Seulas senyuman kembali terukir di bibir Estelle. Ia dapat memahami kewaspadaan yang ditunjukkan Amora terhadap dirinya dan berkata, “Tidak apa-apa. Aku paham dengan perasaanmu. Kamu tidak perlu terburu-buru untuk percaya denganku lagi, Amora. Tapi, kamu sangat hebat. Aku benar-benar kagum padamu karena dapat terus mempertahankan hidup dengan caramu hingga saat ini." Pujian yang tulis terucap dari bibir Estelle. Wanita itu bersungguh-sungguh mengaguminya karena jika dibandingkan dengan hal yang dilalui Amora, semua hal yang terjadi padanya selama tujuh tahun ini tidaklah berarti apa-apa. “Terima kasih. Aku bisa bertahan sampai saat ini adalah karena putraku dan juga karena campur tangan Tuhan di dalam kehidupanku,” timpal Amora seraya menyeka sudut matanya yang mulai berair. Amora tidak dapat menahan dirinya untuk tidak terharu. Bertemu kembali dengan teman lama dan mengulik kembali masa lalunya adalah hal yang cukup berat untuknya. “Kamu sendiri … apa benar yang diucapkan Chelsea
“Sekarang apa kesibukanmu, Amora?” Pertanyaan yang diajukan Estelle membuat Amora kembali sadar jika ia belum mendapatkan ide apa pun untuk rencana usahanya. Amora mengulum senyumnya. “Sekarang aku adalah pengangguran sejati," selorohnya. Estelle ikut terkekeh geli. "Kalau begitu kita sama," akunya. “Kamu tidak meneruskan usaha ayahmu?” tanya Amora dengan bingung. Seingatnya, keluarga Mauverick masih memiliki bisnis. Seharusnya Estelle sebagai putri tunggal mewarisi perusahaan ayahnya meskipun keluarga Mauverick tidak sejaya dulu lagi karena begitu banyak pesaing yang bermunculan. “Aku menjual sahamku kepada pamanku, Amora. Sejak ayahku meninggal, aku ditunjuk menjadi ahli warisnya dan harus mengelola perusahaan besar itu sendiri. Mereka semua tidak percaya kalau wanita sepertiku dapat melakukannya dan passionku juga tidak ada di perusahaan itu. Jadi daripada bangkrut di tanganku, aku menyerahkannya kepada pamanku saja." Amora hanya manggut-manggut saat mendengar penjelasan wan
Dalam perjalanan menuju ke sekolah putranya, Amora tampak termenung di kursi penumpang belakang. Ia kembali menelaah pembicaraannya dengan Estelle. 'Wedding organizer memang bukanlah ide yang buruk. Tapi ....'Ekor mata Amora melirik Albert Parker yang sedang mengemudi dari kaca spion tengah mobil, lalu ia memanggilnya, "Tuan Parker."Albert melirik sekilas, lalu kembali memfokuskan pandangannya ke jalan. "Ya, Nyonya," sahutnya."Apa Anda bisa membantu saya untuk menyelidiki sesuatu?" tanya Amora yang mendapatkan lirikan tajam dari pria itu."Maksud saya, apa Anda memiliki seseorang yang bisa dipercaya untuk menyelidiki sesuatu hal?" terang Amora lebih lanjut.Albert mengulum senyumnya. "Anda bisa mempercayakannya kepada saya, Nyonya. Walaupun saya hanya seorang sopir, tapi begini juga saya adalah informan yang cukup handal," tukasnya.Albert tidak membual. Regis ataupun Mark sering meminta bantuannya untuk mencari informasi penting dan pria itu memang memiliki jaringan yang cukup lua
