Marco memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Jarak empat jam perjalanan, terasa begitu jauh di saat kegelisahan menyelimutinya.
Pikirannya kalut, seolah gumpalan kabut tebal memenuhi kepalanya. Diabaikannya beberapa rambu jalan, hanya untuk menghemat beberapa menit waktunya.“Om Marco, tolong aku. Perutku sakit sekali.” Suara itu terus terngiang di telinganya, seolah penyemangat baginya untuk memacu lebih kencang kendaraan yang dinaikinya.Seandainya terjadi sesuatu pada Cassandra, tentu Marco akan sangat menyesal. Ia tidak ingin itu terjadi. Oleh karena itu, tanpa berpikir panjang ia memutuskan untuk pulang.Apa jadinya jika benar di dalam perutnya ada sebuah nyawa. Irfan tentu akan sangat marah. Ini adalah sebuah mimpi buruk yang tak boleh terjadi.Bukan masalah jika dirinya yang akan dihukum, tapi membayangkan gadis yang dicintainya harus menderita karena ulahnya, rasanya sangat tidak adil.“Kamu nggak papa, kan?” Irfan menepuk pundak Marco. “Eh, kenapa Kak?” Marco yang sejak tadi sibuk dengan pikirannya sendiri, terkejut menyadari kehadiran kakaknya.Irfan menautkan kedua tangannya di atas meja. Ia menatap wajah adiknya dengan pandangan menyelidik. “Apa ada sesuatu yang mau kamu sampaikan?” tanya Irfan penuh kecurigaan. Marco balas menatapnya. Perlahan di gelengkan kepalanya. “Nggak ada, semuanya baik-baik saja,” sahutnya.“Jadi … kamu nggak mau menceritakan tentang kemajuan program launching Phopo?” Marco bernapas lega. Sejenak ia berpikir jika Irfan sudah mengetahui semua yang terjadi antara dirinya dan Cassandra. Ia tidak tahu apa yang terjadi seandainya berita kehamilan Cassandra diketahui oleh ayahnya. “Tentang itu, aku berhasil menyewa taman kota. Dan aku juga sudah menghubungi beberapa event organizer untuk mengatur dekorasi dan juga rancangan yang sudah aku s
Melihat raut wajah Cassandra, membuat Marco merasa semakin penasaran. Lelaki itu merebut lembaran kertas itu dari tangannya dan melihatnya sendiri. “Tes urine bla bla bla negatif,” lirih Marco. Tak ada hal lain yang ingin diketahuinya lagi. Ia melipat kembali lembaran kertas di tangannya. Tepat saat itu, Cassandra merasakan cairan keluar dari bagian intimnya. Spontan ia menatap lelaki di hadapannya dengan mata membulat. “Sudah, Om. Tamunya sudah datang,” lirihnya dengan malu-malu. Marco bernapas lega. Setidaknya semua hal buruk yang hinggap dalam pikirannya tidak pernah terjadi. Lelaki itu tersenyum lega. Dicubitnya pipi keponakannya itu dengan gemas. Semua rasa ketakutan selama beberapa hari ini, lenyap dalam seketika. “Mulai sekarang, kamu harus menandai dengan benar kalendermu,” saran Marco. “Kamu sudah besar. Harus bisa merawat dan menjaga diri sendiri.” Cassandra mencebik kesal. “Kenapa? Om takut kalau bayi i
“Menjauhlah, jika ada perempuan di dekat Om.” Tiba-tiba saja Marco seperti mendengar suara Cassandra. Ia membuka matanya. Betapa terkejutnya dia, ketika melihat Cassandra berada di hadapannya.“Tidak!” Tanpa sadar, Marco menepis tubuh Micha yang terlihat seperti keponakannya, hingga gadis itu terguling di sebelahnya. Micha menatapnya dengan heran. Baru kali ini ia mendapatkan perlakuan kasar dari seorang pria. “Om, ada apa? Apa ada yang salah?” tanya Micha masih keheranan. Padahal ia merasa sangat yakin bahwa pria yang menjadi kencannya ini sudah berhasil ia taklukkan. Tinggal sedikit lagi, dan semua urusannya beres. Marco memijat keningnya yang terasa berdenyut. "Maaf … maaf. Sepertinya aku kurang fit hari ini. Perjalanan jauh dan urusan pekerjaan membuatku benar-benar kelelahan,” akunya. Micha tersenyum. Ia menyentuh perut berotot lelaki di sampingnya, mencoba untuk merayunya kembali."Kalau Om kelelahan, Micha bisa pijat Om dulu," tawarnya dengan kerlingan yang menggoda. "Jang
