“Miller sedang mengadakan pesta perpisahan. Dia akan kembali ke negaranya. Dan dia mengundangku ke acara itu. Apa kamu bisa menemaniku?” tanya Marco pada gadis yang terlihat manyun di depannya. Cassandra merasa kesal seharian ini. Ia tidak mendapatkan satupun ucapan selamat di hari ulang tahunnya. Tidak dari orang yang dicintainya, juga dari sahabatnya Hani. Seperti semua orang sedang melupakan keberadaannya. “Baiklah,” sahutnya dengan perasaan kecewa. “Aku sudah membuat janji dengan Clairys Salon. Pergilah, ke sana. Aku tidak mau terlihat buruk di depan Miller,” perintahnya. Cassandra menghela napas. Ia berdiri dari kursinya dan pergi meninggalkan Marco dengan perasaan kesal. “Bagaimana bisa dia melupakan hari kelahiranku, di saat yang sama dia memakainya untuk membuka pintu apartemennya,” batin Cassandra. “Dan kenapa dia sampai memintaku ke salon kalau hanya sekedar untuk datang ke acara perpisahan relasi bisnisnya. Benar-benar menyebalkan!”Walau merasa kesal, namun gadis itu
Cassandra memegang pipinya yang terasa panas karena tamparan itu. Ia masih belum pulih dari rasa terkejutnya, tatkala wanita itu kembali mencerca. “Kamu memang nggak punya malu! Bahkan adik kandung papa kamu sendiri, kamu goda,” teriaknya. “Dasar perempuan jalang!” Marco menjentikkan jarinya, memberikan isyarat pada para penjaga keamanan yang disewanya, untuk mengatasi masalah itu. “Nyonya Zissy! Apa kamu bisa membuktikan bahwa aku adalah ayah bayi yang ada dalam kandunganmu?” tanya Marco. “Aku akan bersabar hingga bayi itu lahir untuk melakukan test DNA.”Dua orang penjaga mencekal lengan Zissy. Sekuat apapun wanita itu meronta, kedua lelaki itu tak melepaskannya. “Dan satu hal lagi yang belum kamu ketahui. Cassandra bukan putri kakakku,” lanjut Marco. Sepasang mata wanita itu membulat. Jika gadis itu bukan keponakan Marco, maka tak ada gunanya ia melakukan semua upaya ini. Cassandra mundur selangkah demi selangkah sebelum benar-benar meninggalkan ruangan itu. Pesta megah yan
Marco menatap kakaknya yang menghampirinya. Ia melihat lelaki itu melepaskan troli berisi tas koper bawaannya, hanya untuk menghampirinya. “Kakak,” sambut Marco saat keduanya sudah dekat. Namun Irfan membalas sambutan itu dengan sebuah tamparan keras di pipinya. Wajahnya terlihat sangat serius. Mona terkejut melihat reaksi suaminya. Ia bergegas menghampiri keduanya untuk melerai. Tentu saja akan sangat memalukan jika kedua kakak beradik itu bertengkar di bandara.“Apa kamu ini benar-benar sudah gila? Bisa-bisanya kamu membuat kekacauan seperti ini,” geram Irfan.Marco menelan kasar salivanya. Lidahnya terasa kelu, tak bisa menyampaikan pembelaan atas dirinya sendiri. “Maaf.” “Cuma itu yang bisa kamu katakan!” hardik Irfan. “Aku sudah memperingatkanmu sebelumnya. Selesaikan urusanmu dengan Zissy sebelum mengambil alih tanggung jawabku untuk menjaga dan merawat Cassandra. Tapi apa?” Marco mengepalkan tinjunya. Bibirnya mengatup rapat. Kali ini ia tak dapat menjawab sepatah katapun
