Hari berganti pagi. Bunyi suara ponsel yang berdering membuat King terbangun dari tidurnya. Perlahan kelopak matanya terbuka, memandang sekeliling kawasan restoran yang berantakan dengan barang-barang dan perabot yang di bereskannya tadi malam. Rencana memberikan suprise untuk Aisyah. Tapi tidak di sangka malah dirinya tertidur di restoran itu.Kepala yang tidak gatal di garuknya sesaat, sebelum menyeka bibir dari iler yang sudah mengering.Ketika hendak duduk, dia merasakan kakinya seperti mati rasa. Lalu kepala didongakkannya melihat apa yang terjadi pada pahanya."Ishk, pantas saja kakiku seperti mati rasa. Ternyata dua ekor monyet ini malah enak-enakan tidur diatas pahaku! Apa mereka kira aku ini bantal!" gerutunya memandang Diko dan Diki yang masih berada di alam mimpi berbantalkan pahanya."Woi!" Bentak King sambil menggoyangkan kakinya."Woi, jangan ganggu cewekku!" sambung Diki melatah, pada saat bersamaan dia juga terbangun dan menutup mulutnya.Diko yang juga telah terbangu
"Fajar, buruan!" teriak Sinta dari luar rumah Fajar. Sesekali dia memandang sekeliling kawasan rumah. Memastikan tidak ada orang yang sedang mengawasinya.Barang-barang penting seperti kartu pengenal, uang dan pakaian segera di masukkan Fajar ke dalam koper. Setelah selesai, koper di bawa keluar dari kamar. Kunci yang tersimpan dalam laci meja di ambilnya dan tergesa-gesa mengunci pintu. Bergetar tangannya saat ini menyarungkan anak kuci ke gagangnya."Fajar! Buruan!""Iya, tunggu sebentar! Cerewet banget!" dengus Fajar. Pusing kepalanya sejak tadi mendengar wanita itu terus saja berteriak mendesaknya."Sudah, ayo!" Akhirnya setelah menutup pintu koper di tariknya menuju mobil yang terparkir di halaman.Baru saja kakinya melangkah pergi, tiba-tiba saja pria bertubuh tegap dan bersenjata api mengepung rumahnya.Sinta kaget, dan lansung memeluk lengan Fajar.Fajar pun bukan main ketakutan, cemas dengan keberadaan para pria bersenjata itu."Mau kemana kalian? Mau lari ya?" tanya Jack.Fa
"Cepat katakan! Apa yang terjadi dengan istriku! Tadi aku menyuruh kau mengantarkan dia kan? Lalu mana dia sekarang!" bentak King. Saat ini dadanya berombak turun-naik. Diki yang masih berlutut di lantai di pandangnya.Tapi, Diki malah menggelengkan kepala. Berurai air matanya keluar membayangkan yang terjadi pada Aisyah tadi. Dia takut, King akan marah dan kecewa dengan dirinya yang tidak bisa menjaga Aisyah.Diko merasa cemas, dia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, jika yang di sampaikan Diko barusan benar-benar terjadi. Mungkin King tidak akan mau lagi mempekerjakan saudaranya itu.Bahu Diki di usapnya pelan, coba meredakan tangis saudaranya yang belum juga berhenti."Diki, coba kau tenang dulu dan ceritakan apa apa yang telah terjadi sebenarnya. Kalau kau hanya menangis seperti ini, masalahnya tidak akan selesai," ujar Diko membujuknya."Tapi aku takut bos marah dan membenciku," lirih Diki."Terus? Kalau kau diam seperti ini, kau pikir bos tidak akan marah? Kau pikir b
