POV Aviasya
"Aku mohon!" katanya memelas, dengan bibirnya yang kering. Matanya sayu mengisyaratkan rasa lelah. William, namanya William, pria yang kucintai selama ini, yang rela melakukan apa saja demi membahagiakanku."Wil ...." Aku mengelus pipinya, tak bisa dijabarkan perasaan yang ada di dada. Tak seharusnya dia mendapatkan ini semua. Dia tak bersalah."Aku mohon, cabut saja laporan itu, aku tak ingin keluargaku semakin menderita, suamimu bahkan telah memerintahkan orang-orang untuk merusak toko ayahku. Aku mohon, Via! Please!" Dia memegang erat jemariku.Aku mengenggam tangannya. Tak semudah itu melepaskan manusia psikopat seperti Ronald."Hei ...." William kembali menyentak lamunanku. Dia memaksakan senyum di bibirnya yang pucat, bahkan dengan keadaan tak berdaya, dia tetap berusaha terlihat baik-baik saja."Ronald itu sakit, dia sakit jiwa, bukankah ini yang kita tunggu? Menyingkirkan Ronald sehingga kita bisa bersama?" tanyaku menahan suara menahan geram. Aku tak ingin mencabut laporan dan membuat Ronald bebas. Tidak."Kenyataannya, dia yang menyingkirkanku lebih dulu. Toko kaset itu, adalah harta satu-satunya milik ayahku, toko itu adalah segalanya baginya. Jika kita tak mencabut laporannya dan berdamai, kami akan kehilangan toko itu, Avia. Tak ada yang lebih menyedihkan dibanding itu terjadi."Aku menatap William gamang. Aku tahu, pria bule yang ditinggalkan oleh ibunya sejak bayi itu, memiliki nasib tak beruntung. Dia dan ayahnya, hidup di sudut kota, tinggal di rumah petak kecil, dan memiliki toko kecil di pinggir pasar tradisional."Via, aku mencintaimu, sampai kapan pun aku mencintaimu, tetap ingin bersamamu, tapi untuk saat ini, aku tak bisa membiarkan ayahku lebih menderita lagi karena hubungan kita. Lagi pula ...." William melirik ke dua kalinya yang dibalut. Aku merasakan rasa luka yang amat dalam melihat wajah itu, ini sangat berat, dia akan menghabiskan sisa hidupnya di kursi roda."Apa lagi yang bisa aku lakukan, dengan ke dua kaki yang sebentar lagi takkan berfungsi ...."William tersenyum lagi, tapi matanya berkaca-kaca."Aku mencintai hatimu ....""Sayang, please! Jika kau mencintaiku, cabut saja laporannya, kita berdamai. Suamimu, adalah ancaman terbesar bagi kita."Aku merasakan ucapan William bagaikan pengakuan kekalahan. Aku mencintainya, tapi, apakah dengan melepaskan Ronald, semua menjadi benar?POV RonaldDia lebih kurus, bahkan terlihat pucat. Wanita yang statusnya itu adalah istriku, terlihat sangat kacau. Apa kubilang, kami juga memiliki kekuasan yang lebih tangguh dibanding keluarga Avia. Tak segampang itu membuatku membusuk di penjara. Ini adalah pertemuan pertama kami, setelah beberapa hari aku meninggalkan sel tahanan. Jangan bilang ini adalah keluarga Ronald, jika tak mampu memberikan jawaban cerdas ke publik, dan menutup mulut-mulut yang akan menyebarkan gosip dengan uang dan kekuasaan. Sangat hebat, ayahku mengatakan, bahwa tabrakan itu adalah kecelakaan yang tidak disangaja.Selepas makan malam, aku dan Avia belum beranjak dari tempat duduk kami. Sementara ke dua keluarga seperti tengah berpesta, tertawa bersama di ruang tengah, seakan sama-sama merayakan kebebasanku. "Selamat! Kau sukses menghancurkan hidupku!" katanya sinis.Aku menaikkan alis, lalu memperbaiki letak kaca mataku. Aku tahu betul, kalimat itu bernada sindiran yang terasa mengancam."Tidak, aku b