Marco masih menatap grafik di depannya. Ia tak tahu lagi harus berbuat apa untuk membuatnya kembali melambung seperti semula. Usaha yang dilakukan Irfan selama bertahun-tahun musnah dalam seketika hanya karena kecerobohannya.“Butuh waktu. Semuanya butuh waktu,” kata Rexy. “Bahkan seekor ulat butuh waktu untuk menjadi kupu-kupu.” “Rex, ini nggak ada kaitannya dengan ulat atau kupu-kupu. Aku satu-satunya orang yang bersalah atas kehancuran Sophie Laurent.” Marco meletakkan kembali benda pipih itu ke atas meja. “Maksudku, setelah kamu membereskan artikel-artikel itu. Perlahan semuanya akan kembali seperti semula,” sahut Rexy. “Percayalah.” Marco menyandarkan tubuhnya dan menghela napas panjang. “Seharusnya aku tidak terlalu percaya diri. Perempuan itu tidak akan semudah itu melepaskan aku.” “Lalu apa yang akan kamu lakukan? Apa kamu akan menunggu bayi itu lahir dan menuntut ibunya?” tebak Rexy.“Tidak! Aku akan menuntutnya karena sudah mencemarkan nama baikku,” sahut Marco. “Tapi d
“Minggir! Minggir! Minggir!” seorang kuli panggul, melangkah cepat menyeruak di antara mereka. Karung yang dipikulnya, tanpa sengaja membuat Cassandra terdorong hingga jatuh.Tepat saat itu, sebutir telur melayang lagi. Kali ini benda berlapis cangkang itu mendarat tepat di atas kepalanya. Sesaat gadis itu memejamkan matanya dan mengusap lelehan telur yang menetes dari rambutnya. Namun saat ia membuka mata, yang dilihatnya bukan hanya ibu tadi. Tapi beberapa wanita lain ikut berada di belakangnya, dengan sorot mata yang sama, menatapnya seolah hendak menghakimi.“Dia cantik, lagi masih sangat muda. Apa nggak bisa cari lelaki lain?”“Benar. Kenapa harus merebut laki orang? Malah katanya om nya sendiri. Masih sedarah dengan bapak kandungnya!” “Dunia memang sudah gila!” Suara-suara itu terdengar dengan jelas di telinga Cassandra. Ia benar-benar ingin lari, namun kakinya seakan terpaku. Entah berapa telur yang sudah menyasar di tubuhnya kini.Badannya mulai gemetar, hatinya semakin menc
Marco menatap benda pipih di tangannya. Sebuah email tentang hasil tes yang sudah dibayarnya dengan harga yang sangat mahal itu akhirnya diterimanya. Tangan kanannya menahan ponsel yang menempel di pipinya. Lelaki itu menghela napas lega. “Baiklah, kita segera ajukan gugatan itu. Dia harus bertanggung jawab atas kekacauan yang sudah dibuatnya,” ucap Marco pada seseorang di seberang sana. “Aku benar-benar harus memulihkan nama Cassandra kembali.”“Sungguh, aku menerima kasus ini karena gadis itu. Aku sempat melihat unggahan seseorang di me-tube tentang kejadian malam itu. Bagaimana keadaannya? Pasti dia mengalami shock berat setelah mendapat tudingan sekejam itu,” ujar sang pengacara.“Dia mengurung diri,” sahut Marco pelan. “Tapi kemarin, saat pertama ia membuka diri kembali, orang-orang justru kembali menyerangnya dengan ujaran jahat.” Marco mengeraskan rahangnya saat mengingat kejadian itu. “Aku benar-benar tidak bisa memaafkan ataupun mentolerir tindakan Zissy.” “Saya bisa meng
Dengan tergesa, wanita itu melangkah masuk menuju lobi apartemen Riverside Garden. Seorang petugas keamanan segera mencegatnya. Tentu saja karena wajahnya yang tidak familiar di lingkungan itu. “Maaf Nyonya. Anda siapa dan ada keperluan apa kemari?” tanya lelaki berbadan tegap di depannya. Mata sang penjaga keamanan itu seakan memindainya, mencari validasi bahwa ia adalah salah satu penghuni hunian itu. Dan tatapan penuh kecurigaannya tertuju pada tas yang ada di genggamannya. “Saya mau ke lantai dua, menemui putri saya, Cassandra,” sahutnya dengan seulas senyuman yang terlihat sangat meyakinkan. “Apa Bapak bisa mengirim saya ke sana?”“Kalau begitu, biar saya hubungi Nona Cassandra,” sahut lelaki itu.“Jangan!” teriaknya tiba-tiba.Lelaki itu terkejut. Ia menatap Zissy dengan pandangan menyelidik.“Saya sengaja tidak memberitahukan kedatangan saya. Ini … sebuah kejutan,” lanjutnya menyampaikan alasan palsunya. “Ah … kejutan rupanya,” sahut lelaki berseragam itu dengan wajah kemba
