Darren membelalak lebar saat akhirnya ia keceplosan. Darren pun menutup mulutnya seperti baru saja mengatakan hal yang tidak boleh dikatakan. Darren sudah berjanji pada Bik Nim untuk tidak mengatakannya pada siapa pun lagi. Namun, Diego sudah mendengarnya dan Diego sudah membelalak dengan sempurna juga. "Apa, Darren? Papa pukul Mama pakai sabuk?" Darren menggeleng. "Darren tidak tahu!" "Darren, jangan takut bicara dengan Uncle. Apa Darren lihat Papa pukul Mama pakai sabuk?" Mendadak Diego mendesak Darren sampai Darren makin menggeleng. Bertepatan dengan itu, bel sekolah pun berbunyi sampai Darren langsung tersentak kaget. Tet ...."Darren mau masuk kelas." "Darren, tunggu dulu! Uncle serius, apa Darren pernah lihat Papa pukul Mama?" "Bik Nim bilang Darren tidak boleh bilang siapa-siapa, nanti Papa marah." "Apa? Nanti Papa marah?" "Darren mau masuk kelas!" "Darren ...." Diego terus menahan Darren yang ingin kabur sampai sang guru melihat dan menghampiri mereka. "Maaf, Pak.
"D-Diego? Jadi pria yang kemarin ke sini adalah Diego?" Anna masih begitu tegang menyebut nama itu di depan Martha, tapi Martha malah mengangguk dan terlihat bersemangat. "Ya, Ibu berharap bisa bertemu dengannya untuk yang terakhir kalinya dan Tuhan mengijinkannya, Anna." "Bagaimana bisa ada kebetulan seperti ini? Dan dia ... bagaimana dia bisa menjadi begitu hebat, bahkan menjadi investor di perusahaan Jeremy. Dunia benar-benar sudah terbalik." "Tapi apa Jeremy tahu tentang masa lalu kalian? Atau jangan-jangan karena itu, dia mulai memukulmu?" Anna belum pernah bercerita tentang Diego. Semua ia ceritakan, kecuali tentang Diego. "Tapi jangan khawatir, Ibu sudah menceritakan semuanya pada Diego agar dia tidak salah paham lagi padamu, Anna." Anna membelalak kaget. "Apa yang Ibu ceritakan dan bagaimana dia bisa ke sini?" "Ibu menceritakan bahwa kau terpaksa meninggalkannya. Dia harus tahu kebenarannya agar dia tidak membencimu, Anna. Kau juga korban dari ayahmu!" Anna masih memb
Bik Nim sudah penasaran sejak mendengar suara klakson mobil. Bik Nim pikir Anna sudah pulang sampai akhirnya Bik Nim melangkah keluar. Namun, alih-alih Anna, Bik Nim malah melihat pria yang tidak ia sangka ada di sana. "P-Pak Diego? Apa yang Pak Diego lakukan di sini?" gumam Bik Nim yang melihat dari pintu gerbang yang terbuka sedikit. Bik Nim pun makin membelalak saat melihat Jeremy mendekati Diego dan kedua pria itu berhadapan di sana. Jantung Bik Nim sampai berdebar tidak karuan dibuatnya. "Apa yang mereka bicarakan di sana? Apa yang harus kulakukan? Yang satu mantan suaminya, yang satu suaminya. Bu Anna harus tahu tentang ini!" Bik Nim pun segera mengambil foto Jeremy dan Diego yang sedang berhadapan, lalu segera mengirimkan foto itu ke ponsel Anna. Anna sendiri masih terus menenangkan Martha yang gelisah saat ponselnya berbunyi dan sebuah pesan masuk dari Bik Nim. "Ibu tenang saja! Aku akan mengemasi barangku agar aku bisa sewaktu-waktu pergi dari sana." "Iya, Anna! Iya, S
