"Aku perlu mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi?" jawab Zack."Apa lagi yang perlu kau cari tahu, Zack," tukas Layla, "Sudah terlihat jelas kalau Emily itu telah berselingkuh dengan sepupumu. Itu semua sudah terlihat di depan mata."Zack menggelengkan kepalanya, "Itu tidak mungkin. Aku mengenal Emily. Dia gadis baik-baik. Jadi, itu adalah hal yang tidak mungkin kalau dia berkencan dan berselingkuh dengan sepupuku. Itu sungguh tidak masuk akal. Pasti ada konspirasi di sini. Aku perlu mencari tahu.""Zack," Layla lagi-lagi menahan lengan Zack, "Aku tidak ingin mengatakan ini dan menambah luka di hatimu. Tapi, malam sebelumnya aku melihat dengan mata kepalaku sendiri Emily diantar oleh seorang pria yang tadi baru kuketahui kalau itu adalah pengawalnya sepupumu. Bahkan mobil yang digunakan pun sama. Itu mobil sepupumu. Emily memakai pakaian baru bermerek yang sudah dapat dipastikan tidak akan bisa dia dapatkan jika tidak berkencan dengan sepupumu itu. Dan kurasa Emily bahkan telah mel
"Plak!" Satu tamparan keras melayang ke pipi Benedict."Apaan sih gigit-gigit? Kamu pikir aku ini mangsa vampire apa?"Emily menarik tali gaunnya yang nyaris robek lalu melepaskan sabuk pengaman. Namun, belum sempat dia keluar, Benedict menariknya hingga kembali ke posisi semula."Kamu mau kemana?""Tentu saja aku mau pulang.""Pulang? Apa maksudmu dengan pulang? Kamu pikir om dan tantemu akan menerimamu kembali ke rumah setelah kejadian tadi?"Emily menggigit bibirnya dengan kesal, "Ini semua gara-gara kamu. Ini salahmu. Kalau tidak karena ulahmu tadi aku tidak perlu menghadapi hal seperti ini. Sekarang, bahkan untuk pulang saja aku tidak bisa.""Apa yang sulit dengan itu? Kamu hanya perlu ikut denganku saja dan tinggal di kediamanku, Emily. The End. Masalah selesai.""Tidak semudah itu, Tuan Muda." Dia tidak mau tinggal dengan pria biadab ini dan masuk perangkap seperti ikan yang masuk ke dalam jaring.Benedict mengerutkan dahi, "Jangan katakan kalau kau bermaksud untuk mengingkari p
Emily menarik napas dengan kesal. Dia benar-benar diusir dari rumah oleh paman dan bibinya seolah dia pencuri saja. Emily melangkah dengan gontai, lampu-lampu jalan berpendar oranye. Dari arah yang berlawanan terlihat seorang pria berjalan sempoyongan, sepertinya pria itu agak mabuk. Tatapannya terlihat tidak fokus, namun ketika Emily melewatinya, pria itu berbelok dramatis dan mendekatinya. "Hai cantik!" Secepat bicaranya secepat itu juga tangan pria itu meremas pinggul Emily. Emily memekik karena kaget, clutch di tangannya refleks ia layangkan ke arah kepala pria itu. "Dasar pria mesum," makinya sambil menambahkan pukulan. Pria itu berteriak marah, dia hendak memukul balik Emily, tapi Emily dengan cepat melancarkan tendangan ke arah selangkangan pria itu hingga pria itu terduduk dan melolong kesakitan. "Biar tahu rasa kau, pria mesum. Dasar bajingan!" Pria itu mengaduh kesakitan, bukan hanya kepala atasnya saja yang sakit karena mabuk, tapi kepala bawahnya benar-benar menderit