Marco menatap sekelilingnya. Tentu saja ia panik saat tak melihat keberadaan kekasihnya bahkan di dalam kamarnya. Ranjang yang pernah menjadi saksi bisu hubungan mereka pun membara oleh api. Namun dari letak benda di atasnya, Marco tahu dengan pasti bahwa beberapa saat yang lalu gadisnya masih berada di atas sana. Suara ledakan kecil yang terdengar, membuat lelaki itu terkejut. Benda pipih di atas nakas itu meledak karena panas api di sekelilingnya. “Ponselnya masih di sini. Dia masih di tempat ini,” batin Marco.Sesaat ia dapat mendengar suara terbatuk. Firasatnya seolah menuntunnya ke suatu tempat yang tak terpikirkan olehnya. Kamar mandi!Lelaki itu menggeser pintu kamar mandi. Ia sangat terkejut ketika melihat gadisnya ada di sana. Tubuhnya terbaring lemah di dalam bak berisi air. Sementara napasnya mulai sesak. Tentu saja karena asap sudah memenuhi ruangan kecil itu. Dalam setengah kesadarannya, Cassandra melihat seseorang mendekatinya. Ia terlihat seperti alien dengan helm
Sepasang insan itu menikmati kebersamaan mereka. Tak ada lagi kecemasan dalam pikiran mereka. Semua keraguan dan kecemasan yang beberapa hari terakhir dirasakannya, menghilang dalam sekejap. Keduanya seakan berlomba untuk saling memuaskan satu sama lain dalam degup irama jantung yang sama kencangnya.“Om,” desah suara itu memanggil kekasihnya. Marco menghentikan hentakannya. Ia menatap wajah lelah istrinya yang telah dipacunya beberapa menit berlalu. Dikecupnya bibir merahnya dengan senyuman mengembang. “Sampai kapan kamu akan memanggilku seperti itu?” godanya. “Apa kamu ingin semua orang menganggapmu sugarbaby ku?” Cassandra menarik sudut bibirnya, memberikan seulas senyuman manjanya. “Suamiku. Atau sayangku. Mana yang lebih baik menurutmu?” Marco memautkan jari jemari ke tangan istrinya. Sepasang matanya seakan tersenyum lembut bersama dengan bibirnya.“Keduanya terdengar sexy, asal keluar dari bibirmu,” bisiknya. Lelaki itu kembali mencumbu istrinya, menyerangnya dengan gelit
Marco terkesiap saat melihat Cassandra di depan pintu. Ia tidak menduga Cassandra harus terlibat dalam masalah ini. Seharusnya semua rencananya berhasil, jika saja Dave tidak dengan sengaja membawa istrinya ke tempat itu. Ia bahkan dapat melihat senyum lelaki itu saat mengikuti langkah Cassandra masuk ke dalam kamarnya. Namun Marco tidak ingin semua rencananya berantakan. Ia segera menutup pintu sesaat setelah Dave masuk. Dan pertunjukan utama pun dimulai. Cassandra melihat seorang gadis, kedua tangannya terikat menjadi satu dan Rexy sedang berdiri tepat di hadapannya. “Om Rexy? Dan kamu … bukankah kamu Shereen? Apa yang kalian bertiga lakukan di kamar ini?” Tentu saja Cassandra kebingungan melihat keberadaan mereka di tempat itu. Semua pikiran buruk tentang perselingkuhan suaminya, langsung dimentahkan karena kehadiran Rexy. “Tidak, bukan seperti itu pertanyaannya, Sandra,” sahut Rexy. “Seharusnya kamu minta Dave menjelaskan semuanya. Bagaimana ia tahu Marco ada di hotel ini