Anna masih begitu gelisah saat sopir melajukan mobilnya pulang. Anna terus menatap ponselnya, berkirim pesan dengan Bik Nim yang melaporkan bahwa Diego sudah pulang. Dalam kegelisahannya, akhirnya Anna meminta pak sopir menjemput Darren dulu walaupun ini belum jam pulang. Entah mengapa, perasaan Anna sangat tidak enak setelah pulang dari rumah sakit tadi. Anna akhirnya menjemput Darren duluan dan memeluknya sepanjang perjalanan pulang. "Mengapa Darren pulang cepat, Mama?" "Tidak apa, Sayang. Kita di rumah saja ya." Pada saat yang sama, ponsel Anna berbunyi dan Diego meneleponnya lagi, tapi Anna terlalu tegang dan Anna tidak mungkin menjawab teleponnya di mobil karena ada pak sopir yang merupakan mata-mata Jeremy. Anna pun akhirnya me-reject telepon itu dan mengirimkan pesan pada Diego. Anna: "Apa yang kau lakukan di rumahku? Jangan pernah mencariku lagi, apa kau tidak paham ucapanku, Diego?" Diego yang sudah melajukan mobilnya pergi dari rumah Anna pun menepikan mobilnya di pi
"Darren, Sayang? Darren tidak apa kan, Sayang?" Anna menangis pedih melihat dahi Darren terluka. Tidak hanya berdarah, tapi juga membengkak dan biru. Anna pun menyeka bekas darah itu dengan hati-hati, tapi Darren terus meringis saat Anna melakukannya. Anna sendiri langsung membawa Darren ke kamar tadi dan tidak mempedulikan Jeremy yang masih marah-marah di ruang tamu. "Sakit, Mama! Papa ... jahat!" seru Darren dengan sisa sesenggukannya. "Maafkan Mama ya, Sayang! Maafkan Mama!" geram Anna dengan rahang yang mengeras. Sungguh, Anna ingin sekali membalas Jeremy dengan apa saja yang ia bisa. Hati Anna sakit, sangat sakit melihat Jeremy menyakiti Darren tepat di depan matanya. Namun, Anna tidak mau membuat masalah ini makin panjang dengan perlawanannya. Bisa-bisa Jeremy makin menyakiti Darren. "Bik Nim, kemasi barang-barang berharga kita karena kita akan segera pergi dari sini. Aku tidak tahan lagi. Apa pun yang terjadi, kita akan pergi dari sini!" Tentu saja kabur dari Jeremy sam
"Panggil satu teman dan berjagalah di rumah, Bram! Aku tidak mau mendadak Pak Diego datang lagi dan mencari Anna. Aku sudah kecolongan kali ini." "Tadinya kupikir ini hanya sebuah perselingkuhan yang akan berhenti saat ketahuan, tapi ternyata Pak Diego itu adalah sejenis pria tidak tahu malu yang terobsesi pada istri orang." Jeremy tertawa kesal, sebelum ia mengeluarkan berkas dari tasnya."Berkas ini aku yang akan membawanya langsung ke wanita tua itu.""Tanah di Merumata itu ... jangan harap mereka bisa menipuku! Anna selalu berpura-pura tidak punya apa-apa lagi, tapi ternyata Martha tua itu masih punya tanah yang begitu luas." Awalnya, Jeremy pulang cepat untuk menemui Anna tadi. Jeremy sudah mendengar dan mengincar tanah di kawasan Merumata, kawasan yang sedang sangat berkembang. Jeremy pun akhirnya memeriksa dan mengetahui bahwa ada sebagian besar tanah yang ternyata dimiliki Wijaya Group atas nama Martha. Jeremy pun bermaksud memaksa Anna menemui Martha agar Martha menandata
"Itu Uncle! Itu Uncle!" Saat Anna masih sibuk memukul pintu dan mencari apa pun untuk membuka pintu kamarnya, Darren malah sudah berlari ke jendela kamarnya. Darren naik ke kursi dan mengintip dari jendelanya yang cukup tinggi. Darren langsung memekik begitu melihat Diego di sana sedang menghajar security mereka. "Uncle pukul Pak satpam!" seru Darren lagi yang membuat Anna langsung membelalak. Anna ikut berlari ke jendela dan ia benar-benar melihat Diego di sana. Untuk sesaat, Anna merasa Diego seperti seorang pangeran berkuda putih yang datang menyelamatkannya dari penyihir jahat. Namun, sedetik kemudian, sebuah kenyataan menamparnya. Bukan! Diego bukan datang untuknya, tapi untuk Darren. Ya, Diego datang untuk Darren. Tapi apa pun itu, Anna harus berusaha keluar dari sini dan menyelamatkan Darren juga. Entah apa maksud Jeremy mengunci pintu kamar Anna, padahal biasanya tidak. Tapi firasat Anna mengatakan, kalau Anna tidak berhasil kabur kali ini, maka Anna akan terkurung selam
