Regis menyugar surainya dengan frustasi. Ia bergegas membalas pesan istrinya. Jemarinya bergerak dengan cepat pada layar gawainya. [Maaf, Amora. Aku bukan tidak mau membalas pesanmu. Tapi, tadi tidak terkirim. Sekarang keadaanku sangat baik.] Pesan tersebut terkirim dalam hitungan detik, tetapi dalam hitungan detik pula Regis menunggu balasan dari wanita itu dan ia sudah tidak sabar menunggu. Akhirnya ia memutuskan untuk melakukan panggilan keluar. Sayangnya, Amora tidak menjawab teleponnya. “Ke mana dia?” gumam Regis dengan cemas. Regis kembali melakukan panggilan ulang dan hasilnya tetap sama saja. Akhirnya Regis mencoba menghubungi putranya dan dalam beberapa detik, terlihat wajah dan suara anak laki-lakinya itu pada layar gawainya. “Halo, Papa.” Rayden melambaikan tangannya dan tersenyum lebar. Regis membalas senyumannya. Alih-alih bertanya tentang putranya, ia langsung mempertanyakan tentang istrinya, “Ray, M
Suara tawa seketika membahana di dalam ruangan kedap suara itu. Pria bersurai ombre biru seperti ombak yang tengah memegang gelas wine di tangannya itu langsung berjalan menghampiri Regis. “Kalau tidak seperti itu, aku tidak tahu apakah aku masih memiliki kesempatan untuk bertemu dengan pangeran terhormat sepertimu ini,” balasnya mencibir Regis. "Apa aku perlu membeli lotre hari ini karena Tuan Muda sesibukmu bisa datang memenuhi undanganku?" ledek pria itu lagi. Tangannya telah merangkul pundak Regis dan mengajaknya untuk duduk bersama mereka di ruangan itu. Namun, Regis menepis tangan pria tersebut dan mendelik tajam padanya. “Aku baru tahu kalau ada orang yang sesantai sepertimu di dunia ini. Sepertinya aku perlu berganti profesi menjadi pengusaha permata saja daripada menjadi mafia, Tuan Muda Moonstone,” tukasnya. Pria berpenampilan fashionable dari ujung rambut hingga ke ujung kaki itu adalah Gino Moonstone, putra dari seorang pengusaha permata ternama. Satu dari sepuluh pert
“Hei, Bocah. Kita ke sini untuk merayakan kedatanganmu. Apa kamu tidak bisa menghargaiku sedikit?” celetuk Gino kepada Xavier yang masih asyik berkutat dengan laptopnya. Mendengar Gino memanggilnya dengan sebutan ‘Bocah’, Xavier langsung mendelik tajam padanya. Meskipun usianya jauh lebih muda dibandingkan kedua pria itu, tetapi ia tidak ingin dianggap remeh.Xavier malas berdebat sehingga ia kembali mengabaikannya. Gino menghela napas berat. Mendengar kabar kedatangan Xavier dari Regis kemarin, Gino merasa sangat antusias. Ia langsung menggunakan penerbangan paling malam kemarin demi bertemu dengannya meskipun ia berada di belahan benua lain, tetapi sesampainya di sini, ia malah diabaikan seperti ini. “Kenapa juga aku bisa berteman dengan manusia seperti kalian ini?” keluh Gino yang telah memasang wajah kesal. Tentu saja ia tidak serius mengatakan hal itu. Ia hanya menyampaikan protesnya kepada kedua pria itu.Sejak peristiwa yang melibatkan mereka dalam kasus pencurian dan penipu