Mobil berhenti setelah tiba di kawasan hutan. Tampak beberapa orang pria bersenjata api dan juga Haidin yang telah menunggu kehadiran mereka.Dua orang bertopeng tadi keluar dari dalam mobil bersama dengan Diki yang kepalanya masih di tutup menggunakan kain hitam.Tubuh Aisyah juga di papah menuju ke arah Haidin, lalu di baringkan diatas tanah, kemudian kedua orang bertopeng itu melangkah mundur ke belakang."Apa kami sudah boleh pergi?"Haidin menggeleng. "Kenapa harus buru-buru, santai saja dulu di sini. Eh, tapi kenapa kalian bawa anak buah si Lion kesini? Bukannya aku hanya menyuruh kalian membawa Aisyah saja?""Kalau aku tinggalkan, pasti dia akan berteriak dan mengejar kami."Haidin mengangguk tanda paham, lalu ibu jari di jentiknya memberi kode pada anak buahnya.Lantas Jack datang membawa satu jerigen air dan di siramkan ke wajah Aisyah.Seketika Aisyah tersadar. Hidungnya terasa pedih saat air itu masuk ke dalam rongga pernapasannya. Dia tersedak, terbatuk-batuk beberapa saat
Garis polisi berwarna kuning telah melingkar di sekeliling lokasi kejadian. Beberapa petugas juga tampak sibuk menjalankan tugas mereka masing-masing. Mayat yang telah gosong di dalam mobil di keluarkan mereka dengan sangat hati-hati, lalu di letakkan di atas tempat mayat yang di lampisi dengan plastik hitam.Saat ini, sebagaian lokasi kejadian juga basah, karna baru saja di guyur hujan lebat. Kamera di bidikkan pada mayat yang sudah tidak bisa di kenali itu sebagai bukti."Aisyah!" Suara teriakan itu menggema di sekitar lokasi kejadian.Serentak pandangan polisi yang berada di sana beralih pada King yang tengah berlari melintasi garis larangan polisi.Diko dan Diki sudah mencoba menahan, namun gagal."Maaf Pak. Untuk saat ini, Bapak tidak boleh masuk ke lokasi kejadian, karna kami sedang melakukan penyelidikan! Mohon kerjasamanya, Pak." cegah komandan polisi yang bertugas disana. Lengan King di tahan salah satu anggota polisi yang bertugas agar laki-laki itu tidak masuk ke lokasi ya
"Bos, mau kemana?" tanya Diko ketika melihat King sedang memasukkan peluru ke dalam pistolnya. Namun King tidaklah peduli dengan pertanyaan anak buahnya itu. Dia hanya fokus pada pistolnya yang sudah lama tidak di gunakan. Diko memandang Diki yang berada di sebelahnya. Tidak tahu lagi mereka bagaimana cara membujuk King agar bisa bersabar. Diki mengeluh kecil. Diberanikannya diri mendekati King dan mengusap bahu bosnya itu pelan, namun King malah menepiskannya dengan kasar. "Aku mau pergi mencari istriku. Kalian berdua tidak perlu ikut!" ujar King dengan nada serius tanpa memandang wajah ke dua anak buahnya. Kening Diki mulai berkerut. Sekilas dia menoleh pada Diko yang berdiri di belakangnya. Tidak akan mereka membiarkan bos mereka pergi seorang diri "Tapi bos, kalau terjadi apa-apa dengan bos bagaimana? Biarkan kami ikut, bos." King tersenyum sinis mendengar kata-kata Diki barusan. Dia menyimpan pistol ke dalam sarung, lalu di selipkan di pinggang sebelum menoleh pada lelaki
"Woi!" Suara itu menghentikan gerakan tangan Jack seketika. Kepalanya menoleh kiri-kanan mencari dimana sumber suara. Ruangan yang remang-remang membuatnya kesusahan untuk mengetahui pemilik suara dari orang-orang yang berada di sana. Pedang katana yang berada di tangannya di jatuhkan lagi ke bawah. Kakinya yang memijak kepala King juga di pindahkan ke lantai. Detik kemudian terdengar suara tembakan mengenai rekan-rekan Jack. Suasana di clab malam yang tadinya riuh dengan musik DJ, berganti dengan teriakan ketakutan orang-orang yang berada di sana. Jack melompat ke tepi. Membulat matanya melihat tiga orang rekannya yang terkena tembakan di dada. Tinggal dua orang rekannya yang masih selamat, tengah meringkuk di balik meja yang di tendang King tadi. "Siapa pun kau. Keluarlah kalau berani!" tantang Jack. Bola matanya bergerak memandang sekeliling. "Waciyaaa!" Braaak! "Aduh!" Diki jatuh tersungkur. Rencana ingin menendang Jack dari belakang malah kakinya terpeleset. Tertawa Jack
