“Ehm … saya rasa karena Anda memiliki sandal anak-anak di dalam rak sepatu Anda, Tuan Muda Lorenzo." Amora bergegas menjelaskan pikiran putranya tersebut. Ia tidak ingin terjadi kesalahpahaman di antara keduanya. Kedua alis Regis bertaut. Ia tertegun selama tiga detik, lalu ia tertawa kecil. “Ternyata karena itu,” gumamnya. “Maafkan Ray, Tuan. Saya harap Anda tidak memasukkannya ke hati. Mungkin karena dia hanya penasaran saja,” tukas Amora yang berusaha membela putranya. Ia khawatir Regis tersinggung dengan ucapan putranya itu. Perlahan tawa Regis terhenti. Ia menatap Rayden yang sedang menunggu jawaban darinya, lalu pandangannya tertuju lurus kepada Amora. Wanita itu terlihat salah tingkah dan memilih untuk membantu Rayden untuk meletakkan sepatu ke dalam raknya. Regis pun tersenyum kecil. Ia mengikuti gerak-gerik Amora, kemudian berkata, “Kamu tidak perlu meminta maaf, Amora. Tidak ada yang salah dari pertanyaan Ray." Pandan
“Te-tentu saja hanya istri ataupun kekasih Anda yang berhak. Tidak pantas kalau saya yang menanyakan hal yang berada di luar porsiku sebagai tamu di sini,” cicit Amora dengan wajah yang sedikit tertunduk.Ia sengaja memutuskan kontak mata dengan Regis karena rasanya jawaban yang diberikan kepada pria itu terdengar seperti ia sedang memendam kecemburuan. Padahal tidak sedikit pun di dalam pikiran Amora untuk bersikap seperti itu.Amora berusaha memperjelas hubungan mereka kepada pria itu. Akan tetapi, ucapan dan tindakannya benar-benar sulit diselaraskan.Saat ini jantung Amora masih berpacu dengan cepat karena tindakan yang dilakukan Regis terhadapnya. Telunjuk pria itu masih berada di atas bibirnya. Kali ini pria itu menarik dagunya sehingga tatapan mereka kembali bertemu.Sudut bibir Regis terangkat tipis. Perlahan ia mendekati wajah wanita itu sehingga netra Amora langsung terpejam erat.Wanita itu mengira Regis akan merebut ciuman secara paksa darinya. Akan tetapi, ternyata Regis
Amora berjalan mengelilingi penthouse itu untuk mencari putranya yang tidak kelihatan sosoknya sejak tadi. Wajahnya masih terasa panas dan memerah. Berbagai umpatan terhadap Regis masih terlintas di dalam benaknya.“Di mana anak itu?” gumam Amora seraya menghela napas panjang. Ia sudah cukup lelah dan sekarang harus mengitari penthouse itu.Penthouse itu begitu luas hingga Amora tidak tahu harus melangkah ke mana untuk mencari putranya. Akhirnya ia terpaksa memanggil anak laki-laki itu untuk mempersingkat waktu pencariannya."Ray, keluarlah! Kamu di mana?" “Mama!” sahut Rayden.Amora pun menoleh ke arah sumber suara dan melihat sosok putranya yang baru saja menyembulkan wajahnya dari balik salah satu pintu ruangan.“Apa yang kamu lakukan di sana, Ray? Jangan berkeliaran sembarangan. Ini bukan rumah kita. Bersikaplah yang sopan,” ucap Amora mengingatkan anak laki-laki itu.Rayden mengerucutkan bibirnya, lalu mengikuti ibunya menuju ruang tengah di mana terdapat sofa berkelas tinggi da