Regis menyodorkan botol vodka yang dibuka Gino tadi kepada Xavier. “Sudah selesai?” Xavier mengangguk. Ia mengambil gelas kosong dan menerima tawaran minum dari Regis. “Memangnya kamu punya tugas apa lagi selain tugas yang kuberikan, Xavier?” Regis cukup penasaran dengan kesibukan sahabatnya itu. Padahal ia hanya meminta sedikit bantuan kepada pemuda itu untuk mengawasi putranya saja. Ya, demi keamanan Rayden di sekolah, Regis meminta bantuan Xavier untuk menjaganya. Regis tidak bisa mempercayakan Rayden kepada siapa pun karena ancaman bahaya Levent maupun Golden Snake cukup membuatnya mewaspadai setiap bawahannya. Ketika mendengar kedatangan Xavier, Regis berpikir tidak ada orang lain yang cocok selain Xavier yang bisa membantunya menjalankan misi itu. Kepercayaan Regis terhadap pemuda itu tidak muncul berdasarkan insting saja, tetapi mereka sudah berhubungan cukup lama untuk mengenal satu sama lain. Memang setelah kasus pencurian permata itu selesai, Regis tidak menemukan Xavi
"Percayakan masalah putramu itu kepadaku, Regis. Aku akan memastikan keamanannya terjamin." Mendengar ucapan Xavier, Regis tersenyum dan mengangguk. Ia yakin pemuda itu tidak akan mengecewakannya. “Kalian membicarakan apa sih? Apa tidak bisa membicarakan sesuatu yang kumengerti?” cetus Gino yang merasa lebih diasingkan lagi karena pembicaraan mereka. Xavier terkekeh geli. “Lebih baik kamu tidak tahu kalau mau panjang umur,” ledeknya. Gino berdecak sebal. Ia pun memilih untuk menyesap vodkanya daripada terlihat seperti orang bodoh. Ia tahu jika Regis memang sengaja tidak menceritakan kepadanya karena tidak ingin dirinya dan keluarga Moonstone ikut terlibat. Tanpa menanyakannya pun, Gino tahu jika hampir sebagian besar hal yang dihadapi Regis adalah hal berbahaya yang mengancam jiwa. Bukan dirinya tidak ingin menawarkan bantuan kepada Regis, tetapi Gino tahu sebatas apa kemampuan yang dimilikinya. Dirinya hanya akan menjadi penghambat bagi Regis saja. Lagipula Gino yakin Regis meng
Regis telah tiba di penthousenya. Ia menekan kode akses pintu kediamannya dan melangkah masuk setelah pintu tersebut terbuka. Ruangan di dalam penthouse terlihat temaram karena hanya tersisa beberapa lampu saja yang menyala di beberapa titik ruangan itu. "Amora? Ray?" panggil Regis. Akan tetapi, tidak ada sahutan dari kedua orang tersebut.Keadaan di dalam begitu hening dan tidak terdengar sedikit pergerakan pun selain langkah Regis sendiri. ‘Sepertinya semua sudah tidur,'terkanya. Netranya melirik arloji di pergelangan tangan kirinya yang kini telah menunjukkan pukul sembilan malam. Perjalanan menuju ke penthousenya tadi cukup memakan waktu karena sempat terjebak kemacetan. Setelah mengganti alas kakinya, Regis berjalan menuju ruang keluarga. Langkahnya terhenti ketika ia merasakan sakit pada area bagian bawah dada. Tangannya langsung mencari sesuatu yang bisa dijadikan tumpuannya sejenak. Ia menundukkan sedikit tu
Rebusan air jahe yang dibuat Amora telah mendidih. Ia pun menuangkannya ke dalam gelas bening, lalu membawakannya dengan mengalasi cangkir tersebut dengan coaster.Tidak lupa ia juga membawakan dua butir putih telur yang baru saja direbusnya. Ia pernah diberitahu oleh Noel jika putih telur rebus sangat berguna untuk menurunkan asam lambung yang berlebih.Amora berjalan menuju kamar tidur karena Regis sudah tidak berada di dalam ruangan keluarga. Ketika memasuki kamarnya, ia mendengar suara aliran air dari balik pintu kaca kamar mandi.Ia pun meletakkan gelas berisi air jahe itu dan piring berisi putih telur di atas meja kecil yang berada di samping tempat tidur.Amora berpikir untuk keluar dari ruangan tersebut sebelum Regis keluar dari kamar mandi. Akan tetapi, suara aliran air sudah tidak terdengar lagi dari balik pintu kamar mandi. Tidak berapa lama kemudian Regis telah keluar dari kamar mandi tersebut dengan hanya berbalut jubah mandi saja.Amora buru-buru memalingkan wajahnya. “A