Emily sempat hendak mundur ketika melihat ekspresi keras di wajah pria itu. Apakah dia salah orang? Terlebih ketika pria itu melangkah maju. Tapi, langkah Emily untuk menghindar tertahan karena rengkuhan tiba-tiba dari pria itu. "Emily, kau kemana saja. Aku rindu," bisikan lembut di telinga Emily membuat Emily gemetar. Jadi, dia tidak salah mengenali. Pria ini memang Jeffry. "Emily, apakah kamu mengenal Jeffry?" Tanya Oscar, penasaran. Emily mengangguk. Lebih dari sekedar “tahu,”. Mereka tumbuh bersama di panti asuhan. Setelah kematian ayahnya, Emily hampir menangis setiap hari, terkadang dengan isak tangis yang menggelegar, terkadang dengan rintihan lemah. Saat itu, dunianya terasa runtuh. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Emily merasa sendirian tanpa tahu harus berbuat apa. Kala itu, saat tidur dia selalu bermimpi buruk, membuatnya sering menyendiri di panti. Waktu itulah dia bertemu Jeffry. Seorang anak laki-laki tinggi kurus dengan mata biru. Jeffry duduk di sampin
“Kalau kau mau, aku punya sebuah apartemen,” kata Jeffry sembari mengedikkan bahu. "Saat ini sedang kosong. Jika kau mau, kau bisa memakainya." Jeffry mengeluarkan pena dan kertas, lalu menuliskan alamatnya, merogoh saku lalu menyerahkan kunci apartemen pada gadis itu. "Apakah … maksudmu aku bisa tinggal di sana? Di apartemenmu?" Emily tergagap. “Aku tidak akan memaksa kalau kau tidak mau, Emily.” “Tidak. Maksudku … aku mau. Tentu saja aku mau. Aku memang membutuhkannya saat ini,” Emily mengucapkan terima kasih. “Baiklah, kalau begitu …” Jeffry mengambil sejumlah uang dari dompet lalu menyodorkannya ke tangan Emily, "Untuk membuatmu bangkit kembali, oke?" Emily mengucapkan terima kasih lagi, lalu memanggil taksinya, melambaikan tangan. “Kenapa kau tidak ikut denganku, Jeff?” Dia bertanya sambil naik ke bangku penumpang. Jeffry menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa. Karena sekarang ada yang harus kulakukan. Mungkin nanti." Dia berkata dengan canggung, dan mundur saat dia
“Ah …” Suara erangan Emily memenuhi ruangan ketika wanita itu merasakan sentuhan kasar seorang pria tepat di bagian sensitif tubuhnya.Emily melengkungkan punggungnya, memberikan ruang untuk pria yang berada di atasnya untuk menyentuhnya lebih jauh. Entah apa yang merasuki dirinya malam itu, tapi, tak lama setelah Zack, calon tunangannya mengajak untuk bertemu di hotel malam itu, Emily seolah dirasuki oleh hasrat yang amat menggebu. “Hngh!” Lenguhan yang tertahan keluar dari mulut Emily saat merasakan milik sang pria mulai menjajahi miliknya. Karena keseluruhan ruangan yang amat gelap, wanita itu tak tahu di mana harus melayangkan tangannya. Tak kuasa menahan gairah, Emily menggenggam sejumput rambut milik pria yang terus menyerangnya dengan kecupan basah.Tepat saat itu juga, Emily merasakan sesuatu yang berbeda. Pria yang sedang bercumbu dengannya memiliki rambut pendek, padahal Zack, kekasihnya, memiliki rambut yang lebih panjang!“Kamu bukan … Zack!”***“Urgh!”Emily terbang
"Apa yang kau lakukan?" Emily tersentak, dia terkejut dengan betapa mudahnya pria ini membereskannya. Emily melancarkan satu pukulan ke arah pria itu, tapi sayangnya, pria itu bergerak lebih cepat sehingga berhasil menangkisnya. Emily melakukannya lagi dengan tangannya yang lain, tapi lagi-lagi berhasil ditangkap. Brengsek! Betapa sulitnya melukai pria ini. "Lepaskan aku! Biarkan aku pergi! LEPASKAN AKU, BRENGSEK!" Emily berteriak, tapi hanya gema suarnya saja yang menjawab. Emily bergulat untuk melepaskan diri. Dia tidak yakin ini disengaja atau tidak, tapi saat meronta, baju Emily yang sudah acak-acakan tiba-tiba robek hingga terbuka lebar, memperlihatkan dadanya yang berisi kepada pria itu. Mata pria itu menggelap saat melihat tubuh kencang wanita itu dalam pelukannya. "Lepaskan aku! Kau … kau menyakitiku.” Merasa malu dan tak berdaya, Emily merintih, air mata membasahi wajahnya. Kata-kata itu terdengar seperti menyuarakan ketidakberdayaan. Seolah-olah dengan mengatakannya, Emil
