanjutkan kehamilan. Tentu saja kami akan melakukan kontrol rutin nantinya." "Oh, syukurlah! Selamat, Sayang! Selamat!" Retha memeluk Diego dan Anna bersamaan. Bukan hanya Retha yang bahagia luar biasa, tapi Joyce dan keluarganya langsung melonjak kegirangan saat Anna meneleponnya dan memberitahu tentang kehamilan ini. Dan yang paling bahagia tentu saja Darren yang baru diberitahu saat anak itu pulang sekolah. "Adiknya dua, Mama? Darren mau punya
Diego pulang keesokan harinya dengan rasa rindu yang luar biasa pada keluarganya. Setiap hari, Diego selalu melakukan video call dengan Anna dan Anna selalu menunjukkan dirinya yang segar, walaupun sebenarnya lemas. Namun, sejak Anna mengetahui hasil tespeknya, Anna benar-benar merasa segar. Bahkan, rasa mual yang ia alami sudah terasa tidak mengganggu lagi. "Yeay, Papa pulang!" seru Darren yang langsung naik ke gendongan Diego. "Halo, Anak Papa! Papa membawa banyak oleh-oleh untukmu!" Diego menciumi anaknya itu. "Yeay, Darren mau oleh-oleh. Mana, Papa?" "Haha, sebentar! Bik, tolong ambilkan yang tas besar itu, itu untuk Darren." Bik Nim langsung mengambilkan tas besar yang dibawa oleh Diego, isinya mainan dan baju baru untuk Darren sampai Darren memekik kegirangan. "Yeay, ada mainan robot! Yeay!" Darren pun heboh sendiri dengan mainan barunya. "Kau pulang, Diego!" sapa Retha juga. "Iya, Ibu! Aku membawakan oleh-oleh untuk Ibu juga. Di sana ada untuk Bik Nim dan untuk Anna
Beberapa waktu berlalu setelah bulan madu dan liburan yang menyenangkan, Diego dan Anna kembali pada aktivitasnya. Darren sendiri akhirnya naik kelas dan anak itu tidak jadi pindah sekolah karena Diego bertekad tetap menyekolahkan anaknya di sekolah yang terbaik. "Aku tidak apa kalau Darren harus pindah ke sekolah yang lebih ringan biayanya, Diego. Bukan karena aku tidak percaya padamu, tapi biaya sekolah Darren yang sekarang benar-benar mahal," kata Anna waktu mereka mendaftarkan Darren ke SD. "Aku paham apa yang kau pikirkan, Sayang, tapi Darren sudah nyaman di sekolah yang sekarang, semua temannya melanjutkan di sekolah yang sama, dan aku juga mau anakku sekolah di sana. Percayalah padaku, aku siap menanggung anakku dan keluarga kita. Jangan pikirkan yang lain karena aku yakin Tuhan akan selalu membuka jalannya untuk kita!" Dan benar saja, sejak Diego dan Anna menikah, rejeki yang berlimpah ruah tidak berhenti memenuhi hidup mereka, mengalir seperti mata air yang tidak pernah h
"Mama, ayo foto!" Dua minggu setelah pernikahan, Diego dan Anna pun lanjut berbulan madu. Tidak lupa mereka membawa Darren dan Bik Nim. Sebenarnya Retha sudah menawarkan diri untuk menjaga cucunya itu agar Diego dan Anna bisa menikmati bulan madu, tapi mereka tidak mau meninggalkan putranya itu. Retha sendiri sudah diajak, tapi ia menolak dan lebih memilih liburan di kampung halamannya saja. Dan di sinilah mereka, bulan madu sekaligus liburan di Bali, pulau yang begitu eksotis dan sangat cocok untuk berlibur. Diego sendiri sebenarnya ingin mengajak Anna ke luar negeri, tapi mati-matian Anna menolak. "Kita sedang merintis karir lagi, untuk apa membuang uang hanya demi liburan? Kemarin pesta nikah saja sudah menghabiskan uang!" omel Anna waktu itu. "Tapi bisnis baru kita sudah mulai jalan, Sayang! Rejeki pengantin itu tidak akan ada habisnya, jadi tidak usah dipikirkan tentang uangnya, kita bisa mencarinya lagi!" "Tetap tidak, Diego! Jangan boros! Kita harus berhemat! Liburan di