“Bicaralah,” jawab Amora dengan acuh tak acuh. Sikapnya membuat Regis geram bukan kepalang. Ia tidak langsung berbicara karena melihat Amora yang sengaja mengabaikannya dengan tetap berkutat dengan gawainya seolah tidak menghargai keberadaannya. Akhirnya Regis meraih gawai tersebut dari tangan wanita itu. “Regis, kembalikan handphoneku!” hardik Amora. Namun, Regis menyimpan benda itu dari balik punggungnya. “Ini sudah malam, Amora. Memangnya siapa yang tidak tahu waktu sampai mengganggumu semalam ini?” selidiknya. Sebelum Amora menjawab, Regis telah memeriksa gawai istrinya lebih dulu. Namun, layar gawai itu hanya menampilkan permainan yang sedang dimainkan oleh wanita itu. “Tidak ada yang menghubungiku, kan? Sekarang puas?” cetus Amora dengan malas atas tuduhan pria itu. Amora tahu jika dirinya seharusnya tidak bertindak kekanak-kanakan seperti ini. Ia merasa dirinya seperti putranya yang sempat membuatnya kesal tadi siang. “Maaf, aku tidak bermaksud menuduhmu.” Regis mengemb
Satu per satu acara pun dimulai dan berakhir dengan lancar. Regis juga memperkenalkan kedua putranya yang menjadi kebanggaan keluarga Lorenzo di hadapan para tamunya. Kali ini Regis tidak melarang beberapa awak media terpercaya untuk meliput kedua buah hatinya itu. Namun, para bawahan Regis tetap memberikan batasan-batasan yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat mengambil gambar. Akhirnya tiba saatnya sesi pelemparan buket bunga yang dilakukan oleh Amora sebagai mempelai wanita. Para gadis maupun pemuda lajang telah bersiap-siap untuk berebutan buket dari sang mempelai wanita.Biana juga telah bersiap di posisinya. Pada hitungan ketiga, buket bunga tersebut melayang di udara dan semua orang berlomba-lomba menggapainya. Buket bunga tersebut beralih dari satu tangan ke tangan yang lain hingga akhirnya seseorang berhasil merebutnya! Seketika suasana menjadi sangat hening, semua orang berdiri mematung untuk melihat sosok yang beruntung tersebut. Biana tampak kesal karena ia tidak b
Dalam balutan gaun pengantin berwarna putih gading dan tiara cantik yang menghiasi puncak kepalanya serta juntaian wedding veil yang menutupi sebagian wajahnya, Amora berjalan selangkah demi selangkah menuju ke arah suaminya, Regis Lorenzo. Wanita itu mengamit lengan Alejandro Volker selaku ayah kandungnya. Mereka berjalan berdampingan. Terlihat sosok sepasang malaikat kecil di depan mereka yang berpenampilan tampan dan imut. Mereka tidak lain adalah Rayden dan Kimmy. Keduanya berjalan bergandengan tangan sembari menebarkan kelopak bunga mawar yang menuntun langkah mempelai wanita menuju ke ujung aisle. Sementara itu, tiga orang bridesmaid berjalan di belakang Amora. Mereka adalah Estelle Mauverick, Biana Curtiz dan Alicia Lorenzo. Amora memandang ke sekelilingnya. Ia bertemu pandang dengan beberapa orang terdekatnya seperti Noel Ritter, Chris Walden, Bianca Lysander, Hilde Maven, Henry Allen serta Emma Adams yang sedang menggendong buah hatinya, Ryuji Lorenzo. Amora memberikan la