"J-Jeremy?" Jantung Martha memacu begitu kencang melihat Jeremy di sana. Bukan berdebar karena takut, tapi berdebar karena amarah yang tidak tertahan lagi. Pria di hadapannya itu adalah pria jahat yang sudah menyiksa Anna dan Martha sangat membencinya. Jeremy yang masih mengira Martha ada di pihaknya pun masih tersenyum ramah dan melangkah mendekati ranjang Martha. "Apa kabar, Ibu? Aku senang melihat Ibu yang sudah bangun. Kata suster, kondisi Ibu sempat menurun. Apa yang Ibu rasakan?" Jeremy menatap Martha dari dekat dan ekspresinya masih penuh dengan perhatian, berakting menjadi menantu yang sangat sempurna. Tentu saja Martha yang kemarin akan mengira Jeremy benar-benar menantu yang baik. Namun, Martha yang sudah mengetahui semuanya tidak akan termakan oleh akting busuk Jeremy. "Aku merasakan sakit, Jeremy! Sangat sakit!" sahut Martha penuh dendam. Jeremy memicingkan matanya tidak mengerti, tapi Jeremy mengangguk dan tidak mau memperpanjangnya karena memang tujuannya b
"Terima kasih untuk bantuan dan perawatannya selama ini!" Anna benar-benar berterima kasih dari hatinya yang paling dalam untuk dokter dan suster yang merawatnya selama berminggu-minggu ia dan Diego menginap di rumah sakit. "Sama-sama, Bu Anna! Kami senang sekali melihat Bu Anna dan Pak Diego bisa keluar dari rumah sakit dalam kondisi yang stabil." "Aku juga senang, Suster. Aku sudah tidak sabar pulang ke rumah. Istirahat di rumah jauh lebih menyenangkan." "Tentu saja, Bu! Jangan lupa untuk menjaga kesehatan ya." Hari itu akhirnya Anna dan Diego diijinkan keluar dari rumah sakit. Tentu saja mereka harus tetap kontrol rutin dan membatasi aktivitasnya. Mereka masih belum boleh beraktivitas berat dan terlalu lelah karena tubuh mereka masih adaptasi.Biasanya pasien transplantasi butuh waktu beberapa bulan sampai satu tahun untuk bisa beraktivitas normal, tergantung pemulihan masing-masing. Dokter juga sudah menjelaskan bagaimana Anna dan Diego harus beraktivitas di rumah nanti. Mer
"Apa aku sudah cantik, Joyce? Apa ini tidak terlalu menor?" Anna berdandan hari itu karena setelah beberapa hari dirawat, Diego akhirnya akan keluar dari ruang isolasi dan dipindahkan ke kamar rawat inap biasa. Ini akan menjadi pertemuan pertama antara Anna dan Diego secara langsung tanpa ada batasan kaca dan jantung Anna kembali berdebar kencang. Joyce yang melihatnya sampai terus tertawa sendiri. Di umur Anna yang sudah matang, tidak seharusnya Anna heboh sendiri seperti ini, tapi Joyce paham, sangat paham. Bahkan, Joyce ikut tidak sabar menantikan pertemuan itu. "Sudah cantik, Anna! Sama sekali tidak menor! Aku yakin Diego tidak akan berkedip melihatmu!" Anna tergelak mendengarnya dan mendadak tersipu sendiri. Tidak lama kemudian, Darren pun datang bersama Bik Nim dan Retha. "Mama!" "Darren Sayang!" Anna memeluk anak kesayangannya itu. Anna sendiri sudah mulai belajar berjalan, tapi karena tubuhnya masih adaptasi, Anna masih harus memakai kursi roda untuk berpindah tempat.