“Bajingan!” Emily hanya bisa menggumam kecil, menyaksikan pria berambut perak itu menampikkan seringai di wajah tampannya.Terlebih ketika Benedict melangkah maju, lalu menginjak ujung lembaran uang kertas yang telah Emily pegang. Emily menaikkan pandangannya, dia melihat pria berambut perak itu menatapnya dengan tatapan dingin. Ada gestur mencemooh di bibirnya meski tak kentara."Kupikir Nona berharga diri tinggi ini, benar-benar memiliki harga diri yang tinggi. Tapi, ternyata, jauh panggang daripada api. Kau tidak lebih mahal dari yang kukira."Setelah mengatakan hal itu, Benedict melemparkan jas yang ada di tangannya ke arah Emily. Karena kaget, Emily jatuh terduduk ke belakang dengan lembaran uang kertas di tangannya. Sedangkan pintu itu kembali tertutup.Emily melihat ke arah jas abu-abu yang kini ada di pangkuannya. Apa jas ini diberikan pria itu untuknya? Lalu, apa-apaan itu tadi? Tega sekali pria itu mengatainya seperti itu. Emily merasakan air matanya menggenang. Dia merasa
“Kalau kau mau, aku punya sebuah apartemen,” kata Jeffry sembari mengedikkan bahu. "Saat ini sedang kosong. Jika kau mau, kau bisa memakainya." Jeffry mengeluarkan pena dan kertas, lalu menuliskan alamatnya, merogoh saku lalu menyerahkan kunci apartemen pada gadis itu. "Apakah … maksudmu aku bisa tinggal di sana? Di apartemenmu?" Emily tergagap. “Aku tidak akan memaksa kalau kau tidak mau, Emily.” “Tidak. Maksudku … aku mau. Tentu saja aku mau. Aku memang membutuhkannya saat ini,” Emily mengucapkan terima kasih. “Baiklah, kalau begitu …” Jeffry mengambil sejumlah uang dari dompet lalu menyodorkannya ke tangan Emily, "Untuk membuatmu bangkit kembali, oke?" Emily mengucapkan terima kasih lagi, lalu memanggil taksinya, melambaikan tangan. “Kenapa kau tidak ikut denganku, Jeff?” Dia bertanya sambil naik ke bangku penumpang. Jeffry menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa. Karena sekarang ada yang harus kulakukan. Mungkin nanti." Dia berkata dengan canggung, dan mundur saat dia
Emily sempat hendak mundur ketika melihat ekspresi keras di wajah pria itu. Apakah dia salah orang? Terlebih ketika pria itu melangkah maju. Tapi, langkah Emily untuk menghindar tertahan karena rengkuhan tiba-tiba dari pria itu. "Emily, kau kemana saja. Aku rindu," bisikan lembut di telinga Emily membuat Emily gemetar. Jadi, dia tidak salah mengenali. Pria ini memang Jeffry. "Emily, apakah kamu mengenal Jeffry?" Tanya Oscar, penasaran. Emily mengangguk. Lebih dari sekedar “tahu,”. Mereka tumbuh bersama di panti asuhan. Setelah kematian ayahnya, Emily hampir menangis setiap hari, terkadang dengan isak tangis yang menggelegar, terkadang dengan rintihan lemah. Saat itu, dunianya terasa runtuh. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Emily merasa sendirian tanpa tahu harus berbuat apa. Kala itu, saat tidur dia selalu bermimpi buruk, membuatnya sering menyendiri di panti. Waktu itulah dia bertemu Jeffry. Seorang anak laki-laki tinggi kurus dengan mata biru. Jeffry duduk di sampin