“Ada apa? Kamu masih saja cemburu dengan mantan istrimu?” goda Gino yang sejak tadi memperhatikan Regis di belakangnya. Malam ini pria itu memang menjadi groomsmen-nya alias pendamping mempelai pria. Regis hanya melayangkan tatapan tajamnya. Ia enggan menanggapinya. “Aku mengerti. Mantan memang sulit dilupakan. Apalagi mantan pertama. Rasanya aku ingin mencabik-cabiknya,” geram Gino yang dapat memahami perasaan Regis. Istrinya juga masih beberapa kali bertemu dengan mantan suaminya karena mantan suami istrinya itu ingin bertemu dengan Kimmy, putri mereka. “Apa mau aku membantumu?” tawar Regis dengan serius. Gino langsung meliriknya dengan syok. Tentu saja ia memahami maksud dari Regis. “Mengambil nyawanya bukan penyelesaian yang baik, Regis. Kalau Estelle dan Kimmy tahu aku yang sudah menghabisi ayah kandungnya, mau ditaruh di mana wajahku ini,” timpalnya. Regis mengulum senyumnya. “Dasar pengecut,” ledeknya. Gino mencebikkan bibirnya dengan malas. Ia mengedarkan pandangannya ke
“Ada apa, Amora?” tanya Estelle dan Biana secara serempak. Mereka tampak khawatir melihat kondisi Amora. Namun, Amora menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Sepertinya aku harus memompa asiku dulu deh. Tapi, aku tidak bawa alatnya lagi,” cicitnya. “Tenang saja. Aku bawa kok. Pakai punyaku dulu saja,” sahut Estelle sembari mengambil tas ransel yang berisi berbagai barang keperluan putra keduanya. Amora pun meminjam peralatan pompa asi dari sahabatnya, lalu bergegas menyelesaikan kegiatannya dan kembali melanjutkan persiapannya untuk acara malam ini. “Tolong kalian gunakan jari-jari ajaib kalian untuk menyulapnya menjadi ratu tercantik sejagat raya malam ini,” pinta Estelle kepada para penata rias dan penata busana pilihannya. “Serahkan saja kepada kami, Nyonya Moonstone!” sahut tim tersebut. *** Suara alunan piano memenuhi di sekitar lahan hijau yang telah didekorasi dengan sangat cantik. Pintu masuk menuju ke area resepsi acara juga telah dihiasi dengan aneka bunga segar berwarna put
“Apa? Pesta pernikahan?” Amora menatap Mark dengan syok, lalu memandang Biana dan Estelle yang sedang tersenyum sumringah padanya. “Sejak kapan kalian merencanakan semua ini, hm?” selidik Amora dengan sengit. “Maaf, Amora. Kami benar-benar tulus ingin memberikan kejutan. Tolong jangan marah,” cicit Estelle. “Benar, Amora. Aku juga terpaksa mengikuti rencana mereka. Tapi, percayalah kalau kami tidak pernah bermaksud buruk padamu,” timpal Biana dengan bersungguh-sungguh. “Ck, kalian benar-benar tidak setia kawan, huh?” Amora mengomeli kedua sahabatnya. Ia masih sangat kesal dibohongi dan dipermainkan seperti orang bodoh. “Tentu saja kami setia kawan, Amora. Kami ingin kamu bahagia,” cetus Estelle yang diikuti anggukan oleh Biana. “Sia-sia saja air mataku tadi,” sungut Amora dengan wajah ditekuk masam. Regis menghampiri istrinya tersebut, lalu menyeka sudut mata wanita itu yang masih berair. “Jangan marah lagi, Sayang. Maafkan aku. Aku bersedia menerima hukuman apa pun,” ucapnya.