POV RonaldHujan di luar sana membuat kaca mengembun. Kuusap kaca jendela, memperhatikan sosok yang tengah berjemur di bawah sana, di tepi kolam renang.Semalam, aku ketiduran di kamar khusus milikku, setelah membaca buku selama berjam-jam. Pagi pagi sekali, aku mendapati Avia dengan wajahnya yang masam. Apakah dia kesal? Aku tak peduli. Aku tak pernah peduli yang berkaitan dengan Avia. Kecuali hal yang sangat menganggu, harga diri dan pernikahan kami.Sesaat, kulihat wanita itu bangkit, sementara aku menjauhi jendela kamar lalu keluar dari kamar ini, menuju kamar kami. Di menit ke dua, pintu kamar terbuka, menampilkan wajah tak bersahabat milik Avia. Wajah itu, penuh beban, aku bisa melihat lingkar matanya yang hitam dan pipinya yang semakin kurus. Sefrustasi itu-kah dia? Ah, tentu saja, selingkuhannya baru kehilangan kaki."Aku rasa, kita sudah diajarkan untuk mengetuk pintu sebelum masuk," ucapku santai sambil mengambil sepasang baju dari walk in closet. Seperti biasa, pagi ini a
"Kau baik-baik saja?" tanya Viora, Sekretarisku, dia adalah temanku juga saat masih kuliah dulu. Viora, ibu satu anak yang baik dan pekerja keras. Viora memiliki wajah yang manis, dengan kulit hitam manis dan tubuh tinggi semampai, selain menarik dia juga cerdas, itulah alasan kenapa aku menawarkannya bekerja denganku."Aku baik," sahutku memaksakan senyum. Setiap ada yang bertanya, aku selalu akan katakan, aku baik-baik saja.Kudengar ketukan sepatu Viora mendekat. Hal itu membuatku tak nyaman."Maaf, aku bukan mencampuri urusan pernikahanmu, tapi ... Aku sempat melihat berita tentang Avia ...."Aku menutup buku yang kubaca, kubetulkan letak kaca mataku, lalu melihat ke wajah Viora, wajahnya yang terlihat sedikit tidak enak."Sudah rahasia umum, tentang skandal Avia, bukan?"Viora mengangguk. "Aku turut prihatin." "Tidak apa-apa, biasa saja. Semua telah berlalu."Aku kembali membuka buku yang kubaca tadi, walaupun ingatanku tak lagi ke sana. Fokusku terpecah, topik ini membuat mood
Pov ViaAku mematikan mesin mobil, di pekarangan rumah sederhana yang di sisi kiri dan kanannya terdapat pohon Cemara. Rumah sederhana yang memiliki pekarangan cukup luas. Ukurannya tak lebih dari sepuluh kali tiga belas meter, dengan cat yang mulai mengelupas dan beberapa bagian kunsen pintu telah lapuk. Rumah ini bukan rumah mereka, tapi rumah yang disewa.Aku mengetuk pintu beberapa kali. Kemudian beberapa detik setelah itu, pintu terbuka, menampilkan wajah tua yang rambut dan kumis yang memutih."Hai, Paman," sapaku mencoba melebarkan senyum. Akan tetapi, yang kudapat masih sama, pria lokal itu tak menyukaiku, tatapannya masih saja dingin, mungkin karena apa yang telah menimpa anaknya William."Maaf, Paman. Saya ingin bertemu Will."Pria itu tak langsung menyahut. Dia menatapku tajam."Buat apa? Seharusnya Anda tak lagi mengusik kami. William telah kehilangan kakinya, kami hampir kehilangan toko, dan sekarang Anda datang berkunjung, untuk memancing keributan lagi, cukup!"Aku ters