Emily menarik napas dengan kesal. Dia benar-benar diusir dari rumah oleh paman dan bibinya seolah dia pencuri saja. Emily melangkah dengan gontai, lampu-lampu jalan berpendar oranye. Dari arah yang berlawanan terlihat seorang pria berjalan sempoyongan, sepertinya pria itu agak mabuk. Tatapannya terlihat tidak fokus, namun ketika Emily melewatinya, pria itu berbelok dramatis dan mendekatinya. "Hai cantik!" Secepat bicaranya secepat itu juga tangan pria itu meremas pinggul Emily. Emily memekik karena kaget, clutch di tangannya refleks ia layangkan ke arah kepala pria itu. "Dasar pria mesum," makinya sambil menambahkan pukulan. Pria itu berteriak marah, dia hendak memukul balik Emily, tapi Emily dengan cepat melancarkan tendangan ke arah selangkangan pria itu hingga pria itu terduduk dan melolong kesakitan. "Biar tahu rasa kau, pria mesum. Dasar bajingan!" Pria itu mengaduh kesakitan, bukan hanya kepala atasnya saja yang sakit karena mabuk, tapi kepala bawahnya benar-benar menderit
"Plak!" Satu tamparan keras melayang ke pipi Benedict."Apaan sih gigit-gigit? Kamu pikir aku ini mangsa vampire apa?"Emily menarik tali gaunnya yang nyaris robek lalu melepaskan sabuk pengaman. Namun, belum sempat dia keluar, Benedict menariknya hingga kembali ke posisi semula."Kamu mau kemana?""Tentu saja aku mau pulang.""Pulang? Apa maksudmu dengan pulang? Kamu pikir om dan tantemu akan menerimamu kembali ke rumah setelah kejadian tadi?"Emily menggigit bibirnya dengan kesal, "Ini semua gara-gara kamu. Ini salahmu. Kalau tidak karena ulahmu tadi aku tidak perlu menghadapi hal seperti ini. Sekarang, bahkan untuk pulang saja aku tidak bisa.""Apa yang sulit dengan itu? Kamu hanya perlu ikut denganku saja dan tinggal di kediamanku, Emily. The End. Masalah selesai.""Tidak semudah itu, Tuan Muda." Dia tidak mau tinggal dengan pria biadab ini dan masuk perangkap seperti ikan yang masuk ke dalam jaring.Benedict mengerutkan dahi, "Jangan katakan kalau kau bermaksud untuk mengingkari p
"Aku perlu mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi?" jawab Zack."Apa lagi yang perlu kau cari tahu, Zack," tukas Layla, "Sudah terlihat jelas kalau Emily itu telah berselingkuh dengan sepupumu. Itu semua sudah terlihat di depan mata."Zack menggelengkan kepalanya, "Itu tidak mungkin. Aku mengenal Emily. Dia gadis baik-baik. Jadi, itu adalah hal yang tidak mungkin kalau dia berkencan dan berselingkuh dengan sepupuku. Itu sungguh tidak masuk akal. Pasti ada konspirasi di sini. Aku perlu mencari tahu.""Zack," Layla lagi-lagi menahan lengan Zack, "Aku tidak ingin mengatakan ini dan menambah luka di hatimu. Tapi, malam sebelumnya aku melihat dengan mata kepalaku sendiri Emily diantar oleh seorang pria yang tadi baru kuketahui kalau itu adalah pengawalnya sepupumu. Bahkan mobil yang digunakan pun sama. Itu mobil sepupumu. Emily memakai pakaian baru bermerek yang sudah dapat dipastikan tidak akan bisa dia dapatkan jika tidak berkencan dengan sepupumu itu. Dan kurasa Emily bahkan telah mel
Seorang pria tampan bertubuh tinggi tegap dengan setelan abu-abu terang melangkah masuk. Keanggunan dan kepercayaan dirinya terlihat sedemikian rupa hingga menarik perhatian semua orang yang ada di ruangan itu.Rambut peraknya membuat Emily menyadari kalau itu adalah Benedict, iblis yang melakukan perjanjian dengannya. Emily mengalami kelegaan sekaligus kebingungan karena Benjamin menyebut Benedict yang baru datang sebagai cucunya."Emily, kau pasti kaget melihat Benedict, dia adalah cucuku yang sudah lama di luar negeri mengurus bisnis keluarga, baru beberapa bulan ini dia kembali, jadi ini pasti pertama kalinya kalian bertemu," Benjamin memperkenalkan Emily pada Benedict, "Benedict, gadis ini adalah Emily, dia calon istri Zack."Benjamin baru saja menyelesaikan perkataannya ketika Benedict berjalan menghampiri Emily lalu berkata, "Tentu saja aku mengenal Emily, Kek. Tapi, bukan sebagai calon istri Zack melainkan wanita yang berkencan denganku. Emily adalah pacarku. Jika dia akan memi