“Ngapain kamu bawa aku kemari?” Cassandra menatap curiga lelaki di sampingnya. Ia mulai gelisah. Perasaannya makin tak tenang saat lelaki itu memutar kemudinya memasuki lobi hotel berbintang empat itu. “Seperti yang aku katakan. Aku punya janji minum dengan Indra, interior desainer yang aku ceritakan tadi,” sahut Dave dengan tenangnya. Cassandra menatap lelaki itu dengan sudut matanya. Ia terus memperhatikan gerak-gerik lelaki yang dikenal dengan sifat buruknya – pemain wanita.Dave tersenyum tipis saat mengetahui Cassandra menatapnya penuh kecurigaan. “Apa?” tanyanya sembari tertawa terkekeh. “Kenapa kamu menatapku seperti itu? Apa kamu mulai menyadari bahwa teman kamu yang satu ini terlihat tampan?” Cassandra mengalihkan perhatiannya. “Iya, sebenarnya kamu cukup tampan. Tapi –” “Tapi? Tapi apa?”“Kenapa kamu sampai sekarang belum juga menikah?” ungkap Cassandra karena tak tahan lagi dengan sikap lelaki itu. Lelaki itu tersenyum lebar. “Karena aku sedang menunggu seseorang. Se
“Aku akan segera pulang setelah melakukan survey lokasi.” Marco mengatakan dengan jelas alasan kepergiannya kepada istrinya. “Hanya satu malam, Sayang.” “Tapi ….” Cassandra mendecak kesal. “Aku benci tidur sendirian, Om.”“Aku janji, seandainya nanti semuanya selesai tidak terlalu larut, aku akan langsung kembali,” sahut Marco. Cassandra mengerucutkan bibirnya. Seandainya saja Marco mengajaknya, ia pasti mau ikut bersamanya. Tapi ia malu untuk terlihat posesif terhadap suaminya. “Baiklah. Kabari aku setelah kamu sampai di tujuan,” pinta Cassandra. Marco menganggukkan kepalanya, tanda menyetujui permintaan istrinya. “Tentu saja,” ucapnya. Ditatapnya wajah manis perempuan yang ada di dalam pelukannya. Rasa hangat pelukan Marco, membuat perasaan gelisah di hati Cassandra memudar. Hatinya seharian ini memang merasa tak tenang, seperti merasakan sebuah firasat buruk tentang suaminya. Namun ia tak bisa menemukan sesuatu yang tak seharusnya. Bahkan dia percaya suaminya tak akan pernah
Shereen mengunci pintu ruang kerja Marco. Dengan liar kedua tangannya mengunci ciumannya dari belakang tengkuk Marco. Perempuan itu memeluk Marco dan melumat bibir lelaki itu dengan penuh hasrat.“Hentikan Shereen,” lirih lelaki itu. Marco meraih pinggang ramping gadis itu dan menyentakkannya agar ia melepaskan pelukannya.Tak bisa disangkal, sebagai seorang pria normal tentu saja penampilan dan sentuhan sensual gadis itu membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Marco seakan dibawa ke sebuah petualangan baru yang tak pernah dirasakannya sebelumnya. “Bukankah ini menyenangkan?” bujuk gadis itu. “Hentikan semua omong kosong ini. Aku sudah punya–”“Istri? Aku tidak menyuruhmu menikahiku,” sambung Shereen yang tak mau mendengar sebuah penolakan. “Aku cuma ingin seseorang ada di sisiku ketika aku kesepian. Ada seseorang yang peduli padaku saat aku kesakitan.”“Keluarlah.” Marco menyingkirkan sepasang tangan yang masih enggan lepas dari lehernya itu. “Keluarlah sebelum aku memanggil sek
Cassandra berjalan selangkah demi selangkah mendekati Marco. Sepasang matanya menatap laki-laki itu dengan tatapan dinginnya. Tatapan dingin yang membuat jantung Marco seakan hampir berhenti berdetak. “Mati aku! Apa dia tahu sesuatu? Sepertinya Shereen tidak main-main dengan ancamannya.”Dengan kedua tangannya, Cassandra mendorong tubuh Marco, hingga membuat tubuh lelaki yang tidak siap menghadapinya itu limbung dan jatuh terjengkang. Marco menelan kasar salivanya. Panik! Itu yang saat ini dirasakannya. Apalagi saat melihat Cassandra yang seakan tak mau melepaskannya. Namun tiba-tiba ia merasakan sentuhan lembut di bagian tengah tubuhnya. Bagian yang masih berdiri menantang itu, kini berada dalam genggaman tangan Cassandra. Sentuhannya bahkan membuat jagoan Marco itu semakin mengeras. “Tadi … kamu kenapa?” tanya Marco ragu, “apa ada yang salah?”Cassandra menggelengkan kepalanya. “Aku cuma nggak nyaman aja, ruangannya terlalu sempit dan … keras.” Marco menghela napas lega. Ia ta