POV Ronald"Istrimu mengalami kecelakaan, karena menyetir dalam keadaan mabuk."Itulah yang pertama kudengar, dari Ayahku. Setelah pria tua yang berwibawa itu mengetuk pintu kamar tak sabaran dan menunjukkan wajahnya yang cemas.Aku mengusap mataku, sempat tertidur sejenak setelah membaca tabloid di kursi kerja. Pandanganku tak begitu jelas, akhirnya aku meraih kaca mata agar lebih jelas lagi menatap wajah Ayah."Ronald!" "Ah, ya, aku mendengarnya." Aku meminum air mineral yang terletak di atas meja. Kulirik jam dinding, jam dua belas malam. "Lalu bagaimana?" tanyaku, yang lebih tepat disebut sebagai reaksi kebingungan. Aviasya kecelakaan, lalu, bagaimana? Aku rasa pertanyaan-ku tidak salah."Istrimu kecelakaan." Suara ayah meninggi. Pria itu kembali menunjukkan siapa dirinya, yaitu laki-laki yang tak sabaran. "Lalu kau tanya bagaimana? Seharusnya kau bergegas pergi ke rumah sakit!"Aku mengerjap, menyadarkan diriku yang rasanya belum begitu mencerna apa yang terjadi."Ronald!""Ah,
Mata lemah itu, memancarkan sinar kebencian padaku. Bibir judes itu pucat, dia tergeletak tak berdaya bagaikan cucian basah yang teronggok begitu saja."Mama harus pulang!" Kalimat itu memecahkan kesunyian kami, Mama Aviasya bangkit, mengecup kening anaknya. Ya, Tuhan, bahkan dia belum ada duduk sepuluh menit."Besok siang, Mama akan kembali. Ronald akan menjagamu di sini." Mama Aviasya menatapku. "Jaga Avia, Ronald!"Tak ada jawaban dariku. Bahkan dari Aviasya sendiri. Wanita paruh baya itu berlalu. Meninggalkan aku dan Aviasya berdua di ruangan perawatan.Cukup lama hening, Avia membuka bibir pucatnya. Aku yakin, dia akan mengeluarkan sumpah serapah seperti biasa padaku."Kau senang?"Apa kubilang, tak ada perdamaian di antara kami. Aku menaikkan alisku. Antara heran dan geli. Senang? Biasa saja. Mataku, sangat mengantuk. Aku bahkan merasakan perutku kelaparan."Kau senang melihatku begini? Atau malah tak puas karena aku tidak mati.""Apa yang kau bicarakan?"Bibir pucat Aviasya te
Siangnya, aku kembali ke rumah sakit. Entah karena perasaan kemanusiaan, aku membawakan Aviasya sepaket makanan siap saji. Benar yang kuduga, sejak kutinggal pergi bekerja, tak satu pun orang menjenguknya ke rumah sakit."Tak perlu berbuat baik padaku, Ronald. Hal itu takkan mengubah sudut pandangku padamu."Dia berkata sinis. Aku tak menggubrisnya. Matanya melirik ke bungkusan makanan yang kutaruh di atas meja. Kulihat dia tengah menelan air liur, tapi mulutnya gengsi untuk minta tolong. Dan aku tak melakukan apa pun untuk membantunya. "Ibumu datang?""Tidak," sahutnya. "Aku pun tak mengharapkan siapa pun untuk datang, termasuk kamu.""Oh," sahutku, sering di caci maki, membuatku mulai kebal dengan semua perkataan wanita judes ini."Bagi mereka aku tak lah penting. Dan jangan kasihani aku.""Aku tak mengasihanimu, apa yang aku lakukan karena perintah ayahku."Sudut bibir Aviasya terangkat. Mengejek."Anak manja." Dia berkata dengan nada mencemooh.Aku tak punya kekuatan untuk melawa