"Akhirnya pesta usai juga!" Diego dan Anna akhirnya masuk ke kamar hotel mereka malam itu setelah serangkaian pesta yang panjang. Setelah melakukann pemberkatan nikah di pagi hari dan jamuan makan, mereka kembali menjamu undangan lain di malam hari. Pesta tanpa henti dan kebahagiaan tanpa henti juga. Dan setelah semuanya berakhir, Anna merasa sangat lelah. Anna pun langsung duduk di sofa yang nyaman, sedangkan Diego langsung menghampiri istrinya itu. "Aku akan membuatmu nyaman, Sayang." Dengan cekatan, Diego berjongkok untuk membukakan kedua sepatu Anna, lalu Diego membuka jasnya sendiri, sebelum ia duduk dan mengangkat kaki Anna ke pangkuannya. Diego memijati kaki Anna dengan lembut mulai dari tungkai sampai ke telapak kakinya. "Bagaimana rasanya?" "Hmm, enak sekali." "Bagian mana lagi yang pegal, Sayang? Aku akan memijatinya. Apa punggungmu pegal?" "Hmm, punggungku juga pegal, tapi aku harus melepaskan gaun ini dulu agar lebih nyaman." "Tentu saja, Sayang!" Diego memban
Cinta habis di orang lama. Mungkin ungkapan itu adalah kalimat yang paling tepat menunjukkan apa yang Diego dan Anna rasakan. Saat kehilangan Anna, Diego tidak pernah memikirkan cinta lagi. Di hatinya hanya ada hasrat untuk balas dendam, tapi hanya ada satu nama yang menjadi benci dan cintanya, Anna. Saat Diego kehilangan Anna lagi untuk kedua kalinya, Diego seperti mayat hidup. Cintanya sudah dihabiskan pada Anna dan sisanya hanya melanjutkan hidup. Begitu juga dengan Anna. Setelah kehilangan Diego, tidak ada lagi cinta dan ia hanya hidup untuk Darren. Saat Anna harus meninggalkan Diego untuk kedua kalinya, Anna menyimpan cinta di hatinya tetap untuk satu nama, Diego. Dan sekarang Tuhan mempersatukan mereka kembali. Cinta mereka memang habis di orang lama, tapi mereka saling menemukan dan kembali bersama. Kali ini untuk selamanya. Diego dan Anna bertatapan dengan penuh cinta. Senyum dan air mata bercampur menjadi satu, pancaran kebahagiaan tidak bisa ditutupi dari wajah kedua
"Kau gagah sekali, Diego!" Retha tersenyum sambil merapikan jas yang dipakai Diego pagi itu. Setelah dua bulan mempersiapkan pernikahan, akhirnya hari yang ditunggu pun tiba. Hari ini Diego dan Anna akan menikah lagi. Semua orang begitu antusias menantikan hari ini, termasuk Retha, seorang ibu yang sudah melihat bagaimana anaknya jatuh bangun mencintai wanita yang sama. "Terima kasih, Ibu! Aku bahagia sekali, akhirnya aku mendapatkannya lagi," ucap Diego penuh kesungguhan. Retha mengangguk. "Kau pantas mendapatkannya, Diego. Dan kali ini, Ibu yakin kalian akan bahagia selamanya." "Amin, Ibu!" Diego berpelukan dengan Retha. Hanya dengan restu ibunya itu, Diego bisa berdiri sampai detik ini. Tidak lama kemudian, Diego pun dipanggil memasuki venue acara dan Retha mengantar anaknya itu dengan penuh kebahagiaan. Diego menyapa semua orang yang hadir di acara mereka. Tidak banyak, Diego dan Anna hanya mengundang tidak lebih dari 50 undangan, hanya teman dan klien dekat, termasuk ay