"Aaah, Yang, udah! Kamu harus ke rumah sakit, Aurora nelponin kamu loh itu!" Raline memekik dengan keras saat hunjaman demi hunjaman dia terima.
"Diem lah bentar! Berisik!" Sedangkan Samuel tetap memompa dan dia tak peduli rintihan kekasihnya itu. Tubuh Aurora menegang mendengar hal itu. Tiga jam dia di klinik dan sudah bukaan satu, tapi suaminya tak kunjung datang setelah mengatakan iya. Saat dia pulang, justru dia mendapatkan kejutan luar biasa. "Mas Samuel! Kamu tega duain aku,Mas? Aku sebentar lagi lahiran anak kamu, loh! Aku bahkan udah kontraksi, Mas!" "Kenapa? Ada masalah? Kamu kan udah gak cantik lagi. Lihat diri kamu, burik, badan kamu gendut, dan jelas kamu gak buat aku berhasrat lagi. Jadi, lebih baik kita pisah!" "Aku begini karena kamu yang mau anak, Mas! Bukan aku! Aku juga gak mau badan aku rusak!" "Terus? Mau gimana? Semua udah terlanjur. Pergi saja sana, deh! Berisik banget. Dan mulai detik ini, kita cerai! Rumah ini milikku, pergi kamu!" "Oh, kau menantangku, Mas? Baik! Baik! Awas kamu!" Aurora Vindira, seorang wanita cantik dan anggun. Saat hamil, badannya mengalami perubahan fisik yang sangat mencolok. Malam itu, rumah yang dulu dipenuhi tawa dan kebahagiaan kini terasa hampa. Aurora menggigit bibir, berusaha menahan rasa sakit yang semakin menusuk. Setiap detik terasa seperti jarum yang menusuk jantungnya. Kontraksi demi kontraksi datang menggempur tubuhnya, namun yang lebih menyakitkan dari itu adalah kata-kata suaminya yang seperti pisau, menghujam tepat di hati. Saat dia hendak melahirkan, kini dia justru diduakan. Tak terima, Aurora membawa tongkat baseball dan memukuli mereka. Dan saat dia hendak membela diri dari pelakor itu; yang hendak menyerangnya, dia justru didorong kuat. Tubuhnya terjatuh dari tangga dan menggelinding. Karena panik melihat darah begitu banyak, maka Samuel memiliki ide untuk membuang Aurora yang dia yakini telah meninggal. "Yang, bantuin angkat Aurora ke dalam koper. Berat ini!" Samuel menatap ke arah Raline yang saat itu telah berpakaian. "Buat apa, Yang?" Raline mendekat, tapi dirinya enggan menolong. "Udahlah, kalau mati, biarin aja. Kita kubur aja dia di belakang, beres." "Kamu mau rumah ini berhantu nanti? Mau arwah Aurora hantuin kamu terus setiap saat?" Mendengar kata hantu, kini Raline menggeleng. "Ya gak lah! Masa kita tinggal di rumah berhantu." "Ya udah, jangan bawel. Cepet bawa dia ke koper, bantu aku!" "Kamu mau apain, Yang?" Akhirnya, mereka berdua bekerja sama mengangkat tubuh Aurora ke dalam koper besar. Setelah memastikan Aurora ada di koper itu, Samuel segera menghubungi seseorang untuk membersihkan rumahnya. "Ya, kamu bersihkan. Uangnya akan aku transfer." Selepas menutup panggilam telepon, Samuel menarik gagang koper dan dia menuju ke garasi melalui pintu samping. di belakangnya, Raline mengekor dan dia cemas. dia segera membantu kekasihnya mengangkat tubuh Aurora ke dalam bagasi. "Yang, jadi kita buang dia?" "Iya lah! Kamu ambilin spiritus di sana, kemarin aku beli buat sesuatu." "Buat apa?" "Kita buat seolah mobil ini kecelakaan!" "Katanya mau buang ke jurang?" "Itu beresiko, Yang. Cepet ah!" Tak lama kemudian, mereka segera menaiki mobil dan Raline cemas. "Mobil sebagus ini sayang kalau dibuang, Yang!" Samuel tak peduli, dia memikirkan bagaimana caranya dia harus segera pergi membawa tubuh Aurora jauh dari rumahnya. "Mobil bisa beli lagi. Berapa sih mobil