"Apa yang kau harapkan dariku, Ronald?" kata Avia menatapku dengan mata berkaca-kaca. Setelah sama-sama hening dalam beberapa saat, akhirnya wanita itu memulai percakapannya denganku.Apa yang kuharapkan dari Avia? tidak ada. Aku sama sekali tidak mengharapkan apa pun darinya. Andaikan boleh memilih, aku tidak akan pernah melanjutkan pernikahan ini dengan wanita itu, apa yang bisa aku harapkan dari seorang wanita murahan yang telah melemparkan dirinya ke ranjang pria lain secara cuma-cuma?"Apa kau berpikir aku menaruh harapan kepadamu, Avia? kau salah besar!""Dengan sikapmu yang seperti ini, seolah-olah ini menunjukkan kepadaku, bahwa kau adalah suami yang baik ... Gila!"Aku mengerutkan kening, setelah mendengar apa yang dikatakan oleh wanita itu."Suami yang baik?""Kau bertahan di sini selama beberapa jam. Apa tujuanmu di sini? apa kau ingin menemaniku di sini? seolah-olah kau inginkan menunjukkan kau adalah pahlawan?""Sudahlah, Avia! tidak perlu menjadi pahlawan untuk wanita se
POV RonaldSetelah menempuh perjalanan selama dua jam lebih menggunakan pesawat kelas bisnis, akhirnya kami sampai di salah satu bandara di Kalimantan Utara. Mobil Pajero Sport keluaran tahun 2022 sudah menunggu di bandara dan kami saat ini sedang bersiap-siap menuju salah satu desa yang cukup jauh dari Kecamatan.Sepanjang perjalanan, baik aku dan Avia, sama-sama tak mengeluarkan suara. Hanya Wulan yang bertanya sesekali kepada Via, menanyakan apa yang wanita itu butuhkan.Tampaknya, indahnya pemandangan itu tidak membuat Avia terlihat tergugah untuk menikmatinya, dia seperti mayat yang tidak lagi merasakan perasaan bahagia, sedih atau pun terpukau dengan pemandangan yang telah dibuat oleh Sang Pencipta itu.Menuju kecamatan, jalan yang dilalui masih cukup bagus untuk dilalui oleh kendaraan roda empat, walaupun beraspal kasar tapi tak ada kendala berarti. Setelah lepas dari kecamatan, kami menemui jalan tanah yang licin dan berlumpur.Tak bisa dihitung berapa kali roda mobil tergelin
Sesampai di ruang kerjaku, aku terkekeh dengan apa yang baru saja terjadi. Apa yang terjadi? mencium wanita bekas pria lain yang bahkan tidak layak untuk disentuh.Kenapa aku tidak bisa mengendalikan diri membungkam mulut kurang ajar itu? yang selalu handal dalam memaki dan menghina orang lain. Apa karena dia wanita dan aku tak bisa memukulnya?Aku tahu wanita itu marah besar, karena selalu menguasai dirinya. Dengan kondisinya yang sudah tidak lagi seperti dulu, dia pasti sangat membenci semua orang yang berada di sekelilingnya. Termasuk orang tuanya sendiri yang telah mengatur kepindahan kami ke Kalimantan.Akhirnya, aku mengganti bajuku yang diludahi oleh Avia. Wanita itu memang handal dalam menjatuhkan martabat siapa pun, yang menganggap diriku adalah abu yang bisa dia injak-injak dengan sandalnya yang kotor. Wanita itu sama sekali tidak mencerminkan watak normal seperti wanita yang lain. Jangan tanyakan apakah di hatinya memiliki kasih sayang? tidak ... yang ada dalam dirinya adal
POV Ronald Seminggu pasca operasi patah tulang, akhirnya dia diperbolehkan kembali ke rumah. Wanita itu masih seperti biasa, terlihat tertutup dan menjengkelkan. Ayahku bahkan sudah menyiapkan segalanya, termasuk seorang wanita yang ditugaskan menjadi perawat pribadi untuk Avia, mengurus wanita itu secara khusus, karena wanita itu sama sekali tidak berdaya dengan kakinya yang patah."Perkenalkan nama saya Wulan," kata wanita itu kepada kami. Hari ini, dia langsung diutus oleh Ayahku untuk menemui dengan kami secara langsung. Dia adalah wanita dengan berperawakan tinggi dan tubuh yang langsing, kulit yang cerah dan wajah yang cukup cantik. Aku memperkirakan umurnya berkisar mendekati tiga puluh. Dia terlihat ramah tapi tegas, dia memiliki tatapan yang penuh percaya diri dan tak gentar dengan lawan bicaranya. Ayahku pasti sudah memperhitungkan, wanita seperti apa yang bisa dijadikan sebagai perawat Avia yang keras kepala dan tidak bisa diberi nasehat."Saya akan melayani Mbak Avia den