"Diego sudah sadar, Anna! Diego sudah sadar!"Akhirnya Anna mendengar kabar yang ingin ia dengar. Anna sampai tidak bisa beristirahat sepanjang sisa hari itu karena ia memikirkan Diego-nya. "Kau yakin, Joyce? Kau tidak berbohong kan? Kau sudah melihatnya? Apa itu benar? Diego sudah sadar?" "Diego sudah membuka matanya. Aku bertemu dengan dokter dan suster di bawah." "Ya Tuhan! Syukurlah! Syukurlah Diego sudah membuka matanya." Anna kembali menangis malam itu, tapi tangisan ini tangisan bahagia. "Terima kasih, Tuhan! Terima kasih! Tapi aku mau melihatnya, Joyce! Aku mau melihatnya!" "Sabar dulu, Anna! Kata suster, Diego baru saja membuka matanya malam ini dan dia belum boleh dijenguk oleh siapa pun. Dokter juga harus memastikan Diego stabil setidaknya sampai besok. Besok baru kita bisa melihatnya." "Tapi aku ingin melihatnya sebentar saja." "Sepertinya tidak bisa, Anna. Diego ada di ruang isolasi yang peraturannya sangat ketat. Kita harus bersabar sampai besok. Aku juga akan me
"Maaf, Bu. Waktu kunjungan yang diijinkan oleh dokter sudah habis. Anda harus keluar dulu ya." Seorang suster tersenyum ramah pada Anna yang masih menggenggam tangan Diego."Sebentar lagi saja, Suster. Aku masih merindukannya ...." "Maaf, Bu, tapi aturan di ruang isolasi sangat ketat. Makin lama Anda di sini, resiko pasien akan makin besar." Anna tersenyum lirih sambil terus membelai tangan Diego dalam genggamannya. Anna pun mengangguk dan dengan enggan mengucapkan perpisahannya dengan Diego. "Diego, aku harus pergi dulu karena suster tidak mengijinkan aku terlalu lama. Tapi aku menunggumu. Ingatlah kalau aku menunggumu. Kau harus segera sadar. Kau mengerti?" Anna mencium tangan Diego dan menatapnya lekat, sebelum akhirnya Anna mengangguk menatap suster. Suster pun mendorong kursi roda Anna menuju ke pintu keluar. Namun, belum sempat mereka keluar, suara bip yang lebih cepat dari biasanya terdengar dari monitor di ruangan Diego. "Sebentar, Bu!" Suster langsung berhenti mendoro
"Di mana aku?"Diego berjalan sendirian di tengah taman yang luas. Langkahnya ringan, nyaris tanpa suara, seolah-olah ia hanya melayang di atas tanah. Di sekelilingnya, pohon-pohon tinggi menjulang, daunnya berwarna keemasan seakan diterpa cahaya matahari senja yang lembut. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan bunga yang bermekaran. Namun, ada sesuatu yang aneh, tidak ada suara burung, tidak ada suara angin yang berdesir di antara dedaunan. Hening. Sepi.Diego menunduk, memperhatikan dirinya sendiri. Bajunya putih bersih, kakinya tidak beralas, tapi ia tidak merasakan dingin atau pun panas. Rasanya kosong, seakan-akan tubuhnya bukan lagi miliknya. Ini ... mimpi? Atau ... apakah ia sudah mati?Tiba-tiba, di kejauhan, Diego melihat sesuatu yang begitu indah. Anna-nya berdiri di bawah sebuah pohon sakura yang sedang berbunga, angin menerbangkan kelopak-kelopak merah muda di sekitarnya. Wajah Anna berseri-seri, tubuhnya tampak sehat, tidak lagi pucat dan lemah seperti tera
"Dokter, tolong katakan padaku siapa yang mendonorkan hatinya padaku! Tolong, Dokter!" Dokter visit sore itu ke kamar Anna dan Anna mendesaknya untuk memberitahu identitas pendonornya, tapi sang dokter yang sudah terikat janjinya kukuh tidak memberitahukan apa pun. "Maaf, ini permintaan dari pendonor untuk identitasnya dirahasiakan." "Tapi pendonornya dari keluargaku kan? Mana dia? Aku mau melihatnya, Dokter! Dia keluargaku kan?" Sang dokter nampak salah tingkah dan melirik suster yang sudah keceplosan itu."Maaf lagi, Bu Anna! Tapi Anda baru saja sembuh, Anna harus tenang dulu!" "Aku tenang, Dokter! Aku sangat tenang. Aku hanya mau tahu siapa yang sudah mendonorkan hatinya padaku, aku harus berterima kasih padanya." "Seperti yang sudah kubilang, kami tidak bisa memberitahukan identitas pendonor. Tolong istirahat, Bu Anna!" Dokter dan suster akhirnya berhasil keluar dari kamar itu tanpa memberitahukan apa pun pada Anna, tapi begitu Joyce masuk, Joyce yang menjadi sasaran Anna.