kaya gini? Harganya cuma 200 an. Kita bisa beli lagi." Mobil itu melaju cepat meninggalkan kediaman Samuel. Pria itu memacu kendaraan lebih cepat dan segera berniat menuju jurang. Namun di tengah perjalanan, hujan tetiba mengguyur deras dan kini tetiba pula ban mobil kempes. Menyebabkan Samuel oleng ketika mengendarainya sejauh 3 jam menuju ke hutan belantara. "Eh, eh!" Akhirnya, mobil itu berhenti. Samuel menepikan kendaraan di jalanan sepi dan dia melihat bannya kempes. "Sial!" "Kenapa?" "Ban mobil kempes." "Terus, kamu mau ganti dulu, Yang?" "Cih, itu kelamaan. Keburu polisi hutan yang biasanya patroli tahu perbuatan kita." "Terus gimana?" "Gimana gimana? Cepet turun lah, kita buang dia di sini!" "Di sini?" "Iya! Ini hujan, sidik jari kita akan hilang kena air hujan. Ayo cepet. Keburu ketahuan!" Mereka berdua mengangkat koper itu, dan mengeluarkan Aurora dari dalamnya. Lalu, mereka juga membiarkan tubuh Aurora kehujanan. "Yang, kamu yakin buang dua kaya gini?" "Ya! Dia akan menjadi korban tabrak lari. Lagian, kita udah jauh pergi. Ini jalanan kalau subuh, agak ramai, Yang. Nanti kalau ada yang curiga, pasti ngiranya dia korban tabrak lari. Udah, ayo cepet tinggalin. Kalau nekat buang ke jurang, kita yang gak aman." "Kan harusnya kamu nurut sama aku. Kubur di rumah!" "Berisik! Ayo pulang!" Mereka berdua meninggalkan tubuh Aurora di sana sendirian. Hujan semakin deras, menyapu jalanan dengan intensitas yang tak terduga. Suara gemuruh di langit seakan bersaing dengan ketukan hujan yang menghantam aspal, menciptakan suasana yang mencekam. Di tengah kegelapan malam yang dibalut oleh hujan deras, suasana jalanan yang biasanya ramai kini begitu sepi. Semua kendaraan berlalu lalang dengan hati-hati, menghindari genangan air yang menghalangi pandangan. Tiba-tiba, sebuah mobil melintas dengan kecepatan tinggi, menembus hujan yang semakin deras. Dari dalam mobil itu, sopir yang waspada mengerem mendadak dan memperhatikan sesuatu di depan. "Tuan, ada korban tabrak lari. Dia sepertinya hamil. Kita selamatkan atau tidak?" suara sopir terdengar panik, menatap sosok yang tergeletak di tengah jalan, tubuhnya terbujur lemah, tak bergerak. "Mana?" suara Tuan itu, seorang pria berpenampilan rapi dan tegas, terdengar datar, namun mata tajamnya tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran yang muncul begitu saja. Sopir menunjuk ke depan, di mana Aurora, yang terluka parah, tergeletak di tengah jalan dengan darah yang menggenang di sekitarnya. "Ayo turun, kita selamatkan." Tuan itu memberi perintah tegas. Tanpa ragu, mereka berdua segera keluar dari mobil. Suara langkah kaki mereka beradu dengan suara hujan yang semakin membasahi bumi. Mereka berlari menuju tubuh wanita yang terbaring tak berdaya di tengah jalan. Hujan yang mengguyur dengan derasnya membuat tubuh Aurora semakin terlihat rapuh dan lemah. Mereka berhenti di sampingnya. Tuan itu segera membungkuk, memeriksa keadaan Aurora dengan teliti, sementara sopir mengamati situasi sekitar. Setelah beberapa detik yang terasa lama, Tuan itu akhirnya membuka mulutnya dengan nada penuh urgensi. "Wanita ini masih hidup. Cepat ke rumah sakit terdekat!" serunya, suaranya tegas namun terdengar penuh kekhawatiran. Sopir terlihat ragu sejenak, memandang ke arah tubuh Aurora yang terluka parah, darah masih mengalir dari tubuhnya. "Jaraknya satu jam, Tuan. Apa mungkin dia akan selamat?" tanya sopir