Marco mengerjapkan matanya. Ia benar-benar tak bisa mempercayai apa yang dilihatnya. Gadis itu sedang berbaring di ranjangnya. Wajahnya pucat tanpa polesan make up sedikitpun. “Jadi … kamu beneran di rumah?” tanyanya tak percaya.“Dih! Memangnya aku mau kemana pagi-pagi gini?” sahut gadis itu tak mau kalah. “Ah … Sandra tahu deh. Om Marco pingin Sandra temani, ya, di sana.”Marco menghela napas lega. Mungkin konsentrasinya benar-benar sudah kacau. Mungkin perasaannya sudah menguasai akal sehatnya sehingga ia bisa salah mengenali orang. “Kamu … baik-baik saja, kan, di sana?” tanya Marco dengan perasaan canggung. Ia merasa bersalah karena telah berpikiran buruk pada keponakannya itu. “Tidak.”“Apa perutmu masih sakit?” tanya Marco. Ia melihat wajah pucat keponakannya dengan cemas. “Bukan, perutku sudah membaik. Tapi aku masih merasa tidak baik-baik saja, Om,” sahutnya.“
Marco menghampiri keduanya. Wajahnya memerah karena marah. “Cassandra! Apa yang kamu lakukan!”Semua mata kini menatap mereka. Sebuah adegan yang benar-benar memalukan dan mencoreng nama baik perusahaan. Marco meraih tangan keponakannya dan menggenggamnya dengan kuat. Genggaman itu terasa sangat menyakitkan bagi Cassandra. Gadis itu berusaha melepaskan genggaman tangan pamannya. “Maaf atas ketidaknyamanan ini, silahkan menikmati fasilitas sebelum acara utama dimulai,” ucap Marco sembari membungkukkan badannya pada semua tamu yang menatap mereka.Marco menarik tangan Cassandra dan membawanya menjauh dari keramaian. Tak dihiraukannya Zissy yang masih kebingungan tak tahu harus berbuat apa pada gaun putihnya yang kini bernoda merah. “Apa-apaan ini?” tanya Marco setelah merasa cukup aman untuk berbicara berdua. “Kenapa tiba-tiba kamu menjadi liar, Cassandra?”Cassandra meletakkan kedua tangannya bersedekap di depan dada. Ia sama sekali tidak merasa bersalah atas kejadian itu. “Om Mar
Marco mulai menggila. Ia menarik turun, melepas kain renda berwarna hitam yang menutup bagian intim wanitanya. Namun baru saja ia bersiap untuk menikmati wanitanya, suara deringan terdengar di ponselnya. Sejenak Marco melirik benda pipih itu. Terlihat nama kakaknya mengambang di layarnya. Marco mengerutkan keningnya. Tidak biasanya Irfan menghubunginya di tengah malam seperti ini. Tanpa menunggu lama, ia menerima panggilan itu. “Marco! Apa kamu bersama Cassandra? Apa kamu menyewakan sebuah kamar dan membiarkan dia menginap di sana? Kenapa dia tidak ada di rumah?” Irfan melontarkan banyak pertanyaan sekaligus. Pertanyaan-pertanyaan yang membuat Marco mendadak panik.“Jadi … dia tidak pulang?” tanya Marco. Ia segera menutup resleting celananya dan merapikan kemejanya. “Kakak jangan khawatir. Aku akan mencarinya sampai ketemu sekarang.”Zissy hanya bisa menatap punggung Marco yang lenyap di balik pintu. Tangannya menge