“Ma, Ray sudah lapar nih.” Rayden kembali merengek karena melihat ibunya belum beranjak dari tempatnya. “Apa kamu tidak mau makanan yang lain, Ray?” tanya Amora memastikan kembali. “Tidak. Makan mi instan lebih cepat. Jadi Ray tidak perlu menunggu lama,” tukas Rayden yang berusaha menjelaskan alasan memilih makanan cepat saji tersebut. Namun, Amora mengetahui kebohongannya. Ia sangat tersentuh dengan pemikiran dewasa putranya itu yang tidak ingin merepotkannya. Meskipun saat ini Amora belum memiliki uang yang bisa memberikan makanan mewah kepada putranya, tetapi ia akan memberikan makanan terbaik yang bisa didapatkannya dengan beberapa uang yang masih tersisa di dalam dompetnya. “Mama akan mencari di mini market terdekat dulu. Kamu tunggu di sini ya,” ujar Amora. Rayden mengangguk. Baru saja Amora ingin melangkah keluar, ia kembali berbalik badan dan menatap putranya dengan tajam. “Ingat jangan menyentuh barang apa pun ya, Ray. Kita di sini hanya menumpang. Jadi jangan membua
Sepeninggalan karyawan hotel itu, Amora memandang sepucuk surat yang ditinggalkan Regis untuknya di tangannya saat ini. Ia mencebikkan bibirnya dengan kesal. 'Apa dia tidak bisa berbicara secara langsung?' gerutu Amora di dalam hati. Ia berpikir jika cara yang dilakukan pria itu terlalu kuno, tetapi tidak dapat dipungkiri jika penyampaiannya sangat mengena di hatinya. Amora pun merobek rekatan di dalam amplop berwarna merah muda tersebut, kemudian mengeluarkan selembar kertas yang bertuliskan, “Selamat menikmati makanannya. Tidak perlu menungguku. Aku akan pulang larut. Kamu dan Rayden bebas menggunakan kamar mana pun.” ‘Ternyata dia pergi,’ gumam Amora di dalam hati. Ia kembali membaca isi surat tersebut, tetapi bola matanya tiba-tiba terbelalak lebar saat melihat tulisan singkat di sudut bawah isi surat tersebut. “P.S. Jangan merindukan pria mesummu ini.” Wajah Amora pun memerah seketika. Ia pun meremas lembaran kertas tersebut secara spontan. “Dasar sinting,” umpatnya. “Ad
Pernyataan Rayden membuat Amora tercengang. Sejak awal ia sudah dapat merasakan ketertarikan putranya terhadap Regis, tetapi ia tidak menyangka putranya itu akan memiliki pemikiran untuk menjadikan Regis sebagai ayah dari putranya itu.“Ray ….”Sebelum Amora bertanya lebih jauh, anak laki-laki itu kembali berkata, “Setidaknya Paman Lorenzo lebih baik … Tidak! Jauh lebih baik daripada lelaki yang sudah meninggalkan Mama dan Ray begitu saja tanpa bertanggung jawab.”Amora terperangah syok. “Maksud kamu … papa kandungmu, Ray?” tanyanya memastikan dengan ragu.Rayden mengangguk. “Ray membencinya! Benci karena dia tidak datang melindungi Mama dan membiarkan Mama membesarkan Ray sendirian. Di saat Mama memerlukannya, dia tidak pernah hadir sama sekali. Ray sangat-sangat membencinya!” tandasnya.“Ray, kamu ….”Kalimat Amora terhenti sejenak. Ia tidak tahu harus bagaimana menjelaskan kepada putranya mengenai kedua lelaki yang dianggapnya berbeda itu.Helaan napas panjang bergulir dari bibir A
Regis hendak mengulurkan tangannya untuk menghalau rambut halus Amora yang menghalangi pandangannya, tetapi ia kembali menarik tangannya ketika menyadari hal yang akan dilakukannya. Regis mengepalkan tangannya dengan erat dan memejamkan netranya sejenak untuk menenangkan geloranya yang tengah memburu.Satu helaan napas panjang bergulir dari bibir pria itu. “Apa yang sudah kupikirkan tadi?” gumamnya seraya mencubit pangkal hidungnya. Ia pun melangkah meninggalkan ruangan itu untuk membersihkan tubuhnya terlebih dahulu. Ia tidak ingin mengotori wajah dan tubuh wanita itu dengan kedua tangannya yang masih kotor. Beberapa waktu lalu Regis baru saja terlibat dalam aksi kekerasan dan pertumpahan darah. Alasannya meninggalkan penthouse tadi memang terkait dengan masalah organisasinya. Regis mendapatkan laporan dari salah satu bawahan kepercayaannya bahwa ada sekelompok orang yang menggunakan nama besar Royal Dragon untuk melakukan penipuan dengan para organisasi hitam lainnya. Karena la