Mobil Regis berhenti di sebuah bangunan yang dikelilingi oleh gerbang tinggi yang dengan pahatan kepala naga pada bagian tengah gerbang tersebut. Ia melangkah turun dari mobilnya tanpa memarkirkan kendaraannya tersebut lebih dulu. Saat ini ia telah berada di kediaman sekaligus Markas Besar Royal Dragon untuk memenuhi titah sang ayah yang ingin bertemu dengannya. Seperti biasanya suasana di sekitar kediaman itu terasa dingin dan hening. Hanya ada beberapa bawahan yang menyapanya ketika Regis melewati mereka. Ia terus melangkah masuk hingga bertemu dengan Liliana Ritter yang baru saja keluar dari lift yang ada di dalam kediaman itu. "Regis, kamu datang kok tidak bilang-bilang?" tanya wanita itu yang terlihat kaget. Pasalnya, ia tidak mendapatkan kabar apa pun mengenai kepulangan putra tirinya tersebut. "Apa hari ini kamu akan menginap di sini?" tanya Liliana lagi. Namun, Regis tidak menjawab pertanyaan wanita itu dan terus melanjutkan langkahnya menuju lift, "Anak itu ...." Liliana
“Kamu yakin tidak melakukan kesalahan apa pun termasuk menantang Levent?” selidik Diego dengan sengit. Regis sadar jika tindakan yang dilakukannya tadi terlalu berisiko. Akan tetapi, Regis tidak punya pilihan lain karena ia harus menegaskan kepada Altan Demir jika dirinya bukanlah lawan yang bisa dipermainkan dengan seenaknya. “Ayah, dia yang memulai lebih dulu. Saya hanya memberikannya sedikit peringatan,” sahut Regis mencoba membela diri. “Oh?” Diego menaikkan satu alisnya dan menatap putranya itu dengan tajam. Seolah memahami maksud dari tatapan ayahnya, Regis pun menceritakan kepada sang ayah perihal awal mula kejadian yang menyebabkan dirinya harus terpaksa berseteru dengan Altan Demir. Namun, Regis tidak menyebutkan tentang Amora karena ia tidak ingin melibatkan wanita itu dalam masalah antar organisasi.“Kamu tidak lupa kan kalau kita punya kesepakatan dengan Levent?” selidik Diego. Pria paruh baya itu berpikir tidak seharusnya putranya itu mencampuri permasalahan antara
“Apa maksudmu?” Kedua alis Diego bertaut. Ia sangat terkejut mendengar pernyataan putranya. Melihat ekspresi kaget ayahnya, Regis malah tersenyum dengan acuh tak acuh. “Kecelakaanmu itu karena Altan Demir?” selidik Diego dengan sorot mata tak percaya. Meskipun kecelakaan itu telah berlalu tujuh tahun lamanya, tetapi Diego tidak dapat melupakan bagaimana ia hampir merasa putus asa karena hampir kehilangan putra semata wayangnya tersebut. Saat itu pria paruh baya itu terus mengupayakan berbagai hal dengan mengumpulkan para dokter terbaik untuk membuat putranya dapat terlepas dari kritis. Walaupun akhirnya Regis harus mengalami koma, tetapi Diego merasa sangat lega. Sekarang tiba-tiba saja Diego mendengar jika kecelakaan yang hampir membunuh putranya itu adalah ulah Altan Demir, hal tersebut cukup membuatnya syok. "Apa benar seperti itu, Regis?" selidik pria paruh baya itu yang terlihat murka. Diego berpikir jika memang Altan Demir adalah dalang di balik kecelakaan tersebut, ia
“Wanita yang ditakdirkan?” Diego tersenyum kecut mendengar pernyataan putranya. Ia mengeluarkan ponselnya, lalu menggulir layar benda pipih tersebut. Setelah menemukan hal yang dicarinya, ia menyerahkan kepada Pablo agar diberikan kepada putranya karena jarak di antara mereka cukup jauh saat ini. Pablo menghampiri putra majikannya itu, lalu memperlihatkan gawai di tangannya tersebut. Raut wajah tuan mudanya itu seketika berubah dingin. Kening Regis sempat mengernyit sesaat, lalu mengalihkan pandangannya dari gawai itu dan kembali menatap ayahnya yang telah memberikan tekanan padanya. “Dia wanita yang ditakdirkan untukmu?” tanya pria paruh baya itu dengan penuh selidik. Regis mencengkeram erat lengan sofa tempatnya bersandar, lalu menjawab dengan tegas, “Benar.” “Siapa wanita itu?” selidik Diego seraya mengambil kembali gawainya dari tangan Pablo.Regis menyeringai tipis. Ia tidak tahu dari mana ayahnya mendapatkan fotonya saat bersama Amora di acara peresmian galeri seni milik B