“Rex, harder!” perintah Reana pada suaminya. Lelaki itu mempercepat gerakan maju mundurnya mengikuti suara napas istrinya yang semakin cepat. Ia memacu, mengejar kenikmatan yang ingin direguknya bersama-sama.Reana meremas bed cover berdesain LV itu kuat-kuat. Punggungnya melengkung dengan estetik. Kepala mendongak dengan mata terpejam penuh kepuasan. “Ini gila! Ini benar-benar gila!” teriak Marco. Lagi-lagi lelaki itu mendobrak pintu kamar Rexy.Melihat aktifitas suami istri yang sedang di kacaunya, spontan Marco berbalik dengan cepat. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal saking canggungnya.Reana menarik selimut untuk menutupi tubuhnya dan langsung masuk ke dalam kamar mandi. “Sial! Rex, kita harus benar-benar memecat Markonah sekarang!” geram Reana yang merasa terusik oleh kedatangan Marco. Rexy memakai kembali pakaiannya dengan cepat. Ia yakin, Marco sedang membutuhkan pendapatnya sebagai teman. Sesuatu yang b
“Kira-kira apa ya, kode masuknya?” Cassandra mencoba menekan nomer sesuai tanggal lahir Marco. Ia mendecak kesal saat mengetahui bahwa angka itu juga tidak disesuai. Kesempatan terakhir. “Hmm … mungkin nggak, sih, Om Marco pake tanggal lahirku?” tebaknya. “Udahlah, aku coba saja. Siapa tahu benar.”Sedikit keraguan, tapi Cassandra tetap memasukkan enam digit angka kelahirannya. Dan gadis itu bersorak kegirangan ketika warna hijau berkedip pada lampu indikatornya.Hati Cassandra berbunga-bunga. Tentu saja karena ia merasa pamannya tidak benar-benar ingin melupakannya. Lelaki itu memakai tanggal kelahirannya menjadi kode masuk apartemennya adalah sebuah bukti kalau ia selalu mengingatnya. Satu hal yang sekarang diyakininya, bahwa cinta yang dirasakannya saat ini tidak bertepuk sebelah tangan, seperti yang ada di pikirannya semula.Cassandra menatap sekeliling ruangan apartemen itu. Lumayan rapi jika diukur sebagai tempat tinggal
Sepasang insan itu menikmati kebersamaan mereka. Tak ada lagi kecemasan dalam pikiran mereka. Semua keraguan dan kecemasan yang beberapa hari terakhir dirasakannya, menghilang dalam sekejap. Keduanya seakan berlomba untuk saling memuaskan satu sama lain dalam degup irama jantung yang sama kencangnya.“Om,” desah suara itu memanggil kekasihnya. Marco menghentikan hentakannya. Ia menatap wajah lelah istrinya yang telah dipacunya beberapa menit berlalu. Dikecupnya bibir merahnya dengan senyuman mengembang. “Sampai kapan kamu akan memanggilku seperti itu?” godanya. “Apa kamu ingin semua orang menganggapmu sugarbaby ku?” Cassandra menarik sudut bibirnya, memberikan seulas senyuman manjanya. “Suamiku. Atau sayangku. Mana yang lebih baik menurutmu?” Marco memautkan jari jemari ke tangan istrinya. Sepasang matanya seakan tersenyum lembut bersama dengan bibirnya.“Keduanya terdengar sexy, asal keluar dari bibirmu,” bisiknya. Lelaki itu kembali mencumbu istrinya, menyerangnya dengan gelit
Marco terkesiap saat melihat Cassandra di depan pintu. Ia tidak menduga Cassandra harus terlibat dalam masalah ini. Seharusnya semua rencananya berhasil, jika saja Dave tidak dengan sengaja membawa istrinya ke tempat itu. Ia bahkan dapat melihat senyum lelaki itu saat mengikuti langkah Cassandra masuk ke dalam kamarnya. Namun Marco tidak ingin semua rencananya berantakan. Ia segera menutup pintu sesaat setelah Dave masuk. Dan pertunjukan utama pun dimulai. Cassandra melihat seorang gadis, kedua tangannya terikat menjadi satu dan Rexy sedang berdiri tepat di hadapannya. “Om Rexy? Dan kamu … bukankah kamu Shereen? Apa yang kalian bertiga lakukan di kamar ini?” Tentu saja Cassandra kebingungan melihat keberadaan mereka di tempat itu. Semua pikiran buruk tentang perselingkuhan suaminya, langsung dimentahkan karena kehadiran Rexy. “Tidak, bukan seperti itu pertanyaannya, Sandra,” sahut Rexy. “Seharusnya kamu minta Dave menjelaskan semuanya. Bagaimana ia tahu Marco ada di hotel ini