itu dengan nada penuh keraguan. Sepertinya ia ragu apakah ada cukup waktu untuk membawa wanita ini ke rumah sakit dan menyelamatkan hidupnya. "Selamat atau tidak, setidaknya kita telah berusaha. Cepat! Kecepatan tinggi!" jawab Tuan itu dengan mantap. Tidak ada waktu untuk ragu. Keputusan telah diambil, dan mereka harus bertindak cepat. Dengan sigap, sopir itu kembali ke kursinya, menghidupkan mesin mobil dan memacu kendaraan dengan kecepatan yang luar biasa, menembus hujan deras, menantang waktu dan takdir. Setiap detik terasa berharga, setiap detik penuh dengan ketegangan. Hujan yang menghalangi pandangan, jalan yang licin, dan perasaan panik yang menguasai mereka semakin mempercepat detak jantung mereka. Namun, mereka tahu satu hal—ini adalah usaha terakhir untuk memberi Aurora kesempatan hidup, dan mereka tak bisa membiarkan kesempatan itu hilang begitu saja. Tanpa Samuel sadari, setelah dia membuang Aurora, kini istrinya justru ditemukan oleh atasannya sendiri. Adam Sky Walker, sang CEO tempat di mana dia bekerja."Tuan Walker, Nona Muda ini bayinya sudah meninggal dari dalam. Sepertinya, beliau mengalami benturan yang cukup serius. Kami terpaksa harus melakukan proses caesar malam ini juga."Suasana ruangan rumah sakit itu penuh dengan ketegangan. Para dokter bergerak cepat, mempersiapkan segala sesuatu untuk operasi darurat. Di ruang tunggu, seorang pria duduk dengan tenang, namun wajahnya memancarkan kekhawatiran yang tak dapat disembunyikan. Tuan Walker, seorang CEO ternama, memegangi ponselnya, seolah menunggu kabar buruk."Lakukan yang terbaik. Semua biayanya akan ku tanggung," katanya. Suara Adam Sky Walker datar, namun tajam. Itu bukan sekadar pernyataan, tetapi lebih seperti perintah yang tidak bisa dibantah."Baik. Bagaimana dengan bayinya nanti? Apakah Anda meminta kami sekalian mengurusnya?" tanya salah satu dokter, memecah keheningan sejenak, matanya memandang pria itu penuh hormat namun penuh keraguan."Pastikan wanita itu selamat. Untuk bayinya, bawa saja ke kamar jenazah. Aku
Bayi mungil itu terbaring dalam pelukan Adam, tubuhnya yang lemah menggeliat perlahan, matanya tertutup rapat. Dengan wajah yang penuh haru, Aurora menatap bayi itu dengan rasa cinta yang campur aduk, seolah kehilangan anaknya yang sendiri membuat hatinya hancur. Baby Alan Sky Walker— mengingatkannya pada sosok anak yang telah ia lahirkan dan tak bisa dia jaha dan untuk sejenak, rasa itu terasa begitu nyata. "Di- dia ...." Aurora bergumam, suaranya bergetar. Ia tak tahu bagaimana harus memulai, dan kalimat itu menggantung di udara, penuh dengan berbagai perasaan yang tak terucapkan. "Perkenalkan, dia adalah Alan Sky Walker, putraku, Aurora," ujarnya. Adam berkata dengan penuh ketulusan. Tatapannya lembut saat memperkenalkan bayinya kepada Aurora, dan meskipun penuh dengan rasa kehilangan, ada kebanggaan di matanya. Lantas, dia memutar pandangan. Aurora menatap Alan, merasakan hatinya tergerak oleh perasaan yang sulit dijelaskan. Matanya mulai berkaca-kaca, namun ia berusaha m