Suara letusan konfeti mengagetkan Amora. Refleks, ia memejamkan matanya dan taburan potongan kertas warna-warni menghujani tubuhnya. “Surprise!” Seruan penuh semangat terdengar di telinganya. Ketika ia membuka matanya kembali, ia disuguhkan dengan kehadiran Regis yang telah berdiri di depan matanya. “Regis?” Amora menatap suaminya dengan kening yang berkerut. Pandangan Amora pun mengedar ke sekelilingnya. Ia tidak menemukan sosok yang mencurigakan di dalam ruangan itu. Justru ia malah dikagetkan dengan kehadiran beberapa orang yang dikenalnya. “Kalian ….” Amora memandang satu per satu sosok tersebut dengan bingung. Tatapannya terhenti pada Alicia yang berdiri di sampingnya. Gadis itu memegang konfeti yang diletuskannya tadi. Amora pun menginterogasinya. “Alicia, kenapa kamu bisa ada di sini? Apa maksud semua ini? Di mana wanita itu?" "Wanita?" Regis memandang Amora dengan bingung. "Tidak usah berpura-pura, Regis. Apa kamu menyembunyikannya?" selidik Amora. Ia telah mendorong d
Perasaan Amora terasa tidak karuan. Ucapan Alicia masih terngiang jelas di dalam benaknya. “Ini tidak mungkin. Tidak mungkin,” gumam Amora berulang kali.Seth melirik kaca spion mobil tengah untuk memantau kondisi nyonya mudanya tersebut. Ia tidak tahu menahu tentang hal yang terjadi. Tadi wanita itu hanya memintanya untuk segera mengantarkannya ke Mansion Blue Lake.Tadi Alicia berkata jika ia melihat Regis bertemu dengan seorang wanita saat ia dalam perjalanan menuju taman bermain dengan Rayden. Padahal sepengetahuannya, pria itu seharusnya berada dalam perjalanan ke Italia seperti yang dikatakannya kemarin kepadanya.Alicia berkata kepada Amora jika ia telah membuntuti Regis dan melihat keduanya masuk ke dalam Mansion Blue Lake. Tentu saja hal tersebut membuat Amora sangat terkejut. Ia tidak percaya jika Regis melakukan sesuatu yang mengkhianati cinta mereka.Namun, di satu sisi, Amora juga yakin kalau Alicia tidak mungkin membohonginya. ‘Apa mungkin Regis tidak jadi berangkat ke
“Bagaimana? Apa kamu bisa tenang membiarkan Emma membantumu mulai hari ini?” tanya Liliana meminta pendapat menantunya tersebut. Amora tertegun. Ia menatap Emma yang masih menunggu tanggapannya. “Tentu saja aku setuju,” sahutnya dengan mengulas senyuman lebar di bibirnya. Dibandingkan para pengasuh lain, Amora tentu saja akan lebih percaya dengan Emma. Dulu wanita paruh baya itu juga sering membantunya menjaga Rayden. “Tapi, apa Nyonya Adams tidak apa-apa? Aku tidak ingin terus-menerus merepotkan Anda. Apa Henry dan Hilde mengizinkannya?” tanya Amora dengan penuh selidik. Ia tidak ingin putra dan menantu Emma tidak menyetujui hal tersebut. Apalagi kondisi Emma yang pernah dirawat di rumah sakit dulu. “Tenang saja, Amora. Malah mereka memintaku untuk membantumu. Hilde malah lebih mendukungku,” terang Emma yang dapat memahami pemikiran Amora tersebut. “Nanti Tante akan sering-sering datang dan ikut membantu kok,” timpal Liliana yang mencoba meyakinkan menantunya itu. Amora tersen
“Selamat pagi Anak Mama. Bagaimana tidurnya semalam, hm?”Amora berceloteh sendiri dengan Ryuji yang sedang duduk di dalam box bayinya. Amora baru saja bangun saat mendengar suara bayi bertubuh gembul itu.“Anak Mama sudah bangun saja pagi begini. Siapa yang sudah menggantikan popokmu, hm? Papa?” tanya Amora ketika melihat putranya telah berganti pakaian.Ryuji hanya menanggapinya dengan senyuman lebar dan menendang kedua tangan dan kakinya berulang kali. Ia asyik memasukkan teether ke dalam mulutnya dan menggigit-gigitnya dengan gemas.Amora pun menggendong Ryuji keluar dari tempat tidurnya dan mengelilingi kamarnya untuk mencari keberadaan Regis.“Sayang,” panggil Amora. Namun, tidak ada yang menyahutnya.“Ke mana dia?” gumam Amora yang akhirnya kembali ke kamarnya. Ia baru menyadari jika koper yang dipersiapkannya semalam untuk Regis sudah tidak ada di tempatnya.“Dia sudah pergi?” terka Amora dengan terheran-heran.Tidak biasanya Regis pergi tanpa berpamitan padanya. Biasanya Regi