“Ngapain kamu bawa aku kemari?” Cassandra menatap curiga lelaki di sampingnya. Ia mulai gelisah. Perasaannya makin tak tenang saat lelaki itu memutar kemudinya memasuki lobi hotel berbintang empat itu. “Seperti yang aku katakan. Aku punya janji minum dengan Indra, interior desainer yang aku ceritakan tadi,” sahut Dave dengan tenangnya. Cassandra menatap lelaki itu dengan sudut matanya. Ia terus memperhatikan gerak-gerik lelaki yang dikenal dengan sifat buruknya – pemain wanita.Dave tersenyum tipis saat mengetahui Cassandra menatapnya penuh kecurigaan. “Apa?” tanyanya sembari tertawa terkekeh. “Kenapa kamu menatapku seperti itu? Apa kamu mulai menyadari bahwa teman kamu yang satu ini terlihat tampan?” Cassandra mengalihkan perhatiannya. “Iya, sebenarnya kamu cukup tampan. Tapi –” “Tapi? Tapi apa?”“Kenapa kamu sampai sekarang belum juga menikah?” ungkap Cassandra karena tak tahan lagi dengan sikap lelaki itu. Lelaki itu tersenyum lebar. “Karena aku sedang menunggu seseorang. Se
“Aku akan segera pulang setelah melakukan survey lokasi.” Marco mengatakan dengan jelas alasan kepergiannya kepada istrinya. “Hanya satu malam, Sayang.” “Tapi ….” Cassandra mendecak kesal. “Aku benci tidur sendirian, Om.”“Aku janji, seandainya nanti semuanya selesai tidak terlalu larut, aku akan langsung kembali,” sahut Marco. Cassandra mengerucutkan bibirnya. Seandainya saja Marco mengajaknya, ia pasti mau ikut bersamanya. Tapi ia malu untuk terlihat posesif terhadap suaminya. “Baiklah. Kabari aku setelah kamu sampai di tujuan,” pinta Cassandra. Marco menganggukkan kepalanya, tanda menyetujui permintaan istrinya. “Tentu saja,” ucapnya. Ditatapnya wajah manis perempuan yang ada di dalam pelukannya. Rasa hangat pelukan Marco, membuat perasaan gelisah di hati Cassandra memudar. Hatinya seharian ini memang merasa tak tenang, seperti merasakan sebuah firasat buruk tentang suaminya. Namun ia tak bisa menemukan sesuatu yang tak seharusnya. Bahkan dia percaya suaminya tak akan pernah
Shereen mengunci pintu ruang kerja Marco. Dengan liar kedua tangannya mengunci ciumannya dari belakang tengkuk Marco. Perempuan itu memeluk Marco dan melumat bibir lelaki itu dengan penuh hasrat.“Hentikan Shereen,” lirih lelaki itu. Marco meraih pinggang ramping gadis itu dan menyentakkannya agar ia melepaskan pelukannya.Tak bisa disangkal, sebagai seorang pria normal tentu saja penampilan dan sentuhan sensual gadis itu membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Marco seakan dibawa ke sebuah petualangan baru yang tak pernah dirasakannya sebelumnya. “Bukankah ini menyenangkan?” bujuk gadis itu. “Hentikan semua omong kosong ini. Aku sudah punya–”“Istri? Aku tidak menyuruhmu menikahiku,” sambung Shereen yang tak mau mendengar sebuah penolakan. “Aku cuma ingin seseorang ada di sisiku ketika aku kesepian. Ada seseorang yang peduli padaku saat aku kesakitan.”“Keluarlah.” Marco menyingkirkan sepasang tangan yang masih enggan lepas dari lehernya itu. “Keluarlah sebelum aku memanggil sek
Cassandra berjalan selangkah demi selangkah mendekati Marco. Sepasang matanya menatap laki-laki itu dengan tatapan dinginnya. Tatapan dingin yang membuat jantung Marco seakan hampir berhenti berdetak. “Mati aku! Apa dia tahu sesuatu? Sepertinya Shereen tidak main-main dengan ancamannya.”Dengan kedua tangannya, Cassandra mendorong tubuh Marco, hingga membuat tubuh lelaki yang tidak siap menghadapinya itu limbung dan jatuh terjengkang. Marco menelan kasar salivanya. Panik! Itu yang saat ini dirasakannya. Apalagi saat melihat Cassandra yang seakan tak mau melepaskannya. Namun tiba-tiba ia merasakan sentuhan lembut di bagian tengah tubuhnya. Bagian yang masih berdiri menantang itu, kini berada dalam genggaman tangan Cassandra. Sentuhannya bahkan membuat jagoan Marco itu semakin mengeras. “Tadi … kamu kenapa?” tanya Marco ragu, “apa ada yang salah?”Cassandra menggelengkan kepalanya. “Aku cuma nggak nyaman aja, ruangannya terlalu sempit dan … keras.” Marco menghela napas lega. Ia ta