Tiga bulan berlalu sejak Aurora menjalani rutinitas barunya. Kini, tubuhnya yang dulu penuh perjuangan dan rasa tidak percaya diri telah berubah drastis. Berat badannya yang dulu sempat melampaui batas kini berada dalam angka yang dianggap ideal, sebuah pencapaian yang terasa begitu memuaskan.Di depan cermin, Aurora memandangi refleksinya dengan tatapan penuh kebanggaan. Setiap lekuk tubuhnya tampak begitu proporsional Kulitnya bersinar lebih cerah daripada sebelumnya. Dulu yang kusam dan tak terawat, kini semakin glowing pun sehat, dan matanya memancarkan rasa percaya diri yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. "Tinggi 164 cm, bobot 52 kg. Astaga! Aku tak menyangka aku bisa mendapatkan bobot idealku!" pikirnya sambil tersenyum tipis. Angka itu kini terasa sempurna, seperti sebuah karya seni yang diciptakan dengan penuh kesabaran dan usaha.Rambutnya yang semula kusam kini mengkilap, berkat perawatan mewah yang Adam berikan—sesuatu yang jauh dari angan angan Aurora sebelum pert
"Bagaimana? Kau mau membalasnya? Mantan suamimu dan selingkuhannya?" Adam bertanya, suaranya datar namun tajam, seolah sudah memutuskan apa yang seharusnya dilakukan. Ada nada tantangan yang tak bisa disembunyikan dalam kalimatnya.Sontak, Aurora mengerutkan dahi, merasakan kebingungannya semakin dalam. "Entah, aku masih ragu," jawabnya, suara yang keluar terasa serak dan penuh keraguan. Hatinya terombang ambing di antara keinginan untuk membalas sakit hati dan ketakutan akan apa yang bisa terjadi setelahnya.Lalu, Adam melangkah lebih dekat, matanya tidak pernah lepas dari wajah Aurora, penuh tekanan. Dia menguspa wajah Aurora. Mendekatkan bibirnya, lalu berbisik dengan suara rendah nan menggelora."Apa lagi yang kau ragukan, Aurora? Dia telah membuatmu hampir tiada. Anakmu dibunnuh olehnya. Masihkah kau ragu?" tanyanya, nada suara semakin mengancam, seakan menuntut jawaban yang pasti."Entah." Aurora menunduk sejenak, berpikir keras. Pikirannya dipenuhi bayangan tentang suaminya dan
"Apa kau ingin ma-ti?" Aurora memandang Samuel dengan mata tajam yang penuh kebencian. Wajahnya yang dulu tampak lembut dan penuh cinta kini berubah menjadi bayangan kelam, dipenuhi amarah yang menderu. Samuel yang terengah-engah, merasakan kehangatan tangannya yang gemetar, tubuhnya bergetar lebih karena ketakutan daripada dingin malam yang menusuk. Dia mencoba menarik nafas panjang, namun sebuah pisau lipat yang menempel di perutnya seolah menghalangi setiap usaha untuk tenang. “Ra, kamu—” Samuel berusaha membuka mulut, kata-kata itu menggantung, terhenti sebelum bisa mengalir sempurna. "Kau ingat aku, hm?" "Ra, jangan lakukan itu. Aku tahu aku salah. Aku—" Aurora, dengan cepat dan tajam, menyela, suara suaranya dingin seperti es. “Tutup mulutmu! Kau sudah berniat membunnuhku, dan aku juga berniat yang sama denganmu!” Perintahnya memaksa, tak ada ruang untuk penolakan. Dengan gerakan yang tegas, Aurora menarik tangan mantan suaminya, menyeretnya keluar dari apartemen yang
"Aaaargh! Cukup, Ra! Cukup! Ampun, Ra!" "Tak bisa. Jika kau tak mati, setidaknya kau harus cacat!" Crush! Belati itu melayang, Aurora menancapkan pada betis juga paha Samuel secara bergantian. Samuel merintih kesakitan, tubuhnya terhuyung sejenak sebelum akhirnya ia terjatuh ke tanah, terduduk lemas. Darah mengucur deras dari betis kirinya yang tertusuk belati dengan akurat. Merah pekat itu berlumuran di tanah yang kotor, menciptakan kolam darah yang terus berkembang seiring detak jantungnya yang semakin berat. Nafasnya terengah engah, berusaha menahan rasa sakit yang luar biasa, tetapi itu sia-sia. Setiap detikan tubuhnya terasa semakin lambat, seakan dunia ini bergerak jauh lebih cepat daripada dirinya. "Ahhh ...." Jeritan itu keluar begitu saja dari tenggorokannya. l Rasa sakitn