"Akhh! Sakit! Kau bisa lakukan pelan-pelan tidak!" King mengerang saat kain berisi pecahan batu es di tekan pada luka lebam di wajahnya. Rayden malah tersenyum sinis dia tidak heran lagi dengan sahabatnya itu. "Sudah tahu lemah, kenapa tidak kau ajak aku sekali melawan mereka. Ini tidak, malah sok melawan sendiri! Kau kira diri kau itu seper hero bisa melawan semua kejahatan?" sinis Rayden. Batu es itu di tekan lebih keras lagi ke wajah King. King menjerit sakit. Seketika dia menepis tangan Rayden, lalu menggosok pipinya yang lebam. "Aku tidak ingin menyusahkan orang lain itu saja!" Rayden mendesah kasar. "Tidak ingin menyusahkan orang lain? Eh, kalau kau mati di tangan si Jack siapa yang akan selamatkan istri kau? Kalau aku sendiri yang selamatkan dia, yang ada akulah yang jadi heronya! Lebih baik dulu, aku saja yang menikah dengan dia, bukan kau!" sinis Rayden meninggikan suaranya. "Alaah, kau lupa? Apa yang pernah kau katakan padaku hari itu? Jangan pernah minta tolong padak
Serangan demi serangan anak buah Haidin dengan mudah di hindari King. Sambil mengelak, King juga menyarang lawannya pada bahagian lutut dan perut. Walau mustahil bisa mengalahkan sepuluh orang dengan tangan kosong sendirian, namun demi istri tercinta, King yakin dapat mengalahkan semuanya. Begitupun Rayden, pemuda itu juga sibuk melumpuhkan anak buah Haidin yang menyerangnya dari arah kiri dan kanan. Belum sempat ia menarik pelatuk pistol tubuhnya sudah di tendang hingga jatuh ke tanah. Segera Rayden bangun lagi sebelum di injak pria berbadan besar. Satu persatu wajah musuh yang mengelilingi di perhatikannya. "Hahahahhaha. Cukup! Cukup! Hahahaha." Serentak Rayden, King dan anak buah Haidin menoleh ke arah suara yang tertawa kegelian. Di sana tampak Diko dan Diki sedang menggelitik seorang pria, hingga pria itu berguling-guling di tanah. "Ha, rasakan ini!" Diki terus saja menggelitik selangkangan pria itu dengan kakinya. Sedangkan Diko menahan tangan pria itu. "Terus Diki, terus!
Gluk! Gluk! Air liur di telan Diko dan Diki melihat tubuh tegap setiap pengawal yang menjaga pintu rumah usang di depan. "Diki, bagimana ini? Apa yang harus kita lakukan?" tanya Diko. Cemas pemuda itu memandang saudara kembarnya. Diki pun tidak tahu harus berkata apa. Dia hanya terpaksa mengikuti perintah Rayden dan King tadi. Kalau dia tahu akan jadi seperti ini, lebih baik tadi dia dirumah saja menonton film Doraemon. "Hmm, coba sekarang kau pukul aku," pinta Diki. "Pukul? " Diko sedikit kaget. Mana tega dia memukul adiknya sendiri. "Kau sudah gila, hah? Kalau aku pukul kau yang ada kau jadi pingsan nanti," sambung Diko. "Ha, itu masalahnya. Sekarang pun aku pusing. Kau pukul saja." Tangan Diko diambil dan di pukulkan ke wajahnya. "Diki, aku ini sudah lama tidak memukul orang. Kalau kau aku pukul, yang bisa-bisa kau mati atau pun pingsan." "Pukul saja lah, cerewet! " "Serius?" tanya Diko memastikan. "Ya, " jawab Diki mantap. "Serius? " Diko kembali bertanya. "Iya! " "Ka