"Halo!""Kau sudah tiba di rumah?" tanya suara dari seberang sana."Ya," sahut Emily ragu-ragu, "Ini kau?""Menurutmu siapa lagi kalau bukan aku?"Emily menarik napas, "Zack mengajakku untuk pergi bersama ke acara perjamuan. Di sana pasti akan ada pembicaraan soal pernikahan. Bagaimana caramu untuk membantuku?" Emily bercerita begitu saja pada Benedict. Toh, memang hal inilah yang menghubungkan mereka berdua."Kau pergi saja ke sana dengannya. Masalah lainnya aku yang atur," tegas Benedict. Meski tidak tahu dengan pasti apa rencana pria itu, tapi, sedikit banyak perkataan Benedict membuat Emily sedikit tenang.Tak lama setelah panggilan itu berakhir, Emily ke toilet. Begitu selesai, di lorong kamar dia bertemu dengan Layla yang menatapnya dengan sinis.Emily bermaksud untuk mengabaikannya saja saat Layla justru berkata, "Sepertinya sekarang kau menjadi sugar baby ya, Emily?" Dia terang-terangan menatap pakaian baru yang dikenakan Emily, kalau tidak dari menjadi sugar baby darimana Emil
Seolah mengerti, James memencet ikon di layar untuk membatasi area antara kursi penumpang dengan barisan sopir sehingga dapat memberi privasi bagi bosnya.Benedict menyampirkan rambut Emily, lalu melabuhkan kecupannya di bibir gadis itu. Ciuman hangat itu dalam sekejap berubah menjadi panas, hingga membuat Emily meremang. Dia tak tahu, apa ini demam ataukah panas tubuh mereka berdua yang menyebabkannya.Emily tahu, dia harus memberikan sedikit makanan pada anjing pemburu agar mau berburu untuknya. Anggap saja ciuman ini adalah makanan itu.Jadi, ketika Benedict mulai bergerilya meminta lebih dari ciuman dengan menangkup payudaranya, Emily mendorong Benedict. Lalu, memberi tamparan keras pada pria itu, membuat Benedict yang tidak mengira akan hal tersebut tertegun."Apa yang kau lakukan?" tanya pria itu.James yang ada di depan saja sampai terkejut, hingga ikut-ikutan bertanya, "Bos, kau tidak apa-apa? Apa kau membutuhkan bantuan?""Apa maksudmu dengan membutuhkan bantuan? Apa menurutmu
Hujan turun dengan derasnya, Emily buru-buru membuka payung yang ada di tangannya. Namun, meskipun begitu, payung kecil itu tak mampu melindungi dirinya dari percikan air hujan.Hari bahkan sudah menjadi gelap dan hampir tidak ada orang di jalan ini apalagi hujan turun dengan begitu derasnya sehingga tidak akan ada orang yang begitu bodohnya berada di luar ruangan. Tidak seperti dirinya. Dia pasti sudah sangat putus asa sampai mau berhujan-hujanan ria seperti ini.Kemarin telepon dari iblis berambut perak itu menyebutkan kalau mereka akan bertemu di tempat ini. Tapi, Emily tak menyangka kalau cuaca hari ini akan seburuk ini, untung saja dia sempat membawa payung tadi karena memang ketika berangkat dari rumah langit telah mendung. Lihat, bahkan langit saja tidak menyetujui pertemuan ini. Ini sepertinya adalah langkah yang buruk. Tapi, mau bagaimana lagi, hanya ini cara satu-satunya yang bisa ia lakukan.Sebuah mobil melaju kencang melewati genangan air yang berada tak jauh dari tempat