“Ja-jangan mendekat, Regis!” hardik Amora yang kelepasan bicara secara informal dan memanggil nama pria itu secara langsung. Perlahan sudut bibir Regis melengkung dalam. Ia berdiri dengan posisi berkacak pinggang dan menatap Amora yang masih dalam posisi memberikan jarak dengan kedua tangannya di hadapan mereka. “Aku suka kamu memanggil namaku. Terdengar sangat manis,” gumam Regis yang membuat netra Amora semakin terbelalak lebar. Amora menggigit bibir bawahnya. Ia merasa sangat kesal karena pria itu berhasil mempermainkannya lagi."Tuan Muda Lorenzo, tolong jaga sikap Anda atau saya akan ...."“Akan apa, hm? Berteriak?" sela Regis menerka aksi yang akan dilakukan wanita itu terhadapnya.Saat ini kondisi Amora seperti seekor kelinci malang yang masuk ke dalam perangkap sang pemburu."Kamu tidak lupa kan kalau sekarang kamu berada dalam daerah kekuasaanku? Memangnya siapa yang bisa menolongmu kalau kamu berteriak?” ledek Regis seraya tertawa kecil. Wajah Amora kembali memerah. Ia m
Satu per satu acara pun dimulai dan berakhir dengan lancar. Regis juga memperkenalkan kedua putranya yang menjadi kebanggaan keluarga Lorenzo di hadapan para tamunya. Kali ini Regis tidak melarang beberapa awak media terpercaya untuk meliput kedua buah hatinya itu. Namun, para bawahan Regis tetap memberikan batasan-batasan yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat mengambil gambar. Akhirnya tiba saatnya sesi pelemparan buket bunga yang dilakukan oleh Amora sebagai mempelai wanita. Para gadis maupun pemuda lajang telah bersiap-siap untuk berebutan buket dari sang mempelai wanita.Biana juga telah bersiap di posisinya. Pada hitungan ketiga, buket bunga tersebut melayang di udara dan semua orang berlomba-lomba menggapainya. Buket bunga tersebut beralih dari satu tangan ke tangan yang lain hingga akhirnya seseorang berhasil merebutnya! Seketika suasana menjadi sangat hening, semua orang berdiri mematung untuk melihat sosok yang beruntung tersebut. Biana tampak kesal karena ia tidak b
Dalam balutan gaun pengantin berwarna putih gading dan tiara cantik yang menghiasi puncak kepalanya serta juntaian wedding veil yang menutupi sebagian wajahnya, Amora berjalan selangkah demi selangkah menuju ke arah suaminya, Regis Lorenzo. Wanita itu mengamit lengan Alejandro Volker selaku ayah kandungnya. Mereka berjalan berdampingan. Terlihat sosok sepasang malaikat kecil di depan mereka yang berpenampilan tampan dan imut. Mereka tidak lain adalah Rayden dan Kimmy. Keduanya berjalan bergandengan tangan sembari menebarkan kelopak bunga mawar yang menuntun langkah mempelai wanita menuju ke ujung aisle. Sementara itu, tiga orang bridesmaid berjalan di belakang Amora. Mereka adalah Estelle Mauverick, Biana Curtiz dan Alicia Lorenzo. Amora memandang ke sekelilingnya. Ia bertemu pandang dengan beberapa orang terdekatnya seperti Noel Ritter, Chris Walden, Bianca Lysander, Hilde Maven, Henry Allen serta Emma Adams yang sedang menggendong buah hatinya, Ryuji Lorenzo. Amora memberikan la