Empat hari berlalu sejak Anna sadar dan kondisi Anna sudah benar-benar stabil, Anna pun akhirnya dipindahkan ke kamar rawat inap biasa dan semua orang pun bernapas lega karenanya. Anna sudah bisa duduk di ranjangnya walaupun belum bisa terlalu lama karena rasanya masih pegal. Terkadang ada rasa aneh di tubuhnya karena menurut dokter, organ-organ Anna masih beradaptasi lagi. Tapi kondisi Anna sudah sangat aman."Pak Rusli, Anda datang!" sapa Anna saat Pak Rusli menjenguknya untuk pertama kalinya sejak Anna sadar. Sebelumnya, Anna ditempatkan di ruang isolasi yang tidak bisa sembarangan dijenguk, sehingga Pak Rusli baru datang sekarang. "Bu Anna, aku senang sekali melihat Anda sudah sadar. Ini benar-benar mukjizat. Aku sedih sekali saat tahu Anda pergi dan menyembunyikan penyakit Anda." "Semua sudah berlalu, Pak Rusli. Tapi Tuhan baik, Tuhan sangat baik. Tuhan mengijinkan kita memenangkan kasus dengan Jeremy dan Tuhan memberiku kesempatan hidup kedua." "Anda benar, Bu Anna. Tuhan s
Cahaya putih yang menyilaukan menusuk kelopak mata Anna saat ia membuka matanya. Ada sensasi berat di tubuhnya, seolah ia baru saja melewati sesuatu yang sangat besar. Dadanya terasa sesak, dan ada selang oksigen yang membantu pernapasannya. Semua terasa asing, tapi juga … ringan.Anna berkedip beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan ruangan di sekelilingnya. Dinding putih, bau antiseptik yang menusuk, serta suara monitor jantung yang berdetak pelan di sampingnya. Pandangannya masih buram, tapi ia bisa melihat bayangan beberapa orang di sekitarnya. "Anna, kau sudah sadar? Anna ...."Anna mengenali suara Joyce yang penuh kecemasan. Perlahan pandangannya mulai jelas dan benar saja, wajah Joyce terlihat di hadapannya. Sahabatnya itu membungkuk sambil tertawa haru. "Anna ... kau lihat aku? Kau kenal aku kan?" "J-Joyce ...."Anna mencoba berbicara, tapi tenggorokannya kering, suaranya hanya keluar sebagai bisikan. Ia mencoba menggerakkan tangannya dan Joyce langsung menggenggamn
"Bu Martha, aku tahu Anda sudah tenang di sana. Aku tidak akan mengganggu Anda. Aku hanya ingin meminta ... kalau Anda dekat dengan Tuhan, tolong minta keselamatan ... bukan untukku, tapi untuk Anna." "Anna akan dioperasi dan restuilah agar operasi ini berjalan lancar. Maaf waktu itu aku terlambat mengetahui semuanya. Maaf aku tidak sempat menyelamatkan Anda. Tapi kali ini ... aku janji akan menyelamatkan anak Anda." "Aku janji akan membuat anak Anda bahagia. Aku janji, Bu Martha. Aku hanya meminta restu Anda ...." Diego menatap langit penuh bintang malam itu dan berharap Martha bisa mendengarnya. Semua pemeriksaan sudah dielesaikan dalam beberapa hari berikutnya dan Diego dinyatakan siap melakukan operasi transplantasi hati itu. Jadwal operasi pun sudah dibuat dan besok, Diego akan memberikan hatinya untuk wanita yang sangat ia cintai itu. Semua orang sudah merestui, entah terpaksa atau tidak, Diego sudah tidak mau memikirkannya lagi. Diego hanya minta doa agar semuanya dilanca