"Apakah Mama mengetahui rencana dari ayahnya Ronald yang memindahkan kami ke Kalimantan?"Wanita cantik yang sudah tidak muda lagi itu hanya bisa mengangguk pasrah."Itu adalah kesepakatan dua keluarga.""Dan Mama sama sekali tidak menolaknya?""Kau tau pasti, Mama tak bisa bersuara terhadap apa pun keputusan Ayah Ronald dan Papamu."Aku menghela napas panjang."Sebegitu inginnya kalian menyingkirkanku?""Ini bukan perkara menyingkirkan. Suamimu, Ronald adalah pria yang harus kau dampingi kemana pun." "Kalimantan? itu tidak masuk akal!Bagaimana mungkin aku harus pindah ke sebuah daerah yang sama sekali berbeda dengan ibu kota? Kadang aku berfikir, siapa sebenarnya diriku? Aku mewarisi semua kecantikanmu tapi sama sekali tidak ada kedekatan di antara kita!" Aku berbicara dengan hati yang luka."Mama akan mengatakan sebuah rahasia besar kepadamu, tapi kita tunggu, sampai kondisimu membaik.""Rahasia seperti apa yang akan Mama katakan kepadaku? karena terlalu banyak rahasia di keluarga
POV AviaPria itu sudah pergi, pria yang menjadi sumber kesialan di dalam hidupku itu sudah meninggalkan ruangan ini beberapa menit yang lalu. Apa yang baru saja dikatakannya? pindah ke Kalimantan bersamanya? apa dia berpikir aku akan menjadi orang primitif dengan hidup berdua dengan pria tidak waras seperti Ronald? tidak! aku tidak akan melakukan itu sama sekali.Ronald adalah musuh terbesar yang harus dilenyapkan. Semua kekacauan yang terjadi adalah karena dirinya. Rasanya sangat menyesakkan dada, ketika aku tidak bisa mengendalikan hidupku sendiri, aku terjajah ... bahkan tidak bisa memilih dengan siapa aku ingin bahagia.Lalu bagaimana setelah ini? aku akan bergantung dengan kursi roda selama beberapa bulan. Kenapa tak langsung mati saja? "Sial!" amarah amat besar kurasakan. sebuah gejolak rasa frustasi yang tak ada batas. aku benci semua takdir ini. benci semuanya.Perasaan sesak dan sedih itu tidak bisa kutahan, rasa membara meletup di dalam dada. Aku begitu marah terhadap tak
"Apa yang kau harapkan dariku, Ronald?" kata Avia menatapku dengan mata berkaca-kaca. Setelah sama-sama hening dalam beberapa saat, akhirnya wanita itu memulai percakapannya denganku.Apa yang kuharapkan dari Avia? tidak ada. Aku sama sekali tidak mengharapkan apa pun darinya. Andaikan boleh memilih, aku tidak akan pernah melanjutkan pernikahan ini dengan wanita itu, apa yang bisa aku harapkan dari seorang wanita murahan yang telah melemparkan dirinya ke ranjang pria lain secara cuma-cuma?"Apa kau berpikir aku menaruh harapan kepadamu, Avia? kau salah besar!""Dengan sikapmu yang seperti ini, seolah-olah ini menunjukkan kepadaku, bahwa kau adalah suami yang baik ... Gila!"Aku mengerutkan kening, setelah mendengar apa yang dikatakan oleh wanita itu."Suami yang baik?""Kau bertahan di sini selama beberapa jam. Apa tujuanmu di sini? apa kau ingin menemaniku di sini? seolah-olah kau inginkan menunjukkan kau adalah pahlawan?""Sudahlah, Avia! tidak perlu menjadi pahlawan untuk wanita se