“Ada apa? Kamu masih saja cemburu dengan mantan istrimu?” goda Gino yang sejak tadi memperhatikan Regis di belakangnya. Malam ini pria itu memang menjadi groomsmen-nya alias pendamping mempelai pria. Regis hanya melayangkan tatapan tajamnya. Ia enggan menanggapinya. “Aku mengerti. Mantan memang sulit dilupakan. Apalagi mantan pertama. Rasanya aku ingin mencabik-cabiknya,” geram Gino yang dapat memahami perasaan Regis. Istrinya juga masih beberapa kali bertemu dengan mantan suaminya karena mantan suami istrinya itu ingin bertemu dengan Kimmy, putri mereka. “Apa mau aku membantumu?” tawar Regis dengan serius. Gino langsung meliriknya dengan syok. Tentu saja ia memahami maksud dari Regis. “Mengambil nyawanya bukan penyelesaian yang baik, Regis. Kalau Estelle dan Kimmy tahu aku yang sudah menghabisi ayah kandungnya, mau ditaruh di mana wajahku ini,” timpalnya. Regis mengulum senyumnya. “Dasar pengecut,” ledeknya. Gino mencebikkan bibirnya dengan malas. Ia mengedarkan pandangannya ke
“Ada apa, Amora?” tanya Estelle dan Biana secara serempak. Mereka tampak khawatir melihat kondisi Amora. Namun, Amora menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Sepertinya aku harus memompa asiku dulu deh. Tapi, aku tidak bawa alatnya lagi,” cicitnya. “Tenang saja. Aku bawa kok. Pakai punyaku dulu saja,” sahut Estelle sembari mengambil tas ransel yang berisi berbagai barang keperluan putra keduanya. Amora pun meminjam peralatan pompa asi dari sahabatnya, lalu bergegas menyelesaikan kegiatannya dan kembali melanjutkan persiapannya untuk acara malam ini. “Tolong kalian gunakan jari-jari ajaib kalian untuk menyulapnya menjadi ratu tercantik sejagat raya malam ini,” pinta Estelle kepada para penata rias dan penata busana pilihannya. “Serahkan saja kepada kami, Nyonya Moonstone!” sahut tim tersebut. *** Suara alunan piano memenuhi di sekitar lahan hijau yang telah didekorasi dengan sangat cantik. Pintu masuk menuju ke area resepsi acara juga telah dihiasi dengan aneka bunga segar berwarna put
“Apa? Pesta pernikahan?” Amora menatap Mark dengan syok, lalu memandang Biana dan Estelle yang sedang tersenyum sumringah padanya. “Sejak kapan kalian merencanakan semua ini, hm?” selidik Amora dengan sengit. “Maaf, Amora. Kami benar-benar tulus ingin memberikan kejutan. Tolong jangan marah,” cicit Estelle. “Benar, Amora. Aku juga terpaksa mengikuti rencana mereka. Tapi, percayalah kalau kami tidak pernah bermaksud buruk padamu,” timpal Biana dengan bersungguh-sungguh. “Ck, kalian benar-benar tidak setia kawan, huh?” Amora mengomeli kedua sahabatnya. Ia masih sangat kesal dibohongi dan dipermainkan seperti orang bodoh. “Tentu saja kami setia kawan, Amora. Kami ingin kamu bahagia,” cetus Estelle yang diikuti anggukan oleh Biana. “Sia-sia saja air mataku tadi,” sungut Amora dengan wajah ditekuk masam. Regis menghampiri istrinya tersebut, lalu menyeka sudut mata wanita itu yang masih berair. “Jangan marah lagi, Sayang. Maafkan aku. Aku bersedia menerima hukuman apa pun,” ucapnya.