"Aaaargh! Cukup, Ra! Cukup! Ampun, Ra!" "Tak bisa. Jika kau tak mati, setidaknya kau harus cacat!" Crush! Belati itu melayang, Aurora menancapkan pada betis juga paha Samuel secara bergantian. Samuel merintih kesakitan, tubuhnya terhuyung sejenak sebelum akhirnya ia terjatuh ke tanah, terduduk lemas. Darah mengucur deras dari betis kirinya yang tertusuk belati dengan akurat. Merah pekat itu berlumuran di tanah yang kotor, menciptakan kolam darah yang terus berkembang seiring detak jantungnya yang semakin berat. Nafasnya terengah engah, berusaha menahan rasa sakit yang luar biasa, tetapi itu sia-sia. Setiap detikan tubuhnya terasa semakin lambat, seakan dunia ini bergerak jauh lebih cepat daripada dirinya. "Ahhh ...." Jeritan itu keluar begitu saja dari tenggorokannya. l Rasa sakitn
"Apa kau ingin ma-ti?" Aurora memandang Samuel dengan mata tajam yang penuh kebencian. Wajahnya yang dulu tampak lembut dan penuh cinta kini berubah menjadi bayangan kelam, dipenuhi amarah yang menderu. Samuel yang terengah-engah, merasakan kehangatan tangannya yang gemetar, tubuhnya bergetar lebih karena ketakutan daripada dingin malam yang menusuk. Dia mencoba menarik nafas panjang, namun sebuah pisau lipat yang menempel di perutnya seolah menghalangi setiap usaha untuk tenang. “Ra, kamu—” Samuel berusaha membuka mulut, kata-kata itu menggantung, terhenti sebelum bisa mengalir sempurna. "Kau ingat aku, hm?" "Ra, jangan lakukan itu. Aku tahu aku salah. Aku—" Aurora, dengan cepat dan tajam, menyela, suara suaranya dingin seperti es. “Tutup mulutmu! Kau sudah berniat membunnuhku, dan aku juga berniat yang sama denganmu!” Perintahnya memaksa, tak ada ruang untuk penolakan. Dengan gerakan yang tegas, Aurora menarik tangan mantan suaminya, menyeretnya keluar dari apartemen yang
"Bagaimana? Kau mau membalasnya? Mantan suamimu dan selingkuhannya?" Adam bertanya, suaranya datar namun tajam, seolah sudah memutuskan apa yang seharusnya dilakukan. Ada nada tantangan yang tak bisa disembunyikan dalam kalimatnya.Sontak, Aurora mengerutkan dahi, merasakan kebingungannya semakin dalam. "Entah, aku masih ragu," jawabnya, suara yang keluar terasa serak dan penuh keraguan. Hatinya terombang ambing di antara keinginan untuk membalas sakit hati dan ketakutan akan apa yang bisa terjadi setelahnya.Lalu, Adam melangkah lebih dekat, matanya tidak pernah lepas dari wajah Aurora, penuh tekanan. Dia menguspa wajah Aurora. Mendekatkan bibirnya, lalu berbisik dengan suara rendah nan menggelora."Apa lagi yang kau ragukan, Aurora? Dia telah membuatmu hampir tiada. Anakmu dibunnuh olehnya. Masihkah kau ragu?" tanyanya, nada suara semakin mengancam, seakan menuntut jawaban yang pasti."Entah." Aurora menunduk sejenak, berpikir keras. Pikirannya dipenuhi bayangan tentang suaminya dan
Tiga bulan berlalu sejak Aurora menjalani rutinitas barunya. Kini, tubuhnya yang dulu penuh perjuangan dan rasa tidak percaya diri telah berubah drastis. Berat badannya yang dulu sempat melampaui batas kini berada dalam angka yang dianggap ideal, sebuah pencapaian yang terasa begitu memuaskan.Di depan cermin, Aurora memandangi refleksinya dengan tatapan penuh kebanggaan. Setiap lekuk tubuhnya tampak begitu proporsional Kulitnya bersinar lebih cerah daripada sebelumnya. Dulu yang kusam dan tak terawat, kini semakin glowing pun sehat, dan matanya memancarkan rasa percaya diri yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. "Tinggi 164 cm, bobot 52 kg. Astaga! Aku tak menyangka aku bisa mendapatkan bobot idealku!" pikirnya sambil tersenyum tipis. Angka itu kini terasa sempurna, seperti sebuah karya seni yang diciptakan dengan penuh kesabaran dan usaha.Rambutnya yang semula kusam kini mengkilap, berkat perawatan mewah yang Adam berikan—sesuatu yang jauh dari angan angan Aurora sebelum pert