Suara bel pulang sekolah telah berbunyi. Para orang tua ataupun wali murid telah menunggu di depan pintu keluar untuk menjemput putra-putri kesayangan mereka.Terlihat sosok Rayden yang baru saja keluar dari barisan. Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar, tetapi tidak menemukan sosok ibu maupun asisten ayahnya di depan pintu tersebut.“Kamu belum dijemput, Ray?” tanya Kimmy.Rayden mengangguk. “Kamu juga belum?”Kimmy juga memberikan anggukan.“Bagaimana kalau kita menunggu di sana saja?” tanya Kimmy seraya menunjuk ke arah bangku yang berada di samping pintu.Rayden belum memberikan tanggapan, tetapi anak perempuan itu telah menarik tangannya dan melangkah di depannya. Akhirnya terpaksa Rayden mengikuti kemauannya.Kimmy menatap Rayden yang telah duduk di sampingnya dengan sorot mata berbinar. Anak perempuan itu mengayunkan kedua kakinya dengan riang dan berucap, "Tadi pelajaran berhitung, kamu hebat sekali, Ray. Bagaimana kamu bisa melakukannya dengan cepat?" Putra Amora tersebut
Satu per satu acara pun dimulai dan berakhir dengan lancar. Regis juga memperkenalkan kedua putranya yang menjadi kebanggaan keluarga Lorenzo di hadapan para tamunya. Kali ini Regis tidak melarang beberapa awak media terpercaya untuk meliput kedua buah hatinya itu. Namun, para bawahan Regis tetap memberikan batasan-batasan yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat mengambil gambar. Akhirnya tiba saatnya sesi pelemparan buket bunga yang dilakukan oleh Amora sebagai mempelai wanita. Para gadis maupun pemuda lajang telah bersiap-siap untuk berebutan buket dari sang mempelai wanita.Biana juga telah bersiap di posisinya. Pada hitungan ketiga, buket bunga tersebut melayang di udara dan semua orang berlomba-lomba menggapainya. Buket bunga tersebut beralih dari satu tangan ke tangan yang lain hingga akhirnya seseorang berhasil merebutnya! Seketika suasana menjadi sangat hening, semua orang berdiri mematung untuk melihat sosok yang beruntung tersebut. Biana tampak kesal karena ia tidak b
Dalam balutan gaun pengantin berwarna putih gading dan tiara cantik yang menghiasi puncak kepalanya serta juntaian wedding veil yang menutupi sebagian wajahnya, Amora berjalan selangkah demi selangkah menuju ke arah suaminya, Regis Lorenzo. Wanita itu mengamit lengan Alejandro Volker selaku ayah kandungnya. Mereka berjalan berdampingan. Terlihat sosok sepasang malaikat kecil di depan mereka yang berpenampilan tampan dan imut. Mereka tidak lain adalah Rayden dan Kimmy. Keduanya berjalan bergandengan tangan sembari menebarkan kelopak bunga mawar yang menuntun langkah mempelai wanita menuju ke ujung aisle. Sementara itu, tiga orang bridesmaid berjalan di belakang Amora. Mereka adalah Estelle Mauverick, Biana Curtiz dan Alicia Lorenzo. Amora memandang ke sekelilingnya. Ia bertemu pandang dengan beberapa orang terdekatnya seperti Noel Ritter, Chris Walden, Bianca Lysander, Hilde Maven, Henry Allen serta Emma Adams yang sedang menggendong buah hatinya, Ryuji Lorenzo. Amora memberikan la