Aroma jasmin menguar di ruangan yang terasa hangat itu. Suara air yang mengalir memenuhi bak mandi, menyamarkan debaran jantung keduanya. Marco dapat merasakan betapa lembut dan lembabnya kulit kekasihnya, saat tangannya menyentuh tubuhnya. Ia dapat merasakan hasratnya yang membara saat tubuh mereka bersentuhan. Marco menangkup sepasang tangannya di dada kekasihnya, merasakan sensasi kenyal yang mempermainkan hasratnya. Lelaki itu mendaratkan kecupannya di leher jenjang istrinya, merasakan denyutan nadi yang seolah menjerit saat disentuhnya. Suara desah lolos dari bibir Cassandra. Dengan pasrah, ia menyandarkan kepalanya ke dada suaminya dan memberikan keleluasaan baginya untuk menikmati tubuhnya. Ia sungguh menikmati permainan tangan suaminya dan sentuhan basah di lehernya menciptakan percikan-percikan yang membangkitkan hasratnya. Lelaki itu memutar tubuh kekasihnya. Ditatapnya wajah cantik yang tak pernah bosan dilihatnya itu. “Aku mencintaimu Sandra, cuma kamu. Biar apapun ya
Marco mengerjapkan matanya. Ia benar-benar terkejut ketika menyadari dirinya berada di tempat yang sama sekali asing baginya. Ia mencoba mengingat kejadian terakhir yang tersimpan di memorinya. Suara gemericik air, menyadarkan dirinya bahwa ia tidak sendirian. Lelaki itu semakin terkejut ketika melihat beberapa foto yang terpampang di dinding ruangan itu. “Om sudah sadar rupanya.” Suara itu terdengar seiring dengan pintu kamar mandi yang terbuka. “Sher!” Marco menyadari bahwa dirinya berada di dalam apartemen Shereen, seorang model terpilih perusahaannya. Ia masih ingat bagaimana gadis itu menelponnya dengan ketakutan. Gadis itu tersenyum lebar. “Aku tahu Om akan datang. Aku tahu, Om akan meninggalkan istri Om buat aku,” ucapnya dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya. “Persis seperti yang Dave katakan.”“Dan yang lebih penting, alam seakan mendukung niatku. Om pingsan tepat di depan pintu apartemenku.”Marco segera bangkit dari sofa, tempatnya terbaring tadi. Ia menatap gadi
Shereen mengulurkan tangannya. Mendengar tawaran yang menguntungkan seperti ini, tentu saja tidak mungkin disia-siakan olehnya. Bukan karena ia tidak menginginkan kompensasi pembatalan kontrak bernilai ratusan juta itu, tapi ia sadar jika ia membatalkan sebuah kontrak bernilai besar seperti ini akan membuat namanya juga menjadi buruk. Tidak akan ada lagi orang yang berani menawarkan kontrak apapun kepadanya. Selain itu, firasat Shereen mengatakan bahwa Marco akan menuruti apapun keinginannya. Marco sudah berada di dalam genggaman tangannya. “Om yakin?” tanya gadis itu. “Om akan melindungi aku, menjaga aku dalam setiap kegiatan yang akan aku lakukan?” Marco menganggukkan kepala menyetujui ucapan Shereen, walau ia tahu itu tidak mungkin dilakukannya. Pekerjaannya cukup banyak, dan waktu sepanjang dua puluh empat jam bahkan tidak akan cukup jika harus ditambah dengan tugas sebagai seorang bodyguard. Tapi ia tetap menganggukkan kepalanya, yang terpenting gadis di hadapannya tidak mem