Bayi mungil itu terbaring dalam pelukan Adam, tubuhnya yang lemah menggeliat perlahan, matanya tertutup rapat. Dengan wajah yang penuh haru, Aurora menatap bayi itu dengan rasa cinta yang campur aduk, seolah kehilangan anaknya yang sendiri membuat hatinya hancur. Baby Alan Sky Walker— mengingatkannya pada sosok anak yang telah ia lahirkan dan tak bisa dia jaha dan untuk sejenak, rasa itu terasa begitu nyata. "Di- dia ...." Aurora bergumam, suaranya bergetar. Ia tak tahu bagaimana harus memulai, dan kalimat itu menggantung di udara, penuh dengan berbagai perasaan yang tak terucapkan. "Perkenalkan, dia adalah Alan Sky Walker, putraku, Aurora," ujarnya. Adam berkata dengan penuh ketulusan. Tatapannya lembut saat memperkenalkan bayinya kepada Aurora, dan meskipun penuh dengan rasa kehilangan, ada kebanggaan di matanya. Lantas, dia memutar pandangan. Aurora menatap Alan, merasakan hatinya tergerak oleh perasaan yang sulit dijelaskan. Matanya mulai berkaca-kaca, namun ia berusaha m
"Tuan Walker, Nona Muda ini bayinya sudah meninggal dari dalam. Sepertinya, beliau mengalami benturan yang cukup serius. Kami terpaksa harus melakukan proses caesar malam ini juga."Suasana ruangan rumah sakit itu penuh dengan ketegangan. Para dokter bergerak cepat, mempersiapkan segala sesuatu untuk operasi darurat. Di ruang tunggu, seorang pria duduk dengan tenang, namun wajahnya memancarkan kekhawatiran yang tak dapat disembunyikan. Tuan Walker, seorang CEO ternama, memegangi ponselnya, seolah menunggu kabar buruk."Lakukan yang terbaik. Semua biayanya akan ku tanggung," katanya. Suara Adam Sky Walker datar, namun tajam. Itu bukan sekadar pernyataan, tetapi lebih seperti perintah yang tidak bisa dibantah."Baik. Bagaimana dengan bayinya nanti? Apakah Anda meminta kami sekalian mengurusnya?" tanya salah satu dokter, memecah keheningan sejenak, matanya memandang pria itu penuh hormat namun penuh keraguan."Pastikan wanita itu selamat. Untuk bayinya, bawa saja ke kamar jenazah. Aku
"Aaah, Yang, udah! Kamu harus ke rumah sakit, Aurora nelponin kamu loh itu!" Raline memekik dengan keras saat hunjaman demi hunjaman dia terima. "Diem lah bentar! Berisik!" Sedangkan Samuel tetap memompa dan dia tak peduli rintihan kekasihnya itu. Tubuh Aurora menegang mendengar hal itu. Tiga jam dia di klinik dan sudah bukaan satu, tapi suaminya tak kunjung datang setelah mengatakan iya. Saat dia pulang, justru dia mendapatkan kejutan luar biasa. "Mas Samuel! Kamu tega duain aku,Mas? Aku sebentar lagi lahiran anak kamu, loh! Aku bahkan udah kontraksi, Mas!" "Kenapa? Ada masalah? Kamu kan udah gak cantik lagi. Lihat diri kamu, burik, badan kamu gendut, dan jelas kamu gak buat aku berhasrat lagi. Jadi, lebih baik kita pisah!" "Aku begini karena kamu yang mau anak, Mas! Bukan aku! Aku juga gak mau badan aku rusak!" "Terus? Mau gimana? Semua udah terlanjur. Pergi saja sana, deh! Berisik banget. Dan mulai detik ini, kita cerai! Rumah ini milikku, pergi kamu!" "Oh, kau menant