“Ada apa? Kamu masih saja cemburu dengan mantan istrimu?” goda Gino yang sejak tadi memperhatikan Regis di belakangnya. Malam ini pria itu memang menjadi groomsmen-nya alias pendamping mempelai pria. Regis hanya melayangkan tatapan tajamnya. Ia enggan menanggapinya. “Aku mengerti. Mantan memang sulit dilupakan. Apalagi mantan pertama. Rasanya aku ingin mencabik-cabiknya,” geram Gino yang dapat memahami perasaan Regis. Istrinya juga masih beberapa kali bertemu dengan mantan suaminya karena mantan suami istrinya itu ingin bertemu dengan Kimmy, putri mereka. “Apa mau aku membantumu?” tawar Regis dengan serius. Gino langsung meliriknya dengan syok. Tentu saja ia memahami maksud dari Regis. “Mengambil nyawanya bukan penyelesaian yang baik, Regis. Kalau Estelle dan Kimmy tahu aku yang sudah menghabisi ayah kandungnya, mau ditaruh di mana wajahku ini,” timpalnya. Regis mengulum senyumnya. “Dasar pengecut,” ledeknya. Gino mencebikkan bibirnya dengan malas. Ia mengedarkan pandangannya ke
“Ada apa, Amora?” tanya Estelle dan Biana secara serempak. Mereka tampak khawatir melihat kondisi Amora. Namun, Amora menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Sepertinya aku harus memompa asiku dulu deh. Tapi, aku tidak bawa alatnya lagi,” cicitnya. “Tenang saja. Aku bawa kok. Pakai punyaku dulu saja,” sahut Estelle sembari mengambil tas ransel yang berisi berbagai barang keperluan putra keduanya. Amora pun meminjam peralatan pompa asi dari sahabatnya, lalu bergegas menyelesaikan kegiatannya dan kembali melanjutkan persiapannya untuk acara malam ini. “Tolong kalian gunakan jari-jari ajaib kalian untuk menyulapnya menjadi ratu tercantik sejagat raya malam ini,” pinta Estelle kepada para penata rias dan penata busana pilihannya. “Serahkan saja kepada kami, Nyonya Moonstone!” sahut tim tersebut. *** Suara alunan piano memenuhi di sekitar lahan hijau yang telah didekorasi dengan sangat cantik. Pintu masuk menuju ke area resepsi acara juga telah dihiasi dengan aneka bunga segar berwarna put
“Apa? Pesta pernikahan?” Amora menatap Mark dengan syok, lalu memandang Biana dan Estelle yang sedang tersenyum sumringah padanya. “Sejak kapan kalian merencanakan semua ini, hm?” selidik Amora dengan sengit. “Maaf, Amora. Kami benar-benar tulus ingin memberikan kejutan. Tolong jangan marah,” cicit Estelle. “Benar, Amora. Aku juga terpaksa mengikuti rencana mereka. Tapi, percayalah kalau kami tidak pernah bermaksud buruk padamu,” timpal Biana dengan bersungguh-sungguh. “Ck, kalian benar-benar tidak setia kawan, huh?” Amora mengomeli kedua sahabatnya. Ia masih sangat kesal dibohongi dan dipermainkan seperti orang bodoh. “Tentu saja kami setia kawan, Amora. Kami ingin kamu bahagia,” cetus Estelle yang diikuti anggukan oleh Biana. “Sia-sia saja air mataku tadi,” sungut Amora dengan wajah ditekuk masam. Regis menghampiri istrinya tersebut, lalu menyeka sudut mata wanita itu yang masih berair. “Jangan marah lagi, Sayang. Maafkan aku. Aku bersedia menerima hukuman apa pun,” ucapnya.