"Sayang," panggil Haidin dengan nada manja. Dia berlutut di hadapan Aisyah yang tengah menangis terisak-isak. Darah di paha wanita itu sudah mengering dan di balut dengan kain putih untuk menghentikan darah yang keluar. Ibu jari di gunakan Haidin menyeka air mata Aisyah. Kepala dia gelengkan pelan. "Sssttt. Jangan nangis lagi, sayang. Lukanya sudah kering. Kalau kamu menangis seperti ini aku jadi tidak tega. Aku tidak kuat melihat kamu menangis, Sayang." "Cukup Haidin. Saya sudah lelah dengan permainanmu ini," ucap Aisyah dengan suara sedikit meninggi. Haidin mengerutkan kening. "Kamu lelah kenapa? Aku tidak menyuruh kamu pergi ke mana-mana? Dari tadi kan kamu hanya duduk di kursi ini saja. Tidak mungkin duduk saja kamu merasa lelah? Atau kamu mau mandi? Kamu pasti ingin aku mandikan, kan?" Aisyah menggeleng ketakutan. Haidin malah tertawa besar. Senang hatinya melihat wanita itu ketakutan. Kemudian matanya beralih pada jilbab Aisyah yang telah basah oleh keringat. Timbul rasa ka
"Akhh! Sakit! Kau bisa lakukan pelan-pelan tidak!" King mengerang saat kain berisi pecahan batu es di tekan pada luka lebam di wajahnya. Rayden malah tersenyum sinis dia tidak heran lagi dengan sahabatnya itu. "Sudah tahu lemah, kenapa tidak kau ajak aku sekali melawan mereka. Ini tidak, malah sok melawan sendiri! Kau kira diri kau itu seper hero bisa melawan semua kejahatan?" sinis Rayden. Batu es itu di tekan lebih keras lagi ke wajah King. King menjerit sakit. Seketika dia menepis tangan Rayden, lalu menggosok pipinya yang lebam. "Aku tidak ingin menyusahkan orang lain itu saja!" Rayden mendesah kasar. "Tidak ingin menyusahkan orang lain? Eh, kalau kau mati di tangan si Jack siapa yang akan selamatkan istri kau? Kalau aku sendiri yang selamatkan dia, yang ada akulah yang jadi heronya! Lebih baik dulu, aku saja yang menikah dengan dia, bukan kau!" sinis Rayden meninggikan suaranya. "Alaah, kau lupa? Apa yang pernah kau katakan padaku hari itu? Jangan pernah minta tolong padak
"Woi!" Suara itu menghentikan gerakan tangan Jack seketika. Kepalanya menoleh kiri-kanan mencari dimana sumber suara. Ruangan yang remang-remang membuatnya kesusahan untuk mengetahui pemilik suara dari orang-orang yang berada di sana. Pedang katana yang berada di tangannya di jatuhkan lagi ke bawah. Kakinya yang memijak kepala King juga di pindahkan ke lantai. Detik kemudian terdengar suara tembakan mengenai rekan-rekan Jack. Suasana di clab malam yang tadinya riuh dengan musik DJ, berganti dengan teriakan ketakutan orang-orang yang berada di sana. Jack melompat ke tepi. Membulat matanya melihat tiga orang rekannya yang terkena tembakan di dada. Tinggal dua orang rekannya yang masih selamat, tengah meringkuk di balik meja yang di tendang King tadi. "Siapa pun kau. Keluarlah kalau berani!" tantang Jack. Bola matanya bergerak memandang sekeliling. "Waciyaaa!" Braaak! "Aduh!" Diki jatuh tersungkur. Rencana ingin menendang Jack dari belakang malah kakinya terpeleset. Tertawa Jack
"Bos, mau kemana?" tanya Diko ketika melihat King sedang memasukkan peluru ke dalam pistolnya. Namun King tidaklah peduli dengan pertanyaan anak buahnya itu. Dia hanya fokus pada pistolnya yang sudah lama tidak di gunakan. Diko memandang Diki yang berada di sebelahnya. Tidak tahu lagi mereka bagaimana cara membujuk King agar bisa bersabar. Diki mengeluh kecil. Diberanikannya diri mendekati King dan mengusap bahu bosnya itu pelan, namun King malah menepiskannya dengan kasar. "Aku mau pergi mencari istriku. Kalian berdua tidak perlu ikut!" ujar King dengan nada serius tanpa memandang wajah ke dua anak buahnya. Kening Diki mulai berkerut. Sekilas dia menoleh pada Diko yang berdiri di belakangnya. Tidak akan mereka membiarkan bos mereka pergi seorang diri "Tapi bos, kalau terjadi apa-apa dengan bos bagaimana? Biarkan kami ikut, bos." King tersenyum sinis mendengar kata-kata Diki barusan. Dia menyimpan pistol ke dalam sarung, lalu di selipkan di pinggang sebelum menoleh pada lelaki