Aroma jasmin menguar di ruangan yang terasa hangat itu. Suara air yang mengalir memenuhi bak mandi, menyamarkan debaran jantung keduanya. Marco dapat merasakan betapa lembut dan lembabnya kulit kekasihnya, saat tangannya menyentuh tubuhnya. Ia dapat merasakan hasratnya yang membara saat tubuh mereka bersentuhan. Marco menangkup sepasang tangannya di dada kekasihnya, merasakan sensasi kenyal yang mempermainkan hasratnya. Lelaki itu mendaratkan kecupannya di leher jenjang istrinya, merasakan denyutan nadi yang seolah menjerit saat disentuhnya. Suara desah lolos dari bibir Cassandra. Dengan pasrah, ia menyandarkan kepalanya ke dada suaminya dan memberikan keleluasaan baginya untuk menikmati tubuhnya. Ia sungguh menikmati permainan tangan suaminya dan sentuhan basah di lehernya menciptakan percikan-percikan yang membangkitkan hasratnya. Lelaki itu memutar tubuh kekasihnya. Ditatapnya wajah cantik yang tak pernah bosan dilihatnya itu. “Aku mencintaimu Sandra, cuma kamu. Biar apapun ya
Marco mengerjapkan matanya. Ia benar-benar terkejut ketika menyadari dirinya berada di tempat yang sama sekali asing baginya. Ia mencoba mengingat kejadian terakhir yang tersimpan di memorinya. Suara gemericik air, menyadarkan dirinya bahwa ia tidak sendirian. Lelaki itu semakin terkejut ketika melihat beberapa foto yang terpampang di dinding ruangan itu. “Om sudah sadar rupanya.” Suara itu terdengar seiring dengan pintu kamar mandi yang terbuka. “Sher!” Marco menyadari bahwa dirinya berada di dalam apartemen Shereen, seorang model terpilih perusahaannya. Ia masih ingat bagaimana gadis itu menelponnya dengan ketakutan. Gadis itu tersenyum lebar. “Aku tahu Om akan datang. Aku tahu, Om akan meninggalkan istri Om buat aku,” ucapnya dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya. “Persis seperti yang Dave katakan.”“Dan yang lebih penting, alam seakan mendukung niatku. Om pingsan tepat di depan pintu apartemenku.”Marco segera bangkit dari sofa, tempatnya terbaring tadi. Ia menatap gadi
Shereen mengulurkan tangannya. Mendengar tawaran yang menguntungkan seperti ini, tentu saja tidak mungkin disia-siakan olehnya. Bukan karena ia tidak menginginkan kompensasi pembatalan kontrak bernilai ratusan juta itu, tapi ia sadar jika ia membatalkan sebuah kontrak bernilai besar seperti ini akan membuat namanya juga menjadi buruk. Tidak akan ada lagi orang yang berani menawarkan kontrak apapun kepadanya. Selain itu, firasat Shereen mengatakan bahwa Marco akan menuruti apapun keinginannya. Marco sudah berada di dalam genggaman tangannya. “Om yakin?” tanya gadis itu. “Om akan melindungi aku, menjaga aku dalam setiap kegiatan yang akan aku lakukan?” Marco menganggukkan kepala menyetujui ucapan Shereen, walau ia tahu itu tidak mungkin dilakukannya. Pekerjaannya cukup banyak, dan waktu sepanjang dua puluh empat jam bahkan tidak akan cukup jika harus ditambah dengan tugas sebagai seorang bodyguard. Tapi ia tetap menganggukkan kepalanya, yang terpenting gadis di hadapannya tidak mem