Suara letusan konfeti mengagetkan Amora. Refleks, ia memejamkan matanya dan taburan potongan kertas warna-warni menghujani tubuhnya. “Surprise!” Seruan penuh semangat terdengar di telinganya. Ketika ia membuka matanya kembali, ia disuguhkan dengan kehadiran Regis yang telah berdiri di depan matanya. “Regis?” Amora menatap suaminya dengan kening yang berkerut. Pandangan Amora pun mengedar ke sekelilingnya. Ia tidak menemukan sosok yang mencurigakan di dalam ruangan itu. Justru ia malah dikagetkan dengan kehadiran beberapa orang yang dikenalnya. “Kalian ….” Amora memandang satu per satu sosok tersebut dengan bingung. Tatapannya terhenti pada Alicia yang berdiri di sampingnya. Gadis itu memegang konfeti yang diletuskannya tadi. Amora pun menginterogasinya. “Alicia, kenapa kamu bisa ada di sini? Apa maksud semua ini? Di mana wanita itu?" "Wanita?" Regis memandang Amora dengan bingung. "Tidak usah berpura-pura, Regis. Apa kamu menyembunyikannya?" selidik Amora. Ia telah mendorong d
Perasaan Amora terasa tidak karuan. Ucapan Alicia masih terngiang jelas di dalam benaknya. “Ini tidak mungkin. Tidak mungkin,” gumam Amora berulang kali.Seth melirik kaca spion mobil tengah untuk memantau kondisi nyonya mudanya tersebut. Ia tidak tahu menahu tentang hal yang terjadi. Tadi wanita itu hanya memintanya untuk segera mengantarkannya ke Mansion Blue Lake.Tadi Alicia berkata jika ia melihat Regis bertemu dengan seorang wanita saat ia dalam perjalanan menuju taman bermain dengan Rayden. Padahal sepengetahuannya, pria itu seharusnya berada dalam perjalanan ke Italia seperti yang dikatakannya kemarin kepadanya.Alicia berkata kepada Amora jika ia telah membuntuti Regis dan melihat keduanya masuk ke dalam Mansion Blue Lake. Tentu saja hal tersebut membuat Amora sangat terkejut. Ia tidak percaya jika Regis melakukan sesuatu yang mengkhianati cinta mereka.Namun, di satu sisi, Amora juga yakin kalau Alicia tidak mungkin membohonginya. ‘Apa mungkin Regis tidak jadi berangkat ke
“Bagaimana? Apa kamu bisa tenang membiarkan Emma membantumu mulai hari ini?” tanya Liliana meminta pendapat menantunya tersebut. Amora tertegun. Ia menatap Emma yang masih menunggu tanggapannya. “Tentu saja aku setuju,” sahutnya dengan mengulas senyuman lebar di bibirnya. Dibandingkan para pengasuh lain, Amora tentu saja akan lebih percaya dengan Emma. Dulu wanita paruh baya itu juga sering membantunya menjaga Rayden. “Tapi, apa Nyonya Adams tidak apa-apa? Aku tidak ingin terus-menerus merepotkan Anda. Apa Henry dan Hilde mengizinkannya?” tanya Amora dengan penuh selidik. Ia tidak ingin putra dan menantu Emma tidak menyetujui hal tersebut. Apalagi kondisi Emma yang pernah dirawat di rumah sakit dulu. “Tenang saja, Amora. Malah mereka memintaku untuk membantumu. Hilde malah lebih mendukungku,” terang Emma yang dapat memahami pemikiran Amora tersebut. “Nanti Tante akan sering-sering datang dan ikut membantu kok,” timpal Liliana yang mencoba meyakinkan menantunya itu. Amora tersen
“Selamat pagi Anak Mama. Bagaimana tidurnya semalam, hm?”Amora berceloteh sendiri dengan Ryuji yang sedang duduk di dalam box bayinya. Amora baru saja bangun saat mendengar suara bayi bertubuh gembul itu.“Anak Mama sudah bangun saja pagi begini. Siapa yang sudah menggantikan popokmu, hm? Papa?” tanya Amora ketika melihat putranya telah berganti pakaian.Ryuji hanya menanggapinya dengan senyuman lebar dan menendang kedua tangan dan kakinya berulang kali. Ia asyik memasukkan teether ke dalam mulutnya dan menggigit-gigitnya dengan gemas.Amora pun menggendong Ryuji keluar dari tempat tidurnya dan mengelilingi kamarnya untuk mencari keberadaan Regis.“Sayang,” panggil Amora. Namun, tidak ada yang menyahutnya.“Ke mana dia?” gumam Amora yang akhirnya kembali ke kamarnya. Ia baru menyadari jika koper yang dipersiapkannya semalam untuk Regis sudah tidak ada di tempatnya.“Dia sudah pergi?” terka Amora dengan terheran-heran.Tidak biasanya Regis pergi tanpa berpamitan padanya. Biasanya Regi