Garis polisi berwarna kuning telah melingkar di sekeliling lokasi kejadian. Beberapa petugas juga tampak sibuk menjalankan tugas mereka masing-masing. Mayat yang telah gosong di dalam mobil di keluarkan mereka dengan sangat hati-hati, lalu di letakkan di atas tempat mayat yang di lampisi dengan plastik hitam.Saat ini, sebagaian lokasi kejadian juga basah, karna baru saja di guyur hujan lebat. Kamera di bidikkan pada mayat yang sudah tidak bisa di kenali itu sebagai bukti."Aisyah!" Suara teriakan itu menggema di sekitar lokasi kejadian.Serentak pandangan polisi yang berada di sana beralih pada King yang tengah berlari melintasi garis larangan polisi.Diko dan Diki sudah mencoba menahan, namun gagal."Maaf Pak. Untuk saat ini, Bapak tidak boleh masuk ke lokasi kejadian, karna kami sedang melakukan penyelidikan! Mohon kerjasamanya, Pak." cegah komandan polisi yang bertugas disana. Lengan King di tahan salah satu anggota polisi yang bertugas agar laki-laki itu tidak masuk ke lokasi ya
Mobil berhenti setelah tiba di kawasan hutan. Tampak beberapa orang pria bersenjata api dan juga Haidin yang telah menunggu kehadiran mereka.Dua orang bertopeng tadi keluar dari dalam mobil bersama dengan Diki yang kepalanya masih di tutup menggunakan kain hitam.Tubuh Aisyah juga di papah menuju ke arah Haidin, lalu di baringkan diatas tanah, kemudian kedua orang bertopeng itu melangkah mundur ke belakang."Apa kami sudah boleh pergi?"Haidin menggeleng. "Kenapa harus buru-buru, santai saja dulu di sini. Eh, tapi kenapa kalian bawa anak buah si Lion kesini? Bukannya aku hanya menyuruh kalian membawa Aisyah saja?""Kalau aku tinggalkan, pasti dia akan berteriak dan mengejar kami."Haidin mengangguk tanda paham, lalu ibu jari di jentiknya memberi kode pada anak buahnya.Lantas Jack datang membawa satu jerigen air dan di siramkan ke wajah Aisyah.Seketika Aisyah tersadar. Hidungnya terasa pedih saat air itu masuk ke dalam rongga pernapasannya. Dia tersedak, terbatuk-batuk beberapa saat
"Cepat katakan! Apa yang terjadi dengan istriku! Tadi aku menyuruh kau mengantarkan dia kan? Lalu mana dia sekarang!" bentak King. Saat ini dadanya berombak turun-naik. Diki yang masih berlutut di lantai di pandangnya.Tapi, Diki malah menggelengkan kepala. Berurai air matanya keluar membayangkan yang terjadi pada Aisyah tadi. Dia takut, King akan marah dan kecewa dengan dirinya yang tidak bisa menjaga Aisyah.Diko merasa cemas, dia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, jika yang di sampaikan Diko barusan benar-benar terjadi. Mungkin King tidak akan mau lagi mempekerjakan saudaranya itu.Bahu Diki di usapnya pelan, coba meredakan tangis saudaranya yang belum juga berhenti."Diki, coba kau tenang dulu dan ceritakan apa apa yang telah terjadi sebenarnya. Kalau kau hanya menangis seperti ini, masalahnya tidak akan selesai," ujar Diko membujuknya."Tapi aku takut bos marah dan membenciku," lirih Diki."Terus? Kalau kau diam seperti ini, kau pikir bos tidak akan marah? Kau pikir b