Suara letusan konfeti mengagetkan Amora. Refleks, ia memejamkan matanya dan taburan potongan kertas warna-warni menghujani tubuhnya. “Surprise!” Seruan penuh semangat terdengar di telinganya. Ketika ia membuka matanya kembali, ia disuguhkan dengan kehadiran Regis yang telah berdiri di depan matanya. “Regis?” Amora menatap suaminya dengan kening yang berkerut. Pandangan Amora pun mengedar ke sekelilingnya. Ia tidak menemukan sosok yang mencurigakan di dalam ruangan itu. Justru ia malah dikagetkan dengan kehadiran beberapa orang yang dikenalnya. “Kalian ….” Amora memandang satu per satu sosok tersebut dengan bingung. Tatapannya terhenti pada Alicia yang berdiri di sampingnya. Gadis itu memegang konfeti yang diletuskannya tadi. Amora pun menginterogasinya. “Alicia, kenapa kamu bisa ada di sini? Apa maksud semua ini? Di mana wanita itu?" "Wanita?" Regis memandang Amora dengan bingung. "Tidak usah berpura-pura, Regis. Apa kamu menyembunyikannya?" selidik Amora. Ia telah mendorong d
Perasaan Amora terasa tidak karuan. Ucapan Alicia masih terngiang jelas di dalam benaknya. “Ini tidak mungkin. Tidak mungkin,” gumam Amora berulang kali.Seth melirik kaca spion mobil tengah untuk memantau kondisi nyonya mudanya tersebut. Ia tidak tahu menahu tentang hal yang terjadi. Tadi wanita itu hanya memintanya untuk segera mengantarkannya ke Mansion Blue Lake.Tadi Alicia berkata jika ia melihat Regis bertemu dengan seorang wanita saat ia dalam perjalanan menuju taman bermain dengan Rayden. Padahal sepengetahuannya, pria itu seharusnya berada dalam perjalanan ke Italia seperti yang dikatakannya kemarin kepadanya.Alicia berkata kepada Amora jika ia telah membuntuti Regis dan melihat keduanya masuk ke dalam Mansion Blue Lake. Tentu saja hal tersebut membuat Amora sangat terkejut. Ia tidak percaya jika Regis melakukan sesuatu yang mengkhianati cinta mereka.Namun, di satu sisi, Amora juga yakin kalau Alicia tidak mungkin membohonginya. ‘Apa mungkin Regis tidak jadi berangkat ke
“Bagaimana? Apa kamu bisa tenang membiarkan Emma membantumu mulai hari ini?” tanya Liliana meminta pendapat menantunya tersebut. Amora tertegun. Ia menatap Emma yang masih menunggu tanggapannya. “Tentu saja aku setuju,” sahutnya dengan mengulas senyuman lebar di bibirnya. Dibandingkan para pengasuh lain, Amora tentu saja akan lebih percaya dengan Emma. Dulu wanita paruh baya itu juga sering membantunya menjaga Rayden. “Tapi, apa Nyonya Adams tidak apa-apa? Aku tidak ingin terus-menerus merepotkan Anda. Apa Henry dan Hilde mengizinkannya?” tanya Amora dengan penuh selidik. Ia tidak ingin putra dan menantu Emma tidak menyetujui hal tersebut. Apalagi kondisi Emma yang pernah dirawat di rumah sakit dulu. “Tenang saja, Amora. Malah mereka memintaku untuk membantumu. Hilde malah lebih mendukungku,” terang Emma yang dapat memahami pemikiran Amora tersebut. “Nanti Tante akan sering-sering datang dan ikut membantu kok,” timpal Liliana yang mencoba meyakinkan menantunya itu. Amora tersen
“Selamat pagi Anak Mama. Bagaimana tidurnya semalam, hm?”Amora berceloteh sendiri dengan Ryuji yang sedang duduk di dalam box bayinya. Amora baru saja bangun saat mendengar suara bayi bertubuh gembul itu.“Anak Mama sudah bangun saja pagi begini. Siapa yang sudah menggantikan popokmu, hm? Papa?” tanya Amora ketika melihat putranya telah berganti pakaian.Ryuji hanya menanggapinya dengan senyuman lebar dan menendang kedua tangan dan kakinya berulang kali. Ia asyik memasukkan teether ke dalam mulutnya dan menggigit-gigitnya dengan gemas.Amora pun menggendong Ryuji keluar dari tempat tidurnya dan mengelilingi kamarnya untuk mencari keberadaan Regis.“Sayang,” panggil Amora. Namun, tidak ada yang menyahutnya.“Ke mana dia?” gumam Amora yang akhirnya kembali ke kamarnya. Ia baru menyadari jika koper yang dipersiapkannya semalam untuk Regis sudah tidak ada di tempatnya.“Dia sudah pergi?” terka Amora dengan terheran-heran.Tidak biasanya Regis pergi tanpa berpamitan padanya. Biasanya Regi