Siangnya, aku kembali ke rumah sakit. Entah karena perasaan kemanusiaan, aku membawakan Aviasya sepaket makanan siap saji. Benar yang kuduga, sejak kutinggal pergi bekerja, tak satu pun orang menjenguknya ke rumah sakit."Tak perlu berbuat baik padaku, Ronald. Hal itu takkan mengubah sudut pandangku padamu."Dia berkata sinis. Aku tak menggubrisnya. Matanya melirik ke bungkusan makanan yang kutaruh di atas meja. Kulihat dia tengah menelan air liur, tapi mulutnya gengsi untuk minta tolong. Dan aku tak melakukan apa pun untuk membantunya. "Ibumu datang?""Tidak," sahutnya. "Aku pun tak mengharapkan siapa pun untuk datang, termasuk kamu.""Oh," sahutku, sering di caci maki, membuatku mulai kebal dengan semua perkataan wanita judes ini."Bagi mereka aku tak lah penting. Dan jangan kasihani aku.""Aku tak mengasihanimu, apa yang aku lakukan karena perintah ayahku."Sudut bibir Aviasya terangkat. Mengejek."Anak manja." Dia berkata dengan nada mencemooh.Aku tak punya kekuatan untuk melawa
Mata lemah itu, memancarkan sinar kebencian padaku. Bibir judes itu pucat, dia tergeletak tak berdaya bagaikan cucian basah yang teronggok begitu saja."Mama harus pulang!" Kalimat itu memecahkan kesunyian kami, Mama Aviasya bangkit, mengecup kening anaknya. Ya, Tuhan, bahkan dia belum ada duduk sepuluh menit."Besok siang, Mama akan kembali. Ronald akan menjagamu di sini." Mama Aviasya menatapku. "Jaga Avia, Ronald!"Tak ada jawaban dariku. Bahkan dari Aviasya sendiri. Wanita paruh baya itu berlalu. Meninggalkan aku dan Aviasya berdua di ruangan perawatan.Cukup lama hening, Avia membuka bibir pucatnya. Aku yakin, dia akan mengeluarkan sumpah serapah seperti biasa padaku."Kau senang?"Apa kubilang, tak ada perdamaian di antara kami. Aku menaikkan alisku. Antara heran dan geli. Senang? Biasa saja. Mataku, sangat mengantuk. Aku bahkan merasakan perutku kelaparan."Kau senang melihatku begini? Atau malah tak puas karena aku tidak mati.""Apa yang kau bicarakan?"Bibir pucat Aviasya te
POV Ronald"Istrimu mengalami kecelakaan, karena menyetir dalam keadaan mabuk."Itulah yang pertama kudengar, dari Ayahku. Setelah pria tua yang berwibawa itu mengetuk pintu kamar tak sabaran dan menunjukkan wajahnya yang cemas.Aku mengusap mataku, sempat tertidur sejenak setelah membaca tabloid di kursi kerja. Pandanganku tak begitu jelas, akhirnya aku meraih kaca mata agar lebih jelas lagi menatap wajah Ayah."Ronald!" "Ah, ya, aku mendengarnya." Aku meminum air mineral yang terletak di atas meja. Kulirik jam dinding, jam dua belas malam. "Lalu bagaimana?" tanyaku, yang lebih tepat disebut sebagai reaksi kebingungan. Aviasya kecelakaan, lalu, bagaimana? Aku rasa pertanyaan-ku tidak salah."Istrimu kecelakaan." Suara ayah meninggi. Pria itu kembali menunjukkan siapa dirinya, yaitu laki-laki yang tak sabaran. "Lalu kau tanya bagaimana? Seharusnya kau bergegas pergi ke rumah sakit!"Aku mengerjap, menyadarkan diriku yang rasanya belum begitu mencerna apa yang terjadi."Ronald!""Ah,